Pages

Tuesday, January 15, 2013

Imlek 15 - Tradisi Sembahyang Leluhur

NAMA: ANGELIA
NIM: 11140110180
KELAS: F-1



Kota Singkawang atau kota yang sering kali disebut- sebut kota seribu kuil adalah sebuah kota kecil di daerah Kalimantan Barat. Kota ini begitu kental dengan budaya Chinesenya, seperti chinanya Indonesia.sekitar 165 ribu warga Singkawang, 58% diantaranya beretnis Tionghoa. Beragam budaya terdapat di Kota kecil ini, seperti Budaya suku Dayak, budaya suku Melayu dan Budaya suku Chinese. Perpaduan tiga budaya suku merupakan suatu kelebihan bagi kota Singkawang. Mereka bisa hidup berdampingan tanpa ada masalah dalam perbedaan budaya dan kepercayaan.




Budaya Chinese kota singkawang sangat kental bisa dilihat di perkampungan kaliasin atau yang bisa disebut Jam Thang.salah satu perkampungan tertua di daerah Kalimantan Barat. Berlokasi di daerah pinggiran kota Singkawang selatan. Kampung Kaliasin adalah bukti sejarah masuknya China dari wilayah Hong Ciu, Tiongkok pada awal abad XVII. Pada saat itu, sejumlah orang  Tiong Hoa sengaja didatangkan Raja Sambas untuk bekerja sebagai buruh tambang emas di Monterado Kalimantan Barat. Kedatangan mereka juga turut membangun permukiman yang diberi nama Jam Thang ( Kaliasin), setelah mereka tidak lagi bekerja  sebagai penambang emas, mereka menghidupi diri mereka dengan memilih membuat garam untuk dijual. Permukiman tersebut terletak di tengah sebuah kali dan pekerjaan sebagian orang di sana adalah membuat garam untuk dijual, sehingga  nama kaliasin pun menjadi pilihan sebagai nama kampung atau permukiman mereka.


Sebagian warga etnis Tionghoa yang hidup di kampung ini tidak dalam taraf ekonomi yang baik. Mereka rata- rata kurang mampu dan bekerja juga sebagai buruh tani di kawasan kota Singkawang. Pendapatan sehari- hari mereka juga kebanyakan jauh dari normal, bisa dikatakan pendapatan mereka hanya cukup untuk makan seadanya dan dilihat dari kondisi rumah mereka cukup memprihatikan karena termakan usia bangunan disana. Rata- rata beretnis Tiong Hoa dan beragama Kong Hu Cu sehingga warga disana mempunyai budaya Chinese yang masih kental seperti salah satunya adalah sembahyang tiap tanggal satu dan tanggal lima belas kalender imlek Chinese.




 
Mungkin di daerah perkotaan sekarang ini sulit ditemukan ada warga Tiong Hoa yang masih rajin untuk sembahyang, apalagi rutin setiap tanggal satu dan lima belas imlek Chinese( Cap It Gwee). Berbeda dengan masyarakat Tiong Hoa diperkotaan, Keluarga kakek Afung atau yang biasa dipanggil kakek Ajin. Keluarga kakek ini adalah warga kampung kaliasin dalam yang masih memegang teguh kepercayaan budaya Chinese dan agama Tiong Hoa. Sembahyang tanggal satu dan lima belas  imlek adalah sesuatu yang wajib untuk mereka. Selain diajarkan dari dulu oleh leluhur mereka untuk sembahyang, mereka sendiri juga percaya bahwa akan ada dewa yang selalu melindungi dan memberkati keluarga mereka. Hal ini juga ditunjukkan sebagai tanda terima kasih dan juga hormat kepada dewa yang selama ini telah memberkati mereka.


Tanggal satu dan lima belas imlek Chinese selain wajib sembahyang, berarti dalam sebulan ada dua kali mereka melakukan sembahyang kepada dewa atau leluhur.mereka juga wajib makan bebas daging atau yang biasa di sebut makan vegetarian. Sembahyang cap it gwee juga dapat dilakukan pada tanggal tiga puluh malam atau tanggal satu pagi dan tanggal empat belas malam juga tanggal lima belas pagi. Sembahyang ini dilakukan dengan menyembah altar dewa menggunakan dupa atau hio. Sebelum sembahyang mereka harus membasuh tangan, kaki dan muka dengan air yang sudah diberkati sama seperti  halnya dalam agama Islam. Selain sembahyang didepan altar, mereka juga menyembah ke arah langit dengan dupa tersebut. Setelah itu, dupa atau hio tersebut di simpan di tempat hio yang biasa disebut “Hiong low” dalam bahasa Tionghoa. 


Mengikuti budaya sembahyang agama Kong Hu Cu ternyata banyak pantangan yang harus diikuti. Setelah mengikuti pada tanggal lima belas imlek, kembali saya mengikuti pada tanggal tiga puluh tengah malam menjelang tanggal satu imlek kalender Chinese. Di sana saya diperbolehkan untuk mengikuti ritual sembahyang mereka meskipun saya berbeda agama dengan mereka, itu merupakan bentuk penghormatan saya terhadap agama Kong Hu Cu. Dan ternyata saya baru tahu kalau dalam sembahyangnya sendiri ada peraturan tersendiri. Untuk pemula seperti saya, banyak kesalahan- kesalahan yang saya perbuat seperti cara membakar hio. Seharusnya hio itu dipegang menggunakan kedua tangan dan digabungkan menjadi satu, tetapi saya sendiri memegangnya seperti menyalakan kembang api dengan asal. Bagi saya, yang penting hio itu bisa nyala. Ternyata saya salah besar karena itu sama saja arti tidak menghormati dewa mereka. Saya  benar- benar minta maaf akan kesalahan yang saya perbuat.

Kesalahan saya yang lainnya adalah cara memegang hio, urutan kepada dewa mana terlebih dahulu yang akan disembah Karena mereka mempunyai banyak dewa yang harus disembah sesuai dengan urutannya, dan cara saat sujud sembah kepada dewa- dewanya sendiri.
Bagi umat yang telah sembahyang, harus membunyikan gong sebagai tanda ibadah telah selesai. 








Bagi masyarakat tionghoa Kong Hu Cu yang lebih mampu dalam hal ekonomi mereka selain menggunakan hio/ dupa mereka juga membawa uang kertas dan juga buah. Buah diletakkan di depan altar dan membakar uang kertas untuk persembahan setelah mereka sembahyang. 




Setelah sembahyang, mereka diwajibkan untuk makan bebas daging atau vegetarian dengan maksud untuk menyucikan diri, menjauhi diri dari hal- hal yang bersifat duniawi . tetapi makanan vegetarian disajikan dengan sedemikan menariknya, seperti sate, daging merah, tapi itu semua terbuat dari olahan tepung, dan jamur.








Meskipun  kehidupan ekonomi mereka tergolong cukup sederhana, mereka tidak pernah mengeluh. Sosok satu ini bisa menjadi panutan  bagi kita semua, dengan usia yang terbilang tua, kakek Ajin masih tetap tekun dalam bekerja untuk menghidupi istri dan cucu- cucu dia. 



Pekerjaan sebagai buruh tani sudah lama ia tekuni, tetapi karena faktor usia yang telah menginjak kepala 9, bekerja sebagai buruh tani tentu sangat melelahkan. Beruntung kakek Ajin masih mempunyai seorang cucu besar yang masih tinggal bersama mereka sehingga beban kakek Ajin menjadi lebih ringan. Cucunya sendiri bekerja sebagai montir sepeda. Penghasilan mereka sendiri juga tidak menentu. Untuk urusan masak- memasak, kakek Ajin menyerahkan ke cucu perempuannya yang bernama Aling. Karena istri tercinta tidak kuat lagi untuk berdiri lama.



Satu kehormatan bagi saya dapat diterima dengan baik disana. Kehangatan dan kesederhanaan keluarga kakek Ajib  begitu terasa setelah mengikuti keseharian mereka. Mereka sama sekali tidak menggangap saya orang asing sejak pertama kali kali saya tiba dirumah mereka. Kesederhanaan mereka dapat terlihat dari kondisi rumah mereka, seperti peralatan masak mereka yang masih menggunakan tungku api yang begitu sederhana. Kegiatan masak- memasak pun terasa mengasyikkan bagi saya. 





Menyalakan api diatas tumpukan kayu dan sampai api membesar. Sulit memang untuk membesarkan api hanya dengan meniup pipa ke arah kayu bakar. Apalagi kayu yang didapatkan pada musim hujan adalah kayu yang masih basah. Untuk membuat api menjadi besar benar- benar sangat sulit. Yang keluar hanya asap hitam yang mengisi seluruh pelosok rumah. 





Butuh proses yang lama tentunya untuk menyalakan api diatas kayu bakar yang basah. Asap yang menganggu pernapasan. pipa yang harus ditiup terus menerus membuat masakan terasa begitu nikmat.


Budaya Chinese selain dilihat dari agama, dapat juga dilihat cara makan mereka. Yaitu masih menggunakan mangkok dan sumpit. Dapat dilihat di video, kakek Ajin dan kelurga masih menggunakan teknik makan orang Chinese. Ternyata bukan hanya sekedar makan tetapi ada tata cara dan kepercayaan  juga. Seperti pada saat makan mereka tidak banyak banyak bicara, cara memegang sumpit juga tidak boleh silang pada kedua ujung sumpit, pada saat mengambil sayur tidak boleh menyilang tangan satu dengan tangan lain, tidak boleh menancapkan sumpit atau sendok diatas nasi, karena jika kita menancapkan sumpit secara lurus itu untuk makanan orang meninggal, dan juga karena orang Chinese yang begitu percaya bahwa setiap barang mempunyai dewanya sendiri sehingga ada mitos jika kita makan, tidak boleh sampai memukul mangkok dengan sumpit karena dewa disananya akan  pergi dan akan itu juga bisa memanggil hantu- hantu yang sedang kelaparan datang menghampiri panggilan bunyi ketokan kita. Ada juga yang percaya bahwa saat makan janganlah kita menggoyang- goyang kaki kita, karena selagi makan menggoyangkan kaki itu berarti membuang rejeki yang datang. Percaya atau tidak, inilah tradisi atau kepercayaan orang Chinese dalam hal makan.


Dalam kalender imlek Chinese pada tanggal satu dan lima belas selain sembahyang rutin sebulan dua kali, banyak perayaan- perayaan yang dilakukan, seperti pada tanggal 1 kalender Chinese ada perayaan imlek( Chinese New Year). Tahun baru Chinese (Chinese New Year) dirayakan sangat meriah setiap tahunnya. Perayaan tahun baru bukan hanya ritual imlek semata tetapi juga dapat menarik para wisatawan domestik maupun manca Negara. Perayaan imlek di Singkawang setiap tahunnya dirayakan dengan berbagai atraksi dan acara- acara yang sangat menarik, seperti Naga Lampion Terpanjang 138 Meter yang masuk dalam Rekor MURI, kue keranjang terbesar di Indonesia dan juga lampion raksasa. Kue keranjang merupakan salah satu makanan yang menjadi khas imlek Chinese. Acara tersebut dirayakan di lapangan Kridasana, tentunya juga terbuka secara umum bagi siapa saja. 







Pada tanggal lima belas setelah Chinese new year ada perayaan Cap Go Meh. Cap Go Meh dilambangkan sebagai hari ke lima belas tahun baru Chinese. Cap Go meh secara harafiah yang berarti Cap = sepuluh, Go = lima, Meh = hari. Perayaan Cap Go Meh di Singkawang ditandai dengan arak- arakan singa, naga, kilin, dan tatung. Tatung adalah orang yang menyiapkan dirinya berpuasa selama tiga hari tiga malam makan tanpa daging, Agar roh dewa bisa masuk ke dalam tubuhnya dan bisa melakukan aksi ritual tatung. 


Pagi hari ke 15, para Tatung berkumpul untuk sembahyang kepada Langit di altar yang sudah disiapkan dan juga di kuil- kuil yang ia lewati. Para tatung akan ditandu dengan tandu yang beralaskan  benda- benda tajam seperti pedang , beling dan paku yang tajam. Ada juga yang menusuk pipinya dengan jarum besar, antena dan lain sebagainya. Tidak hanya demikian, para tatung sering kali melakukan aksi diluar akal sehat. Mereka bisa makan ayam, anak anjing hidup- hidup di depan sekian banyak penonton dan menusuk badan mereka sendiri dengan menggunakan benda- benda tajam  tanpa ada meninggalkan luka sedikit pun. Aksi- aksi yang dilakukan para tatung akan berakibat fatal, jika ada pantangan yang dilanggar. Jika hal tersebut terjadi, dewa yang masuk ke dalam tubuh orang itu bisa pergi kapan saja sehingga dapat mengakibatkan orang tersebut terluka jika sedang melakukan aksi berbahaya.






Pada tanggal  satu bulan tujuh kalender imlek Chinese ada yang namanya sembahyang kubur “cheng beng”. Sembahyang kubur merupakan sebuah penghormatan dari keluarga  yang masih hidup kepada leluhurnya. Ramai-ramai mereka menuju makam leluhur mereka, mengirim bekal untuk mereka yang sudah pergi terlebih dahulu menghadap yang kuasa. Uang perak, uang kertas, baju kertas, sepatu kertas, mobil kertas, aneka hidangan makanan seperti ayam, daging babi,nasi putih& sayur- sayuran berserta buah- buahan, dan minuman seperti arak putih tradisional Singkawang dan teh, beberapa batang garuh atau dupa berpadu tersusun di depan nisan leluhur. 



 

 
Sebagai penghormatan kepada mereka yang pergi terlebih dahulu, keluarga mereka dalam setahun penuh tidak diperbolehkan untuk berpesta atau mengadakan acara meriah seperti perkawinan/ ulang tahun. Percaya atau tidak, pantangan seperti tidak boleh membuat kue saat ada keluarga yang baru saja meninggal, benar adanya. Karena sering kali mereka mencoba,sering kali juga kue buatan mereka gagal atau tidak bisa matang.



Sembahyang kubur bisa dilakukan selama lima belas hari dari tanggal satu imlek hingga lima belas imlek Chinese. Pada tanggal lima belas bulan tujuh  imlek Chinese tersebut diartikan sebagai hari terakhir sembahyang kubur, dan pada hari itu ada yang namanya sembahyang rebut. Sembahyang rebut “Chiong Si Ku”. Ini merupakan salah satu adat kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa tanggal tersebut pintu akherat terbuka lebar. Arwah- arwah akan bergentayangan di dunia. Arwah- arwah tersebut merupakan arwah yang terlantar dan tidak terawat. Sehingga masyarakat akan menyiapkan ritual khusus yang disebut sembahyang rebut untuk mereka  berupa pemberian bekal makanan, pakaian kertas, uang kertas dan hio dikuil- kuil dan melakukan doa agar para arwah- arwah tidak menggangu manusia atau masyarakat sekitar.



 
Masyarakat Tionghoa Singkawang mempunyai kepercayaan secara turun temurun yaitu tidak boleh melangsungkan pernikahan pada bulan tujuh kalender Imlek Chinese. Dipercaya jika melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut, pasangannya merupakan jelmaan makhluk halus. Bulan tujuh merupakan bulannya para hantu. Masyarakat kota Singkawang juga jarang keluar rumah karena ada mitos mengatakan orang- orang disekitarnya adalah arwah- arwah genyangan. Terutama pada hari ke lima belas bulan tujuh, masyarakat sekitar bahkan tidak berani tidur awal karena takut diajak pergi oleh arwah- arwah jahat.


Inilah semua kepercayaan masyarakat Tionghoa Kong Hu Cu kota Singkawang. Masih begitu kental dengan kepercayaan- kepercayaan yang dibawa secara turun temurun.



Read more       :




 

No comments:

Post a Comment