Pages

Monday, January 7, 2013

Kampung Budaya Sindangbarang by Dinda Kartika



KAMPUNG BUDAYA SINDANGBARANG
Nama : Dinda Kartika
Nim : 11140110225/ G1






INDONESIA! siapa sih warga Indonesia yang gak tau kalau negaranya ini memiliki sejuta pesona yang terdapat dari keanekaragaman ras, etnis, budaya, agama, bahkan bahasa. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sekali kebudayaan yang tersimpan didalamnya. Kali ini saya akan menguak tentang kebudayaan Indonesia yang berada di kota Bogor, Jawa Barat.
Nama daerahnya adalah Kampung Budaya Sindangbarang terletak di kampung Sindangbarang, desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor - Jawa Barat. Jarak dari kota Bogor ke kampung budaya ini sekitar 5KM terdiri dari 14 RW dan 54 RT, dengan jumlah penduduk mencapai 12.000 jiwa.

Sebelum ke kampung budaya Sindangbarang ini sebenarnya saya dan teman-teman telah pergi ke suku Baduy yang ada di wilayah Jawa Barat juga, tapi karena adanya “halangan” jadi kami gagal untuk memposting ke dalam blog. Baiklah akhirnya kami menemukan kampung budaya Sindangbarang ini, kami memutuskan untuk pergi ke kampung budaya ini dengan menggunakan angkutan umum. Berhubung di Bogor adalah kota seribu angkot jadi saya tidak kesulitan untuk pergi ke kampung budaya, dan saya pun adalah orang Bogor jadi mempermudah langkah saya dan teman-teman yaa minimal kita tidak nyasar lah. Perjalanan ini adalah kali pertama saya pergi ke daerah Sindangbarang yang ditempuh sekitar kurang lebih 1 jam, di perjalanan saya dan teman-teman banyak bertanya kepada masyarakat tentang lokasi kampung budaya, ternyata banyak juga orang yang sadar akan kehadiran kampung budaya Sindangbarang di Bogor ini.

Setelah turun dari angkot, saya harus menyusuri jalan dengan menggunakan ojeg cukup jauh memakan waktu 5 menit dengan medan jalanan yang menanjak, setiba di Kampung Budaya saya disuguhkan dengan pemandangan yang asri, hijau, dan adem yang menyejukan hati dan jiwa. Baru sampai di depan pintu masuk sudah ada yang menyapa saya dan menawarkan bantuan untuk observasi ini. Saya dipertemukan dengan bapak Achmad Mikami Sumawijaya, beliau adalah kepala atau pemimpin di Kampung Budaya Sindangbarang ini bahkan bisa disebut beliau adalah kepala suku disini.
Sang kepala suku akhirnya menceritakan sedikit kebudayaan dan kesenian yang ada di Kampung Budaya ini antara lain Serem Taun Guru Bumi, perebut se’eng, Tutunggulan, dan Kabisa Kaulinan Barudak lembur. 

suasana di Kampung Budaya Sindangbarang

 Nah sekarang saya akan sedikit bercerita tentang sejarah Kampung Budaya Sindangbarang yang konon kabarnya berhubungan dengan suku Baduy. Jadi begini pada jaman kerajaan Pajajaran hancur keluarga kerajaan berpisah dan putera mahkota Pajajaran terpisah dari rombongan. Lalu pada akhirnya sang Putera Mahkota ingin mendirikan sebuah desa di daerah Sukabumi. Tapi beliau disuruh untuk terus berjalan sampai menemukan lokasi yang cocok untuk mendirikan sebuah desa, akhirnya beliau menemukan bukit tanah yang putih dan mendirikan sebuah desa kecil disana, menurunkan keturunan tapi mereka disumpah untuk tidak boleh mengatakan dan mengaku bahwa mereka adalah keturunan Pajajaran. Jadi sebenarnya bukit putih itu adalah Baduy, dan para sespuh di Baduy tidak mau mengaku karena telah disumpah.  Menurut naskah kuno “Pantun Bogor” itu bercerita tentang Sindangbarang ini adalah termasuk punden barudak (bukit) tempat beribadah orang-orang Sunda. Ada beberapa perbedaan pada bangunan dulu dan sekarang di Kampung Budaya Sindangbarang, kalau dulu letaknya bukan disini karena sudah penu maka direkonstruksi ulang dan ditempatkan di lokasi yang sekarang.

Tadi kan saya sempat menyebut beberapa kebudayaan di Kampung Budaya Sindangbarang, sekarang saya mau menceritakan salah satu diantaranya yaitu Perebut Se’eng. Jadi Perebut Se’eng ini dilakukan ketika acara lamaran (sebelum nikahan) besan pria dan wanita berkumpul bersama dengan membawa masing-masing jago silat mereka. Para jago silat itu yang nantinya harus berebut se’eng, berbalas pantun, dengan maksud mengutarakan niat untuk melamar. Namun bila se’eng tidak dapat direbut oleh pihak jago silat pria maka keluarga pria gagal untuk mempersunting si gadis yang ingin dilamar. Acara Perebut Se’eng ini masih dilakukan sampai sekarang di Kampung Budaya Sindangbarang bedanya adalah kalau dulu tidak ada skenario jadi kalo gak dapet Se’eng yaudah gagal berarti pulang dengan tangan kosong, tapi kalau sekarang sih sudah pakai skenario minimal 10 menit saat bertarung se’eng sudah harus bisa direbut oleh si jago silat. Kebudayaan ini termasuk dalam komunikasi secara non-verbal menurut saya seperti sang calon suami harus bertarung untuk merebut sang istri, dengan maksud menunjukan rasa keseriusannya untuk mempersunting dan menunjukan bahwa kelak ia dapat melindugi sang istri dari bahaya.

Ternyata ada juga loh susunan rumah panggung di Kampung Budaya ini, kata kepala suku sih kalau rumah kepala suku itu letaknya harus diatas bukit di tempat yang tinggi nah nama rumahnya itu Imah Gede, lalu kepala suku punya seorang sekretaris disebutnya Gilang Serat yang letak rumahnya ada disebelah Imah Gede. Kenapa harus di dekat Imah Gede?? Karena bila sang kepala suku tiba-tiba membutuhkan sesuatu agar gampang minta tolongnya ke Gilang Serat.
Lalu tidak jauh dari Imah Gede ada suatu saung yang disebut Saung Talu, seperti sebuah panggung besar yang diatasnya sudah ada alat musik angklung yang lengkap. Saung Talu itu fungsinya untuk tempat mempertunjukan kesenian, jadi ketika para warga berkumpul untuk menonton kesenian ya tempatnya di Sung Talu. Di depan rumah kepala suku ada alun-alun yang fungsinya sebagai tempat untuk melakukan upacara adat, nah upacara adatnya sendiri diadakan setiap setahun sekali. Tahun ini upacara adat jatuh pada saat tanggal 2 Desember 2012 lalu, tapi biasanya sebulan sekali itu ada selametan yang disebut “selametan malam 14” yang dimaksudkan untuk mengirim doa kepada para leluhur untuk diampuni dosanya.

Di masing-masing rumah terdapat “kelenting angin” yang fungsinya sebagai penangkal setan, terbuat dari daun pohon rotan yang dipercaya untuk mengusir mahkluk gaib. Kenapa rumah orang sunda rata-rata rumah panggung??! Jawabannya adalah karena pada jaman dulu dipercaya orang Sunda dekat dengan alam, jadi mereka menggunakan bahan baku yang ada di alam misalnya bambu, rotan, pohon aren. Dalam sebuah rumah dipercaya ada 3 lapisan, yaitu lapisan atas, tengah, dan bawah. Lapisan atas dipercaya dihuni oleh para leluhur, sedangkan lapisan tengah untuk dihuni oleh manusia, dan lapisan bawah itu dihuni oleh para setan, jin, dan makhluk halus.

Di depan Imah Gede juga ada lukisan yang diletakan di depan pintu gitu, namanya “waroge” Waroge simbol api disebut Haranghasuan, fungsinya untuk menggelapkan mata gaib jahat agar tidak mengganggu kampung. Waroge simbol tanah Ratuning tutulak yaitu penolak segala gangguan dari kedengkian, kebencian,kejahilam baik dari manusia maupun gaib jahat. Waroge simbol batu Watu Panggilang yaitu penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu. Waroge simbol air Wangapah yaitu penolak gangguan gaib jahat yang ada di air. Waroge simbol angin Wawayangan untuk menjaga keselamatan dan kesentosaan manusia agar terhindar dari mala petaka.
 
Dari susunan-susunan dan letak rumah panggung itu merupakan komunikasi non-verbal karena ingin menunjukan strata kepemimpinan di Kampung Budaya, pemimpin harus ada diatas secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan tersebut dan seperti kelenting angin dan waroge sebagai sebuah simbol untuk menangkal mahluk halus. Worldview sebagai orang sunda maka membangun rumah dari bahan-bahan yang berasal dari alam dan melaksanakan selametan untuk mendapat berkah dari leluhur.

Penasarasn gak sih sama apa yang ada di atas kepala sang kepala suku?? Itu namanya apa saya juga lupa, tapi itu semacam seperti topi untuk menutupi kepala yang terbuat dari batik asli Kampung Budaya Sindangbarang. Semua penduduk juga memakai itu jika ada upacara adat, kalau gak ada ya gak usah pakai. Beda dengan kepala suku yang memakai terus. Ternyata itu merupakan simbol loh ada komunikasi non-verbal yang terkandung dari penutup kepala itu sendiri, karena penutup kepala yang digunakan kepala suku dengan penduduk itu berbeda model dan cara pemakaiannya, jadi itu seperti mengkomunikasikan secara tidak langsung ini loh kepala suku, kalau yang itu penduduk jadi semacam identitas.
Setelah mengobrol panjang lebar dengan kepala suku, akhirnya kepala suku mengajak saya dan temna-teman untuk berkeliling Kampung Budaya dan beberapa rumah penduduk. Dari apa yang sudah diberitahukan oleh kepala suku mayoritas penduduk disana adalah pengerajin sepatu, sendal dan bekerja di ladang dan sawah. Kami mendapat kesempatan untuk melihat bagaimana proses pembuatan sepatu dan sendal, pengusaha sepatu dan sendal ini memproduksi sepatu dan sendal mereka dirumah jadi itu merupakan “home made” bukan buatan pabrik. Jadi misalnya ada seorang atau sebuah makelar besar yang memberikan proyek, nah yang menjalankan proyek tersebut adalah penduduk sekitar. Mereka memproduksi sepatu dengan cara yang masih sederhana dan manual.
Dalam sehari tiap rumah dapat menghasilkan berbagai sepatu dan sandal tergantung permintaan, misalnya dalam sehari mereka mampu menghasilkan 3-5 kodi sepatu dan sendal. Masing-masing orang memiliki tugas yang berbeda-beda, ada yang bertugas ngelem, menjahit, menghitung ukuran sepatu, dan finishing. Kami mendatangi lebih dari 3 rumah yang semuanya memproduksi sepatu dan sendal. Mereka mengaku pendapatan yang diperoleh tergantung dari seberapa banyak mereka menghasilkan sepatu dan sandal pada hari itu. Sepatu dan sandal yang sudah dibuat lalu akan dikirim sebagian besar ke Pasar Anyar, yaitu pasar pusat grosir yang ada di kota Bogor. Tapi ada juga loh yang dikirim ke kota-kota besar/ luar kota seperti Jambi, Medan, Makassar, dan Bali.
proses pembuatan sepatu&sendal

Sembari menelusuri jalanan untuk sampai ke ladang dan sawah, kepala suku mengatakan bahwa di Kampung Budaya ini juga memiliki kata-kata yang hanya dimengerti oleh komunitas mereka hmm mungkin bisa dibilang seperti argot. Rata-rata setiap harinya mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda, agama mereka juga mayoritas beragama Islam. Pada saat kepala suku sedang berinteraksi dengan warga sekitar menggunakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Sunda tutur kata dan intonasi bahasa Sunda sangat nyaman didengar karena lembut dan dengan suara yang rendah, sangat bertolak belakan dengan tutur kata orang Meda misalnya. Mereka pun sangat santun dalam bertutur kata maupun dalam berprilaku, sebagai contohnya ketika akan menunjuk sesuatu dengan menggunakan ibu jari sambil tersenyum. Dalam KAB itu merupakan komunikasi non-verbal yang termasuk dalam konteks parabahasa, yaitu tutur kata dan bahasa orang Sunda yang kalem dan tenang. Serta perilaku mereka bisa dikaitkan dengan worldview konsep sifat manusia, kabanyakan orang sunda sangat sopan dan menghargai juga menghormati orang yang lebih tua. Sebisa mungkin mereka tersenyum, dan bila ingin marah sepertinya mengarah ke budaya Jawa yaitu cenderung memendam dan tidak etis untuk marah atau membentak secara blak-blakan.
Biasanya banyak anak kecil yang belajar membatik dan bermain angklung di saung Talu, tapi karena hari ini sedang tidak ada tamu dan kegiatan mereka sudah selesai semua maka tidak ada yang bermain angklung dan membatik hari itu. Hasil dari membatik biasanya akan dijual sebagai souvenir para tamu atau pendatang yang datang berkunjung, kain batik di Kampung Budaya Sindabarang memiliki ciri khas unik yaitu warnanya yang tidak mencolok atau bahkan terlihat dekil, karena membatik tidak menggunakan bahan pewarna kimia melainkan dengan pewarna alami yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan.
Kain batik itu dijual seharga 100 ribu sampai 150 ribu rupiah. Angklung dimainkan jika ada tamu yang sedang berkunjung, sebagai kesenian.
Ohya selain sebagian besar pekerjaan penduduk sekitar pengerajin sepatu dan sendal, pekerjaan lainnya adalah petani yang bekerja di sawah dan ladang. Saya mendapat kesempatan melihat proses pak tani menanam padi di sawah, memang ini bukan kali pertama melihat hal semacam itu tapi tetap saja kegiatan itu keren dimata saya hehe. Selain sawah mereka menanam jagung, kol, ubi ungu, dan pepaya. Pak tani sekilas juga mengajarkan kami bagaimana cara menanam padi yang benar, ada 2 macam padi yang ditanam di sawah itu.
Setelah lelah berkeliling kampung, saya dan teman-teman pun kembali ke Imah Gede sebagai sedikit informasi saja Imah Gede ini 95% terbuat dari papan kayu, semua serba kayu dan serba berwarna coklat klasik jadi terlihat apik, enak dipandang ayem di hati membuat siapapun yang datang kesana ingin berlama-lama disana apalagi ditunjang dengan cuaca khas Bogor yang adem.
Di Imah Gede kami disuguhi minuman oleh pak kepala suku, istirahat sejenak sambil menikmati indahnya panorama Kampung Budaya Sindangbarang.
NAH!! Ada sebuah batu nih tapi bukan batu biasa, batu ini namanya Ungkal Biang yang berarti Batu Induk, dalam hal ini sebagai induk berdirinya suatu lembur (perkampungan khas sunda). Beranjak dari makna tersebut, Ungkal Biang disebut juga Watu Indung atau Paku Lembur. Tradisi semacam ini sampai kini pun masih tetap diberlakukan, meskipun cara dan bemtuknya sudah mengalami perubahan, yakni yang disebut “peletakan batu pertama”. Sedangkan upacara menanamkan batu Ungkal Biang disebutnya “Makukeun”, dilaksanakan sesuai perhitungan bulan “purnimanta” yaitu menghitung bulan diawali dari purnama penuh berakhir menjelang puranama lagi. Batu Ungkal Biang ini ditanaman dan diletakan di sebuah taman di samping Imah Gede, berukuran tidak terlalu besar, lonjong, dan berwarna hitam.
 
Saat sedang melihat-lihat suasana, saya terpana pada bangunan yang menarik hati, saya kira tadinya itu adalah bangunan atau semacam tempat peristirahatan. Ternyata itu adalah lumbung padi atau tempat penyimpanan padi yang disusun secara berjajar di pingggir lapangan hijau, terlihat lumbung padi itu terbuat dari rotan dan bambu.
Saya juga menghambiskan waktu bersama anak-anak disekitar kampung itu, kami bercerita singkat saling bertegur sapa dan bermain bersama. Tadinya anak-anak itu sedang bermain bola, tapi saya dan teman-teman mengajak mereka bermain enggrang dan bakiak, tapi sayang sekali ternyata mereka tidak bisa memainkan enggrang, sang enggrang pun dapat ditaklukan oleh pegawai yang ada di Kampung Budaya. Saya dan anak-anak kecil itu hanya bermain bakiak bersama wahhh seruuuu sekali apalagi ini kali pertama saya memainkan bakiak hehe norak memang, bakiak dan enggrang adalah mainan asli dari Indonesia, mainan yang sederhana dan terbuat dari batang kayu dan bambu.



Thankyou! :D

1 comment:

  1. Mbaa kartika, saya boleh minta kontak yang bisa dihubungi tidak? saya mau minta preview tentang kampung sunda ini lebih detail. mohon bantuannya ( fadlirakshadewa@gmail.com )

    ReplyDelete