Pages

Sunday, January 20, 2013

Hidup Bersama Alam, Itulah Kampung Naga

Nama : Amanda Bertha Sabrina
NIM  : 11140110166
Kelas : B-1



Sebagai Negara Bhineka Tunggal Ikha, Indonesia tidak terbatas kepada satu suku dan budaya saja. Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau yang didalamnya diwarnai dengan keberagaman kebudayaan, mulai dari suku-suku besar yang sudah sering terdengar ditelinga kita seperti Suku Batak, Sunda, Padang, Manado, Jawa, Papua, Kalimantan, dan masih banyak lagi. Ternyata Indonesia tidak terbatas kepada suku-suku besar itu saja, masih ada suku-suku lainnya yang tidak kalah menarik. Misalnya ada suku Badui dan Dayak yang porsi penduduknya tidak sebanyak suku-suku  seperti Batak dan lain-lainnya namun kebudayaannya begitu menarik untuk dipelajari. Sebagai masyarakat Indonesia alangkah baiknya jika kita mengetahui setiap suku yang ada didalamnya.

Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi kepada kalian semua tentang salah satu suku yang ada di tanah bagian barat Jawa tepatnya di wilayah Tasikmalaya. Suku ini sangat berada jauh dari kemewahan dan hingar bingar kota. Kesederhanaan menjadi landasan kehidupan mereka. Kehidupan didalamnya begitu asri dan menyatu dengan alam. Hal itu benar saya rasakan saat saya mendapat kesempatan untuk bermalam di kampong tersebut bersama 16 teman saya yang lainnya. Dipandu oleh Mang Nok (warga setempat yang sudah biasa menjadi tour guide jika ada wisatawan) dan bermalam di rumah Mak Acih, saya terjun langsung ke lapangan mengamati kehidupan mereka.
papan selamat datang 

Adalah Kampung Naga. Ups, mendengar namanya jangan langsung anda berfikiran bahwa kampung ini ada hubungannya dengan hewan-hewan dongeng bernama naga. Tidak ada hubungan sama sekali antara nama Kampung Naga dan hewan naga. Ada alasan tersendiri mengapa kampung yang terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat ini diberi nama Naga. Penasaran? Yuk disimak penjelasannya dengan baik-baik. Kata naga sebenarnya diambil dari kata dalam bahasa Sunda, yaitu nagawir yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti  lembah karena memang wilayah Kampung Naga sendiri berada di lembah. Kata nagawir dinilai oleh penduduk setempat waktu itu kurang populer dan dulit untuk diucapkan, akhirnya mereka semua berembuk memtuskan mengambil kata “naga”nya saja agar nama ini kedepannya tidak sulit untuk diingat dan disebutkan.

Mengingat kampung ini terletak di kawasan lembah, untuk sampai ke wilayah permukiman warganya kita perlu menuruni anak tangga yang jumlahnya cukup fantastis untuk dilewati, yaitu sebanyak kurang lebih 400 anak tangga. Selama menuruni ratusan anak tangga tersebut indera penglihatan kita akan dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah. Kita bisa melihat bentangan sungai Ci Wulan, areal persawahan yang hijau yang jarang bisa kita temui di kota besar, rumah-rumah khas Kampung Naga yang tampak bertumpuk-tumpuk dilihat dari atas, dan juga areal perhutanan. Salah satu dari hutan tersebut ada yang dinamakan hutan terlarang oleh seluruh warga Kampung Naga. Hutan yang terletak disebelah timur tersebut tidak boleh dimasuki oleh orang sembarangan karena berisikan makam-makam para sesepuh mereka sehingga hutan tersebut dianggap sakral.
400 anak tangga menuju kampung naga
wilayah kampung naga dilihat dari atas
sungai ci wulan



Kampung yang memiliki luas wilayah kurang lebih 1.5 hektar ini dipadati dengan bangunan-bangunan rumah penduduk sebanyak 113 rumah dengan 108 kepala keluarga dan total seluruh warganya dari usia 0 sampai yang tertua adalah 304 jiwa. Selain itu terdapat juga satu balai desa dan satu rumah ibadah sesuai agama yang mereka anut. Yang unik dari bangunan-bangunan di Kampung Naga adalah semuanya memiliki model yang sama dan dibuat dari bahan-bahan yang sama pula tidak peduli itu balai desa sekalipun, semuanya dipukul rata. Beratap ijuk dan berdinding anyaman bamboo serta beralaskan kayu tanpa furniture seperti kursi, meja, dan tempat tidur di dalamnya. Alasannya adalah karena seluruh masyarakat di sana ingin hidup menyatu dengan alam. Rumah dijadikan sama agar tidak tercipta kesenjangan sosial diantara warganya. Warna seluruh bangunan di Kampung Naga pun sama. Alasannya bukan hanya sekedar mencegah kesenjangan sosial tetapi ada makna tersendiri didalamnya yang ternyata diharapkan sebagai cerminan pribadi pemiliknya. Atap bangunan berbahan ijuk berwarna hitam, artinya seperti rambut-rambut mereka yang hitam. Dinding berwarna putih karena dikapur bukan dicat, artinya hati pemiliknya haruslah putih dan bersih, diharapkan tidak ada sisi jahat dihati mereka. Kaki rumah berwarna coklat ini mengartikan tanah, yaitu menyatu dengan alam.

rumah-rumah di kampung naga

Oh iya….semua rumah di Kampung Naga tidak dilengkapi oleh kamar mandi. Barangsiapa yang ingin mandi, buang air kecil atau besar, mencuci baju, dan mencuci piring sekalipun dilakukan di satu tempat yang sama bernama “jamban” yaitu kamar mandi tradisional yang menggantung diatas kolam dengan alas bamboo yang diberi lubang dan dilengkapi air yang mengucur dari pipa bamboo. Yang tidak terbiasa mungkin akan sulit dengan hal yang satu ini.

tempat mencuci piring
jamban untuk mandi dan buang air

Bentuk tanah di Kampung Naga yang bertangga-tangga membuat saya bertanya kepada Mang Nok, apakah kampung ini pernah terkena longsor atau tidak. Dengan bangga Mang Nok menjawab bahwa kampung ini sama sekali tidak pernah terkena longsor karena mereka tidak pernah melukai alamnya.

Kampung Naga tidak dilengkapi dengan listrik. Ini menjadi kebijakan bersama. Alasannya masih sama dengan alasan mereka membangun rumah dengan model yang sama, yaitu agar tidak tercipta kesenjangan sosial. Menurut Pak Punduh (Kepala Desa Kampung Naga) keberadaan listrik bisa menjadi pemicu munculnya kesenjangan tersebut. Misalnya listrik masuk, sebagian warga bisa membeli televisi dan menontonnya sementara sebagian lagi tidak mampu membeli. Hal tersebut dinilai memicu adanya kesenjangan sosial. Alasan berikutnya adalah karena material bangunan di sana mudah terbakar, takut kalau misalnya terjadi korslet listrik dan pemukiman bisa terbakar. Yang terakhir adalah untuk menjaga akhlak anak-anak karena ditakutkan jika listrik masuk dan bisa menonton televisi, anak-anak terpengaruh dengan acara-acara televisi yang kini dianggap tidak bernilai moral baik.

Hampir seluruh penduduk Kampung Naga saling mengenal satu sama lain dan begitu menjaga keramah tamahan. posisi rumah mereka yang saling berdekatan satu sama lain, bahkan hampir menempel, mungkin menjadi salah satu faktornya.

A. PEMERINTAHAN…
Kampung Naga dipimpin oleh seorang kepala desa dan rumah-rumah disana dibagi dalam wilayah-wilayah kecil yang disebut Rukun Tangga. Pemerintahan Kampung Naga berjalan secara demokrasi yang artinya dari dan untuk rakyat. Kepala pemerintahan seperti kepala desa dan RT dipilih langsung oleh warganya sendiri. Ada pemimpin selain kepala desa dan RT, yaitu kuncen. Kuncen tidak dipilih secara demokrasi karena mereka yang menjadi kuncen harusnya mereka yang mempunyai keturunan kuncen. Terdapat 3 kuncen di Kampung Naga, ada kuncen untuk memimpin acara ziarah ke makam, kuncen yang khusus untuk mengayomi warga, dan yang terakhir kuncen yang bertugas untuk mengurus jenazah.

B. ELEMEN-ELEMEN PEMBENTUKAN BUDAYA

B.1 SEJARAH…
Tidak ada cerita jelas mengenai asal-usul terbentuknya kampung ini. Namun seluruh warganya biasanya menyebut sejarah pembentukan kampung mereka dengan sebutan “Pareum Obor” yang artinya matinya penerangan. Mengapa demikian? Konon katanya pada waktu itu pada waktu itu, DI/TII menginginkan terciptanya sebuah negara Islam di Indonesia. Kampung Naga saat itu mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan DI/TII. Karena hal tersebut, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan wilayah Kampung Naga dan dikejadian itulah arsip-arsip sejarah terbentuknya kampung tersebut terbakar.

B.2 BAHASA…
Bahasa melupakan salah satu elemen pembentukan budaya dan pembentukan identitas suatu budaya. Tanpa bahasa budaya tidak akan tercipta karena tidak akan ada komunikasi. Kampung Naga menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa yang mereka pakai untuk berkomunikasi antar warga. Namun karena sudah banyaknya wisatawan baik asing maupun domestic tidak sedikit warga Kampung Naga yang sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Mang No’k bercerita, memang kedatangan wisatawan ke Kampung Naga membuat dia lama kelamaan mengerti bahasa Indonesia. Melalui bahasa itulah Mang No’k akhirnya mampu untuk menyampaikan kebudayaan Kampung Naga kepada saya dan teman-teman yang berasal dari budaya berbeda. Disinilah terjalin apa yang dimaksud dengan komunikasi antar budaya, yaitu komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda.

B.3 AGAMA…
Agama adalah elemen pembentukan budaya selain bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Parkes, Laungani, dan Young, “Semua budaya memiliki agama yang dominan dan terorganisasi di mana aktivitas dan kepercayaan mencolok (upacara, ritual, hal tabu, dan perayaan) dapat berarti dan berkuasa”. Hanya ada satu agama yang dianut di Kampung Naga. Adalah agama Islam. Agama Islam sudah menjadi turun temurun di sana mulai dari jaman nenek moyang mereka. Bentuk rasa menghormati dan menghargai masyarakat setempat kepada agama Islam salah satunya adalah dengan menhgormati kiblat yang menjadi arah ibadah bagi umat Islam. Mereka mempunyai peraturan tidak boleh beristirahat (tidur) dan menyelonjorkan kaki kearah kiblat karena dianggap tidak sopan. Barangsiapa yang melanggar dipercaya dapat terkena akibatnya sendiri.

satu-satunya masjid di kampung naga

C. AMANAT, WASIAT, AKIBAT…
Seluruh warga Kampung Naga menjalankan kehidupannya dengan berpegang kepada tiga prinsip yaitu amanat, wasiat, dan akibat. Mereka melakukan semua kegiatan selalu mengingat ketiganya. Warganya selalu mengingat amanat atau pesan dari yang mempunyai peran penting serta mengingat wasiat dari nenek moyang mereka. Setiap hal yang tidak boleh dilakukan mereka jaga untuk tidak dilakukan untuk mencegah datangnya akibat buruk bagi kelangsungan hidup mereka. Dengan berpegang kepada ketiga hal ini mereka percaya kehidupan mereka akan baik-baik saja.

D. LAIN-LAIN
Masih banyak hal-hal lain yang bisa diceritakan dari kampung yang masih sangat menyatu dengan alam ini. Beberapa aspek didalamnya seperti ekonomi dan kesehatan masih sangat bergantung kepada alam. Ekonomi mereka rata-rata diperoleh dari hasil bertani, beternak, dan bercocok tanam. Semua memang masih hidup bersama alam maka dari itu mereka sangat mencintai dan menjaga alamnya karena alamlah yang menghidupi mereka. Perekonomian terbesar warga Kampung Naga adalah panen padi yang dilakukan setiap 2 kali dalam setahun yang biasa disebut “janli” yaitu Januari dan Juli. Sebagian dari hasil panen mereka jual dan sebagian lagi mereka pakai sendiri.

sedang  bertani

Untuk masalah kesehatan, mereka juga masih bergantung dengan pengobatan-pengobatan tradisional yang diperolah dari tumbuh-tumbuhan atau hewan. Contohnya adalah buah tekoka dan belut sawah yang masih berukuran kecil sekitar 7-8 cm. Tekoka dipercaya dapat menjaga stamina tubuh kaum lelaki. Sedangkan belut sawah yang penggunaannya langsung dimakan hidup-hidup dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Jarang dari warga Kampung Naga yang bisa berobat ke dokter karena keterbatasan biaya.
Proses melahirkan para ibu di Kampung Naga dipercayai untuk dibantu oleh dukun beranak. Pendidikan yang dijalankan anak-anak berjalan sama seperti paada umumnya di sekolah-sekolah biasa yang ada di luar kampung, namun biasanya tidak dapat berjalan lancer kembali karena keterbatasan materi. Untuk peraturan pernikahan dilakukan secara Islam maka mereka juga menghalalkan adanya poligami.

belut yang akan dimakan hidup-hidup

Ada satu lagi yang menjadi ciri khas di kampung ini, namanya tolak bala. Tolak bala adalah alat yang juga dibuat dari beberapa jenis tumbuhan yang telah ditentukan lalu diikat dan digantungkan didepan setiap rumah. Tolak bala dipercaya dapat mengusir hal-hal buruk dan gaib sekalipun yang bisa menganggu keselamatan warga. Tradisi ini sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka. Budaya memang tercipta karena turun temurun dan sudah lama dilakukan.

tolak bala


Dalam satu minggu, ada tiga hari dimana warga kampung tidak boleh berbicara tentang sejarah kepada siapapun. Adalah hari selasa, rabu, dan sabtu.
Ada kegiatan lain yang benar-benar harus dijauhi oleh seluruh warga, yaitu:
- Ngadu           : Mengadu makhluk halus
- Nyawadon     : Bermain wanita
- Nyamadat     : Bermain judi

Kehidupan warga Kampung Naga dijalankan secara kolektivisme terlihat dari 4 cara hidup mereka kepada sesamanya, yaitu:
-          Sili asah           : saling menyayangi
-          Sili asih            : saling memberi
-          Sili asuh           : saling menghargai
-          Sili payungan   : saling merangkul

E. PENGALAMAN LANGSUNG
Saya bersama rombongan teman-teman berkesempatan langsung untuk menginap tinggal di rumah penduduk selama 2 hari 1 malam. Begitu banyak pengalaman berharga yang didapat. Mak Acih sebagai tuan rumah menyambut baik kehadiran saya dan teman-teman. Sosok Mak Acih memang sangat mencerminkan keramahan warga Kampung Naga.

mak Acih


Jalan sempit dan suasana lembab mengantar saya dan teman-teman menuju rumah Mak Acih. Rumah panggung nan sederhana yang semuanya mirip. Disitulah kami akan bermalam. Rumah kecil tanpa bangku dan meja didalamnya hanya beralaskan lantai kayu berselimut tikar. Ketika kami berada didalamnya, tawa segera memenuhi rumah tersebut. Bersama 4 teman lain dan Mak Acih, kami saling bercerita. Mak Acih menunjukan kepada kami dapur tempatnya memasak. Untuk memasak pun ternyata mereka begitu sederhana dan benar-benar memanfaatkan sumber daya alam disekitar mereka, misalnya saja bahan bakar mereka memasak adalah kayu bakar.

suasana jalan sempit
suasana depan rumah
dapur

Hari pertama di Kampung Naga yang tenang ini saya isi dengan jalan-jalan berkeliling menikmati suasananya. Menyusuri jalan-jalan sempit untuk bisa menembus ke teras desa. Disana terdapat Masjid dan balai desa serta beberapa penduduk yang berjualan kerajinan khas Kampung Naga. Pada kesempatan itu saya beruntung ada seseorang yang sedang bermain alat musik khas Kampung Naga bernama kerinding. Diakuinya, tidak semua orang bisa memainkan alat musik ini walaupun terlihat sederhana saja.

kerajinan yang dijajakan
bedug di depan masjid
pemain kerinding

Malam hari tiba, suara jangkrik menemani gelapnya perkampungan karena ketidakadaannya listrik. Setiap rumah hanya dibantu penerangannya dengan lampu minyak tanah. Mak Acih bercerita bahwa kampungnya tidak seperti di kota yang selalu ramai setiap saat. Ya memang benar saja, saya menengok kearah jam tangan dan jam menunjukan pukul 19:00 WIB tapi rasanya sudah seperti tengah malam. Mak Acih juga cerita kepada kami bahwa kalau sudah jam Sembilan malam tidak lagi ada yang boleh di luar rumah, karena menurut warga kampung jam segitu banyak ular-ular besar berkeliaran dan dapat membahayakan.

bantuan penerangan malam hari


Suara ayam membangunkanku pagi hari berikutnya. Terlihat sudah banyak ibu-ibu yang melewati rumah Mak Acih untuk menjalani kegiatan mereka masing-masing. Ada yang akan berangkat ke sawah, berangkat memberi makan kambing, atau ada yang hanya sekedar mencuci. Perjalanan hari ini akan dimulai dengan turun ke sawah kemudian dilanjutkan dengan memberi makan kambing sampai pada akhirnya tidak terasa bahwa kami harus segera kembali pulang ke Jakarta.

hiijaunya sawah


Banyak pelajaran yang dimabil dari kehidupan di Kampung Naga. Kesederhanaan dan penghargaan mereka terhadap alam rasanya sangat patut kita contoh agar kehidupan kita bisa menjadi lebih baik lagi, agar alam tidak mudah marah dan mendatangkan bencana. Terimakasih banyak Kampung Naga J


No comments:

Post a Comment