Pages

Sunday, January 20, 2013

Kelestarian Alam Kampung Naga

Nama : Erlin Runtik P
NIM  : 11140110179
Kelas : B1






Salah satu karakter yang terpenting dari budaya itu adalah bahwa budaya yang telah kita miliki memang seharusnya dipelajari dengan sebaik-baiknya. Tak salah banyak orang mengatakan bahwa Indonesia terdiri dari beberapa macam suku dan budaya yang beraneka ragam disetiap pulaunya. Dari beberapa suku yang memiliki budaya tersebut, ada beberapa suku-suku yang diantaranya masih sangat erat memegang aturan-aturan peninggalan adat istiadat yang berlaku dari peninggalan para leluhurnya. Seperti permukiman lainnya yaitu Badui, Kampung Naga saat ini telah menjadi objek kajian penelitian mengenai lingkungan kehidupan warga  masyarakat yang tinggal disekitar pedesaan Sunda. Pada zaman masa peralihan yang awalnya memiliki unsur pengaruh Hindu dan beralih menuju pengaruh Islam di daerah Jawa Barat. Saat ini mereka juga masih menjalankan tradisi adat-adat para leluhurnya dan akan terus menjaganya  sampai kapanpun agar tradisi yang diturunkan tersebut tetap terjaga dengan baik.

Seperti yang dinyatakan oleh Sowell melalui buku komunikasi lintas budaya milik Samovar dan rekannya, ia mengatakan bahwa budaya ada untuk melayani kebutuhan vital dan praktis manusia untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies, menurunkan pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat biaya dan bahaya dari proses pembelajaransemuanya mulai dari kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.

Kampung Naga inilah yang menjadi salah satu contoh suku budaya yang sampai saat saya mengunjungi tempat tersebut masih patuh dan memegang erat adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan para leluhurnya. Dan akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk mengunjungi Kampung Naga yang berada tepat di wilayah Tasikmalaya. Kami berangkat bersama-sama pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 2012 lalu.  Berawal dari berkumpul bersama di komplek kost yang berada di ruko newton, kami berangkat dengan menaiki mobil yang telah disewa sebelumnya pada pukul 3 pagi. Kami berangkat layaknya seperti rombongan karena ada dua mobil yang berangkat hari itu menuju Kampung Naga. Selama perjalanan kami senang dan terlihat sangat bersemangat mengunjungi tempat tersebut dan sampai pada akhirnya kami tiba di tempat tujuan tepat pukul 11 siang. Waktu yang kami tempuh memng lumayan cukup lama yaitu sekitar 7 jam karena diselang perjalanan kami juga sempat berhenti-berhenti untuk beristirahat sejenak sambil bersenda gurau bersama. Setibanya disana kami disuguhkan oleh pemandangan dan hawa yang belum pernah kami lihat dan rasakan sebelumnya di Tangerang. Dengan disambut oleh tugu yang menjadi tanda khas dari kampung tersebut, kami juga disambut oleh orang yang telah disediakan sebagai pemandu perjalanan kami selama disana.


Setelah bersapa salam dengan pemandu perjalanan kami yaitu Mang Nok, ternyata kami dibuat terkejut oleh pemandangan tangga yang akan menghubungkan kami untuk turun langsung ke lingkungan rumah penduduk. Kami harus mempersiapkan fisik dan tenaga untuk bisa turun dan sampai ke rumah yang akan kami singgahi. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, kami harus lewat dan menuruni sebanyak 400 anak tangga kurang lebih untuk benar-benar bisa sampai ke daerah pemukiman penduduk. Memang letak Kampung Naga sebenarnya berada dibawah tebing yang jika dipikir bisa longsor kapan saja. Setelah berjuang dengan sepenuh tenaga untuk menuruni 400 lebih anak tangga tersebut, akhirnya kami sampai juga ditempat yang dituju yaitu pemukiman penduduk yang akan kami singgahi untuk beristirahat pada malam hari. Selama perjalanan menuruni dan menyusuri anka tangga yang banyak itu, kami berpapasan dengan orang-orang yang sedang mengunjungi daerah itu juga. Pemandangan yang dapat dilihat dari atas anak tangga sangatlah indah dan menarik. Banyak pemandangan hijau yang bisa kita lihat disitu, seperti sawah ataupun pepohonan yang terbentang. Selain pemandangan, udara yang masih segar alami juga kami dapatkan disana. Polusi yang sering kami temui di kota pun rasanya sama sekali jarang bahkan tidak ada di daerah pemukiman ini. Lama dan lelahnya perjalanan yang kami tempuh selama 7 jam tadi sepertinya sudah terlupakan dengan pemandangan dan udara yang telah disuguhkan Kampung Naga.

Indonesia memang terdiri dari beberapa pulau, begitupun dengan mata pencahariannya. Rata-rata penduduk Indonesia memang bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang maupun petani. Nah, di Kampung Naga ini sebagian besar memiliki pencaharian sebagai petani karena memiliki hamparan lahan dan sawah yang cukup luas sekali. Masyarakat Kampung Nagasetiap harinya memang bekerja di sawah maupun lahan ladang yang mereka miliki. Dari awal, menanam padi memang sudah menjadi pekerjaan mayoritas di daerah yang mereka tinggali sekarang. Biasanya panen memang terjadi 2 kali dalam setahun. Kemudian hasil dari panen tersebut digunakan untuk kebutuhan pangan mereka sehari-hari selama kurang lebih 6 bulan lamanya. Jika hasil panen mereka tersebut memiliki lebih atau sisa, maka hasil lebihannya tersebut akan dijual dan hasil dari penjualannya digunakan untuk membeli pupuk yang akan digunakan untuk kegiatan menanam mereka juga.  Pada proses pengolahannya pun, masyarakat disana masih menggunakan cara dan alat-alat yang masih sangat sederhana dan tradisional. Seperti arit dan cangkul untuk proses penanaman dan pemilaharaan, dan lumbung pada saat proses pengolahan padinya.

Berdiri pada tanah yang subur,  kampung ini dibangun diatas tanah seluas 1,5 hektar yang masih kental dengan adat budayanya yaitu budaya Sunda. Keasrian dari kampung yang terdapat di daerah Tasikmalaya ini masih tetap terjaga sampai saat ini. Kampung Naga tepat berada di Desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya – Jawa Barat. Daerah yang memiliki nama asli Kampung Nagawir ini dijuluki sebagai Kampug Naga karena agar mudah disebut dan memiliki arti yaitu desa yang tepat berada diantara tebing-tebing yang mengelilingi.

Kampung yang terdiri dari 113 bangunan tempat tinggal ini secara keseluruhan dihuni oleh 108 kepala keluarga yang sudah termasuk keseluruhan warga, yaitu baik anak kecil maupun yang telah lanjut usia dengan jumlah 314 jiwa. Desa ini memiliki kepemimpinan yang dibagi menjadi dua bagian yaitu kepemimpinan yang formal dan non formal. Yang formal terbagi seperti kepala desa, Pak RH, Pak  RT, dan Pak RW. Masa jabatan dari masing-masing kepemimpinan tersebut dapat bertahan hingga 6 tahun lamanya. Mereka memiliki mandat atau tugas yaitu perintah atau informasi penting sejelas-jelasnya dari jabatan tertinggi sampai dapat diterima oleh masyarakat Kampung Naga tanpa adanya kesalahpahaman antara satu sama lain. Sementara pemimpin yang non formal terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kuncen yang memiliki tugas sebagai pemimpin yang memimpin ziarah makam, yang kedua ada yang disebut pundu yang bertugas sebagai pemimpin yang mengayomi warganya dan yang ketiga adalah lebe yang memiliki tugas utnuk mengurusi jenazah jika ada yang meninggal, dari awal proses sampai dengan proses pengguburan jenazah dan juga memimpin jalannya upacara-upacara adat yang akan dilakukan. Masa jabatan yang berlaku pada pemimpin non formal berbeda dengan pemimpin formal. Jika pada pemimpin formal ada kurun waktu tertentu, pada pemimpin non formal ini tidak ada batasan waktu masa jabatan. Jika pemimpin yang bersangkutan masih mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, maka masa jabatannya tersebut dapat berlaku hingga seumur hidupnya tergantung dari kesanggupan mereka masing-masing. Tetapi pemilihan calon pemimpin non formal juga berbeda dengan pemimpin formal. Calon pemimpin non formal dipilih dan ditunjuk berdasarkan garis keturunan, yang berarti alon pemimpin non formal yang baru harus memiliki hubungan darah atau keturunan dengan pemimpin non formal sebelumnya.

Selain mata pencaharian yang disebutkan diatas tadi, masyarakat Kampung Naga memiliki usaha lain yaitu menjadi pembuat kerajinan tangan yang asli dibuat oleh mereka sendiri. Bahan-bahan yang digunakan sangat brmacam-macam mulai dari kayu, bambu, rotan maupun kain batik. Dari bahan-bahan itulah, mereka menyulap bahan tersebut menjadi berbagai macam barang seperti asbak, tas, topi, maupun pajangan-pajangan yang dapata melelngkapi hiasan dirumah. Oh ya, dari bahan itu juga mereka mampu mebuat sebuah alat musik seperti gerinding dan angklung yang proses pembuatannya memakan waktu yang sangat lama. Kemudian, disamping  membuat kerajinan tangan tersebut, mereka juga mengolah aren untuk dijadikan gula merah. Selain dapat dicampurkan kedalam makanan ataupun minuman, gula merah yang mereka olah dapat langsung dimakan untuk menjaga daya tahan tubuh pada saat tubuh dalam keadaan letih dan lesu. Kemudian mereka juga memiliki hewan yang dipelihara untuk diternak yaitu seperti kambing, ayam dan ikan. Di sekitar rumah penduduk banyak sekali terdapat kolam ikan yang berisi ikan mas yang sangat besar-besar dan pengunjung juga bisa memberi makanan ikan dengan hanya mengeluarkan seribu rupiah  jika ingin memberinya karena telah disediakan toples kecil yang berisi makanan ikan tersebut.


Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk Kampung Naga memang agama Islam.  Pada dasarnya di Kampung Naga juga tidak melarang agama apapun untuk datang berkunjung dan ingin mengetahui sejarah dari Kampung Naga itu sendiri. Tetapi memang khusus untuk warga Kampung Naga diwajibkan menganut agama Islam dan mematuhi serta mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam. Contohnya pada masalah pernikahan yang pasti terjadi. Warga Kampung Naga membebaskan warganya untuk menikah dengan kampung manapun asalkan calon suami atau istri dari mempelai tersebut haruslah beragama yang sama yaitu Islam. Kemudian selain masalah pernikahan ada pula masalah pemakaman yang juga dilakukan sesuai dengan hukum Islam. Yang pada dasarnya masyarakat Kampung Naga memang benar-benar sangat taat dan patuh dengan aturan-aturan yang diajarkan. Seperti apa yang dikatakan oleh Daniel dan Mahdo dalam tulisannya yang dikutip pada buku Komunikasi Lintas Budaya milik Samovar yang berbunyi, Islam sendiri berarti tunduk pada Tuhan dan kehendakNya. Quran menekankan keagungan Tuhan berulang kali, kemurahan hati yang ditunjukkannya pada manusia secara khusus, ketaatan serta rasa syukur dan upah yang akan diterima karena telah setia hingga akhir waktu. Tulisan tersebut sudah jelas bahwa mereka menggambarkan sebagian kecil dari aturan Islam.

Bahasa yang digunakan oleh warga Kampung Naga sehari-hari yaitu mereka selalu menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa umum untuk berinteraksi dengan yang lain, baik itu sesama warga kampung maupun orang luar yang berkunjung ke kampung tersebut. Mereka jarang menggunakan bahasa Indonesia untuk melakukan interaksi dengan orang-orang karena mereka hanya paham sedikit-sedikit jika menggunakan bahasa selain bahasa sunda. Agaknya kami sedikit menemui kesulitan jika mereka berbicara menggunaka bahasa sunda, dan juga sebaliknya mereka juga tidak begitu paham jika kita lontarkan pertanyaan menggunakan bahasa Indonesia dengan logat orang kota Tangerang.

Oke lanjut, saya akan membahas sedikit tentang kegiatan-kegiatan yang kami lakukan selama berada di Kampung Naga kemarin. Selain kegiatan, saya juga akan membahas sedikit mengenai apa saja aturan larangan yang berlaku di Kampung Naga dari dahulu hingga saat ini.


Sesampainya disana, kami semua pergi ke masing-masing rumah yang sudah dirujuk untuk kami menumpang beristirahat malam. Rumah yang  kami singgahi itu terbuat dari kayu yang dicat dengan warna putih sama seperti rumah-rumah yang lainnya. Kemudian atapnya sendiri itu terbuat dari daun aren yang dikeringkan, dinding rumahnya pun juga tidak terbuat dari tembok melainkan dari anyaman bilik bambu yang dibuat tangan begitu juga dengan pintu, jendela, dan lantai juga masih menggunakan bahan yang sama yaitu kayu yang telah diolah sehalus mungkin. Model rumah mengikuti gaya model rumah panggung yang masing-masing berbentuk persegi dan menghadap dari arah Utara ke Selatan serta berbaris sejajar menghadap dari Barat ke Timur.

Barang-barang yang terdapat di dalam rumah pun juga tidak sebanyak seperti yang kita lihat pada rumah baisanya, hanya ada lemari pakaian dan lemari bufet kecil untuk meletakkan televisi dan radio meskipun saya agak heran, mengapa mereka memiliki alat elektronik kalau listrik saja sengaja ditiadakan. Ruangan yang ada didalamnya pun hanya terdapat dapur, satu kamar tidur dan ruang tamu tanpa dilengkapi oleh sofa ataupun kursi-kursi untuk duduk.

Kebetulan saya menginap dirumah Ibu Acih. Ibu acih memiliki seorang kakak yang bernama Ibu Asih, akan tetapi dialah yang menemani kami selama kami tidur semalaman dirumahnya.  Warga Kampung Naga memang sengaja tidak ingin menggunakan listrik karena mereka semua berpikir jika ada kerusakan pasti akan menimbulkan kebakaran  dan hal tersebut akan merusak lingkungan yang telah mereka jaga dengan baik dari awal. Kemudian kamar mandinya pun pintunya hanya terbuat dari bilik bambu dan air nya mengalir langsung dari mata air pegunungan. Ada dua saluran untuk aliran airnya, yaitu air yang sangat jernih dan yang satunya lagi air yang agak keruh warnanya yang berasal dari kali. Begitupun dengan tempat mencuci piringnya, mereka memilki tempat mencuci piring bersama yaitu diluar rumah dan letaknya dekat dengan bilik kamar mandi.

Mang Nok yang menjadi pemandu kami saat disana juga selalu senang jika kami bertanya-tanya sejarah kecil tentang Kampung Naga. Mang Nok juga mengajak kami berjalan-jalan mengelilingi wilayah pemukiman di Kampung Naga.Warga Kampung Naga sangat memelihara kerukunan guna menjaga persatuan dan perdamaian yang telah tercipta. Ada 4 kalimat yang menjadi senjata ampuh yang berasal desa Kampung Naga yaitu, yang pertama ada silih asah yang berarti saling memberi, kemudian silih asih yang berarti saling memberi, lalu silih asuh yang berarti saling menghargai satu sama lain dan terakhir ada silih payungan yang berarti saling merangkul sesama, contohnya bila ada masalah atau konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara damai dan baik-baik.  Kemudian kata-kata yang sangat memiliki makna yang sangat berarti adalah amanat,wasiat, dan akibat. Kata-kata tersebut bukan hanya sekedar kata-kata biasa melainkan berhubungan satu sama lain. Ketiga kata tersebut memiliki makna yaitu, jika kita telah diberikan amanat dan wasiat tetapi kita lalai dan melanggar hal tersebut maka kita akan menerima akibat yang setimpal dari hal tersebut.

Banyak pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman kami selama di Kampung Naga ini. Kami belajar banyak tentang ketergantungan hidup yang ada pada sesama makhluk hidup. Saling menjaga dan melestarikan apa yang ada disekitar membuat kita sadar bahwa kita hidup di dunia ini sebenarnya memang saling membutuhkan satu sama lain untuk melengkapi apa yang kita butuhkan dalam hidup kita ini. 




No comments:

Post a Comment