Pages

Saturday, January 19, 2013

Kampung Naga, Desa Kecil Segudang Filosofi


Nama : Rigel Haryanto
NIM   : 11140110232
Kelas  : G1





Kampung naga, desa kecil yang terletak di perbatasan antara Tasikmalaya dan Garut Jawa Barat. Terletak di desa Neglasari tepatnya Kabupaten Tasikmalaya.

Perjalanan menempuh empat kota berbeda untuk mencapai sebuah desa yang berbeda pula dengan peradaban sekitarnya. Kami mulai perjalanan dari Tangerang tepat pukul 6 pagi, sedikit meleset dari jadwal awal yang rencananya akan berangkat pukul 4. Well, inilah kita generasi ngaret hasil didikan bangsa ngaret. Meski sempat mengalami masalah pada ban mobil yang membawa kami akhirnya kami mulai menempuh perjalanan panjang menuju petualangan tugas akhir mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Layaknya sebuah band baru yang hendak promosi album, kami menempuh perjalanan melewati kurang lebih lima kota, Tangerang - Bekasi - Bandung - Garut Desa, yang nampaknya lebih mirip rute bus yang membawa rombongan mudik berjamaah.

Tugu Kujang yang berisikan Sansekerta
Sunda dan sebagai penanda keberadaan
Kampung naga
Entah berapa kali music player memainkan lagu yang sama didalam playlist tapi kami belum juga sampai di desa yang katanya masih menganut sistem hidup "bersama alam" itu. Keluar dari jalan tol Cipularang yang seperti memiliki kekuatan magis, mobil kami bergerak maju dengan cepat meski tidak menurun dan tak seinci pun pedal gas turun, akhirnya mulai memasuki daerah dengan jalan yang cukup ekstrim. Dijepit oleh tebing dan jurang disebelah kiri kami, mobil melaju dengan cepat berlomba dengan waktu dan janji makan siang di Kampung Naga yang nampaknya sudah menunggu kami yang tak kunjung datang. Akhirnya, setelah hampir 8 jam lebih menempuh perjalanan yang melelahkan, terlihat juga tugu Kujang yang menjadi penanda akhir garis finis pertandingan balap dengan waktu.



Kami pun bertemu dengan mang Ijap yang akan memandu kami selama berada di Kampung Naga. Perjalanan kurang lebih 8 jam ternyata bukanlah akhir dari perjuangan kami. Mang Ijap dengan dialek khas Sunda-nya memberi tahu kami bahwa masih ada 439 anak tangga yang menanti kami turuni.

Hal yang terlintas pertama dibenak saya adalah, "bagaimana nanti ketika naiknya?".

Tentu akan terlihat seperti atlit lari yang sedang melatih staminanya untuk sebuah kejuaraan. Selama perjalanan menuruni tangga, mang Ijap menceritakan banyak hal. Mulai dari asal-usul nama "Kampung Naga", Naga yang sebenarnya berasal dari kata "Nagawir" yang artinya "Lereng". Lebih tepatnya, Kampung Naga artinya adalah kampung yang terletak dilereng bukit.

Pemandangan Kampung Naga dari atas bukit
Sedangkan pemukiman warga lainnya yang berada diatas disebut "Sanaga". Seiring dengan cerita mang Ijap itu, terlihatlah apa yang disebut kampung lereng atau Kampung Naga itu. Atap-atap berhiaskan ijuk hitam mantap berbaris menatap Timur, arah mentari datang ketika pagi menjelang. Dihias dengan pohon-pohon tinggi mengelilingi seakan menandakan keasrian yang dijaga dan hubungan baik dengan alam layaknya sepasang yang ditakdirkan berdua.

Kami pun terus turun kebawah menuju desa kecil lereng bukit dikelilingi alam yang masih perawan dari sentuhan tangan manusia. Desa kecil yang tak lebih dari 314 warganya, tapi tetap bisa bersahabat dengan alam tanpa merusaknya.

Kampung Naga memiliki luas sekitar 1,5 hektar yang diatasnya terdapat 110 bangunan milik 108 kepala keluarga warga asli Kampung Naga. Desa ini dihuni kurang lebih 314 orang berbagai usia mulai yang baru lahir hingga yang paling tuas sekalipun. Kampung naga menjadi cerminan cara hidup yang benar dengan alam, dikelilingi hutan dan dilewati sungai Ciwulan yang alirannya cukup deras, desa ini masih bisa bertahan meski hujan deras melanda. Menurut penuturan mang Ijap, Kampung Naga belum pernah mengalami banjir meski berada dilereng bukit. Satu hal yang cukup mencengangkan kami yang datang adalah, tidak adanya toilet atau kamar mandi seperti yang biasa kami gunakan. Layaknya sebuah serangan jantung kecil kami alami sejenak sambil menatap nanar kearah 439 anak tangga yang baru saja kami turuni.

Cuaca ketika kami datang sedang kurang bersahabat, hujan cukup deras membasahi ijuk-ijuk dan rerumputan yang terbentang disekitaran Kampung Naga, menciptakan aroma yang tak kami dapati di perkotaan, apalagi Jakarta. Ketika meneduh, mang Ijap kembali menuturkan hal-hal menarik dari Kampung Naga.

Di Kampung Naga hampir semua warganya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dikarenakan banyak hal. Contohnya adalah ada kondisi dimana seorang anak hendak meneruskan sekolahnya tetapi orang tua anak tersebut tidak mampu, atau juga sang orang tua mampu tapi si anak tidak mau. Di Kampung Naga tidak ada aliran listrik, semua benar-benar alami. Selain alami, yang pasti setiap malam datang kegelapan turut datang menyelimuti Kampung Naga. Tinggalah lampu-lampu petromax yang cahayanya terjaring langit-langit anyaman rumah penduduk. Keberadaan listrik tidak diterima di Kampung Naga, mereka menganggap kehadiran listrik bisa merusak hubunan baik yang telah mereka bina dengan alam. Listrik datang, maka yang lain pun turut datang, kulkas, televisi, dan yang lain-lain yang dianggap warga Kampung Naga tidak baik.


Penggambaran dunia luar dan budaya asing menurut penduduk Kampung Naga terdengar seperti sebuah praktek paham Etnosentris, dimana melihat budaya lain lebih terkesan buruk daripada budayanya sendiri. Menciptakan stereotip akan dunia luar atau budaya asing yang dianggap tidak cocok dengan budaya penduduk Kampung Naga. Meski pun kita tau bahwa listrik akan lebih memudahkan hidup mereka. Dan ini tentu mempengaruhi worldview penduduk Kampung Naga yang kian menganggap listrik adalah salah satu budaya asing yang bertentangan dengan budaya yang selama ini mereka jalani. Meski begitu sikap penduduk Kampung Naga ini harus dihormati karena hak semua orang untuk menentukan pahamnya sendiri.
Kampung Naga, barisan atap berijuk yang beralaskan
hamparan sawah
Penduduk Kampung Naga mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, ini terlihat dari hamparan sawah yang menyapa kami ketika turun dari atas. Mereka bertani dengan menggunakan bibit padi lokal pemberian pemerintah. Dalam 1 tahun penduduk Kampung Naga bisa mendapatkan hasil 2 kali panen padi. Hal ini menyebabkan penduduk Kampung Naga mengalami swasembada beras, dimana kebutuhan beras sangat tercukupi dan bahkan berlebih. Namun hasil pertanian itu tidak untuk dijual, semua disimpan untuk kebutuhan warga desa, jika hendak dijual itu juga merupakan sisa yang berlebih dari hasil panen Kampung Naga. Dan misalkan ada pengunjung tertarik dengan beras organik hasil panen Kampung naga, bisa dibeli langsung ke penumbuknya maksimal 20 kg. Penduduk Kampung Naga menggunakan pupuk kandang atau pupuk yang dihasilkan alami dari kotoran ternak. Tak hanya bertani, mereka juga memelihara hewan ternak dan ikan. Didekat penumbukan beras didekat pintu masuk desa terdapat kolam ikan yang cukup besar. Berisi ikan-ikan dengan ukuran yang besar, ini semua adalah hasil pemeliharaan penduduk Kampung Naga. Mereka seakan-akan memiliki kesadaran penuh akan apa yang diberikan alam. Tanpa pamrih penduduk Kampung Naga merawat semua ternak, yang nampaknya menjadi milik bersama.
Warga Kampung Naga menumbuk padi
hasil tanam sendiri


Dalam kehidupan sehari-hari, penduduk Kampung Naga juga tidak terlepas dari komunikasi non-verbal, seperti tanda-tanda dalam pagar yang jikalau dibariskan seperti biasa itu artinya batas biasa sebuah rumah atau daerah pribadi tetapi jikalau pagar itu berbentuk silang, maka itu artinya daerah yang dikeramatkan. Tak hanya itu, bentuk tanduk di atap rumah penduduk menjadi penanda rumah asli orang Sunda. Dan sebelum masuk ke dalam desa, mang Ijap juga menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh penduduk Kampung Naga seperti bangunan yang dikeramatkan namanya Bumi Ageng. Biasa dipakai ketika ritual upacara adat atau perayaan Hari Raya Islam 1 tahun 6 kali misalnya ketika hari raya Maulid Nabi, Muharram, Idul Adha, Isra Miraj, dan hari  raya Kampung Naga. Hal ini dipengaruhi oleh semua penduduk Kampung Naga yang beragama Islam. Selain itu ada juga bekas lumbung yang dulu digunakan warga Kampung Naga untuk menyimpan sisa padi yang telah ditaruh di lumbung padi baru. Dan padi itu digunakan misalnya dalam acara Masjid, atau jika ada yg meninggal. Dan yang terakhir, “Bekas pangsolatan” yang terdapat  bukti monumen berdirinya Kampung Naga. Berisi sejarah diimana pada tahun 1956 pernah terjadi pembakaran beberapa rumah yang dipimpin oleh DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. Hal ini terjadi karena, penduduk Kampung Naga menolak ajakan untuk menjadikan Indonesia negara Islam, warga Kampung Naga memegang teguh paham Soekarno dan akhirnya Kampung Naga dibakar dan menjadi peristiwa Pareum Obor. Dan disini bisa dilihat untuk menghidari Cultural Lag yang terjadi antara budaya bawaan penduduk Kampung Naga dan kebudayaan Islam. Tentu dalam hal ini kita melihat bahwa peduduk Kampung Naga menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan keadaan yang ada untuk menghindari konflik ideologi dalam kehidupan mereka yang ideologis.

Sementara komunikasi verbal yang digunakan kebanyakan menggunakan bahasa Sunda yang seakan menjadi bahasa pokok di daerah Jawa Barat dan sekitarnya.

Di seberang Kampung Naga tepatnya seberang sungai Ciwulan, terdapat hutan larangan. Hutan yang masih belum pernah tersentuh tangan manusia. Menurut mang Ijap, disebut hutan larangan bukan karena ada mitos gaib atau hal-hala tidak masuk akal lainnya, melainkan untuk menjaga hubungan mereka dengan alam. Menjadikan hutan larangan itu sebagai hutan lindung, semacam ucapan terima kasih mereka kepada alam yang telah menyediakan segalanya untuk mereka. Sementara itu dibelakanh desa juga terdapat Hutan Keramat, disebut keramat karena didalamnya terdapat makam pendiri dan beberapa tetua adat Kampung Naga.
Tak terasa hujan mulai reda, dan kami bergegas ke rumah penduduk yang akan kami tinggali selama berada di Kampung Naga. Sebuah sambutam hangat yang diberikan sang tuan rumah, dan kehangatan itu tak hanya datang darinya. Tapi juga datang dari lampu petromax yang ternyata sudah mulai dinyalakan mengingat cahaya yang mulai kembali redup bersama matahari yang juga mulai hilang dari pandangan. Kami juga disambut santap siang yang telat sekaligus santap malam yang terlalu dini. Makanan yang disajikan sama seperti masakan rumah biasanya, namun yang membedakan semua makanan ini merupakan hasil alam di Kampung Naga. Malam semakin malam, terdengar sayup-sayup suara seseorang yang tengah mengaji, menandakan bahwa penduduk Kampung Naga sangat menjunjung tinggi kepercayaan yang mereka pegang.
Warga Kampung Naga bergotong-royong membatu
mengganti atap rumah warga lain
Keesokan hari tiba, kami bangun lebih pagi berharap mendapat bahan bagus untuk tugas Komunikasi Antar Budaya ini. Seperti biasa, kehidupan dimulai dari dapur. Si ibu pemilik rumah sudah terdengar sibuk didapur menyiapkan santap pagi untuk kami. Setelah itu kami mulai berkeliling memperhatikan dan mengumpulkan data yang bisa membantu kami menyusun 2000 kata ini. Di pagi hari terlihat semua warga Kampung Naga sibuk mengawali aktiviasnya masing-masing. Hujan kemarin masih menyisakan genangan air dimana-mana, dan membuat kami semakin yakin untuk menunda mandi pagi kami. Setelah berjalan keliling kampung, banyak hal menarik yang kami temui. Filosofi hidup bersama alam bukan di alam membuat warga Kampung Naga menjadi sangat menghargai apa yang alam berikan kepada mereka. Rumah yang mereka huni sebagian besar bahannya dari alam. Dinding anyaman, lintu anyaman hingga pondasi dari bebatuan sungai yang menopang rumah. Menurut penuturan mang Ijap, penduduk Kampung Naga hidup bergotong royong. Jika ada seseorang yang hendak membuat rumah baru maka ia hanya cukup mengumpulkan bahan-bahannya sedangkan pembangunan akan dibantu sepenuhnya oleh warga Kampung Naga lainnya. World view mereka tentang bertetangga sesama penduduk Kampung Naga mempengaruhi tindakan itu, dimana mereka bukan hanya sekedar bertetangga tapi juga bersaudara. Tidak pernah terjadi konflik diantara warga Kampung Naga. Selain rumah, hal yang menarik lainnya adalah Masjid ditengah desa, yang menjadi pusat kegiatan agama warga desa. 

Gantungan ketupat yang dipercaya dapat menolak bala
sekaligus sebagai pengingat shalat lima waktu
Mang Ijap juga membeberkan beberapa hal tentang rumah-rumah di Kampung Naga. Ciri-ciri rumah di Kampung Naga adalah atap yang memakai ijuk lalu dilapisi daun tebus  yang diyakini menurut penuturan mang Ijap kuat dan mampu bertahan hingga 30 tahun. Dalam satu bangunan rumah, terdapat dua pintu yaitu pintu dapur dan pintu ruang tamu. Hal ini dikarenakan penduduk Kampung Naga yang memiliki sifat dasar menghormati sesama yang sangat tinggi sehingga memberikan pintu yang berbeda. Karena menurut mereka tamu tidak perlu tahu apa yang terjadi di dapur mereka. Kedua pintu ini memiliki ciri yang berbeda, pintu ruang tamu terbuat dari kayu dan pintu yang masuk ke dapur adalah pintu yang dianyam memakai bambu sehingga memudahkan cahaya masuk ketika siang hari. Di depan pintu dapur juga terdapat sesuatu yang menarik. Terdapat gantungan yang dianggap sebagai penolak bala atau penolak kesialan oleh penduduk Kampung naga. Gantungan itu berbentuk ketupat dan dipasang setelah warga Kampung Naga melakukan selamatan kampung. Pembuatan ketupat gantungan itu pun sarat penggabungan filosofi, ketupat dibuat dengan 5 sudut, yang mengadaptasi ajaran agama Islam perihal shalat lima waktu. Sekali lagi ini merupakan tindakan pendudu Kampung Naga untuk menghindari cultural lag terjadi. Mereka mencoba menerapkan unsur-unsur keagamaan dalam tata budaya mereka. Dapur rumah penduduk Kampung Naga menerapkan filosofi mereka tentang hidup bersama alam, lantai dapur yang terbuat dari anyaman bambu dibiarkan tersusun saling bertumpukan. Hal ini dilakukan agar dapat memudahkan jikalau ada tumpahan makanan yang terjatuh bisa langsung dibuang kebawah rumah. Rumah mereka memang bersifat rumah panggung dan kolong rumahnya dipakai menjadi kandang ayam, sehingga makanan yang dibuang akan langsung menjadi santapan tak terduga milik ayam-ayam tersebut.
Rumah warga yang menjual souvenir khas Kampung Naga
Kami pun terus berjalan mengelilingi Kampung Naga, letak desa yang dikelilingi tebing membuat udara menjadi dingin meski mentari sudah mulai tinggi diatas. Kami berkeliling dan sempat berhenti melihat beberapa souvenir buatan penduduk.









Bersama Mang Ijap, narasumber sekaligus
guide dadakan :)

Hal yang kami dapat dari pengalaman hidup di Kampung Naga selama beberapa hari adalah, bagaimana meyakini dan menjalankan apa yang kita percayai dengan sungguh-sungguh. Selain itu kami juga belajar filosofi hidup penduduk Kampung Naga yang hidup bersama alam bukan di alam. Kampung Naga, desa kecil lereng bukit yang berusaha bersahabat dengan alam ketika yang lain berusaha menjajahnya.


No comments:

Post a Comment