Pages

Sunday, January 20, 2013

Ekspedisi Cihuy'Rebon!



  Karis Artha - 11140110120 - kelas E1




“Budaya melambangkan identitas suatu bangsa”, di rasa kalimat ini memang tepat sekali. Begitu juga dengan negara Indonesia, terdiri dari beribu – ribu pulau dan beragam kebudayaan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dari Pulau Miangas sampai ke Pulau Rote. Masing – masing pulau memiliki keunikan dan budaya yang beragam, sebut saja dari bagian ujung barat Indonesia, Pulau Sumatera mempunyai tarian – tarian tradisional yang sangat unik dan menjadi daya tarik tersendiri. Tidak jauh berbeda dengan pulau – pulau lain di Indonesia, semua memiliki keunikan dan daya tarik masing –masing. Namun semuanya tetap satu kesatuan bangsa Indonesia, seperti semboyan “Bhinekka Tunggal Ika”, berbeda – beda tapi tetap 1 juga. Nah, pada kesempatan kali ini, saya dan teman – teman mencoba mempelajari dan meneliti salah satu kebudayaan unik yang ada di Indonesia, yaitu budaya yang ada di Kota Cirebon. 





  
Kota yang di juluki Kota Udang ini, memiliki banyak budaya dan keindahan yang membuat saya terpukau. Contohnya seperti Tarling (gitar dan suling), musik khas Kota Cirebon yang bergenre dangdut ini sangat asyik untuk di dengar. Selama saya mengobservasi budaya di Kota Cirebon, saya juga sempat mencicipi salah satu makanan khas di kota ini yaitu nasi jamblang dan nasi lengko. Ciri khas dari nasi jamblang adalah pemakaian daun jati untuk membungkus nasi, di lengkapi dengan berbagai macam lauk yang bisa di pilih seperti sambal goreng, paru – paru, perkedel, sate, telur ceplok, ikan teri, tempe goreng, tahu goreng, dan lain – lain. Rasanya tentu tidak perlu ditanyakan lagi, begitu lezat dan membuat ketagihan. Tidak kalah dengan nasi lengko atau biasa juga disebut Sega Lengko yang saya cicipi, dengan harga yang cukup murah hanya Rp 9000, sudah mampu mengisi kelaparan perut saya. Meskipun cukup sederhana, nasi yang disediakan bersama tempe, tahu, potongan ketimun, toge, sate kambing, sisiran daun kucai, dilumuri kecap dan saus kacang serta dilengkapi sekeping kerupuk putih. Nasi Lengko memang tidak perlu diragukan lagi rasanya dan benar – benar menggugah selera.
Nasi Lengko
Oke, berlanjut ke tujuan utama saya yaitu kunjungan ke Kraton Kasepuhan. Sebenarnya kraton di Kota Cirebon sendiri ada 4 buah, yaitu Keraton Keprabonan, Keraton Kacirebonan, Kraton Kanoman, dan Kraton Kasepuhan yang akan saya kunjungi. Namun Kraton Kasepuhan lah yang paling terawat, dan katanya paling megah dan terbesar. Luas Kraton Kasepuhan saja sebesar 25 hektar, luar biasa besar!

Sewaktu saya dan teman – teman mendatangi Kraton Kesepuhan, sangat terasa sekali suasana kraton seperti zaman dulu. Gapura – gapura depan Kraton Kasepuhan masih terawat dan “berbentuk”, walaupun ada beberapa coretan – coretan pilox yang menganggu keindahan gapura – gapura tersebut. 

Kraton Kasepuhan

 

Berlanjut ke alun – alun(lapangan), terbentang luas rerumputan hijau dan tempat itu cukup terisi ramai dengan pedagang – pedagang makanan dan minuman seperti gorengan, es duren, jajahan pedagang kaki lima, dll, terdapat banyak juga anak – anak kecil yang bermain – main sambil di awasi oleh orang tuanya. Dekat dengan alun – alun, arah jam sembilan, terdapat sebuah Masjid yang cukup besar. Konon Masjid yang dinamai Sang Cipta Rasa ini sudah dibangun sejak tahun 1500 Masehi, namanya diambil dari beberapa gabungan kata yaitu Sang berarti keagungan, Cipta berarti dibangun, Rasa berarti digunakan. Hingga kini, Masjid Sang Cipta Rasa masih digunakkan untuk beribadah dan kegiatan – kegiatan agama lainnya. Bapak Ferri yang menjadi pemandu kami menjelaskan bahwa terjadi percampuran budaya di kota Cirebon, hal tersebut berlaku juga di Kraton Kesepuhan. Akulturasi yang tidak dapat dihindari, tidak hanya melibatkan kebudayaan Jawa dengan Sunda, tapi juga bermacam – macam kebudayaan yang ada di dunia, sebut saja seperti Cina, Arab Saudi, India dan budaya – budaya negara barat. Nah, hal inilah yang kemudian berdampak pada identitas dan karakter masyarakat Cirebon, terkesan bukan Jawa tapi juga bukan Sunda. Seperti yang saya lihat begitu memasuki lokasi Kraton Kesepuhan. Ada penampakkan 2 patung macan putih yang saling bertengger di atas batu depan gerbang kraton, Bapak Ferri selaku pemandu menjelaskan bahwa 2 patung tersebut menjadi simbol Kesultanan Cirebon yang merupakan penerus atau keturunan dari Kerajaan Padjajaran.

Patung 2 Macan Putih

 Bukti terjadi akulturasi lainnya dapat saya liat saat mengamati gerbang Kraton Kesepuhan, gerbangnya persis seperti pura di Bali, masyarakat sering menyebut gerbang tersebut dengan nama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon disebut lemah duwur yang memiliki arti “tanah yang tinggi”. Dulu Siti Inggil merupakan tempat duduknya raja dan keluarganya sewaktu melihat acara saptonan (acara yang dilakukan di hari sabtu). Siti Inggil juga dikelilingi oleh tembok bata bata merah berupa Candi Bentar (tumpukkan bata). 

Tiap pilar di atasnya jugas dipasang Candi Laras, Candi yang artinya tumpukkan dan Laras yang artinya sesuai, maksudnya adalah peraturan yang ada harus sesuai dengan ketentuan hukum. Selanjutnya gerbang yang dilengkapi dengan ukiran daun pintu bernuansa Eropa, dan hiasan – hiasan keramik Cina membuat saya begitu terpukau dengan adanya akulturasi yang begitu kental di tampilan fisik Kraton Kasepuhan ini. Dekat dengan Siti Inggil juga ada sumur yang cukup unik, sumur itu dinamai Sumur Kemandungan, yang pada jaman dahulu air dalam sumur tersebut digunakan untuk mencuci alat – alat perang (tombak, keris, pedang, dll).

Sambil mengitari sekeliling Kraton Kasepuhan, saya juga diceritakan sejarah Kraton Kasepuhan. Sejarah Kraton Kasepuhan Cirebon dimulai dari abad XV, saat itu putra mahkota Pajajaran yang bernama Pangeran Cakrabuwana membangun sebuah Kraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati. Pak Ferri menjelaskan bahwa nama Pakungwati memiliki arti udang perempuan, pakung berarti udang dan wati berarti perempuan. Dikarenakan posisi Kraton Cirebon letaknya berdekatan dengan laut dan banyak hasil laut yang didapat berupa udang. Kraton yang dibangun itu dinamai Kraton Pakungwati, yang merupakan istana Cirebon pertama kali. Selang beberapa waktu, Ratu Ayu Pakungwati pun menikah dengan Syech Syarif Hidayatullah(Sunan Gunung Jati) yang tak lain adalah sepupunya sendiri.
Tak lama kemudian kraton tersebut diserahkan pada Syech Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin Kerajaan Cirebon pertama kali dan ia bersemayam di Kraton Pakungwati.  Semenjak saat itu, Cirebon menjadi pusat pengembangan agama Islam DI jawa dengan hadirnya Wali Sanga yang dipimpin Sunan Gunung Jati dan peninggalan – peninggalannya diantaranya Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Sayangnya pada abad XVI Sunan Gunung Jati meninggal, tahta yang kosong itupun kemudian tergantikan oleh cicit dari Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Emas Moch Arifin. Tahun 1529 atau yang sering disebut tahun candra sangkal Tunggal tata Gunung Jati, Pangeran Moch Arifin membangun Kraton baru yang letaknya disebelah barat daya Kraton Dalem Agung Pakungwati, Kraton tersebut dinamai Kraton Pakungwati, beliau juga mendapatkan gelar Panembuha Pakungwati I.
20 tahun setelah sekitar tahun 1549 terjadi kecelakaan yang mengenaskan, Masjid Agung Sang Cipta Resa terbakar, mengetahui hal tersebut lantas Ratu Ayu Pakungwati yang sudah cukup berumur turut membantu memadamkan kobaran api yang ada. Beberapa jam kemudian api berhasil dipadamkan, namun Ratu Ayu Pakungwati tak terhindar dari kobaran api itu, ia wafat mengenaskan. Sejak hari itu, nama Pakungwati dimuliakan serta diabadikan oleh nasab Sunan Gunung Jati.
Setelah generasi ke empat dari Sunan Gunung Jati, pada pemerintahan Girilaya, kraton cirebon yang dulunya 1 berpecah jadi dua kesultanan yaitu kraton kesepuhan dan kraton kanoman. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1679, Sultan Anom I alias Sultan Badridin membangun sebuah kraton, yang kemudian dinamainya Kraton Kanoman. Sejak hari itulah Kraton Pakungwati disebut Kraton Kesepuhan, dan nama tersebut berlanjut sampai sekarang, selain itu sultannya pun digelari Sultan Sepuh. Kesepuhan bukanlah sebuah nama tanpa arti, Kesepuhan disini memiliki makna “tempat yang sepuh atau tua”. Jadi awal terbentuk nama antara Kesepuhan dan Kanoman adalah berasal dari kakak beradik (ada yang tua dan muda).
Kraton Kesepuhan yang membujur dari utara hingga selatan juga memiliki arti. Penglokasian ini tidak secara asal – asalan, karena kebanyakkan kraton di Jawa semuanya menghadap ke arah utara, yang berarti mengarah ke magnet dunia, makna secara falsafahnya adalah sang raja mengharapkan kekuatan. Begitulah sejarah singkat yang dijelaskan Pak Ferri kepada saya, membuat saya mengerti betul latar belakang dan masa lalu terbentuknya Kraton ini.

Tak lama saya dan yang lain beranjak masuk lebih dalam, yaitu ke bangsal Kraton. 

Bangsal Keraton

Di dalam Kraton banyak hal yang menarik perhatian saya, sayangnya saya dan yang lain tidak bisa mengunjungi 2 museum yang ada di Kraton Kasepuhan, yaitu museum benda kuno dan museum kereta karena sedang dalam masa renovasi, namun ada beberapa benda di museum itu yang di keluarkan sementara.

Singasana Kraton
Setidaknya saya tidak terlalu merasa kecewa karena terdapat warisan – warisan budaya Kraton Kasepuhan yang cukup menarik, sebut saja alat musik, lalu ada juga duplikat kereta kencana singa barong (yang asli ada didalam museum), perhiasan, lukisan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, peta kota Cirebon, tembok keramik Belanda berlukiskan pemandangan dan kitab dari kisah injil,  tembok dekoratif yang dipenuhi relief kembang dan lain – lain.
Tembok Dengan Relief Kembang

 

Lukisan Sri Baduga Maharaja Prabu Sliwiwangi

 Dari semua peninggalan – peninggalan itu, ada benda yang membuat saya begitu penasaran, yaitu kereta kencana singa barong. Lantas untuk memenuhi rasa keingintahuan saya, saya pun mencoba bertanya ke Bapak Ferri , beliau menjelaskan bahwa pada jamannya kereta kencana singa barong adalah kendaraan istimewa nan canggih yang di gunakan oleh Syech Syarif Hidayatullah untuk memperingati upacara kirab dengan mengelilingi jalan – jalan di Kota Cirebon setiap tanggal 1 Syura(Muharam). Kereta ini sendiri dijalankan dengan ditarik oleh empat ekor Kerbau Bule. Namun semenjak tahun 1942, kereta singa barong sudah tidak digunakan lagi. Nama Kereta Singa Barong ini sendiri diambil dari kata “sing ngarani bareng - bareng”, yang berarti dalam bahasa Indonesia adalah “yang memberi nama bersama - sama”. Merasa agak sedikit bingung pada awalnya karena saya sama sekali tidak menemukkan ukiran singa di kereta ini, tapi ternyata kata singa diambil dari bahasa Cirebon.

Kereta Kencana Singa Barong

  Sambil berjalan – jalan mengitari Kraton Kasepuhan, saya pun melancarkan beberapa pertanyaan ke Pak Ferri mengenai kebudayaan – kebudayaan yang ada di keluargat Kraton. Pak Ferri menjelaskan bahwa ada panggilan serta budaya khusus di keluarga kraton Kasepuhan. Apabila sultan memiliki seorang putra laki - laki, maka anak tersebut dipanggil pangeran raja, namun apabila anak tersebut berkelamin perempuan, ia dipanggil ratu raja.

 Tidak hanya itu seorang pangeran raja atau ratu raja yang menikah dengan 1 trah akan memiliki keturunan, dan anaknya disebut “elang”. Sebelum membahas lebih lanjut, yang dimaksud trah disini adalah keluarga. Sebagai contoh seorang sultan harus menikah dengan sepupunya atau dengan saudara yang jauh. Namun pernikahan 1 trah ini tidak diperbolehkan apabila terjadi dalam 1 pancer. Maksudnya 1 pancer adalah apabila seorang kakak dan adik yang berasal dari orang tua yang sama memiliki anak, lalu anak dari kakak dan adik itu di nikahkan. Kembali lagi ke topik, namun budaya ini sedikit berbeda apabila anak dari seorang sultan menikah dengan orang luar(tidak dari 1 trah). Seandainya anak lelaki yang menikah dengan orang “biasa” maka tetap di panggil elang, namun kalau anak perempuan yang menikah akan di sebut raden. Budaya itu diberlakukan karena anak lelaki dianggap lebih mampu menjaga trah yang ada di keluarga  kraton dibandingkan dengan perempuan. Sebagai contoh, apabila ratu raja menikah dengan orang keturunan Arab, maka keturunannya atau anaknya akan lebih mengarah ke orang arab itu, sebutan “bin” nya akan lari ke orang Arab itu. Tapi tak bisa dipungkiri, di kraton sendiri, terkadang ada juga pangeran atau ratu raja yang menikah dengan masyarakat biasa, walau di kraton sendiri lebih diutamakan ke pernikahan sesama trah, agar budaya dah trah turun temurun dari Sunan Gunung Jati dapat terlestarikkan. Seorang keturunan sultan yang sudah menikah dengan yang 1 trah, diperbolehkan jika ia mau menikah lagi dengan orang yang bukan dari 1 trah.
Dijelaskan juga keluarga Kraton Kasepuhan dalam bercakap – cakap menggunakan bahasa yang tidak berbeda dengan masyarakat Cirebon yaitu bahasa Jawa Kromo Inggil. Tapi dewasa ini bahasa yang dipakai sekarang lebih ke Sunda karena di Cirebon, bahasa Jawa yang ada adalah Jawa Sawareh (bahasa Jawa yang agak ke Sunda). Namun berbeda apabila sedang berbicara ke org yang lebih tua/dihormati, maka akan digunakan bahasa Kromo Inggil, kalau hanya sebatas ke sesama yang umurnya sebaya maka bisa memakai bahasa Jawa Sawareh.
Ada pula gerakan non verbal yang menjadi keunikan masyarakat cirebon, termasuk keluarga kraton juga yaitu apabila menunjuk suatu yang penting atau arah, maka menunjuk dengan jempol (persis seperti org bogor menunjuk arah).  
Gerakan Menunjuk Oleh Pak Ferri

Apabila menghormati seseorang maka memberi gerakan menyembah menggunakan tangan, dan tidak terbatas pada sultan namun juga pada sesama atau siapapun itu.
Pak Ferri Dengan Gerakan Hormat

 
Dalam menyelesaikkan konflik seorang sultan terbiasa memakai penasehat untuk memberikan saran – saran yang dpt menyelesaikan konflik. Untuk sekarang di kraton kesepuhan belum ada penasehat yg resmi namun lebih ke staff – staff yang seperti sekretaris sultan dan biasanya staf2 ahli adalah keluarga(sanak saudara). Secara singkat masalah yang ada di selesaikan secara musyawarah. Contoh untuk acara maulud, sultan bertanya ke lurah yang paham atau ke kaum masjid agung yang paham penanggalan2 islam, para keluarga mendampingi si sultan. Kalo antar kraton, biasanya memanggil semua pihak secara interen dan dibicarakan, lewat sesepuh2, tapi selama ini tidak pernah ada masalah antar kraton. Sebenarnya perpecahan kraton bukanlah suatu permasalahan konflik yang ada akibat perbuatan belanda, yang memecahbelahkan gelombang keluarga dan hal itu berlanjut sampe sekarang. Dulu menyatu abad 12 – 15 masih menyatu, abad 17 terpecah setelah belanda masuk. Orang tua adalah figur seorang sultan karena sebelum menjadi sultan, seorang sultan dididik dulu oleh ortunya secara agama,dll.
Saat di Kraton Kasepuhan, saya dan teman – teman juga sempat menemui Pak Thamlin. Pak Thamlin juga merupakan Abdi Dalem Kraton Kasepuhan, beliau memiliki pengetahuan yang luas mengenai Kraton Kasepuhan. Lantas saya dan teman – teman mencoba sedikit berbincang – bincang dengannya.
Pak Thamlin menjelaskan hubungan antara masyarakat sekitar dengan keberadaan Kraton. Beliau menjelaskan bahwa sejak dulu, masyarakat merupakan bagian dari Kraton, begitu juga sebaliknya, kraton adalah bagian dari masyarakat.  
Pak Thamlin


 Hal tersebut terbukti, keikutsertaan masyarakat dalam mengikuti acara –acara yang diselenggarakan oleh Kraton, dan para pengurus kraton juga bersifat terbuka melihat adanya partisipasi dari masyarakat. Perlu diketahui bahwa di Cirebon masyarakat yang ada memiliki latarbelakang budaya yang beragam, dari dulu sampai sekarang penduduk Cirebon banyak terisi oleh orang Melayu, Arab, dan Cina. Banyaknya keturunan Chinesse yang mengaku sebagai penduduk Cirebon pada awal mulanya disebabkan oleh kedatangan Panglima Cheng Ho. Sebelum abad ke 15, orang keturunan Cina dibawa oleh Panglima Cheng Ho. Dengan keberagaman penduduk di Kota Cirebon, pada intinya hubungan kraton dan masyarakat terjalin dengan baik. Keberadaan masyarakat dan kraton saling membutuhkan dan melengkapi, karena kraton tidak terbatas pada pemimpin bersifat politik, namun juga lebih ditonjolkan pada agama dan budaya. Begitulah ungkap Pak Thamlin, bercerita pada saya dan teman – teman dengan begitu semangat. Saya merasa semakin kagum dengan Kraton Kasepuhan ini, berikut dengan para pengurusnya. Mereka benar – benar hebat, selain berwawasan luas juga mampu menjelaskan kepada pendatangnya dengan baik. Salut untuk para pengurus Kraton Kasepuhan!
Keterbatasan waktu membuat saya dan teman – teman mengakhiri kunjungan ke Kraton Kasepuhan ini, karena langit sudah mulai meredup dan matahari tampaknya ingin pulang ke peraduannya, lantas sepatah dua patah kata perpisahan mengakhiri pertemuan kami dengan Pak Ferry, Pak Thamlin, dan pengurus lainnya. Namun banyak hal yang saya pelajari di Kota Cirebon ini meski hanya beberapa hari, khususnya kunjungan ke Kraton Kasepuhan yang memberi saya pengalaman baru mengenai keragaman budaya di negri ini. Saya sadari bahwa kebudayaan di Kota Cirebon ini hanyalah 1 dari beratus – ratus budaya yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu kita haruslah bangga akan budaya Indonesia yang beragam perbedaannya, berani melindungi dan melestarikan, karena kalau bukan dari kita sendiri, siapa yang akan melestarikan keberagaman budaya ini? Akhir kata, budaya adalah identitas yang harus kita bawa kapanpun dan dimanapun, tanpa budaya kita hanyalah manusia tanpa identitas. Cintailah terus tanah air kita, budaya kita, kebanggaan kita, Indonesia! 

Karis Artha / 11140110120 / kelas E1

No comments:

Post a Comment