Pages

Sunday, January 20, 2013

KEUNIKAN DIENG PLATEAU, JAWA TENGAH

KEUNIKAN DIENG PLEATUE, JAWA TENGAH

FERLINA TJENGHARWIDJAJA
KELAS E1
JURNALISTIK 2011-11140110043

Nama : Ferlina Tjengharwidjaja
Kelas : E1
JURNALISTIK 2011 - 11140110043

KEUNIKAN DIENG PLEATUE, JAWA TENGAH








HALO TEMAN-TEMAN UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

Pada 30 Desember 2012 sampai 1 Januari 2013, aku dan delapan orang temanku pergi ke kawasan Dieng Plateau, Jawa Tengah untuk bermain dan belajar mengenai kehidupan masyarakat di sana.
             Saat itu, langit tidak cerah dan suasana dingin. Tapi tidak mengurangi kebahagiaan dan keantusiasan kami untuk menjelajahi komunitas gembel atau gimbal yang berada di kawasan Dieng ini. Akhirnya setelah perjalanan selama kurang lebih tiga jam, aku dan teman-temanku berhasil sampai ke kawasan Dieng.  Udara dingin sangat menggigit kulit, membuat kami harus mengenakan pakaian tebal. 
APA YANG MENARIK DARI DIENG??

DIENG merupakan gabungan dari dua kata bahasa kawi, yaitu “DI” yang berarti gunung, dan “HYANG” yang berarti dewa. Sehingga jika digabungkan menjadi DIENG yang berarti gunung tempat dewa-dewa bersemayam.
Kota ini terletak 55 km di sebelah timur laut kota Banjarnegara dan 26 km sebelah utara kota Wonosobo. Kota yang dingin dengan udara yang masih segar, sebab sejauh mata memandang hamparan tumbuhan hijau menghiasi sepanjang jalan. Dieng berada 2000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu berkisar 8-22’ C. Aku yang tidak tahan dengan udara dingin pun bergegas menggunakan baju lengan panjang dan syal yang selalu melilit di leher.
Jika kita pergi ke salah satu tempat wisata di Dieng yang berisi candi-candi, kita akan elihat banyak sekali candi peninggalan leluhur. Ternyata, Dieng memang dikenal sebagai pusat spiritual. Kawasan yang berada di Jawa Tengah ini memiliki sekelompok bangunan yang dipercaya berasal dari awal abad ke 18 Masehi.
Apabila kita melihat candi-candi yang ada, sekilas nampak biasa saja. Namun, ternyata struktur bangunannya merupakan kombinasi garis-garis horizontal dan vertikal, yang melukiskan tentang kesederhanaan. Ketika aku mengunjungi museum Dieng Kailasa, di sana dijelaskan mengenai struktur bangunan. Ada yang unik dari fondasi-fondasinya. Ternyata bangunan candi ini tidak direkatkan dengan lem, semen, atau bahan perekat apapun.

Seperti gambar di atas, penyusunan bangunan candi ini seperti lego mainan. Unik dan sangat menarik sekali, sebab sekalipun tidak direkatkan dengan apapun, candi-candi ini dapat bertahan lama hingga saat ini. Candi-candi inilah yang akhirnya menjadi salah satu tempat wisata yang ramai dikunjungi di Dieng.
Jika kita mendengar kata candi, maka kita pasti mengidentikannya dengan tradisi Hindu atau Budha. Ya! Memang, pada awalnya penduduk Dieng rata-rata beragama Hindu atau Budha. Namun, seiring berjalannya waktu mayoritas agama penduduk adalah Islam. Sekalipun beragama Islam, aku melihat seperti ada peleburan dua kebudayaan atau dua agama. Sebab, masyaarakat Islam di sini konon katanya tidak semuanya menunaikan salat dan puasa ketika menjelang Idul Fitri. Selain itu, praktik-praktik keagaaman Hindu-Budha seperti bertapa di goa-goa dan gunung pun masih seringkali dilakukan.
Mengenai profesi, masyarakat setempat kebanyakan ternyata bekerja sebagai petani atau buruh tani di dataran tinggi. Mereka mengelola tanaman kentang, kacang dieng, kubis, carica, serta palawija. Hasil tanaman ini biasanya dijual atau diolah lagi menjadi makanan siap saji yang kemudian dijual di sekitar kawasan Dieng. Di tempat wisata, aku dan teman-teman senang sekali membeli kentang rebus yang diberi bumbu keju, sapi panggang, pizza, dan berbagai rasa lainnya. Kentang ini dijual dengan harga Rp10.000,00. Rintik hujan dan cuaca yang dingin saat itu, membuat kentang rebus ini terasa sangat lezat.
Selain kentang rebus, ada satu makanan yang terkenal, yaitu mie ongklok. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa bentuknya ketika belum melihat. Mie ongklok ini ternyata merupakan mie yang dimasak dengan alat bantu bernama ongklok. Bentuknya seperti keranjang dari bambu. Karena itulah mie ini dinamakan mie ongklok. Kuahnya kental dan mie ongklok biasanya dijual dengan sate sapi, tempe kemul, serta keripik tahu.

Di Dieng ini, aku mengamati interaksi budaya dan tradisi yang dipegang teguh dari kawasan Dieng ini.  Di sini terdapat kepercayaan yang masih berlaku sampai sekarang mengenai rambut gembel atau lebih dikenal dengan gimbal.
Menurut cerita dari beberapa orang dan referensi yang aku baca, rambut gimbal akan tumbuh pada anak-anak berusia dua sampai lima tahun yang sebelumnya mengalami sakit panas seperti demam yang tidak kunjung sembuh. Penyakit ini membuat anak-anak ini uring-uringan dan tidak teratur sikapnya. Setelah sakit dengan temperatur tubuh yang sangat tinggi, muncullah beberapa titik di kepala yang merupakan calon rambut gimbal. Anak yang kedapatan memiliki rambut gimbal dianggap sebagai “anak titipan”.
Pada waktunya, rambut ini akan dipotong dan si anak akan meminta sesuatu kepada orang tuanya seperti kambing, 600 telur, sepeda, perhiasan, dan permintaan lain tergantung apa yang si anak minta. Jika orang tua dapat memenuhi permintaan si anak, maka prosesi ruwat atau pemotongan rambut gimbal tersebut akan segera dilaksanakan. Namun, jika orang tua belum dapat memenuhi permintaan si anak, prosesi tidak dapat dilakukan.
Konon katanya, permintaan si anak harus dapat dituruti. Apabila tidak, dapat berakibat fatal. Sebagai contoh, pada zaman dulu ada seorang anak berambut gimbal yang permintaannya berupa ular sebesar gentong. Karena pola pikir orang zaman dulu yang masih sempit dan belum berkembang, permintaan itu dianggap tidak dapat dipenuhi.  Anak tersebut akhirnya tidak melakukan ruwat sampai besar. Akibatnya, dia tumbuh menjadi anak yang stress atau seperti orang tidak sadar atau gila. Sedangkan anak berambut gimbal yang berhasil atau melakukan ruwat, setelahnya akan menjadi anak yang memiliki daya tahan tubuh atau kekebalan tubuh lebih banyak dari anak-anak biasanya.



Hari pertama! 30 Desember 2012
Aku dan teman-temanku bertemu Najwa.  Seorang gadis berumur empat tahun yang lucu dan manis. Matanya sangat indah, apalagi bulu matanya yang lentik. Seketika itu aku melihat rambutnya yang berbeda dengan rambut anak-anak pada umumnya. Ternyata Najwa adalah anak beruntung yang memiliki rambut gimbal. Selama tiga hari dua malam kami tinggal di rumahnya.

                Di rumah Najwa yang cukup luas ini, aku dapat dengan leluasa memerhatikan gerak-gerik Najwa.  Apalagi ternyata dia cukup lincah dan riang. Dia memang tidak begitu interaktif ketika aku ajak berbicara dengan bahasa Indonesia. Namun, ketika Agung yang fasih berbahasa Jawa mengajaknya bicara, Najwa menjawabnya dengan luwes seperti teman akrab. Memang, faktor persamaan budaya sangat memengaruhi. Tentunya, Najwa merasa lebih dekat dengan orang yang bisa berbahasa sama dengannya.
                Untuk menggali banyak informasi, aku dan teman-temanku mengunjungi Mbah Naryono. Beliau adalah pemangku adat yang seringkali memimpin upacara ruwat atau pengguntingan rambut anak gembel. Mbah Naryonolah yang biasanya membacakan mantra dan doa-doa serta mengeramasi anak-anak gembel tersebut.
                Karena usianya yang sudah sangat tua, Mbah sudah tidak banyak mengingat kejadian dan peristiwa tentang anak gembel di masa lalu. Yang dia ingat, dulu dia jugalah anak berambut gimbal. Sudah ada banyak sekali anak gimbal yang Mbah doakan tentunya. Dari sekian banyak permintaan yang dilontarkan oleh anak gimbal, ada satu permintaan yang agak aneh kedengarannya, yaitu ular sebesar gentong. Pemikiran yang sempit dan kurangnya logika berpikir menjadikan permintaan tersebut tidak dituruti.
                “Padahal, kalau zaman sekarang kan bisa saja kita bawakan ular di dalam gentong. Mungkin saja itu maksud permintaannya,” ujar si Mbah dengan bahasa Jawanya yang fasih.
                Alhasil saat itu permintaan dari si anak gembel tidak dituruti. Si anak kemudian tumbuh besar dengan rambut gimbalnya, tetapi kehidupannya tidak berjalan biasa. Si Mbah menyebut si anak tersebut seperti tidak waras.
                Mbah kemudian menjelaskan hal yang sudah menjadi fenomenal yakni mengenai gejala awal seorang anak bisa menjadi gembel. Gejala ini biasanya terjadi pada anak berusia 2-5 tahun. Anak tersebut akan mengalami sakit panas yang tidak kunjung sembuh. Ada dua tipe anak gimbal, yang pertama cenderung pemalu dan tertutup. Yang kedua sangat terbuka bahkan terlampau tidak bisa diam. Anak-anak ‘pilihan’ ini biasanya seringkali berceloteh sendiri dan nampak lebih cerdas daripada anak-anak yang tidak gimbal. Apalagi setelah melakukan prosesi ruwat, tingkat kekebalan tubuh anak gimbal pun akan bertambah.
                Dari sisi tradisi dan budaya, Mbah mengaku membacakan mantra dan doa dari agama Islam yang dicampur dengan tradisi Dieng. Apabila ada anak gembel yang bukan beragama Islam, Mbah akan membacakan doa dan mantra dari tradisi Dieng saja.

                Jika secara budaya fenomenal anak gembel dianggap sebagai  tradisi nenek moyang yang tidak bisa ditangkap dengan akal sehat, pihak medis memiliki pemikiran lain. Aku dan teman-teman tentunya sangat tertarik untuk mendengar pendapat dari pihak medis. Karena seperti yang kita tahu, pihak medis adalah orang-orang yang selalu menggunakan ilmu dan logika berpikir secara runtut, serta tidak diperbolehkan untuk mempercayai tradisi atau takhayul.
                Kami akhirnya menemui Dokter Kukuh. Beliau adalah tenaga medis di Dieng yang seringkali menemukan anak-anak calon gembel yang sakit panasnya tidak dapat disembuhkan. Atau dengan kata lain, fisik anak tersebut panas sekali. Tetapi ketika diperiksa, tidak ada penyakit atau gangguan apapun yang menyerang tubuh si anak.

                Hal ini membuat Dokter Kukuh sangat penasaran. Atas sumpah dokter yang dipegangnya, beliau mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihak medis masih mencoba mencari tahu dan menemukan fakta yang masuk akan mengenai anak gembel. Sudah ada banyak peneliti dari dalam dan luar negeri yang mencoba mencari kebenarannya. Tetapi memang belum ditemukan sampai saat ini. Beliau mengaku saking penasarannya, dia sampai mengeramasi rambut si anak gimbal dan menyisirinya sampai lurus. Tapi ternyata, setelah dikeramasi beberapa saat kemudian rambut itu kembali menggimbal.
                Aku sangat senang mendengar satu topik diceritakan dari dua sudut pandang yang berbeda. Secara tradisi hal ini dipercayai sebagai titipan dari leluhur, tetapi secara logika sulit sekali menemukan pemecahannya.
                Kami bersembilan akhirnya memutuskan untuk berpisah. Sekar, Kevin, dan Mando akan mengakrabkan diri dengan Rizi, anak gembel yang berusia 11 tahun.  Sedangkan aku, Agung, dan Ivan mencoba mendekatkan diri lagi dengan Najwa.               
                Najwa ternyata sangat senang memakan makanan yang rasanya asin ketimbang manis. Kesempatan kali ini dia sudah lebih bawel dan terbuka kepada kami. Awalnya, Najwa malu-malu. Aku dan Agung mencoba mengajaknya melakukan kegiatan yang paling dia gemari yaitu mewarnai.  Bocah bermata indah ini sangat senang dan tidak bosan mewarnai. Aku sering kali bertanya dengan bahasa Indonesia, tapi dia mengabaikan. Akhirnya aku minta Agung untuk berbahasa Jawa. Seketika Najwa menjadi lebih bawel dan lincah.
                Tidak lama kemudian, teman-temanku pulang dari kediaman Rizi. Kami pun sempat bertukar cerita. Ternyata, Rizi cenderung lebih terbuka dan tidak bisa dia. Gayanya sangat lincah dan tentunya cerdas. Berbanding terbalik dengan Najwa yang pemalu dan diam-diam saja. Biarpun begitu, aku dan teman-temanku tertawa ketika tahu bahwa jam tidur mereka sama, yaitu hampir selalu pukul 12 malam setiap harinya. Sehingga munculah guyonan di antara kami, “Jangan-jangan anak gembel tidurnya selalu malam?” .
                Hari ini hari yang sangat menyenangkan. Kami dapat berbicara dan bernyanyi bersama Najwa.
               
HARI KE DUA 31 DESEMBER 2012
Ini hari yang melelahkan tapi sangat menyenangkan! :D

Setelah dini hari pukul tiga pagi tadi kami mengejar sunrise, di hari kedua ini aku dan teman-teman lebih banyak mengunjungi tempat-tempat seperti Museum Dieng Kailasa, telaga warna, dan tempat prosesi ruwat terjadi.  Di museum, aku banyak melihat gambar dan arca-arca peninggalan leluhur. Selain itu, aku dan teman-temanku juga menonton film dokumenter tentang Dieng yang diputarkan secara khusus bagi pengunjung museum.
Selain museum, aku mengunjungi tempat  proses ruwatan atau pengguntingan rambut anak gimbal dilaksanakan. Ada empat tempat yang sekaligus menjadi tahapan bagi anak gembel sebelum dipotong rambutnya. Yang pertama, adalah darmasala. Di tempat inilah para tamu undangan dipersilahkan duduk dan beristirahat sembari menikmati Janen, kesenian perpaduan rebana dan gending Jawa. Kedua, anak gembel akan di bawa ke tempat keramas yaitu Sendang Sendayu. Setelah pembacaan doa dan mantra, pemangku adat akan mengeramasi anak-anak gembel dengan air yang berada di Sendang Sendayu. Ketiga, adalah candi Arjuna yang digunakan sebagai tempat pemotongan rambut anak gimbal. Terakhir setelah dipotong, rambut akan dilarungkan atau dilarutkan ke alam di telaga warna.



Perjalananku dengan 8 orang teman lainnya memang sangat melelahkan. Tetapi aku sangat senang karena menemukan banyak sekali hal baru. Terlebih aku jadi belajar bahwa ada banyak sekali budaya yang menarik untuk dipelajari dan diketahui. Seperti fenomenal anak gimbal atau gembel ini. Budaya yang menimbulkan banyak tanda tanya, tapi tetap sangat menarik untuk disimak. Dengan mempelajari budaya mereka, aku jadi belajar untuk lebih menghargai setiap keistimewaan daerah khususnya di negara Indonesia ini. 

Ada beberapa konsep komunikasi antar budaya yang aku temukan :
1.       Antara aku dan Najwa sebagai komunikator dan komunikan. Aku selalu memulai atau mengawali pembicaraan. Najwa tentu menimpali.  Tetapi jawabannya terbatas dan banyak menggunakan bahasa Jawa yang aku tidak mengerti. Aku merasa bingung dan merasakan gangguan (noise) di dalam interaksi kami. Apa yang aku sampaikan tidak direspon dengan baik oleh Najwa begitupun ketika dia bawel mengajak aku berbicara, aku tidak bisa membalas, hanya dapat tertawa atau tersenyum. Apalagi ketika aku mengetik tugas ini, Najwa mengahampiriku dan berceloteh dengan bahasa Jawa. Aku tidak dapat menimpali sama sekali, hanya tertawa dan tersenyum. Intinya, persamaan budaya yang dimiliki memang akan memperlancar jalannya komunikasi dan menimbulkan perasaan “sedarah”.
2.       Di dalam worldview atau cara pandang masyarakat gembel , mereka dipengaruhi oleh agamanya yang mayoritas Islam dan menganut tradisi Jawa. Dari apa yang aku dengar dari pemangku adat, mereka mempercayai bahwa setiap anak yang kedapatan memiliki rambut gembel atau gimbal merupakan berkat tersendiri. Karena, anak tersebut adalah anak titipan yang memiliki kemampuan lebih bahkan permintaan anak gimbal tersebut untuk prosesi ruwat diyakini sebagai permintaan dari ‘sesuatu’ yang menitipi mereka.
3.       Komunikasi non verbal dari si anak gembel. Seperti dikatakan ada dua tipe, entah cenderung tertutup dan pemalu, atau terbuka dan lebih aktif dari anak biasanya. Karena aku mengamati Najwa, aku menggolongkan Najwa ke dalam tipe anak gimbal yang cenderung tertutup dan pemalu. Seperti anak-anak kebanyakan, Najwa bermain dan melakukan aktifitas sehari-hari. Hanya saja, Najwa terlihat lebih cerdas. Ketika ditanya dia akan banyak diam, kemudian tiba-tiba menjawab dengan suara keras seperti antusias karena tahu jawaban dari pertanyaan kami. Najwa yang keturunan Jawa asli tentunya memiliki warna kulit sawo matang, rambut hitam, dan bola matanya besar dengan bulu mata yang lentik persis seperti ibu kandungnya. Gaya bertuturnya masih polos dan lembut, tetapi sedikit medok. Menunjukan darah Jawa mengalir di dalam tubuhnya.
1.       Masyarakat di Dieng pada umumnya high context atau senang berbasa-basi. Mereka tidak terus terang menyampaikan maksud dari pernyataan mereka. Biar begitu, mereka semua ramah dan baik serta berbicara dengan suara yang lembut dan pelan. Kehidupan merekapun nampak saling bahu membahu satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa sifat kebudayaan mereka adalah kolekivis atau membutuhkan satu sama lain untuk dapat bertahan hidup.


1 comment: