Pages

Sunday, January 20, 2013

Menelusuri Kebudayaan Warga Kampung Naga

NAMA: Ella Elsadilaga Efendi
NIM: 11140110146
KELAS: B1









Berbicara mengenai Kampung Naga, awalnya saya tidak mempunyai bayangan seperti apa Kampung Naga itu. Ketika mendengar teman-teman saya ingin observasi kesana, saya ikut saja, karena saya sendiri tidak tahu ingin observasi kemana untuk tugas KAB saya hehehe.

Rombongan saya menuju Kampung Naga berjumlah 17 orang yang diangkut oleh dua mobil yang jalannya beriringan. Saya dan rombongan melakukan observasi ke Kampung Naga pada Sabtu 22 Desember 2012. Rencananya kami hanya berkunjung kesana selama dua hari semalam saja. Jadi, Minggu siang diperkirakan kami sudah tiba di rumah masing-masing. Kami start dari Gading  Serpong jam 03.00 pagi karena kami berfikir kalau pergi kesana terlalu siang, maka kami akan kehilangan banyak moment disana. Perkiraan semula, kami akan tiba di Kampung Naga jam 08.00, karena salah satu dari kami sudah survey terlebih dahulu dan hanya menempuh perjalanan selama 5 jam. Ternyata perkiraan itu salah, kami tiba di Kampung Naga jam 11 siang dikarenakan kami terlalu banyak berhenti di rest area.

Tugu Kujang Pusaka

Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya kami tiba juga di Kampung Naga. Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Awalnya saya bingung, mengapa tempat ini dinamakan Kampung Naga, sedangkan di tempat kami memarkir mobil hanya ada warung-warung dan tugu yang berbentuk seperti keris. Mungkin pertanyaan saya ini akan dijawab nanti oleh warga sini hehehe.

Mang No', tour guide saya selama di Kampung Naga

Ketika kami turun dari mobil, ada seorang laki-laki yang memakai kain di kepalanya menghampiri kami. Beliau berkata, bahwa jika ingin melakukan kunjungan ke Kampung Naga, harus izin terlebih dahulu di koperasi. Albert, salah satu dari kami yang mewakilinya. Setelah perizinan selesai, laki-laki tadi ternyata adalah tour guide kami selama di Kampung Naga, namanya Mang No’. Setelah dirasa aman meninggalkan mobil di terminal (begitulah kata Mang No’), kami pun berjalan menuju Kampung Naga yang sesungguhnya. Untuk sampai disana, kami harus melewati anak tangga yang jumlahnya tidak main-main, ya 439 anak tangga harus kami lalui. Konon katanya, jumlah anak tangga ketika kita turun dan ketika kita naik akan berbeda jumlahnya. Sayangnya, saya sendiri tak ada niatan untuk menghitungnya hohoho. Justru ada pikiran yang berkecamuk didalam diri saya, “bagaimana nanti naiknya ya?”

Pengunjung Kampung Naga yang berlawanan arah dengan rombongan saya

Larry A. Samovar (2010), identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam. Artinya, identitas itu bukanlah merupakan suatu hal yang statis, namun berubah menurut pengalaman hidup Anda. Identitas etnis berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama.

Inilah pemandangan selama perjalanan menuruni anak tangga

Ketika memulai menelusuri anak tangga, ternyata rombongan kami tak sendiri. Banyak pula rombongan lain yang akan berkunjung ke Kampung Naga. Karena jumlah anak tangganya tak sedikit, banyak rumah warga yang disulap menjadi tempat peristirahatan untuk para wisatawan yang lelah seperti yang saya lihat sepanjang perjalanan. Di tempat peristirahatan itu menyediakan makanan dan minuman seperti mie instan, snack, minuman hangat dan dingin, bahkan air kelapa asli. Selain itu ada pula warung yang menjual berbagai buah tangan khas Kampung Naga. Ada yang berkunjung bersama keluarga, anak murid dengan gurunya, dan ada pula mahasiswa, karena saya melihat rombongan ini memakai jas almamater bewarna sama hehehe. Di sepanjang perjalanan pula saya melihat pengunjung duduk di pinggiran tangga, mungkin karena kelelahan menaiki tangga yang begitu banyak. Awalnya saya mengira, tangga yang harus saya lalui itu masih berupa tanah merah yang ketika hujan sangat licin, ternyata perkiraan saya salah. Tangga-tangga ini sudah rapih, sudah disemen, tetapi tetap saja kita harus berhati-hati melewatinya.

Rasa lelah terbayar sudah dengan melihat hamparan sawah dan suara gemercik air dari sungai yang mengalir. Udara sejuk yang tak akan saya temui di perkotaan. Dan saya pun berkata di dalam hati, “saya akan merindukan tempat ini suatu hari nanti”.

View Kampung Naga dari atas

Sesampainya kami di penghabisan anak tangga, barulah terlihat perumahan Kampung Naga yang sesungguhnya. Atap rumah yang bewarna hitam yang saling berhadapan menjadi ciri khas Kampung ini dari kejauhan. Saya dan rombongan masih harus berjalan kaki menelusuri jalan bebatuan yang bersebelahan dengan sungai yang airnya mengalir cukup deras.

Kami dibawa Mang No’ menuju Balai Desa yang ada di Kampung Naga. Disini kami dipertemukan oleh salah satu sesepuh Kampung Naga yang kami panggil Pak Punduh. Setelah rombongan saya sudah lengkap, barulah beliau memberikan sedikit penjelasan mengenai Kampung Naga. Namun, sebelum itu, kami harus menjelaskan maksud dan tujuan kami melakukan kunjungan kesana kepada beliau. Oh iya, Pak Punduh juga sempat meminta maaf kepada kami karena beliau kurang fasih menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat Kampung Naga lebih fasih menggunakan bahasa sunda walaupun mereka sedikit memahami bahasa Indonesia yang biasa kita gunakan untuk berkomunikasi.

Pak Punduh, salah satu sesepuh Kampung Naga

Menurut penjelasan Pak Punduh, luas Kampung ini sekitar 1,5 ha. Lahan tersebut terdapat 113 bangunan, yang terdiri dari 108 kepala keluarga. Sebelah timur Kampung Naga adalah sungai Ciwulan yang tadi sempat saya lewati bersama anak-anak. Lalu sebelah barat, selatan, dan utara kampung ini berbatasan dengan tebing. Jumlah penduduk dari usia 0-lanjut usia berjumlah 314 orang. Oh iya, seluruh warga disini menganut agama Islam loh. Mata pencaharian utama penduduk Kampung Naga adalah petani, yang hasil panennya setahun dua kali. Hasil panen tersebut diutamakan untuk dikonsumsi para warga Kampung Naga. “Bilamana ada lebihnya, baru dijual”, tutur Pak Punduh. Tak heran ketika saya datang pun ada warga yang sedang menggarap sawahnya. Selain bertani, beternak hewan seperti kambing, kerbau, biri-biri, serta ikan pun dipilih warga. Walaupun ada saja warga yang merantau ke kota untuk mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Bertani adalah mata pencaharian utama Kampung Naga

Alat Lumbung Padi milik warga

Menurut Larry A. Samovar dalam buku Komunitas Lintas Budaya, hal yang menarik dari agam adalah bahwa hal tersebut telah mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Lalu ada peribahasa Latin mengatakan, manusia tanpa agama sama halnya seperti kuda tanpa tali kekang.

Berhubung di Kampung Naga tak ada bangunan sekolah, maka jika anak-anak disini ingin sekolah, orang tua mereka mendaftarkan anaknya di sekolah yang berada di atas kampung. Maka anak-anak harus melewati anak tangga yang banyak itu, lalu jalan kaki sekitar 50-100 meter dari terminal menuju ke sekolah mereka. Begitulah mereka setiap hari, ingin pintar harus berjuang dahulu. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Ada dari mereka yang lulus SD lalu tidak melanjutkan SMP dan langsung menikah. Ada juga yang tidak lulus SD, dikarenakan orang tuanya kesulitan biaya. Jadi bagi kalian yang orang tuanya mampu menyekolahkan kalian hingga ke jenjang yang lebih tinggi, manfaatkanlah dengan baik. Karena disini banyak dari mereka yang ingin melanjutkan sekolah tetapi kesulitan biaya. Tetapi jangan salah, disini tak semua warganya berpendidikan rendah. Menurut penjelasan Mang No’, disini juga ada warga yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga SMA di Kampung Naga, lalu melanjutkan kuliah di kota lain.




Di Balai pula Pak Punduh menjelaskan alasan pemberian ‘Kampung Naga’ pada kampung ini. Kampung Naga berasal dari bahasa sunda, kampung na gawir, yang artinya kampung di lembah. Karena gawir dalam bahasa sunda berarti lembah atau tebing. “Jadi ‘naga’nya diambil, ‘wir’nya dibuang”, begitulah kata Pak Punduh kepada kami dengan logat sundanya.

Larry A. Samovar (2010), penggunaan bahasa berperan untuk mengatur orang dalam kelompok sesuai faktor-faktor, seperti usia, jenis kelamin, dan bahkan level sosial-ekonomi. Istilah yang digunakan seseorang dapat dengan mudah menandakan ia muda atau tua.

Sama seperti halnya di perkotaan, di Kampung Naga juga terdapat Ketua RT yang dipilih para warga secara demokrasi untuk memimpin kampung. Masa jabatannya sekitar 5-6 tahun. Namun ada pemimpin lain yang menjadi pembeda antara Kampung Naga dengan tempat yang lain. Jika pemimpin formal dipimpin oleh Ketua RT yang dipilih warga secara demokrasi, lain halnya dengan pemimpin nonformal yang jabatannya secara turun-temurun sesuai keturunan pemimpin terdahulu. Yang pertama ada Pak Kunsen yang bertugas memimpin warga untuk ziarah ke makam. Yang kedua, Pak Punduh tugasnya adalah mengayomi warga. Yang terakhir ada Pak Lebe. Tugas beliau antara lain mengurus jenazah dari awal hingga dimakamkan, dan segala sesuatu yang berbau keagamaan. Jabatan mereka adalah seumur hidup selama mereka masih mampu untuk melakukan tugas-tugasnya. Jika ketiga sesepuh ini tidak memiliki keturunan, maka saudara dekatnya lah yang berhak menggantikan posisi mereka untuk melanjutkan tugas-tugas mereka.

Dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, Larry A. Samovar menulis bahwa Thoreau pernah berkata “Semua masa lalu ada di sini.” Menurut pandangan budaya, Thoreau itu benar. Budaya itu dibagikan. Akan tetapi, jika suatu budaya ingin dipertahankan, harus dipastikan apakah pesan  dan elemen penting budaya tersebut tiddak hanya dibagikan, tetapi juga diturunkan pada generasi yang akan datang. Dengan cara ini, masa laku menjadi masa kini, dan menolong untuk mempersiapkan masa yang akan datang. Selin itu, Samovar juga mengutip pandangan Charon, Budaya adalah pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita lahir.

Setelah tanya-jawab sesaat dengan Pak Punduh di Balai Desa, Mang No’ pun membawa kami menuju rumah warga yang akan kami tempati selama di Kampung Naga. Karena kami berjumlah 17 orang, maka kami pun dibagi menjadi tiga kelompok. Saya, Niza, Erlin, Amanda, serta Melinda menempati rumah warga bernama Ibu Acih. Sesampainya disana, kami sudah disambut hangat oleh makan siang yang baru matang. Kami yang pada dasarnya memang sudah kelaparan, langsung menyantap dengan lahap makanan yang sudah tersaji di depan mata. Makanan yang disajikan tidak berbeda jauh dengan makanan ibu saya di rumah. Siang itu Ibu Acih menyediakan menu sayur asem, ayam goreng, tahu goreng, sambal, dan tak lupa pula kerupuk udangnya. Yang membuat beda adalah nasinya yang berasal dari sawah warga sini. Tentu saja ini adalah beras organik, beda dengan beras-beras yang dijual di pasar.

Menu yang disediakan Ibu Acih kepada saya dan seisi rumah

Ketika menikmati masakan ‘ibu baru’ saya ini, mata saya tak berhenti berputar melihat isi rumah Ibu Acih yang merupakan adik dari Ibu Asih. Rumah yang sangat sederhana. Lantai yang terbuat dari kayu, dindingnya pun serupa, namun pada bagian dapur, dindingnya terbuat dari bilik bambu. Walaupun warga disini mampu membangun rumah berdindingkan batu bata dan semen, namun karena mereka masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka, maka mereka pun mempertahankan itu semua. Rumah harus berbentuk panggung yang terbuat dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari ijuk, atau alang-alang, yang menurut pengakuan Mang No’, material atap ini dapat bertahan hingga 20 tahun lamanya. Rumah juga tidak boleh dicat, agar tidak ada perbedaan antar warga yang satu dengan warga yang lain.

Dapur Ibu Acih

Alat memasak yang sangat sederhana

Inilah alasan mengapa Kampung Naga tak memakai aliran listrik. Bahan material semua rumah disini mudah terbakar. Selain itu, letak Kampung Naga yang jauh dari pusat pemadam kebakaran, sehingga jika terjadi kebakaran, Kampung Naga akan cepat hangus dan habis tak bersisa. Tetapi ada yang janggal di rumah Ibu Acih, disini saya melihat ada sebuah televisi yang ditutupi kain. “Itu tv sudah tidak pernah dipakai lagi. Sudah bertahun-tahun saya tidak menonton tv. Kalau mau menonton, pakai aki, bukan pakai listrik,” saya hanya mengangguk-anggukan kepala saja saat mendengarkan penjelasannya. Selain itu, alasan lain warga Kampung Naga tidak menggunakan listrik agar tidak terjadi kesenjangan sosial diantara mereka.

Hal ini yang menarik perhatian saya adalah, di rumah ini tidak ada kursi maupun meja layaknya di rumah saya. Ketika saya tanyakan pada Mang No’, beliau menjawab, “karena semua manusia di mata Allah itu sama, jadi itu semua menandakan bahwa semua manusia sederajat”.

Masjid di Kampung Naga

Ini adalah satu-satunya masjid yang ada di Kampung Naga. Karena disini tidak ada listrik, maka saya tidak pernah mendengar suara adzan disini.

Dengan tradisi dari nenek moyang yang turun termurun, warga Kampung Naga memiliki beberapa larangan untuk dilakukan semua warganya maupun para pengunjung yang menginap disini. Yang pertama adalah yang paling simple, yaitu tidak boleh buang air kecil atau besar menghadap ke arah barat. Hal ini dilakukan pula oleh semua warga Indonesia yang beragam Islam. Kedua, ketika kita tidur, kaki kita tidak boleh lurus ke arah barat juga. Dalam setahun ada sekitar 30 hari yang diyakini masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal tertentu seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu mereka. Diantaranya tidak boleh melakukan ziarah ke makam serta tidak boleh menceritakan silsilah Kampung Naga. 30 hari itu yakni hanya bulan Safar dan Ramadhan (kalender Islam), lalu tiga hari dalam satu minggu, yakni selasa, rabu, dan sabtu. Tetapi kegiatan lain seperti menikahkan, khitanan, membangun rumah, atau bahkan kunjungan seperti yang saya lakukan sekarang itu boleh-boleh saja. Jika ada warga yang melanggar pelanggaran tersebut, maka warga ingat tiga hal, yakni amanat, wasiat, dan akibat.

Kali Ciwulan
Selanjutnya ada hutan keramat yang letaknya bersebrangan dengan sungai Ciwulan. Konon katanya hutan tersebut terdapat makam-makam para leluhur Kampung Naga. Lalu ada Bumi Ageung yang terletak di sebelah barat Kampung Naga, rumah ini juga dilingkari oleh pagar. Jika pengunjung ingin mengambil gambar dua tempat tersebut, maka harus ada jarak sekitar 10-20 meter.

Ketika di Balai Desa, Pak Punduh berpesan bahwa kami harus berada di dalam rumah ketika sudah jam 9 malam dan tidak boleh kemana-mana lagi. Katanya sih banyak ular berkeliaran di sekitar kampung. Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, kami pun menaati peraturan tersebut. Oh iya, jika malam hari, Kampung Naga sangat gelap loh. Di dalam rumah Ibu Acih hanya bercahayakan lampu petromax dan lampu minyak tanah.

Tidur malam saya hanya diterangi oleh lampu minyak tanah ini


Dalam hal kesehatan, warga Kampung Naga mengutamakan pengobatan tradisional. Seperti yang ada didalam video, Mang No’ mempraktekkan menelan belut yang masih hidup. Menurut kepercayaan warga sini, menelan belut seperti itu dapat menyembuhkan penyakit. Jika sudah menggunakan pengobatan tradisional tetapi penyakit tak kunjung pergi, maka ke puskesmas atau ke dokter adalah solusi terakhir yang diambil warga. Dalam proses melahirkan saja, warga memilih melahirkan ditolong oleh seorang bidan ketimbang pergi ke rumah sakit.

Dalam hal pernikahan, warga Kampung Naga bebas memilih pasangan. Boleh dari Kampung Naga asli, maupun kampung-kampung yang lain. Tetapi tetap diutamakan memilih pasangan yang beragama Islam, tidak boleh agama yang lain. Jika sudah menikah dan memutuskan untuk tinggal Kampung Naga, pasangan baru ini harus melihat apakah Kampung Naga masih tersisa tempat untuk tinggal apa tidak, jika sudah penuh, pasangan ini harus tinggal di luar Kampung Naga seperti di dekat terminal atas misalnya.

Toilet alam Kampung Naga

Ini adalah salah satu tempat untuk membuang air kecil atau besar yang hanya ditutupi oleh anyaman bambu yang tidak full menutupi badan orang dewasa jika berdiri. Pijakan kakinya terbuat dari batang bambu yang kokoh.

Keesokan paginya Mang No’ mengajak saya dan rombongan anak UMN menuju persawahan milik warga. Disini Mang No’ mengajak kami untuk terjun langsung menginjak persawahan yang sedang dibajak dan ditanam bibit padi. Setelah itu kami pulang ke rumah warga yang kami tumpangi selama disini untuk makan siang lalu berpamitan pulang menuju Gading Serpong.

Minggu pagi yang cerah ;)




Satu hal yang perlu diteladani dari prinsip Kampung Naga, yakni “jika kita tidak merusak alam, maka alam tidak akan marah kepada kita”. Karena seperti yang sudah saya bahas diatas, Kampung Naga terletak diantara lembah-lembah. Tetapi kalian tau? Kampung ini tidak pernah mengalami tanah longsor. Subhanallah.....

Perjalanan menuju dan selama di Kampung Naga adalah pengalaman baru bagi saya. Semoga dilain waktu saya dapat berkunjung kesana lagi ya hehehe. See you again, Kampung Naga!

Saya yang paling depan pak :)


1 comment:

  1. Keren banget... aku mau kesana... indah banget kehidupan yg membaur sama alam... jauh dari kepenantan fikiran. rileks, ga crowded. Jauh dari kebisingan dan polusi.

    ReplyDelete