Pages

Friday, January 18, 2013

Kearifan Lokal Suku Baduy

NIM        : 11140110060
NAMA   : Georgene Suryani
KELAS : E1



Dapatkah Anda bayangkan bagaimana rasanya sehari saja hidup tanpa adanya listrik dan televisi? Lalu, pernahkah Anda merasa uring-uringan karena kehilangan smartphone kesayangan Anda? Atau bagaimana jika Anda memiliki telepon seluler, tetapi tidak ada sinyal yang menunjang komunikasi Anda?

Bisa jadi situasi-situasi seperti yang disebutkan di atas membuat Anda bete dan cemberut seharian. Memang perasaan semacam itu manusiawi. Akan tetapi, sebelumnya ada baiknya kita melihat kehidupan orang Baduy, sebuah suku yang kental akan aturan adat dan berusaha untuk bertahan di tengah terpaan badai teknologi. Konsep kehidupan dari kacamata Anda kemungkinan besar akan berubah 180 derajat. Dan itulah yang secara pribadi saya rasakan sewaktu berkunjung dan tinggal bersama orang Baduy selama tiga hari.

 Rencana perjalanan menuju Baduy yang sempat tertunda beberapa kali akhirnya terealisasikan juga pada 14 Desember 2012 lalu ketika saya dan ketiga teman lainnya memutuskan untuk berangkat ke wilayah di pedalaman Lebak, Banten itu. Sebuah perjalanan yang berjarak kurang lebih 85 kilometer dari Gading Serping itu terasa begitu menyenangkan. Tinggal di bawah satu atap yang sama, alas tidur yang sama, dan ruang yang sama membuka mata saya bahwa kita harus bersyukur dengan segala karunia kehidupan yang kita miliki saat ini. Sekalipun orang Baduy hidup dalam keterbatasan, mereka menjalani dengan keikhlasan, tanpa ada keluhan sedikit pun.

Pagi itu sekitar pukul 11.15, kami memulai perjalanan dari stasiun Serpong menuju Rangkas Bitung, kota terdekat dari Baduy. Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp1500,00, kami akan diantar sampai ke Rangkas. Namun, memang sesuai dengan harganya, jangankan berharap untuk duduk nyaman dan sejuk, bau keringat bercampur dengan segala jenis bau lainnya berkumpul jadi satu. Hawa panas, pengamen, dan pedagang segala jenis baranglah yang menemani satu setengah jam perjalanan kami. Namun, itu semua tidak mematahkan semangat kami. Rasa penasaran ingin melihat sendiri uniknya budaya yang satu ini membuat saya tetap bersemangat.

Sesampainya di kota Rangkas, kami pun melanjutkan perjalanan dengan mencarter sebuah angkot menuju ke Ciboleger, perbatasan terluas dengan permukiman orang Baduy Luar. Untuk itu, setiap orang harus membayar RP15.000,00.

Pukul 15.00, sampailah kami berempat di Ciboleger yang terlihat begitu gersang di bawah teriknya sinar matahari. Pemandangan pertama yang saya lihat di sana yaitu tugu selamat datang yang di atasnya berdiri patung sebuah keluarga yang tampaknya menggambarkan keluarga orang Baduy dengan mata pencaharian utamanya yaitu bertani dan berladang. Selain itu, layaknya sebuah tempat wisata, sejumlah bangunan-bangunan yang terlihat sedikit kumuh dimanfaatkan warga setempat untuk berjualan, mulai dari sembako hingga oleh-oleh khas daerah sana yang dibuat langsung oleh para pengrajin Baduy, seperti kaos, gelang, kalung, dan gantungan kunci. Harganya pun cukup terjangkau, mulai dari Rp4.000,00 hingga Rp30.000,00.

Tidak lama setelah itu, Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi, orang Baduy Dalam yang akan memandu perjalanan kami ke dalam selama tiga hari, datang menjemput kami. Sebelum memasuki wilayah Baduy, kami diantar ke rumah Djaro Dainah (sebutan bagi Kepala Desa) untuk mendaftarkan diri di sana.

Sejak zaman dahulu, orang Baduy memang terkenal dengan ketaatannya pada aturan adat yang ditetapkan oleh Kepala Adat yang disebut Puun. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Baduy dibatasi oleh aturan adat, mulai dari tidak menggunakan listrik, peralatan teknologi, sistem pendidikan, kepercayaan, pakaian, bahkan hingga urusan mandi dan menggosok gigi pun diatur. Bagi kebanyakan orang, semua batasan itu terkesan kuno dan aneh. Akan tetapi, masyarakat baduy tetap bertahan dengan keyakinan mereka sekalipun menghadapi terpaan badai budaya modern.

Selama 3 hari 2 malam bersama Kang Sarmidi, Kang Sarwadi, dan keluarga Baduy, ada  banyak hal unik yang saya temui di sana. Dalam beberapa hal, orang Baduy Luar dan orang Baduy Dalam sendiri memiliki ciri orisinal mereka masing-masing yang menarik untuk dikulik bersama.
Kang Sarmidi - Babang - Me - Desy - Sintia - Kang Sarwadi


SISTEM KEPERCAYAAN AGAMA
Mayoritas orang Baduy beragama Sunda Wiwitan. Ada beberapa informasi yang saya peroleh mengenai kepercayaan ini. Pertama-tama saya menanyakan itu langsung ke sang pemandu yang membawa kami memasuki wilayah Baduy, Kang Sarwadi. Ia hanya mengatakan itu kepercayaan pada leluhur.

Sewaktu di Baduy Dalam, saya bertemu dengan seorang anak perempuan asal Cilegon bernama Caca. Ia sudah tiga kali berkunjung ke Baduy untuk melakukan observasi budaya.  Dan ia mengatakan bahwa Sunda Wiwitan pada dasarnya mirip dengan agama muslim.  Bahkan, ada pula tradisi puasa yang mereka lakukan.

KELAHIRAN
Setiap proses kelahiran dan kematian orang Baduy ditangani langsung oleh orang Baduy sendiri. Biasanya setiap kampung memiliki dua orang dukun beranak atau yang biasa mereka sebut sebagai paraji yang akan membantu proses persalinan mereka. Dengan segala keterbatasan obat-obatan tradisional, kelahiran-kelahiran di Baduy itu biasanya ditangani. Yang pasti, orang Baduy Dalam tidak boleh dibawa keluar dari kampungnya untuk mendapat penanganan medis di luar yang sudah modern.

Namun, menurut cerita yang saya peroleh dari salah satu warga Baduy, aturan adat tersebut pernah dilanggar oleh salah seorang warga Baduy Dalam. Satu alasan yang diperbolehkan untuk melanggar aturan adat yaitu untuk menyelamatkan nyawa. Setelah seorang ibu di Baduy dibantu proses persalinannya oleh paraji setempat dan bayinya sudah lahir, ternyata plasenta bayinya tidak keluar-keluar. Hal itu bisa mengancam nyawa sang ibu. Akan tetapi, paraji setempat itu tetap berkukuh pada pendiriannya, menolak untuk membiarkan  sang pasien memperoleh tindakan medis modern. Namun, belakangan si ibu itu terus menerus merasa kesakitan dan  sang suami tidak tega melihat keadaan sang istri. Akhirnya dibuatlah keputusan untuk melanggar aturan adat itu demi menyelamatkan nyawa istrinya. Syukurnya nyawa orang tersebut akhirnya selamat. Setelah pengobatan dijalani, hukum pengasingan di luar Baduy harus tetap dijalani oleh pasangan tersebut, yaitu selama 40 hari.

Ada beberapa kebiasaan menyambut prosesi kelahiran bayi yang biasanya dijalani orang Baduy, baik Baduy Dalam maupun Luar. Tiga hari setelah bayinya lahir, sebuah acara syukuran akan diadakan. Dan seminggu setelah kelahiran, anaknya baru akan diberi nama. Menurut pengamatan yang saya lakukan, nama adik kakak di dalam satu keluarga biasanya hampir mirip. Contoh Sarwadi dan Sarmidi.

KEMATIAN
Sekalipun wilayah pemukiman orang Baduy berada di kaki pegunungan yang dikelilingi hutan dan jurang-jurang, tetapi lahan khusus untuk pemakaman sudah disediakan. Biasanya di hari ketiga setelah kematian akan ada acara peringatan kematian. Pada masa-masa itu, makam itu masih dianggap keramat. Namun, hari ketujuh setelah prosesi pemakaman, tanah makam sudah boleh digunakan lagi sebagai lahan pertanian atau berladang. Bahkan, sudah boleh diinjak-injak.

PERKAWINAN
Hukum adat Baduy mengatur bahwa sistem pernikahan di Baduy Dalam didasarkan atas perjodohan. Biasanya seorang perempuan yang berusia di atas 16 tahun sudah akan dinikahkan. Sedangkan laki-laki biasanya pada usia 20 hingga 25 tahun sudah berkeluarga. Dan jodoh yang dipilih biasanya masih berada dalam satu keluarga, namun tidak sedarah. Jika seseorang ketahuan berpacaran atau menikah dengan orang yang bukan dijodohkan dengannya, maka dia dapat dikenai sanksi diusir dari baduy Dalam.

Sedangkan di Baduy Luar, seseorang bisa mencari jodohnya sendiri, tanpa harus dipilihkan oleh orangtuanya. Prosesi pelamaran dilakukan dalam 3 tahapan.

Di dalam aturan orang Baduy, poligami dan poliandri dilarang keras. Satu pria hanya boleh memiliki istri 1 orang. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, perceraian tidak diperkenankan di Baduy Dalam. Pernikahan boleh dilakukan kembali jika salah satu pasangan meninggal dunia. Oleh karena itu, ikrar perkawinan memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat Baduy.

Masyarakat Baduy dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya santun. Selama 3 hari tinggal bersama mereka, saya merasa aman. Mereka menghargai lawan jenis. Sungguh berbeda sekali dengan keadaan masyarakat sekarang.

BAHASA
Orang Baduy berkomunikasi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Sunda. Namun, dialek Sunda yang digunakan adalah versi Banten, atau yang sering disebut Sunda Ngapak. Sekilas bahasa Sunda orang Baduy terdengar lebih kasar, menurut Kang Sarwadi, orang Baduy Dalam.

Namun, seiiring berjalannya waktu, wilayah Baduy sering mendapat kunjungan, baik dari pemerintah maupun para turis yang suka mengobservasi budaya di sana. Oleh karena itu, bahasa Indonesia sudah mulai digunakan oleh orang Baduy meskipun memang beberapa orang Baduy senior belum sepenuhnya bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Itulah yang saya temukan pada saat menginap di Baduy Dalam. Ketika saya menanyakan di mana tempat untuk buang air, mereka menjawab dalam bahasa yang sulit untuk dipahami. Saya pun Cuma bisa membaca jawaban mereka dari gerak tubuh. Akan tetapi, orang Baduy menunjukkan keramahan mereka terhadap para tamu yang datang berkunjung.

Aturan adat melarang orang-orang Baduy untuk mengenyam pendidikan formal di bangku sekolah. Bahkan, sekalipun pemerintah sudah menawarkan untuk membantu, tawaran itu pun ditolak mentah-mentah. Itulah sebabnya, masayarakat Baduy kebanyakan tidak mengenal baca dan menulis. Akan tetapi, ada satu hal yang cukup mengejutkan. Ketika saya akan pergi ke Baduy, saya mengontak Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi melalui SMS. Awalnya saya mengira mereka adalah orang Baduy Luar. Namun, ternyata mereka adalah orang Baduy Dalam.

Sempat muncul tanda tanya besar di benak saya, bagaimana mungkin orang Baduy Dalam bisa menggunakan teknologi dan bisa ber-SMS. Ketika saya mewawancarai Kang Sarwadi, dia mengatakan bahwa itu tidak menjadi masalah jika digunakan di luar kawasan Baduy Dalam. Lalu, saya memancing kembali dengan pertanyaan lainnya: “Kalau begitu, apa yang membuat seorang Baduy Dalam diusir keluar?”. Ia pun menjawab, jika ketahuan melanggar aturan adat, misalnya naik kendaraan. Saya pun kembali mengajukan pertanyaan: “Lho naik kendaraan kan di luar Baduy Dalam? Kenapa dianggap melanggar aturan adat?”.

Mendengar pertanyaan saya itu, Kang Sarwadi hanya tersenyum malu-malu. Kini, kecurigaan saya semakin bertambah besar. Apakah orang Baduy masih mempertahankan kepatuhannya kepada aturan adat secara utuh. Sejujurnya, saya tidak yakin akan hal itu.

TEMPAT TINGGAL
Pada waktu pertama kali menginjakkan kaki di wilayah pemukiman Baduy Luar, bentuk tempat tinggal orang Baduy Luar sudah jauh berbeda dengan tempat tinggal warga di Ciboleger.

Lumbung padi
Rumah-rumah tradisional dengan beratapkan rumbia menghiasi pemandangan kami saat itu. Tidak ada lagi bangunan bertembokkan besi dan beton. Hanya saja, memang paku sudah boleh digunakan di rumah-rumah orang Baduy Luar. Namun, halnya berbeda dengan rumah orang Baduy Dalam yang hanya murni menggunakan kayu rotan dan ikat tali dari bahan alami.


Sekilas rumah orang Baduy terlihat seperti rumah panggung. Rumah orang Baduy Dalam dibangun dengan lebih tinggi (lebih panggung) ketimbang rumah orang Baduy Luar.

Penerangan yang digunakan di rumah orang Baduy Luar yaitu lampu tempel dengan minyak tanah. Sedangkan di Baduy Dalam hanya diperbolehkan lampu tempel dengan minyak kelapa yang alami.

Uniknya, jika kita berkunjung ke Baduy Luar dan Dalam, hampir setiap rumah memiliki bentuk yang mirip. Hal ini secara simbolik menggambarkan kesetaraan sosial yang dianut orang Baduy. Dengan begitu, konflik pun dapat dikurangi.

PAKAIAN
Kang Sarmidi
Kaum pria di Baduy Dalam biasanya mengenakan baju berlengan panjang tanpa kerah dan kancing dan berwarna putih ataupun hitam polos. Warna putih yang dipilih itu menjadi gambaran simbolis tentang kesucian dan kebersihan. Mereka dilarang keras untuk mengenakan pakaian dengan warna selain hitam dan putih. Dan pakaian yang mereka kenakan wajib ditenun sendiri dari kapas, tidak boleh menggunakan mesin jahit. Kemudian, mereka juga mengenakan sarung berwarna abu-abu kehitaman. Salah satu kelengkapan wajib yang harus dikenakan pria Baduy Dalam yaitu ikat kepala berwarna putih dan sebuah gelang kain.

Sedangkan kaum pria di Baduy Luar biasanya mengenakan baju kampret (sekilas terlihat seperti baju silat orang Betawi) berwarna hitam. Selain itu, dilengkapi dengan ikat kepala berwarna biru tua dengan variasi corak batik. Namun, bagi orang Baduy luar yang dinilai sudah mulai terpengaruh budaya luar, maka baju-baju yang berbau modern sudah boleh mereka kenakan. Misalnya, kaos, celana panjang, dan sandal pun boleh dikenakan.

Biasanya kaum pria Baduy, baik Baduy Dalam maupun Luar, selalu membawa golok saat berpergian. Golok itu disimpan di balik sarung di pinggangnya. Biasanya golok itu akan digunakan untuk membuka jalur perjalanan di hutan ataupun mengerjakan lahan ladang dan pertanian mereka.

Bagi kaum wanita di Baduy Dalam, biasanya mereka mengenakan semacam kain kemben berwarna abu-abu kehitaman. Bahannya pun sama seperti yang dikenakan kaum lelaki Baduy Dalam, benang kapas yang ditenun sendiri. Sewaktu berada di Baduy Dalam, saya sering kali berpapasan dengan ibu-ibu orang Baduy yang tampaknya sudah cukup berumur dan mereka sering kali membiarkan buah dadanya terlihat, tidak ditutupi pakaian. Namun, khusus jika akan pergi beraktivitas, kaum wanita di Baduy Dalam biasanya mengenakan baju yang mirip dengan kebaya dengan bahan benang kapas tenunan berwarna putih atau hitam.

Lalu, bagaimana dengan gaya berpakaian di Baduy luar? Menurut yang saya amati selama beberapa hari, kebanyakan wanita yang sudah dewasa gaya berpakaiannya hampir mirip dengan wanita Baduy Dalam. Yaitu kebaya berwarna putih, hitam, atau abu-abu kehitaman. Hanya saja, wanita Baduy luar juga mengenakan pakaian berwarna biru tua bercorak batik. Sedangkan gadis-gadis remaja dan anak-anak kecil di Baduy Luar biasanya sudah mengenakan baju-baju modern, seperti kaos, tetapi masih dicocokan dengan rok ataupun sarung sebagai bawahannya.

PEKERJAAN
Orang Baduy bermukim di kaki pegunungan Kendang di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak – Rangkasbitung, Banten. Daerah itu dikelilingi oleh hutan-hutan yang asri dan tanah yang subur. Tidaklah mengherankan jika bertani dan berladang menjadi mata pencaharian utama orang-orang Kanekes (sebutan bagi orang Baduy). Beberapa hasil pertanian yang dihasilkan, misalnya petai, durian, pisang, dan rambutan.

Kebetulan pada waktu saya berkunjung ke Baduy kemarin, sedang berlangsung musim panen durian. Di beberapa kesempatan, saya berpapasan dengan sejumlah anak berusia kurang lebih 7 tahun sedang memikul buah durian. Dengan tubuh semungil itu, mereka seakan sudah terbiasa memikul buah durian yang begitu berat. Meskipun medan perjalanan yang mereka lalui begitu curam dan terjal, anak-anak kecil itu tetap bersemangat untuk membawa hasil panenan keluarga mereka ke terminal untuk dijual di sana.

Namun, khusus untuk padi, aturan adat melarangnya untuk dijual. Hasil panen padi orang Baduy akan disimpan di lumbung padi sehingga orang Baduy tidak akan kekurangan persediaan makanan pada musim paceklik.

Bagi masyarakat Baduy, roda kehidupan bermula di pagi hari saat mereka bangun dan pergi bekerja. Dan segala aktivitas orang Baduy berakhir pada malam hari saat mereka kembali beristirahat. Pandangan itulah yang membuat masyarakat Baduy selalu bekerja dengan rajin. Bahkan, nilai itu pun ditanamkan pada anak cucu mereka. Sejak pagi-pagi buta, anak-anak kecil pun sudah bangun dan membantu orangtua mereka bekerja.
Bagi anak laki-laki, mereka biasanya akan diajar untuk bertani dan berladang dengan sang ayah. Sedangkan, anak-anak perempuan biasanya akan membantu sang ibu di dapur, menumbuk padi, ataupun menenun pakaian. Untuk selembar kain, butuh waktu sekitar dua sampai tiga bulan pengerjaan, baru kemudian dijual. Lalu, uang hasil menjual hasil pertanian dan kain, serta kerajinan tangan khas Baduy akan digunakan orang Baduy untuk memenuhi kebutuhan hidup orang Baduy di pasar.


KONFLIK
Menurut hasil wawancara saya dengan Kang Sarmidi, selama ini belum pernah terjadi masalah besar yang mengakibatkan keributan antara orang Baduy Dalam dan Baduy Luar. Biasanya hanya terjadi masalah-masalah kecil yang diakibatkan kesalahpahaman komunikasi. Dan jika hal itu sampai terjadi, maka akan dibawa ke Djaro Adat (ketua adat) untuk menengahi permasalahan tersebut.

Oleh karena pandangan terhadap aturan adat yang tinggi, konflik kecil semcam itu biasanya dapat mudah diselesaikan. Menurut yang saya amati selama tinggal di sana, jarang sekali saya menemukan orang Baduy yang berteriak dan suka memotong percakapan. Mereka sangat santun dalam berbicara. Dan ketika ada satu orang yang bicara, mereka akan mendengarkan. Kemungkinan besar ini juga yang menyebabkan konflik tersebut jarang terjadi.

Selain itu, kebanyakan orang Baduy (baik di Luar dan Dalam) biasanya saling mengenal sekalipun mereka tinggal saling berjauhan. Selama perjalanan dari Ciboleger ke Baduy Dalam, saya sempat singgah di beberapa rumah penduduk dan mereka sangat ramah dalam menjamu kami. Sekalipun hidup dengan keterbatasan materi, tetapi menjamu dengan makanan dan minuman yang mereka miliki tampaknya adalah hal yang wajib. Waktu itu kami dijamu dengan buah durian hasil panenannya dan saya pun menyicipinya. Sungguh nikmat.

SISTEM KEPENDUDUKAN
Konon saya pernah mendengar bahwa jumlah kepala keluarga sudah ditetapkan. Jika ada kepala keluarga baru, dia pun harus keluar dari Baduy Dalam. Saya pun menanyakan hal itu kepada Kang Sarwadi. Dia menjelaskan bahwa itu berkaitan dengan zaman Belanda. Untuk melindungi keluarga-keluarga orang Baduy, Djaro Adat pun membuat semacam tipuan kepada orang Belanda dengan mengatakan aturan itu. Padahal sebenarnya banyak keluarga-keluarga lainnya yang juga bersembunyi di wilayah Baduy Dalam.

Kini warga Baduy pun sudah mulai mendaftarkan kependudukan mereka dengan membuat KTP. Bahkan wilayah Baduy luar pun sudah menjadi lahan kampanye para calon kepala daerah. Orang Baduy kini sudah mulai menerima pengaruh dari luar, meskipun memang belum sepenuhnya.



Dengan sejuta aturan hukum adat yang wajib dijalani orang Baduy, apakah mereka pernah mengeluh? Sama sekali tidak. Justru mereka menikmatinya. Kang Sarwadi berkata bahwa ia betah dengan apa yang ia miliki sekarang. Tidak bisa menonton televisi, tidak ada gadget mewah, tidak ada listrik, dan hanya dapat makan nasi dan ikan asin pun bisa terasa nikmat jika kita mensyukurinya. Jadi, bagaimana pandangan Anda tentang konsep kehidupan? Masihkah Anda akan mengeluh hari ini?

No comments:

Post a Comment