Pages

Saturday, January 19, 2013

Kehidupan Kampung Cina..

 


Nama : Felix Anthoni
NIM : 11140110062
Kelas : F1

















    Pada kesempatan kali ini, saya melakukan Tugas Observasi Komunikasi Antar Budaya ke Kampung Cina. Sebuah desa yang terletak tidak jauh dari Gading Serpong, Tangerang. Saya pergi ke sana selama 3 hari, karena lokasi masih terjangkau maka saya tidak bermalam di tempat tersebut. Saya pergi ke sana dengan menggunakan sepeda motor berdua bersama teman saya Pandu. Kami melewati jalan yang cukup  berbatuan sebelum sampai ke Kampung Cina. Jalan menuju Kampung Cina juga melewati jalan berbatu yang di sekelilingi hutan. Dulu nya desa ini bukan bernama kampung Cina, namun lambat laun karena penduduk di sana mayoritas orang Cina maka orang – orang mengenal desa tersebut dengan nama kampung Cina. Walaupun penduduk di sana orang – orang keturunan Tionghoa, namun mereka tidak bisa berbahasa Mandarin malah mereka bisa menggunakan bahasa sunda. Tetapi biarpun begitu masyarakatnya tetap melestarikan budaya leluhur mereka dan tradisi Tiongkok seperti contohnya tradisi pernikahan mereka masih menggunakan upacara pernikahan seperti pada jaman Dinasti Manchu. Sudah banyak juga dilakukan kawin campur, maka nya darah Cina nya sudah tidak terlalu kental lagi. Tetapi berbeda dengan masyarakat Cina Benteng, Masyarakat di Kampung Cina warna kulitnya identik lebih putih. Akses jalan menuju ke sana tidak terlalu sulit walaupun banyak melewati jalan berbatu. Di desa ini sudah agak modern, tetapi masih ada kandungan unsur – unsur kebudayaan yang tertanam dari turun – temurun. Penduduk di sini jumlah nya tidak terlalu banyak, namun kekeluargaan di sini sangat amat erat. Orang tertua di kampung ini sudah berumur 83 tahun dan mata, telinga, dan lain – nya masih sehat hanya saja dia terserang struk selama 8 tahun. Namun sampai saat ini masih mampu berjalan keluar rumah. Engkong bernama Ong Eng Tong, dia sudah hidup dari jaman penjajahan Belanda. Pada saat jaman penjajahan Jepang ia juga berperan serta dalam Romusa, yang berarti kerja paksa. Pada saat itu mereka dipaksa oleh tentara – tentara Jepang untuk bercocok tanam tanpa rasa kemanusiaan yang adil. Mereka dipaksa bekerja siang dan malam, tidak sebanding dengan waktu istirahat yang singkat. Gaya hidup mereka masih sederhana namun sudah hampir sama dengan kehidupan penduduk di kota, tetapi adat istiadat dan kebudayaan di Desa mereka masih terasa. Kehidupan mereka jauh dari kemewahan, kerukunan antar masyarakat di sana lebih tinggi dibandingkan di kota, belum terlalu banyak teknologi canggih yang masuk sehingga komunikasi mereka lebih terjalan lancar secara tatap muka. 



Tempat tinggal mereka masih sangat tradisional, rumah – rumah tersebut berdiri sejak tahun 1981. Rumah –rumah tersebut masih banyak yang menggunakan ubin berupa semen atau yang biasa disebut juga dengan pelur, masih banyak pula yang menggunakan kayu sebagai atapnya, dindingnya juga masih terbuat dari kayu dan papan, isi rumahnya cukup memprihatinkan banyak sekali barang – barang rongsokan yang tidak terpakai menjadi bangkai saja. Bahkan salah satu keluarga di sana masih ada yang menempati rumah kebaya, terdapat meja abu yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur Tionghoa dan beberapa benda yang menjadi adat istiadat mereka sendiri. Rumah Kebaya merupakan rumah kayu besar yang di depannya terdapat paseban lebar dan halaman bertegel tera kota, serta kertas kuning atau merah yang bertuliskan bahasa Cina di atas pintu dan juga terdapat tempat hio di samping pintu. Biasanya ketika padi sedang musim panen halaman depan rumah mereka akan dipenuhi dengan padi yang dijemur. Rumah Kebaya sering disebut juga rumah tradisionil Cina Benteng.


 


Adat istiadat pernikahan mereka cukup unik, Sang pria masih menggunakan topi besar seperti pada jaman kekaisaran. Tahap pernikahan juga cukup menarik, awalnya mempelai pria bersama keluarga datang ke rumah mempelai perempuan lalu melakukan serah uang atau biasa disebut juga Sangjit . Sangjit itu merupakan acara serah uang atau barang (parcel, anggur / wine, atau barang lainnya) yang di bawa oleh pihak pria lalu diberikan kepada pihak perempuan sebagai tanda bahwa pihak pria ingin meminang perempuan dari keluarga tersebut, biasanya diakhiri dengan acara makan – makan kekeluargaan untuk membicarakan lebih lanjut mengenai pernikahan kedua belah pihak. Sesudah itu melakukan pemberkatan secara agama di Vihara dengan doa – doa yang dipanjatkan dengan harapan si calon pengantin memiliki rumah tangga yang bahagia seumur hidup, setelah pemberkatan di Vihara dilanjutkan dengan Makan 12 mangkok yang menandakan calon pengantin siap berpisah dengan Kedua Orang Tua mereka dengan cara pengantin disuapi oleh orang tua untuk terakhir kalinya. Lalu dilanjutkan dengan Tepai, yaitu minum teh dengan cangkir kecil, pertama – tama pengantin memberikan teh kepada kedua orang tua lalu ketika telah diminum dilakukan sebaliknya gantian orang tua yang memberikannya kepada kedua pengantin dan minum teh yang sudah diminum sebagian oleh orang tua. Dalam pernikahan di budaya mereka juga masih ada tarian – tarian nya, tarian tersebut bernama Gambang Kromong yang merupakan tarian adat mereka dari turun – temurun dan dapat memakan waktu 2 hari 2 malam. Tarian ini tidak hanya di tampilkan pada saat acara pernikahan tetapi pada acara – acara kecil terkadang juga menampilkan tarian khas ini. Tarian Gambang Kromong sering kali dianggap sebagai musik asli Betawi, namun sebenarnya tarian tersebut merupakan percampuran silang yang kuat dengan musik Cina yang diperkenalkan oleh masyarakat Cina yang berada di Banten. Musik yang dilantunkan Gambang Kromong mengungkapkan perjalanan budaya lokal dengan segala keunikan yang ada di dalamnya. Terkadang Gambang Kromong menggunakan alat musik Eropa. Budaya Gambang Kromong bukan lagi hanya milik orang – orang dari peranakan Tionghoa, namun budaya ini juga telah digunakan masyarakat Betawi. Selain acara – acara adat di atas, tidak ketinggalan juga permainan yang telah dimainkan mereka dari jaman dahulu. Yaitu orang – orang tua yang bermain judi atau dalam bahasa mereka disebut juga main ceki. 

Pada hari raya seperti Imlek, semua masyarakat Kampung Cina berkumpul di 1 rumah untuk mempererat tali persaudaraan di antara mereka. Biasa nya bergantian tiap tahun nya untuk berkumpul di rumah siapa.
Penduduk di Kampung Cina memiliki agama yang berbeda – beda, ada yang beragama Buddha, Kristen, Islam, dan Katolik. Walaupun memiliki agama yang berbeda tidak membuat masyarakatnya perang agama, kekeluargaan mereka terjalin baik, dan tidak ada pecah antar agama.
Berikutnya, pada saat ada sanak saudara yang meninggal juga terdapat tahap – tahap budaya yang harus mereka lakukan. Yang pertama, pihak keluarga jenazah membeli peti, peti mati ada berbagai macam dari mulai bentuk sampai ukuran, peti Cina yang paling besar bernama peti Kuan. Jenazah segera dimandikan untuk setelah itu diberikan sembayang Samkai jika pada semasa hidupnya orang tersebut belom pernah melakukannya, lalu di tutup peti nya itu di letakan duit kertas, perunggu, baju, dan barang lainnya, selanjut nya dilakukan sembayang untuk semua saudara dari jenazah, selesai disembayangkan baru dikubur. Setelah dikubur masih ada sembayang pada hari – hari berikutnya, sembayangnya pada saat 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, lalu pada saat setahun, 3 tahun.
Di desa ini pemakaman terletak di belakang rumah mereka, tetapi pemakaman tersebut tidak umum melainkan hanya anggota keluarga saja yang dimakamkan di sana. Jalan ke tempat pemakaman pun cukup jauh harus melewati sedikit jalan yang di kelilingi hutan serta belum lagi harus bertemu dengan binatang – binatang liar seperti ular, musang, dan lain – lain.
Bertani merupakan mata pencaharian utama di Kampung Cina, mereka memelihara kerbau untuk membajak sawah. Selain itu, di sana juga tidak sedikit yang bermata pencaharian sebagai peternak.
 


Uniknya, di sana terdapat pohon beringin yang sangat besar umurnya tidak dapat diprediksi (mungkin sudah ribuan tahun), tingginya hampir mencakar langit dan konon pohon setua itu pasti ada penghuninya, di sekitarnya juga rumah – rumah di sekelilingi pohon –pohon. Di dekat situ juga terdapat hutan dan juga pemancingan yang cukup luas. Di daerah ini hampir semua rumah memelihara beberapa ekor anjing untuk menjaga keamanan di tempat tersebut, lalu tidak sedikit juga yang beternak lele dan ayam di desa tersebut untuk dimanfaatkan hasilnya. Jika dilihat profesi di wilayah ini masih tradisional.
Jadi kesimpulannya masyarakat Kampung Cina memiliki gaya hidup yang semi modern dikarenakan faktor lingkungan yang terus mendukung mereka, namun kebudayaan dan beberapa adat istiadat dari turun – temurun masih melekat dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Kunjungan observasi saya ke Kampung Cina sangat berkesan positif bagi pribadi saya bahwa ketika banyak bermunculan sesuatu yang baru kita tidak boleh melupakan sesuatu yang telah lama ada sebelum kita mengetahuinya. Dengan adanya beragam kebudayaan di Indonesia seharusnya dapat lebih membuat kita sebagai warga negara yang sederajat untuk lebih saling menghargai budaya seseorang sekali pun budaya tersebut adalah kaum minoritas.

1 comment:

  1. maaf gan, apa bisa kasih info ini letak perkampungannya secara spesifik dimana? saya ingin berkunjung juga kesana, terima kasih

    ReplyDelete