Pages

Sunday, January 20, 2013

Emas di Kampung Naga


Nama : Nicholas Rhino
Nim :11140110163
Kelas : G1





Kampung naga? Apakah kapmpung yang ada naganya? Atau kampung suku naga? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran saya pada malam sebelum berangkat ke kampung tersebut. Perjalanan ini sudah saya rencanakan jauh hari, semua persiapan sudah disiapkan. Jam 3 pagi saya dan 16 kawan saya berangkat menuju kampung misterius yang akan kami gali informasinya.



Perjalanan kami tempuh selama 7 jam, hal ini diluar dari prediksi saya untuk tiba disana. Saya dan kawan kawan kesal karena menyianyiakan waktu di jalan ketimbang eksplorasi disana. Sesampainya disana saya menuju resepsionis kampung. Disaaat itulah saya bertemu mang Eno, penduduk asli kampung dan tourguide kampung itu.



 Kesan pertama saya sampai di tempat adalah bingung. Dimana kampung naga? Karena yang ada hanya lapangan parkir yang di kelilingi warung. Di tambah sebelum tiba kampung naga terpampang papan penunjuk jalan yang tertulis “terminal kampung naga”. Jadi, dimana kampung naga tersebut.

Setelah mang Eno memperkenalkan diri kepada saya dan teman-teman dia pun menjelaskan peraturan kampung sebelum kami menuju ke dalam kampung. Yang pertama disampaikan oleh mang Eno adalah bahwa kita harus mengingat kampung naga bukan tempat wisata yang menjual atau komersil. Kampung naga tempat dimana penduduk dengan keunikan dimana mereka tetap menjaga tradisi mereka sejak jaman dahulu. Jadi sekali lagi ini bukan tempat wisata atau hotel dimana kita bisa seenak kita melainkan tempat yang memiliki aturan.

Aturan yang pertama kita harus di ikuti jelas sopan santun, yang kedua ada tempat tempat yang di larang oleh warga, ada yang boleh di foto namun tidak boleh didatangi ada yang tidak boleh didatangi dan juga tidak boleh difoto. Hukum yang berlaku dikampung naga adalah hukum amanat wasiat dan akiibat.
Akhirnya saya dan rombongan turun menuju desa. Yang anehnya, setau saya kampung naga itu terletak di bawah namun kami di suguhkan oleh tangga yang menaik. Kami menapaki tangga tersebut sekitar 10 anak tangga dengan jarak 30 cm.



Barulah terlihat turunan yang begitu panjang . hanya tangga yang tak berujung yang nampak di mata saya. Saya mencoba menyusuri tangga tersebut dengan mata saya. Namun tertutup oleh pohon pohon dan rumah warga kampung naga yang sudah keluar dari kampung tersebut.
Terus saya turuni tangga itu sampai di bawah terlihat dari kejauhan ada air terjun kecil yang indah. Terletak jauh sebelum sawah luas memanjakan mata. Hamaparan hijau yang luas yang jarang di kota.

Ada 2 kejadian yang di ceritakan oleh mang eno kepada saya, yang pertama dulu ada wartawan yang datang ke kampung naga. Sudah diberi arahan agar tidak boleh memfoto rumah untuk upacara adat yang disana. Wartawan yang datang ada 3 orang. Setelah mang no menjelaskan desa mereka akhirnya sampai di depan rumah untuk upacara adat disana. Mang no sudah menjelaskan tidak boleh memfoto. Setelah berjalan menuju aula tempat berkumpulnya para warga dimana tempat kami waktu disana disambut oleh pak punduh. Setelah sampai disana yang terjadi adalah tiba tiba kamera dari salah seorang wartawan tersebut terjatuh dan rusak. Info yang saya dapat harganya sekitar 90 jutaan. Setelah ditanya oleh teman temannya kenapa bisa jatuh dan bla bla akhirnya wartawan tersebut mengaku sempat mencuri curi foto rumah tersebut.

Kejadian yang kedua menyangkut air terjun yang saya lihat tadi. Dibalik keindahannya saya memang merasa ada yang aneh dari tempat tersebut, dan ternyata benar ada yang aneh di tempat tersebut. Ada kejadian rombongan anak muda yang datang ke kampung itu. Ketika itu juga mang eno yang memandu rombongan itu. Sudah di jelaskan dan sudah di beritahu bahwa dilarang mendekati air terjun tersebut namun di perbolehkan untuk melakukan foto disana.

Anak-anak muda itu setelah ikut panduan mang eno, mereka menuju air terjun. Mungkin yang ada di pikiran mereka bahwa tempat itu hanya air terjun wisata dimana mereka bisa bermain disana. Salah. Disana bukan tempat wisata. Disana perkampungan yang juga punya tempat yang kramat atau sakral. Alhasil rombongan tersebut kesurupan secara bergantian. Seolah setan melompat lompat dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Mereka pun di bawa ke rumah panggung tempat berkumpul. Dan warga kampung naga mencoba 
membacakan doa dan akhirnya anak anak tersebut bisa bernafas lega dan tenang.

Kami dan rombongan tiba di rumah panggung. Dengan wajah penuh dengan keringat kami berbagi tissue. Di ruangan itu ada 3 orang. Saya mengasumsikan itu adalah ketua rombongan lainnya. Ya, bukan Cuma kami rombongan yang ada disana. Banyak pelajar sma yang berdatangan kesana. Baik tour group ataupun untuk rekreasi.2 orang berhadapan dengan 1 orang. Yang di tengah pria yang sudah lanjut usia. Badannya kecil dan kurus. Berambut putih dan berjanggut putih.

Kami masih menunggu mang Eno untuk kembali dari rumah pak rt yang ada di sekitar situ. 5 menit kami menunggu di tempat itu. Mempersiapkan kamera kami dan merapikan penampilan kami yang sudah lusu. Dalam benak saya, kami cuma turun, belum naik. Apa rasanya naik 439 anak tangga. Masih mending kalau landai. Ini sangat curam dan terus menerus naik keatas. Walaupun ada space kecil untuk beristirahat namun tetap capek pastinya.

Mang Eno pun kembali tanpa pak rt yang seharusnya menyambut kedatangan saya dan teman teman saya. Saya hanya duduk terdiam dan heran apa yang akan terjadi selanjutnya.kedua orang yang tadi menemani bapak tua pun pamit undur diri.Mang Eno menghampiri bapak tersebut dan memberi tahu bahwa pak rt tidak ada untuk menyambut kami. Maka akhirnya bapak tua tersebut yang menyambut kami.
Mang Eno menyuruh kami merapat kan diri kebagian depan. Kami pun dengan semangat berdiri dan berjalan kedepan tanpa banyak kata. Mang Eno memperkenalkan bapak tua itu kepada kami dan seblaiknya juga dia juga memperkenalkan kami ke bapak tua tersebut.



Pak Punduh itu nama bapak tua tersebut. Dan dia adalah sesepuh di kampung naga.Beliau memulai pertemuan kami dengan perkenalan. Dia juga menanyakan maksud dari kedatangan kami ini. Teman saya, Albert yang selaku dari pemimpin kelompok rombongan kamipun ambil bicara. Walaupun gugup dan rada gagap bicaranya, mungki karena bertemu dengan sesepuh kampung naga. Albert menjawab maksud dari kedatangan kami ini apa.katanya “kami ingin belajar di kampung naga, kami ingin mengenal budaya yang ada di kampung naga ini.”

Tingkah laku albert bisa dimaklumi karena dalam pertemuan beda budaya, dan juga bertemu dengan pemimpin dari suatu kelompok seolah menghadirkan penghalan di dalam percakapan. Sudah pasti pengalan itu adalah rasa sopan, menjaga tutur kata, ya intinya kita ingin terlihat baik dihadapan orang lain. Sesuai dengan teori dramaturgi albert berada di front stage. Dimana semuanya adalah kepura puraan, mengingat ini pertemuan pertama.

Pa punduh meminta maaf diawal pembicaraan bahwa dia tidak bisa bicara fasih berbahasa indonesia. Hal ini aneh buat saya. Kenapa dia tidak bisa berbahasa indonesia? Bukankah dia orang indonesia? Apakah setertutup inikah kampung naga? Ya tempat sih boleh jauh dari jangkauan kota namun kenapa bahasa tidak fasih?

Saya hanya bisa diam dan menelan pikiran saya.karena saya menganggap bila menanyakan kepadanya itu akan sangat tidak sopan.saya mendengarkan apa yang dikatakan selanjutnya oleh papunduh.
Papunduh membuka dengan keterangan kampung naga. Kampung naga berasal dari kata Kampung Na Gawir, apa itu artinya? Artinya adalah kampung di tebing.agak aneh juga sih mengingat bahwa sebenarnya dia berada di lembah, bukan di tebing. Tapi begitulah namanya. Dan disingkat menjadi kampung Naga. Itu menjawab pertanyaan saya yang timbul di awal perjalanan.

Papunduh juga menjelaskan perbatasan perbatasan apas saja kampung ini berbatasan dengan. Namun saya 
tidak menyimaknya dengan jelas karena suara beliau yang kecil. Tapi itu semua ada divideo saya.
Hal berikutnya soal ekonomi,penduduk kampung naga semuanya adalah petani namun itu bukan hanya pekerjaan mereka. Penduduk kampung naga menanam semua hasil pertanian dan hasilnya itu digunakan untuk diri mereka sendiri. Baru apabila ada kelebihannya maka akan di jual keluar kampung. Untuk waktu senggang mereka juga berternak, ada kelinci, kambing, sapi, marmut. Dan yang terakhir memancing di sungai. Oya, penduduk kampung naga juga membuat kerajinan tangan untuk dijual atau digunakan sendiri.



Soal pendidikan, anak anak di kampung naga harus sekolah, minima sd. Hebat juga perjuangan anak anak ini.mereka harus menaiki 439 anak tangga untuk ke sekolah. Berbeda dengan kami anak kota yang serba mewah dan kenikmatan menjalani hidup. Hal ini menambah respek saya terhadap kampung naga.

Soal agama, papunduh menjelaskan bahwa semua penduduk kampung naga menganut agama islam. Agama islam, bukan nu, bukan muhamadiyah, tetapi islam. Pantas saja mereka begitu terbuka terhadap semua agama.mereka hanya mengambil yang baiknya dan tinggalkan yang buruknya. Hahaha, ini mengganggu pikiran saya. Kebanyakan anak kota sekarang mencari yang buruk dan meninggalkan yang baiknya.Penduduk kampung naga diperkenankan menikah dengan siapa saja asalkan satu agama
Ada larangan juga di kampung naga untuk menceritakan tentang kampung naga kepada orang lain. Ada bulan bulan tertentu dan hari hari terntentu dimana mereka tidak mau menceritaknnya. Dan sialnya hari itu hari sabtu. Tepat dengan hari kedatangan kami. Kami tidak bisa bertanya lebih jauh karena papunduh tidak mau untuk menceritakannya



Jumlah rumah yang ada di kampung naga ada 113 pertanyaan yang timbul di benak saya adalah apa setelah sekian tahun 113ini mampu menampung semua penduduk kampung naga. Saya tidak sempat menanyakan itu ke papunduh mengingat hari sudah siang dan papunduh sudah selesai menyambut kami dan menjelaskan semuanya.

Mang Eno mengantar kan saya dan teman teman saya ke rumah warga dimana tempat kami akan tinggal hari ini dan besoknya. Kami dibagi menjadi 3 kelompok. Satu kelompok laki laki dan dua kelompok perempuan. Satu rumah warga mampu menampung tamu maksimal sebanyak 6 orang.saya disuguhkan makanan yang enak walaus sederhana, namun kalau direstoran sunda bisa menghabiskan banyak biaya.

Setelah kenyang kami pun kembali ketempat tadi. Untuk diantar oleh mang Eno dan dijelaskan apa saja yang ada di desa tersebut. Intinya yang saya dapatkan disitu adalah. Ada rumah upacara adat yang tidak boleh dimasuki sembarang orang dan difoto. Ada juga seni tradisional khas kampung naga. Yaitu Seni musik Karinding. Yang membutuhkan keahlian untuk membuatnya dan berlatih menggunakannya. Hebatnya disana hanya ada satu orang yang mampu membuat karinding.

Saya belum menemukan apa apa yang bernilai di kampung ini. Sesuatu yang berharga yang bisa saya ambil. Sampai suatu saat teman teman saya naik ke atas untuk mandi dan charge baterai handphone mereka. Saya diajak Mang Eno untuk makan singkong dirumahnya. Sesampainya disana hanya ada elcha dan albert. Yang tampak kelelahan setelah jalan jalan mengelilingi kampung ini.

Dirumah Mang Enolah saya baru mendapatkan emas kampung naga. Setelah obrolan singkat tentang kampung. Ditemani singkong dan kopi. Albert dan Elcha pergi keatas untuk menyusul teman teman yang sudah terlebih dahulu disana. Tinggallah saya seorang bersama mang Eno.

Apakah mampu 113 rumah ini menampung semua warga kampung naga. Dan ternayata tidak, kebanyakan orang kampung naga justru ada di luar kampung naga. Mereka yang sudah cukup umur merasa malu apabila tetap tinggal bersama orang tua mereka. Wow, mereka mandiri.berbeda dengan anak kota yang masih hidup bergantung belas kasihan orang tua mereka. Yang ditimang timang oleh kemewahan harta orang tua. Tapi dikampung ini tidak begitu.

Pertanyaan kedua adalah kenapa orang kampung naga ini tidak mengikuti nu ataupun muhamadiyah. Dan juga kenapa mereka sangat ramah dan tidak anti terhadap perbadaan. Pertanyaan itu saya lontarkan kepada Mang Eno dan saya mendapat jawaban yang menyentuh hati saya. Mang Eno menjawab “Agama,Ras,Suku perbedaan, dan perbedaan itu hanyalah warna dari dunia. Semakin banyak perbedaan semakin indah pula dunia ini”.

Mereka tidak merasa mereka yang paling benar. Mereka hanya mengikuti alquran sebagai pedoman mereka. Mereka juga memiliki prinsip, kalau mereka disakiti mereka tidak marah, mereka mendoakan orang yang menyakiti mereka. Ini tidak asing di kuping saya, seperti ajaran yesus “bila pipi kirimu ditampar, beri pipi kananmu”. Saya merasa perbedaan tidak adalagi pada saat itu. Tampaknya mereka sama dengan saya.
Ada filosofi yang saya ambil dari kampung naga. “Lebih takut hidup daripada takut mati”. Aneh kenapa mereka memiliki filosofi tersebut. Saya menanyakan kepada mang Eno dan jawabannya mengejutkan saya. “karena kalau hidup, kita bisa berdosa, kita bisa menyakiti orang orang, tapi kalau mati, tidak bisa.” Sesimple itu jawabanya tapi itu sangat berarti bagi saya.

Pertanyaannya selanjutnya, kenapa mereka tidak mau listrik masuk ke kampung ini. Bukankah listrik sumber hidup masyarakat jaman sekarang? Jawabannya adalah mereka tidak mau mental anak mereka rusak karena ajaran tv yang isinya tidak bermutu. Tv juga menimbulkan jenjang sosial diantara mereka. Kalau si a punya tv, si b juga mau. Bagaimana dengan si c yang tidak mampu membeli tv?

Tapi bukan berarti mereka tidak nonton tv sama sekali. Diatas, di kantor penerimaan tamu atau pengelola kampung naga,disana ada tv dan listrik. Mereka hanya tertarik dengan berita, mereka hanya mau mendidik diri mereka untuk pintar. Sesuai dengan prinsip tadi, ambil yang baik, buang yang buruknya. Dan juga mereka takut listrik menyebabkan korslet dan memicu terjadinya kebakaran.mengingat rumah mereka yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar.

Saya juga mendapati bahwa mang Eno bukan hanya tinggal di kampung naga. Namun dia juga pernah merantau ke bogor,bali dan tempat lainnya, saya di ceritakan bagaimana susahnya dia tinggal di ibu kota. Namun ada hal menarik dicerita tersebut.

Bukan hanya saya yang belajar KAB namun Mang Eno juga belajar KAB. Selama mang Eno menjadi pedagang. Dia kerap kali bertemu dengan preman yang sering meminta uang jatah reman ke setiap pedagang yang ada disana. Mang Eno hanya berbekalkan ramah tamah. Hingga ada kesimpulan, kalau ada orang jahat sama kita, kita baikin saja, sampai nanti dia akan segan dengan kita. Mang Eno pun mampu membaur dengan lingkungannya. Namun pikiran akan keuangan membuatnya jenuh. Diapun memutuskan untuk kembali ke kampung Naga.

Dan itu adalah Emas dari Kampung Naga. Sedikit namun banyak yang bisa saya beri ke kalian para pembaca. Dan yang saya simpulkan dari observasi budaya adalah,”Jangan Cari Pengetahuan, Cari Ilmu dari Budaya tersebut” karena pengetahuan bisa kita cari di internet tapi ilmu hanya dapat dari komunikasi.

No comments:

Post a Comment