Pages

Saturday, January 19, 2013

YUK INTIP BADUY!



 Nama: Catherine
 NIM:  11140110110
 Kelas:  B-1

Pemandangan Perkampungan Baduy.
Hallo sobat blogger semua! Apa kalian semua sudah punya rencana liburan setelah kita semua menjalani UAS? Mungkin sekedar refreshing aja nih setelah kita menjalankan kewajiban kita sebagai anak kuliahan gitu kan… Kalau belum kayaknya kalian harus cobain deh wisata yang satu ini! Kali ini saya akan memberikan review tentang salah satu tempat wisata di Banten yaitu perkampungan Suku Baduy. Nahyooo pernahkah kalian mendengar tentang Suku Baduy? Saya sendiri pun baru pertama kali mencobanya dan agak merasa ingin pergi kesana lagi untuk kedua kalinya. Saya berangkat berlima dengan teman-teman saya yang tentunya anak UMN dan juga mendapat tugas observasi dari mata kuliah Komunikasi Antar Budaya ini. Kami menempuh perjalanan ke Baduy dengan menggunakan kendaraan umum yaitu Bus. Pukul 07.00 kami sudah berada di terminal Kalideres-Jakarta Barat untuk naik Bus ke arah Rangkas Bitung (maklum, memang tidak ada bus yang langsung menuju Ciboleger) perjalanan dari Kalideres-Rangkas Bitung memakan waktu sekitar 3jam. Perjalanan belum berakhir, kami sesampainya di terminal Rangkas, kami harus naik kendaraan umum untuk sampai ke Desa Ciboleger lagi yang memakan waktu kurang lebih 1,5 jam (belum lagi kendaraan berhenti dulu untuk memuat penumpang) jadi total-total kami memakan waktu kurang lebih 5-6 jaman untuk sampai di terminal Ciboleger. Desa Ciboleger adalah desa terakhir yang bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan umum. Bila kita ingin mengunjungi Suku Baduy maka Ciboleger lah yang menjadi patokan awal kita untuk menuju ke perkampungan Suku Baduy. Setelah sampai di Ciboleger, kami memutuskan untuk makan siang dulu karena kami belum makan, dan waktu juga sudah menunjukkan pukul 13.00 waktu itu. Sesampainya disana, kami memang sudah janjian sebelumnya dengan tour guide kami yang bernama Kang Jaka yang akan menemani kita dan sekaligus menjadi narasumber kita yang akan menuntun kita untuk sampai ke Baduy Luar atau Baduy Dalam. 

Tugu Desa Ciboleger.
Sebelumnya untuk masuk ke Baduy dalam, kami harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang disebut Jaro. Ada beberapa Jaro yang mempunyai tugas masing-masing. Kita harus melapor dengan Jaro yang tugasnya membina hubungan dengan kebudayaan luar atau disebut juga dengan Jaro Pulung. Langsung saja deh saya ceritakan mengenai Suku Baduy. Suku Baduy terbagi menjadi dua bagian yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Nanti saya akan bahas mengenai dua macam Suku ini. Suku Baduy adalah salah satu suku yang berada di provinsi Banten yang masih memegang adat istiadat dengan kuat. Masyarakat Baduy umumnya bertempat tinggal di sektaran aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Di daerah dataran tinggi yang masih asri inilah suku Baduy bertempat tinggal.  Kenapa di namakan Baduy? Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu yaitu sungai Cibaduy. 

Sungai yang mengaliri perkampungan Baduy.
Masyarakat Baduy yang menempati area sekitar 5.101,85 Ha ini memang dengan sengaja mengasingkan diri mereka dari masyarakat luar dan menjadikan kebudayaan dan adat istiadat mereka sebagai tempat suci atau keramat. Karena kemurnian budaya mereka inilah yang akhirnya menjadikan perkampungan Suku Baduy menjadi salah satu objek wisata di Provinsi Banten yang sering dikunjungi oleh wisatawan asing maupun lokal. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, masyarakat baduy tidak pernah mengandalkan bantuan dari luar. Mereka dapat bertahan hidup dengan cara bercocok tanam, berladang, menenun kain selendang yang nantinya dijual pada para wisatawan atau masyarakat luar, membuat kerajinan tangan seperti koja dan jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), dan berburu. 
Salah satu mata pencaharian warga Baduy: menenun kain.
Intinya mereka mengabdikan hidupnya kembali pada alam. Sebanyak 90% masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam memang bertani. Kemandirian Suku Baduy dan konsep tetuah Suku Baduy memang pantas dijadikan pelajaran oleh para wisatawan yang datang ke tempat ini.
Tempat yang dijadikan Suku Baduy sebagai tempat pemukiman adalah daerah perbukitan, daerah yang paling rendah berada 800m diatas permukaan laut. Sehingga kalian dapat membayangkan hutan rimba di pegunungan Kendeng akan menjadi spot yang menarik ketika kalian datang mengunjungi Suku Baduy ini. Alam yang masih alami serta udara sejuk yang belum tercemar polusi akan setia menemani perjalanan anda menuju perkampungan Suku Baduy. Lokasi yang umumnya dijadikan tempat pemukiman oleh Suku Baduy adalah di lereng-lereng gunung, celah bukit, serta lembah-lembah yang ditumbuhi pepohonan besar yang masih dekat dengan aliran sungai. Dijamin, walaupun perjalanan menuju perkampungan Suku Baduy khususnya ke Baduy Dalam ini membutuhkan tenaga ekstra. Tapi semua itu akan terbayar ketika kalian melihat pemandangan alam yang indah yang tentu masih bebas polusi di sekitar perjalanan anda menuju perkampungan Suku Baduy.
Kami bersama anak-anak warga Baduy Luar.
Suku baduy mempunyai dua kelompok sosial yang berbeda, dimana masing-masing kelompok mempunyai peranannya masing-masing. Dua kelompok itu biasa disebut dengan Baduy Luar dan Baduy Dalam seperti yang sudah saya singgung di awal tadi. 

Dimulai dari Suku Baduy Luar yang sangat dekat karena posisinya yang berada bersebelahan dengan Desa Ciboleger, sedangkan untuk Baduy Dalam sendiri, saya dan teman-teman harus menempuh jarak sebanyak kurang lebih 12km dengan berjalan kaki, ya berjalan kaki karena untuk sampai ke baduy dalam memang sudah tidak ada kendaraan dan memang masyarakat disana hanya berjalan kaki sebagai alat transportasinya, bisa dibayangkan. Saya dan teman-teman memutuskan untuk langsung segera berangkat hari itu ke Baduy Dalam, awalnya Kang Jaka sudah mengingatkan bahwa cuaca bisa saja tidak bagus dan berubah-ubah selama kita berada di perjalanan, karena mengingat bahwa kondisi jalan yang akan licin karena kita akan melewati bukit-bukit, turunan dan tanjakan yang cukup terjal tapi semangat saya dan teman-teman saat itu sangat menggebu-gebu sehingga tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi, kami merencanakan bahwa kami akan pulang hari dan tidak akan menginap disana, karena kami baru berangkat jam 13.30 dan masih bisa untuk melanjutkan perjalanan, akhirnya kami menaruh barang-barang dan hanya membawa barang seperlunya saja untuk kami bawa selama perjalanan ke Baduy Dalam, di rumah Kang Jaka yang berada di Desa Kanekes lah kami tinggal, Kang Jaka yang setia menemani kami kemanapun kami pergi adalah masyarakat Suku Baduy Luar. 

Foto dulu yuk di depan rumah Kang Jaka!


Saya sewaktu tiba di rumah Kang Jaka.
Wilayah Baduy meliputi desa Cikeusik, Cibeo, Cikartawarna dan masih banyak desa lainnya. Di desa ini tinggal suku Baduy Luar yang sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. Baduy Luar yang biasanya mereka menyebutnya Urang Panamoing. Cirinya, selalu berpakaian hitam. Rumah masyarakat Baduy didirikan diatas batu (ini kepercayaan mereka bahwa rumah supaya kokoh harus berdiri diatas batu). Umumnya orang Baduy Luar sudah mengenal kebudayaan luar (di luar dari kebudayaan Baduy sendiri) seperti bersekolah sehingga bisa membaca dan menulis, bisa berbahasa Indonesia. Selain kain tenunan,gula aren adalah hasil mata pencaharian mereka, di daerah sana memang banyak terdapat pohon aren. Contohnya ketika saya dan teman-teman saya memutuskan untuk berisitirahat sebentar di rumah warga karena kondisi kami yang sangat lelah, salah satu warga Baduy Luar memberikan kami segelas minuman yang dinamakan minuman Tuak Aren. Saya sempat tertarik melihat gelas yang memang khas ciri khas orang Baduy yaitu yang terbuat dari bambu, orang Baduy menyebutnya dengan Somong. Tuak Aren ini tentunya berbahan baku dari aren yang dipetik langsung dari pohonnya, rasanya enak dan manis seperti air kelapa. Mereka mengambilkan kami minuman tersebut dengan menggunakan kale, dibuat dari bahan bambu juga. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi karena itu masih ¼ perjalanan lagi dan masih sangat panjang perjalanan kami. Saya tertarik karena setiap saya akan bertemu desa saya melihat ada sebuah rumah kecil, tempat itu bernama lumbung padi. Karena sebagian besar mereka adalah bertani biasanya mereka menyimpan beras di lumbung padi itu. 
Lumbung Padi yang saya maksud.
Pakaian ciri khas Baduy Luar dan Baduy Dalam sendiri pun hampir mirip, yaitu kalau Baduy Luar biasanya memakai pakaian hitam dan rok kain selutut berwarna putih yang mereka buat sendiri tentunya, mereka memang mengandalkan alam untuk segala hidupnya. Mereka selalu memakai ikat kepala, membawa tas kain, memakai gelang dan membawa senjata semacam golok yang selalu diikatkan di pinggangnya. 
Kami dan teman-teman yang bertemu anak-anak kecil yang hendak pulang menuju Baduy Dalam.




 Akhirnya rasa penasaran saya hilang ketika saya bertanya apa maksudnya dengan pakaian seperti itu, di mulai dari gelang kainnya yang selalu dipakai oleh setiap warga Baduy yang mempunyai arti sebagai jimat pelindung, menjadi salah satu kepercayaan mereka juga, sedangkan kenapa sering membawa golok? Mereka menggunakan golok, senjata tajam sebagai alat pelindung untuk melindungi dirinya, contohnya bila di hutan ada buah yang bisa mereka makan, maka mereka akan membukanya dengan golok tersebut, juga bila ada binatang-binatang yang akan mencelakai dirinya, intinya sebagai senjata pelindung. Suku Baduy Luar memang tidak seketat Baduy Dalam, mereka masih bisa menggunakan bahan elektronik seperti handphone. Baduy Luar maupun Baduy Dalam sama-sama belum mengenal listrik. Itulah sedikit yang bisa saya ceritakan tentang Baduy Luar.
Saya sewaktu di Baduy Luar.


Saya mengalami kesulitan sewaktu mendaki, untung ada Kang Jaka!
 Sekarang saya mau certain tentang Baduy Dalam nih sama sobat blogger semua. Akhirnya setelah menempuh waktu selama 4 jam dan perjalanan sejauh 12km dengan melewati tanjakan, turunan dan 5 bukit dengan cuaca yang agak gerimis sehingga tanah merah menjadi licin adalah makanan kita selama perjalalanan ke Baduy Dalam, kebayang nggak sih? Ohya saya mau cerita lagi, selain Kang Jaka yang udah nemenin kita selama perjalanan, tadi ketika kami ada di perjalanan kami kebetulan ketemu warga Baduy Dalam lho! Namanya Kang Syarif, beliau baik juga mau menemani, membantu kami ketika perjalanan melelahkan kami ke Baduy Dalam. Akhirnya kami sampai juga di Baduy Dalam sekitar pukul 18.00 perjalanan kami terbayar sudah dengan keindahan hutan, sungai, air bersih yang menemani kami. Kami beristirahat sejenak di rumah Kang Syarif yang berada di Baduy Dalam, mereka sekeluarga sangat ramah dan perhatian. Mereka ternyata orang yang sangat baik-baik.
Ini adalah foto dari Kang Syarif, warga Baduy Dalam.
 Dalam peraturan di Baduy Dalam, para pengunjung luar yang berkunjung ke Baduy Dalam hanya diperbolehkan semalam saja untuk menginap. Mengingat cuaca yang sangat mendung pada waktu itu dan hujan pun turun rintik-rintik lama-lama menjadi besar. Nampaknya Tuhan tau bahwa kita sudah sampai baru hujan diturunkan-Nya. Seperti yang sudah saya bilang bahwa kami sama sekali tidak mempunyai rencana apa-apa untuk menginap, pakaian, handuk, selimut, dan semuanya kami tinggal di rumah Kang Jaka di desa Kanekes itu. Dengan keputusan bulat kami putuskan untuk menginap mengingat kondisi yang tidak memungkinkan kami untuk pulang hari, Kang Jaka juga sudah menyarankan kami untuk menginap sehari saja di Baduy Dalam karena bila pulang hari akan banyak resiko dan akan sampai pada malam hari. Ketika perjalanan dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam, pada perbatasan yang telah ditunjukkan pada kami bahwa bila sudah melewati perbatasan tersebut maka segala barang elektronik, kimia, tidak bisa digunakan lagi. 
Sungai Cihujung. Perbatasan Baduy Luar dan Dalam.
Perjalanan yang masih panjang.
Serta menjaga mulut dan menjaga hati juga harus diperhatikan ketika memasuki kawasan Baduy Dalam. Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan yang masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, dan sulit sekali masyarakat lainnya yang ingin masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam, tidak bisa sembarangan orang yang masuk ke wilayah Baduy Dalam, sampai tulisan ini saya tulis, saya dan teman-teman termasuk orang yang beruntung bisa masuk sampai ke Baduy Dalam karena jarang sekali diizinkan karena banyak hari-hari besar dan tidak bisa sembarangan. Orang Baduy Dalam terkenal teguh dalam tradisininya. Mereka selalu berpakaian warna putih dengan kain ikat kepala serta golok. Semua perlengkapan ini mereke buat dengan tangan. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, ohya mereka juga tidak beralas kaki. Mereka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang, jadi mereka tidak pernah memakai kendaaan. Ketika saya ngobrol-ngobrol dengan salah satu warga Suku Baduy Dalam bahwa ia pernah ke Jakarta tepatnya ke MOI-Kelapa Gading, Cirebon, Bogor dengan berjalan kaki untuk mengunjungi kerabat. Bayangkan! Mereka hanya berjalan kaki, memakai mobilpun rasanya juga sudah lumayan jauh apa lagi berjalan kaki. Sekali lagi saya tidak berbohong dan ini merupakan kisah nyata, saya yang mewancarainya sendiri. Masyarakat luar sulit sekali masuk wilayah Baduy Dalam apa lagi mengambil fotonya. Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini dilanggar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri. Kepercayaan mereka sendiri adalah Sunda Wiwitan, percaya ke gusti Allah juga cuma berbeda jalan. 
Pemandangan indah rumah-rumah suku Baduy.
Gusti nama suci Allah yang maha kuasa. Mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan Bahasa sehari mereka ialah bahasa Sunda. Mereka tidak boleh menggunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa dibayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolah. Waktu saya nginap saya hanya tidur dengan menggunakan lampu minyak, bantal terbuat dari anyaman bambu dan juga beralas lantai yang terbuat dari bambu. Badan kami lumayan sakit-sakit ketika bangun dan ditambah cuaca yang sangat dingin. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bamboo mereka manggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.

Ini adalah jembatan yang Saya maksud.

Satu lagi sedikit perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar ialah mereka sudah mau menerima beberapa bantuan atau pemberian para wisatawan yang datang ke tempat mereka. Berbeda dengan Baduy Dalam yang memang tidak sama sekali menerima bantuan dari luar, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.
Termasuk tempat wisata budaya yang menarik bukan? Benar sekali, kearifan suku Baduy ini memang bisa kita jadikan objek wisata budaya yang menarik agar kita bisa lebih mengenal suku-suku yang ada di Indonesia dan akan menumbuhkan lagi dan lagi kecintaan kita pula terhadap kebudayaan kita. Alam yang masih asri dan menjadikan sebuah spot yang menarik untuk dikunjungi. Jadi tunggu apa lagi, jadilah orang selanjutnya setelah saya untuk segera mempersiapkan liburan kalian untuk mengunjungi Suku Baduy yang berada di provinsi Banten ini. Selamat berpetualang!


Foto bersama sebelum akhirnya kami pulang,
Saya ketika mendaki.


INI ADALAH VIDEO SAYA!! SELAMAT MENYAKSIKAN DAN TERIMAKASIH :))
http://www.youtube.com/watch?v=B8F-EDOjsBs&feature=youtu.be



1 comment: