Pages

Sunday, January 20, 2013

Nano-Nano Budaya Indonesia (Kampung Sindangbarang)




Nama : Thomas Himawan S.
NIM  : 11140110125
Kelas  : G1

Ucapkan "Sampurasun"
Papan Marketing Office
Sampurasun! Anda yang menggunakan Bahasa Sunda pasti mengerti arti kata ini. Ya, “sampurasun” berarti permisi atau sama dengan “kulonuwun” dalam Bahasa Jawa. Jawaban dari “sampurasun” tentu saja “rampes”. Bahasa Sunda yang kedua, “rampes” berarti silahkan atau setara dengan “mangga” (baca: monggo) dalam Bahasa Jawa. Mengapa saya membicarakan Bahasa Sunda? Tentu saja karena bahasa yang digunakan di Kampung Sindangbarang ini adalah Bahasa Sunda dan bahasa sendiri merupakan salah satu elemen dari budaya.
            Warga di Kampung Budaya atau Kampung Adat Sindangbarang banyak menggunakan Bahasa Sunda yang merupakan warisan dari leluhur mereka. Namun, di sektiar Kampung Sindangbarang ada pula yang menggunakan Bahasa Betawi karena cukup banyak pendatang yang dulunya orang betawi. Jadi bisa dikatakan Berbahasa Sunda adalah salah satu ciri dari Kampung Budaya ini yang membedakan dengan Kampung Budaya lain. Bahasa Sunda juga membawa identitas bagi orang-orang di Kampung Sindangbarang, menjadi pemersatu, alat untuk bertukar ide, dan untuk mewariskan nilai-nilai para leluhur kepada generasi-generasi di bawahnya. Di Kampung Budaya ini, mulai dari rumah-rumah, peralatan masak, hingga ke aksesoris pakaian yang digunakan mempunyai nama dalam Bahasa Sunda.

Sedikit cerita Kampung Budaya Sindangbarang
            Sampai di Bogor hawanya sejuk, kanan-kiri jalan diisi pohon-pohon besar yang menghalangi sinar matahari masuk. Jalanan di Bogor cukup nyaman walau terkadang ada angkutan umum yang langsung menyerobot untuk menaik-turunkan penumpang. Jalan menuju Kampung Budaya ini cukup sempit dan sulit. Kita harus memasuki gang yang hanya cukup untuk dua mobil kecil dan itu pun pas sekali. Jalannya menanjak dan berliku karena Kampung Budaya ini terletak di bukit. Jadi, siap-siap saja bagi yang memakai mobil manual jika ada mobil dari arah berlawanan.
Langsung saja jika Anda ingin ke sana, ini alamatnya, Jalan E. Sumawijaya Sindangbarang Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Anda harus melewati Alun-alun Empang dulu kemudian masuk ke Gang Nurkim. Setelah memasuki gang kita akan melihat sawah-sawah dan itu pertanda, Anda sudah dekat Kampung Sindangbarang. Akan ada persimpangan di sana. Ambilah yang kiri, lalu ikuti jalan saja maka Anda akan melihat jalan masuk yang terjal di kanan jalan. Jalan terjal itulah pintu masuk Kampung Budaya Sindangbarang. Kampung budaya ini tersembunyi di balik pohon dan dikelilingi oleh sawah-sawah terasering.
Globalisasi yang menjadi tantangan dalam melestarikan kebudayaan Indonesia juga terasa sampai ke Kampung Budaya Sindangbarang lho. Jika tidak dijadikan Kampung Budaya, mungkin tanah itu akan dijadikan perumahan, kata seorang pejabat Kampung Budaya Sindangbarang yang kemudian saya kenal dengan Pak Ukad.  Pak Ukad bercerita banyak mengenai sejarah dan cerita pribadinya yang melukiskan sampai terbuatnya kampung ini. Kampung Budaya ini masih baru sebenarnya, tahun 2004 baru dibangun. Namun, Kampung Sindangbarang sendiri tentu sudah lama sekali ada.

Sekilas sejarah Kampung Budaya Sindangbarang
Awal pendirian Kampung Budaya ini sebenarnya cukup unik. Ini bermula dari Pak Maki yang sekarang menjadi Kepala Suku Kampung Budaya Sindangbarang. Waktu itu beliau sedang berada di Manado dan melihat televisi. Di televisi itu Ia melihat perlombaan Tari Jaipong yang kontestannya para bule. Lalu beliau pun mulai berpikir, “Ini budaya sendiri kalau tidak dilestarikan bisa hilang. Bisa-bisa kita mesti belajar budaya kita sendiri ke luar negeri.” Maka dari itu Pak Maki langsung pulang ke Sindangbarang dan menemui Pak Ukad untuk membangun sanggar. Dari tahun itu, 2003 akhir hingga 2012 belajar Tari jaipong tidak dipungut biaya apa pun di Kampung Budaya Sindangbarang.
Pak Ukad sebenarnya sudah diberitahu oleh para tetua pada 1979. “Suatu saat nanti zaman bakal berubah. Kita jaga budaya!” kenang Pak Ukad. Namun, Pak Ukad saat itu masih “ngeyel” dan masa bodoh. Kalau pegang ilmu orang dulu, suka miskin, pikirnya. Lalu Ia merantau ke Jakarta. Ia bertemu dengan Orang Kalimantan dan dididik olehnya untuk membuka usaha. Wakil Kepala Suku Kampung Budaya Sindangbarang ini berhasil dengan mempunyai usaha sepatu di Jakarta dan mulai merambah di luar kota. Pak Ukad pun sempat pulang ke Sindangbarang beberapa kali dan beberapa kali itu pula kakeknya selalu mengingatkan untuk menjaga budaya leluhur. “Jangan menyesal nanti kamu kalau tidak menjaga budaya leluhur. Kamu bakal terkena musibah di umur 40 tahun. Cuma kalau nanti kamu kena musibah ga kuat, kamu ziarah malam selasa.” Cerita Pak Ukad. Peringatan itu masih Pak Ukad abaikan dan Ia kembali lagi ke Jakarta.
Ternyata benar, tiba-tiba usaha Pak Ukad tidak jalan sama sekali bahkan usaha di luar kotanya tiba-tiba tidak laku. Untungnya, Beliau ingat akan apa yang kakeknya bilang. Akhirnya Pak Ukad pulang ke Sindangbarang dan memulai ziarah di malam selasa. Di peziarahannya, Ia sempat tertidur dan bermimpi ada layangan jatuh di depan rumah di Gunung Salak. Beliau pun mulai berpikir arti dari layangan jatuh tersebut. Tiga tahun lamanya, mulai dari mencari arti mimpinya, mencari layangannya hingga melakukan hal-hal lain yang dianggap tidak waras oleh warga sekitar. Karena kelakuannya itu, warga sekitar sempat menyebut Pak Ukad “stres”. Sampai akhirnya Pak Ukad dipanggil oleh Pak Maki untuk membantunya mendirikan Kampung Budaya ini. Pak Ukad menceritakan banyak kisah pribadinya padaku.
Awalnya yang dibangun adalah sanggar. Setelah sanggar mulai dicari budaya-budaya lain. Pak Ukad dan Pak Maki akhirnya mencari tetua-tetua yang masih hidup untuk menceritakan budaya apa saja yang ada. Ada yang mengatakan Seren Taun dari zaman Padjajaran. Mulai dicari Seren Taun itu apa dan bagaimana. Seren Taun adalah bentuk puji syukur bagi masyarakat Sindangbarang akan hasil bumi, yaitu panen. Jadi Kampung Budaya ini bukan langsung dibangun semua sesuai rencana, tetapi satu-satu. Jadi seperti menyusun puzzle yang akhirnya menjadi satu potret yang indah.
            Akhirnya kerja keras mereka untuk melestarikan budaya terdengar sampai ke Gubernur Jawa Barat. Lalu mereka dipanggil dan ditanya macam-macam oleh Pak Gubernur. Pak Maki dan Pak Ukad tidak bisa menjawabnya. Kemudian mereka dibantu Budayawan Jawa Barat, Bapak Anis Djatisunda. Beliau yang menjelaskan kepada Pak Gubernur bahwa ada Pantun Bogor versi Padjajaran Seren Papan yang menceritakan Rancamaya dan Sindangbarang, ditulis Aki Buyut Baju Rambeng saat abad 16 akhir pas Padjajaran akan jatuh. Setelah mendengar banyak cerita, Pak Gubernur akhirnya membantu biaya pembangunan dan meresmikannya pada 2006.
            Kampung Budaya atau Kampung Adat Sindangbarang? Dua-duanya benar, Kampung Budaya Sindangbarang adalah tempat untuk menggali potensi-potensi budaya-budaya yang sudah tiada sedangkan Kampung Adat Sindangbarang terletak satu kilometer dari Kampung Budaya Sindagbarang di mana di Kampung Adat Sindangbarang terdapat peninggalan sejarah seperti Taman Sri Bagenda Dan Mata Air Jatalunda. Kampung Adat itu tempat di mana warga langsung atau suku asli tinggal. Pak Ukad dulu tinggal di kampung adat bersama para tetua-tetua.

Kegiatan di Kampung Budaya Sindangbarang
Kegiatan yang pertama adalah nandur. Di Jawa Tengah nandur berarti menanam, entah itu menanam padi atau tanaman lainnya. Namun, di Sindangbarang nandur identik dengan menanam padi dan nandur sendiri adalah sebuah singkatan dari Nanem Mundur. Nandur dilakukan supaya tanaman tertanam dengan rapi dan bibit padi yang sudah tertanam tidak mungkin terinjak karena menanamnya sambil berjalan mundur.
Bakiak
Kegiatan berikutnya adalah permainan bakiak. Bakiak sendiri menggambarkan masyarakat harus kompak dan berkomunikasi. Jika tidak kompak dan berkomunikasi, akan terjatuh sama-sama. Mereka harus saling berinteraksi supaya bisa berjalan dengan baik dan mencapai tujuan mereka.
Selanjutnya adalah Egrang. Permainan menggunakan bambu panjang dan kayu di bagian bawah, tempat untuk kaki. Ada nilai-nilai yang diturunkan juga dalam permainan ini. Egrang itu permainan tingkatan atas, artian hidup yang sudah mapan. Jika diibaratkan zaman sekarang itu seperti pimpinan. “Ketika bermain egrang jangan coba melihat ke atas karena pasti jatuh. Bermain egrang harus melihat ke depan dan ke bawah supaya tidak jatuh dan berhati-hati. Artinya, jika nanti kita sudah menjadi pimpinan, jangan selalu lihat ke atas, tetapi melihatlah ke depan dan ke bawah, lihatlah ke rakyat dan masa depan.
Permainan batok kelapa. Jadi permainan ini menggunakan setengah batok kelapa dan di tengahnya terdapat tali untuk pegangan. Permainan ini bisa disebut juga egrang batok kelapa. Jadi kita berjalan diatas batok kelapa itu dan memegang talinya. Batok kelapa dijadikan seperti sandal.
Permainan Batok Kelapa
Angklung gubrag. Salah satu kesenian tradisional yang masih dijaga hingga sekarang. Permainan musik angklung gubrag biasanya digabungkan dengan permainan dok-dok lonjor. Bermain alat musik tradisional ini tidak hanya diam saja, tetapi sekaligus menari. Fungsi dan nilai angklung gubrag sendiri bermacam-macam, yaitu untuk menyambut tamu, mengiringi pawai, dan fungsi utama angklung gubrag adalah untuk mengiringi nandur karena iringan lagu tersebut berguna untuk menyuburkan tanaman. Namun, karena zaman sudah modern, iringan lagu angklung gubrag bisa diganti dengan iringan lagu dari radio untuk menyuburkan tanaman. Salah satu tetua Sindangbarang bercerita jika lagu, ceramah dari radio bila ditujukan pada tanaman, bisa menyuburkannya.
Saya bersama pemain Angklung  Gubrag dan Dok-dok Lonjor
Angklung Gubrak
Tari Jaipong. Tarian rakyat ini diiringi dengan suara musik gamelan. Gamelan di sini kurang lebih masih sama seperti di Jawa Tengah. Tarian ini lebih cenderung ke arah hiburan walau selalu ada di Upacara Seren Taun sebagai bentuk ritual.
Menyumpit. Seni alat bela diri yang masih dilestarikan di Sindangbarang. Adalah alat bela diri yang menggunakan bambu seperti pipa dan ada jarum di dalamnya untuk ditiup meluncur ke arah lawan. Zaman dulu menyumpit digunakan untuk alat perang. Sekarang, sasaran menyumpit bukan lagi manusia melainkan buah pepaya muda yang digantung.
Ternyata alat tumbuk-menumbuk padi saat saya kecil dulu masih ada di sini! Bunyi saat menumbuk padi sangat merdu menurut saya. Inilah peralatan tersebut, semuanya terbuat dari kayu.

Alat Penumbuk Padi
Leuit, tempat menyimpan padi
Komunikasi Lintas Budaya
     Saya datang ke sana sebenarnya sudah merupakan komunikasi lintas budaya. Saya berasal dari Jawa Tengah dan mereka berasal dari Jawa Barat. Sebenarnya kegiatannya mirip-mirip seperti di Jawa Tengah, tapi menjadi perbedaan yang sangat terlihat adalah bahasanya. Bahasa Sunda sangat berbeda dengan Bahasa Jawa. Bahasa Sunda lebih cepat dan lugas. Untungnya masyarakat di Kampung Sindangbarang bisa menggunakan Bahasa Indonesia sehingga saya bisa mempelajari budaya mereka. Bahasa Indonesialah yang menjadi alat untuk menyebarkan budaya mereka kepada saya.
Secara tidak sadar budaya itu disebarkan melalui observasi yang saya lakukan. Pembelajaran informal mengenai Budaya Sunda di Kampung Sindangbarang saya dapatkan melalui observasi. Saya menjadi mengerti peranan berdasarkan gender dan interaksi mereka. Peranan gender masih sama seperti pada umumnya, wanita memasak di dapur, menyiapkan makanan, sedangkan pria mencari nafkah. Kepala suku harus dipimpin oleh seorang pria. Interaksi mereka tidak menggunakan tangan. Mereka berbicara dengan langsung, dalam artian menanyakan langsung tidak basa-basi dan non-verbal menggunakan gerakan tangan cenderung sedikit.
            Warga di Kampung Budaya Sindangbarang sendiri mayoritas beragama Islam. Mereka mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan dalam agamanya. Jadi nilai-nikai dalam agama Islam yang mereka gunakan sebagai petunjuk tetntang bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kepercayaan akan alam juga tetap mereka jaga. Pak Ukad juga memegang kegiatan berzikir dengan teguh. Ia percaya dengan berzikir kita akan lebih tenang dan bijaksana. Selain itu di Kampung Sindangbarang sendiri, warga aslinya masih memakai ritual sebelum menanam, ketika mau panen, dan sesudah panen. Semuanya mereka fokuskan untuk memohon dan meminta izin pada yang Mahakuasa, sebab mereka hanya menanam dan yang memberi kenikmatan adalah Tuhan.
            Saya juga mempelajari Budaya Sunda melewati mitos mereka. Saat saya ke sana, saya diceritakan sebuah mitos. Mitos tentang se’eng. Se’eng adalah alat memasak untuk merebus air, terbuat dari tembaga. Se’eng disimbolkan oleh warga asli Sindanbarang sebagai kejayaan bagi laki-laki. Jadi, kalau pria ingin mempersunting wanita, harus bawa se’eng zaman dulu karena se’eng juga menjadi jati diri calon istrinya. Tidak membawa se’eng sama dengan tidak menghargai jati diri sang calon istri. Itu adalah harga mati. Walaupun seorang pria itu kaya, bisa membeli ini itu, tetapi ketika mau memersunting tidak membawa se’eng, sama saja dengan menghina perempuan.
 Mitos se’eng dahulu, yaitu ketika air sedang mendidih, orang yang sedang menceri seseorang harus mengucapkan mantra setelah itu menyebut namanya siapa, alamatnya dimana, dan binti siapa sehingga orang yang dicari itu merasakan rindu dengan orang rumah hingga ke perasaan yang paling dalam dan ingin pulang. Mantranya itu berasal dari syahadat Sunda. Itulah salah satu mitos di Budaya Sunda ini. Mitos itu sendiri mengandung pengalaman dan nilai budaya. Nilai budayanya atau pesan moral yang ingin disampaikan itu menurut saya adalah berserah pada Tuhan dan memohon dengan tulus. Selain itu pesan moral yang ingin disampaikan adalah kekeluargaan, jangan sampai lupa orang tua jika kita sudah merantau.
            Budaya itu dibagikan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Contoh yang paling dekat adalah penurunan nama keluarga atau marga. Di Kampung Sindangbarang sendiri sayangnya marga itu hilang karena Belanda menyebarkan budaya tentang titel (Raden). Jadi, ketika warga Suku Sunda ingin bersekolah SMA harus mempunyai sertifikat Raden dulu baru bisa sekolah. Mendapat titel ini ada dua macam. Pertama didapat dari keturunan kerajaan. Kedua, harus membeli ke pemerintahan Belanda. Oleh karena itu, hingga saat ini di Kampung Sindangbarang sendiri tidak ada marga. Namun, nilai-nilai tetap terus diajarkan mulai dari kecil. Sejarah tentang nilai-niali terus diturunkan supaya perspektif suatu budaya tidak hilang. Nilai-nilai kehidupan Suku Sunda di Kampung ini berasal dari sejarah yang panjang dan sejarah itu menjadi petunjuk untuk bertingkah laku, berpola pikir, berperilaku.

Pak Ukad, Wakil Kepala Suku 
Sekian.
Terima Kasih.







No comments:

Post a Comment