Pages

Friday, January 18, 2013

Menilik Lebih Dalam Budaya Masyarakat Baduy

NIM: 11140110048
Nama: Sintia Astarina
Kelas: F


 

Kereta ekonomi siang itu tampak begitu sesak. Berbagai pedagang bebas lalu lalang dari gerbong satu ke gerbong lain. Rela menjajakan barang dagangan mereka demi menyambung hidup. Tahu, snack, salak, aksesoris, tisu, minuman, dan sebagainya. Tak mengenal batasan usia dan status sosial, rasanya begitu merakyat ketika harus bersempit-sempit ria di salah satu bangku bersama penumpang lainnya.

Sesak, gerah, panas, sempit, bau asap rokok. Hhhhhh.... nggak heran kalau kereta yang membawa saya beserta ketiga teman lainnya menuju Rangkas Bitung hanya seharga Rp1.500,00 perak. Selama di kereta, kami harus was-was menjaga barang bawaan kami. Namun, Puji Tuhan ketika dua jam kemudian kami telah sampai di tempat yang dituju.
Dari Rangkas Bitung, saya menuju terminal Aweh , lalu berangkat ke desa Ciboleger. Perlu kita ketahui bahwa desa Ciboleger merupakan desa perbatasan sebelum menuju Baduy. Rasanya, sudah tidak sabar menjelajah kebudayaan dan mengeksplorasi berbagai keunikan dari suku tersebut.

Kang Sarwadi dan Kang Sarmidi adalah dua orang yang mengantar saya menuju Baduy. Akang-akang tersebut merupakan kakak-adik yang berasal dari Baduy Dalam. Ketika sampai di Ciboleger, kami disambut oleh mereka. Sebelum menuju Baduy, kami membeli beras dan berbagai makanan lainnya sebagai perbekalan kami di jalan dan saat menginap nanti. Pada awalnya, kami akan menuju Baduy Dalam pada hari pertama. Akan tetapi, langit kian gelap dan hujan pun sedikit menghentikan langkah kami. Akhirnya, kami memutuskan untuk menginap di Baduy Luar terlebih dahulu.

Saat sampai di Baduy Luar, kami disambut ramah oleh pemilik rumah. Kami disuguhi air minum yang ternyata diambil dari sungai. Rasa tanah masih beritu terasa. Sore itu, tak tampak banyak aktivitas yang dilakukan di sana. Hanya ada beberapa anak laki-laki yang bermain bola dan yang lainnya bisa dibilang seperti tidak melakukan aktivitas apa-apa. Pada kesempatan itu, saya pun memulai observasi lebih lanjut. Kami sempat bertanya-tanya kepada Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi mengenai budaya dan adat istiadat yang ada di Baduy.



Baduy terletak di Kabupaten Lebak, Banten, di kaki pegunungan Kendeng desa Kanekes. Baduy merupakan panggilan  yang diberikan penduduk luar. Baduy merupakan salah satu suku yang dapat kita pelajari kesehariannya. Banyak orang mengatakan kalau Baduy merupakan suku yang terisolasi. Jujur, saya kurang setuju dengan pernyataan tersebut sebab menurut saya... Baduy sangat terbuka dengan kebudayaan lain. Masyarakat Kanekes juga tidak menolak kehadiran para pengunjung atau wisatawan yang ingin bermain ke Baduy. Buktinya, saat saya menuju Baduy, ada pengunjung lainnya yang juga kebetulan berada di daerah tersebut. Mereka pun berinteraksi satu sama lain dengan orang Baduy.

Dalam konteks “isolasi”, mungkin yang dimaksud adalah masyarakat Baduy mencoba untuk mempertahankan adat istiadat yang dimiliki oleh seluruh warga Baduy yang diwarisi secara turun-temurun. Mereka menolak untuk menerima kebudayaan lain yang sebelumnya tidak mereka kenal. Hal itulah yang membuat masyarakat Baduy (terutama Baduy Dalam) begitu mempertahankan adat istiadat yang menjadi ajaran hidup yang sudah mendarah daging.



Masyarakat suku Baduy memiliki dua sistem pemerintahan yang mana mereka mengikuti aturan negara Indonesia dan mereka pun juga mengikuti adat istiadat yang ada. Kedua sistem pemerintahan itu diakulturasikan oleh masyarakat setempat sehingga tidak ada benturan. Jaro pemerintah adalah sebutan untuk kepala desa dan pu’un adalah pemimpin adat tertinggi masyarakat Baduy. Pu’un mendapatkan jabatannya secara turun-temurun. Jangka waktu menjabat sebagai kepala adat pun tidak menentu, tergantung pada kemampuannya untuk menjabat masyarakat Baduy.

Di Baduy Luar, saya menemukan banyak hal, seperti:

1. Tidak ada listrik sama sekali sehingga untuk penerangan, mereka menggunakan lampu minyak tanah sebagai lilin. Saat malam datang, Baduy Luar begitu gelap gulita. Tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan. Malam itu, saya menginap di rumah keluarga Pak Kasmin. Ketika malam datang, saya dan keluarga itu menunggu Pak Kasmin pulang dari ladang, lalu kami pun makan malam bersama. Mereka sungguh ramah dan welcome. Di tengah suasana remang-remang, saya merasa begitu dekat dengan mereka.

Orang Baduy berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda, tetapi dengan logat yang kasar. Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi bisa berbahasa Indonesia dengan baik sebab mereka berdua sering bergaul dengan orang luar Baduy sehingga mereka tidak terlalu kesulitan berkomunikasi dengan saya dan teman-teman.

Dari hal tersebut, saya merasa kalau komunikasi memungkinkan kita untuk mengumpulkan beragam informasi tentang sesuatu yang belum kita ketahui. Meskipun dalam budaya yang berbeda, kita bisa saling sharing dan berbagi pengalaman. Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi senang berbagi informasi mengenai budaya yang terdapat di Baduy. Meski mereka berasal dari Baduy Dalam, mereka juga setia menjalin relasi dengan warga Baduy Luar.

Komunikasi yang baik juga menolong saya untuk memenuhi kebutuhan interpersonal. Saya ingin mengetahui banyak tentang Baduy. Kalau saya melakukan observasi sebatas melihat-lihat saja, mungkin saya nggak akan dapat apa-apa karena dari awal yang saya lihat adalah aktivitas yang tidak terlalu sibuk. Untungnya, Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi begitu friendly sehingga mereka berdua bisa menyatakan informasi mengenai budaya yang ada lewat interaksi dan komunikasi kepada saya.


Selain itu, komunikasi juga mampu membentuk identitas diri. Saat Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi berbicara dengan teman-temannya, mereka akan menggunakan bahasa Sunda. Lain halnya ketika sedang berbicara dengan saya, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, sedikit-sedikit saya belajar bahasa Sunda dari mereka. Saya pun jadi tahu beberapa bahasa Sunda dari Kang Sarwadi seperti punten (permisi), teteh (sebutan untuk kakak perempuan), matur nuwun (terima kasih).


2. Baduy Luar memiliki “kamar mandi” seadanya, bahkan dalam keadaan ruang terbuka. Sewaktu saya sampai di sana, agak kaget juga sih melihat “kamar mandi” di alam terbuka, berdinding kayu yang tidak rapat dan selembar kain menjadi penutup. Akhirnya, Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi menyuruh saya dan teman-teman saya untuk mandi di rumah tetangga.

3. Rumah-rumah di Baduy Luar menggunakan kirai dan kayu mahoni yang direkatkan dengan paku.



4. Mayoritas masyarakat suku Baduy menganut agama Sunda Wiwitan yang ajarannya hampir sama dengan agama Islam. Hari Raya agama Sunda Wiwitan berlangsung pada bulan terakhir (bulan ke-12) atau yang sering disebut bulan Hapid Kayu. Ya... ternyata masyarakat Baduy mengenal penanggalannya sendiri. Kalau kita mengenal bulan Januari, Februari, Maret, dan seterusnya, mereka mengenal bulan Kasa, karo, Katilu, dan sebagainya. Masyarakat Baduy pun juga mengenal adanya 12 bulan dalam setahun, sama seperti kita.

5. Mata pencaharian masyarakat Baduy Luar sangat tergantung musim. Ada yang mencabuti rumput di ladang, ada yang menjual souvenir khas Baduy, dan sebagainya. Kebanyakan, mereka bermata pencaharian sebagai petani. Hasil perkebunan dan pertanian seperti petai, durian, pisang, dan rambutan dijual ke pasar. Setiap paginya, bapak-bapak pergi ke ladang diikuti oleh anak laki-lakinya, sedangkan yang perempuan ikut ibunya. Entah itu mengurusi rumah, belajar menenun, mengurusi dapur, atau melakukan kegiatan lainnya.




6. Masyarakat Baduy Luar diperbolehkan untuk bercerai dan dibatasi setiap keluarga hanya memiliki empat anak saja.

7. Anak-anak di Baduy Luar tidak sekolah dan ini pun juga terjadi pada anak-anak di Baduy Dalam. Mengapa? Dulu, pemerintah pernah berencana untuk membangun sekolah di Baduy, tetapi masyarakat menolaknya dengan alasan akan melanggar aturan adat. Itulah yang menjadi salah satu penyebab sebagian orang Baduy tidak bisa baca dan tulis. Oh ya, masyarakat Baduy juga memiliki worldview seperti ini, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau kita nggak bisa bekerja dan menghasilkan uang?” Jadi, selama ini anak-anak pure  ikut kedua orang tua mereka bekerja. Bahkan, Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi menyebut ladang sebagai “kantor”, bertani disebut sebagai “sekolah”.

Keesokan harinya ketika matahari telah bersambut, kami sengaja bangun pagi dan segera bersiap-siap untuk menuju Baduy Dalam. Agak kaget juga sih ketika temen-temen lain bilang, perjalanan menuju Baduy Dalam akan memakan waktu sekitar empat jam! Empat jam itu akan dilewati dengan berjalan kaki sepanjang hari, melewati jalanan yang tak rata, dan cuaca yang tak menentu.




Sebelum berangkat menuju Baduy Dalam, kami mendengar ada suara merdu tak jauh dari rumah tempat kami menginap. Ternyata, para gadis dan wanita Baduy sedang menumbuk padi. Penasaran, kami pun menghampiri dan memerhatikan mereka dari dekat. Perlu kita ketahui, menumbuk padi adalah kebiasaan perempuan-perempuan Baduy di pagi hari. Bunyi merdu dari lesung  seakan-akan membuat melodi syahdu di tengah dinginnya udara pagi. Nah, padi yang sudah ditumbuk ini diletakkan di dalam leuit dan bisa disimpan selama puluhan tahun lamanya.

Akhirnya, sampailah kami di desa Cibeo. Desa ini merupakan desa terluar dari Baduy Dalam. Saya terpukau dengan keindahan Baduy Dalam. Menurut saya pribadi, Baduy Dalam lebih bagus dan rapi dibandingkan Baduy Luar. Rumah-rumah di sini memang lebih tinggi dibandingkan Baduy Luar dan menggunakan rumbia yang diikat dengan rotan. Lalu, rumah kepala adat atau pu’un diberi ciri khas tersendiri yakni rumahnya yang tidak menghadap ke utara dan selatan. Selain itu, halaman rumah pu’un begitu luas dan dihiasi hamparan rumput hijau. Tidak sembarangan orang bisa memasuki wilayah rumah pu’un tanpa keperluan khusus karena akan dianggap tidak sopan.

Baduy Dalam nyatanya memiliki aturan dan adat istiadat yang sangat ketat. Nah, sebagai pendatang, mau tak mau kita harus menurutinya. Aturan adat di Baduy Dalam adalah sebagai berikut.

1. Masyarakat Baduy Dalam dan semua pengunjung yang datang ke sana pantang teknologi. Warga Kanekes tidak diperbolehkan menggunakan teknologi seperti handphone, kamera, dan  lain-lain. Sebenarnya, agak kurang berguna juga sih, sebab di Baduy tidak ada sinyal sama sekali dan listrik pun juga tidak ada.

2. Tidak menggunakan alas kaki. Kebiasaan yang dilakukan sejak kecil ini nyatanya membuat warga Baduy dalam menjadi kuat ketika harus bepergian jauh. Bahkan, Kang Sarmidi dan Sarwadi pernah ke Bekasi tanpa menggunakan alas kaki, lho!

3. Tidak diperbolehkan menggunakan alat transportasi. Sehari-hari, mereka berjalan ke sana-kemari tanpa kendaraan. Mereka mengandalkan kaki-kaki mereka yang begitu kuat guna menopang tubuh mereka. Hal ini sudah menjadi hal yang biasa dilakukan sejak kecil sehingga masyarakat Baduy Dalam sudah terbiasa melintasi jalanan yang licin, berbatu, turunan, maupun tanjakan.



4. Tidak boleh merokok dan mabuk-mabukan.

5. Menggunakan pakaian berwarna hitam atau putih (baju sangsang) yang ditenun sendiri. Mereka juga harus menggunakan ikat kepala berwarna putih dan gelang pemberian dari lahir sebagai ciri khas masyarakat Baduy Dalam.

6.  Tidak boleh menggunakan sabun untuk mandi dan pasta gigi. Selama ini, orang-orang Baduy menggunakan sabut kelapa untuk menggosok gigi, larek (semacam tumbuhan yang bisa mengeluarkan busa) untuk mencuci baju, dan tidak menggunakan sabun. Sungai pun menjadi tempat untuk mencuci baju dan juga mandi.



Nah, apabila masyarakat Baduy Dalam melanggar aturan tersebut, pu’un tidak segan-segan untuk mengeluarkan mereka dari sana. Selain itu, masyarakat Baduy Dalam bisa dikeluarkan dari wilayah itu apabila mereka berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam atau menikah dengan Baduy Luar. Hal itu sangat tidak diperbolehkan karena dianggap melanggar aturan adat. Tampaknya, adat istiadat memang menjadi tolok ukur bagi seseorang untuk melakukan kesehariannya.

Saat saya di Baduy Dalam, saya dan teman-teman memutuskan untuk mandi di sungai. Lucunya, anak-anak lelaki kecil asyik mengamati kami dari atas jembatan. Tak jauh dari sana, kami pun melihat Ibu-ibu Baduy Dalam yang dengan asyiknya mandi di sungai dengan bertelanjang dada. Padahal, sungai itu merupakan alam terbuka dan banyak Bapak-bapak yang melintas di jembatan.

Satu hal yang saya tangkap, persaudaraan di Baduy Dalam begitu terjalin dengan erat lewat interaksi sosial satu sama lain. Entah itu antara sesama penduduk Baduy Dalam, maupun antara Baduy Dalam dan Luar.  Ya... mungkin rasa persaudaraan itulah yang membuat Ibu-ibu itu bebas dan tidak merasa malu untuk begitu “terbuka” di depan umum.

Nah, di Baduy Dalam kan nggak ada kamar mandi. Jadi, kalau kita mau buang air besar atau kecil, kita buang di sungai di antara rawa-rawa. Boleh dibilang, sungai yang paling ujung airnya diambil untuk minum, kemudian untuk mandi, dan terakhir untuk pembuangan.

Pernikahan
Masyarakat Baduy menikah pada umur 20-25 tahun untuk laki-laki dan di atas 16 tahun untuk perempuan. Masyarakat Baduy Dalam dijodohkan satu sama lain, tidak peduli ada hubungan persaudaraan atau hubungan darah.

Pernikahan ini memakan waktu kira-kira satu tahun dan melalui tiga tahap, yaitu pihak laki-laki menanyakan kesediaan dari pihak perempuan. Kemudian, apabila si perempuan setuju, si laki-laki akan emmbawa peralatan dapur yang menyatakan keseriusannya. Terakhir, mereka berdua bisa menikah dan pihak laki-laki membawa perhiasan (mahar). Nah, jika ingin mencari perempuan Baduy yang belum menikah, kita bisa melihatnya dari anting berwarna yang dikenakannya.

Kalau begitu, bisa dibilang hampir semua masyarakat di Baduy Dalam ini memiliki tali persaudaraan sebab perjodohan ini dilakukan hanya untuk wilayah Baduy Dalam saja. Istri cukup satu dan mereka pun tidak boleh bercerai. Untuk Baduy Luar, mereka bebas memilih pasangan hidup mereka masing-masing. DI Baduy sendiri pun juga tidak mengenal adanya poligami.

Kelahiran
Sistem kelahiran masyarakat Baduy menggunakan bantuan paraji atau dukun beranak. Prosesnya pun juga sederhana dan jauh dari kata modern. Nah, penamaan untuk anak-anak di Baduy juga cukup menggunakan satu kata saja, misalnya Jamra, Jamir, Kasmin, Armuta, dan lain-lain.



Kematian
Ketika ada salah satu masyarakat Baduy yang meninggal dunia, apak diadakan acara pada hari pertama, ketiga, dan ketujuh. Proses pemakaman berlangsung singkat. Orang yang meninggal akan dibungkus kain putih dan dimandikan di tempat pemandian setinggi dada, lalu dikubur di tempat khusus. Pada hari ketiga, akan diadakan selametan. Pada hari ketujuh, kuburan tetap dirawat. Anehnya, setelah kuburan kembali menjadi rata, daerah itu bisa diinjak-injak dan bisa digunakan sebagai ladang.

Memasuki hari ketiga, sudah saatnya pulang. Pagi-pagi buta, ayam jantan saling bersahut-sahutan, berlomba-lomba untuk membangunkan para jiwa yang tengah tertidur pulas. Setelah melewati beberapa jam untuk beristiratat, kami pun beres-beres dan kembali ke desa Ciboleger.  Berbekal sisa-sisa tenaga yang kami miliki, kami pun beranjak dari Baduy Dalam menuju Baduy Luar, kemudian menuju desa Ciboleger. Lelah tak terperi sungguh kami rasakan, mengingat kami harus menempuh  waktu perjalanan selama 4 jam (lagi)!

Nah, ketika saya sampai kembali di Baduy Luar, saya melihat beragam aktivitas lain dari para penduduk desa Kanekes, terutama para perempuannya. Ada banyak wanita yang sedang menenun kain. Seperti yang sudah disampaikan pada penjelasan awal bahwa wanita Baduy harus bisa menenun kain sebab menenun adalah salah satu mata pencaharian mereka. Selain itu, wanita yang tidak bisa menenun tidak boleh menikah, lho!




Setelah merasakan betapa berbedanya menjadi orang Baduy Luar dan Baduy Dalam selama tiga hari, saya pun juga mempelajari berbagai karakteristik budaya yang melekat pada masyarakat suku Baduy tersebut. Karakteristik kebudayaan yang ada di sana begitu menolong saya untuk menjadi seorang pelaku komunikasi antarbudaya yang lebih baik.

Berkaitan dengan teori konflik, meski Baduy Luar dan Baduy Dalam memiliki budaya yang sedikit berbeda, tetapi masyarakatnya tidak pernah memiliki konflik. Malahan, keduanya senantiasa menyesuaikan diri terhadap budaya-budaya yang ada dan selalu berusaha untuk menghindari konflik. Mereka lebih menginginkan untuk menata kehidupan dan tingkah laku sehingga keberadaannya bisa tetap dipertahankan. Masyarakat Baduy pun selalu bersikap sopan dalam bertindak dan berbicara.

Budaya itu dipelajari. Ketika seorang anak lahir, tentu ia akan mengikuti kebudayaan maupun adat istiadat yang dipegang teguh oleh kedua orang tua mereka. Masyarakat Baduy senantiasa menjalankan adat yang sudah mereka dapatkan sejak kecil. Begitu juga dengan Kang Sarwadi dan Kang Sarmidi. Mereka telah terbiasa berjalan ke manapun tanpa alas kaki, sebab dari kecil pun mereka tidak mengenal sandal atau sepatu. Itulah salah satu peraturan adat yang mereka pelajari. Selain itu, mereka juga belajar bagaimana bertahan hidup dari pengaruh budaya modern. Mereka harus menjalani hidup sehari-hari tanpa alat komunikasi, tanpa internet, baju mewah, ataupun makanan enak dari tempat lain.



Perlu kita ketahui, kehidupan masyarakat Baduy juga bisa tergambar melalui peribahasa, “Perbuatan lebih berarti dari kata-kata dan tiada hasil tanpa jerih payah”. Laki-laki maupun perempuan menerapkan budaya dalam bekerja. Kalau mereka tidak bekerja, tentu mereka tidak akan menghasilkan apa-apa. Kerja keras masyarakat Baduy yang berasal dari penjualan souvenir, hasil bertani, maupun penjualan hasil pertanian nyatanya bisa membuat mereka hidup nikmat, meski keterbatasan materi kerap menghantui mereka.

Budaya itu dibagikan. Budaya yang ada di masyarakat Baduy menunjukan identitas mereka sebagai suatu suku yang sangat menghormati adat istiadat. Tidak hanya ada satu atau dua orang saja yang menganutnya, tetapi seluruh masyarakat Baduy patuh dengan budaya yang sudah mendarah daging di diri mereka. Nah, dengan adanya identitas budaya itu, masyarakat suku Baduy bisa mengenal keunikan yang ada pada budaya-budaya lainnya. Mereka pun juga tahu bagaimana harus berperilaku seharusnya.

Kemudian, budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Untuk karakteristik budaya ini tampak jelas. Suku Baduy memiliki warisan sosial dan budaya yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka. Kalau melanggar aturan adat tersebut, mau tak mau mereka harus bersedia untuk mendapatkan sanksi dan hukuman. Budaya pun didasarkan pada simbol. Bisa kita lihat dari bentuk rumah, model pakaian, mata pencaharian, sampai tradisi-tradisi yang menunjukan bahwa masyarakat Baduy memiliki pandangannya sendiri akan suatu aspek kehidupan.

Pada intinya, masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam selalu berusaha memegang teguh budaya yang sudah masuk ke dalam aspek kehidupan mereka. Mereka tidak peduli bagaimana orang-orang di luar sana yang bisa menggunakan mobil, menggunakan baju ala perkotaan, tinggal di rumah mewah, ataupun menggunakan alat komunikasi untuk berhubungan dengan orang luar. Adat istiadat yang mengikat telah membuat mereka nyaman dengan apa yang mereka miliki sebab budaya-budaya yang ada di sana telah membentuk pemikiran, perilaku, dan cara pandang atas suatu kehidupan pada masyarakat suku Baduy.


5 comments:

  1. trimakasih untuk informasi yang sangat berharga ,,,semoga suatu saat sayapun bisa mendapatkan pengalaman seru seperti teman2 sekalian bersama suku baduy

    ReplyDelete
  2. Enak bgt y bisa pergi k desa baduy...
    Mksh sintia pnglmn n infony

    ReplyDelete
  3. wah si akang sarmidi teh terkenal pisan, beliau kayanya banyak bantu turis yang mau mengunjungi baduy btw blognya menarik teh ^^ salam kenal

    ReplyDelete
  4. Wow sangat informatif dan mengesankan pengalaman Mbak2 mengunjungi masyarakat suku Baduy luar dan dalam. Makasih untuk sharing cerita dan pengalaman tersebut. By the way, bisa mohon info bagaimana menghubungi Kang Sarmidi dan Kang Sarwidi? Saya tertarik untuk jalan2 ke sana kapan2 nanti. Makasih sebelumnya. Oya nama saya Henrikus Yulianto dari Ungaran, Jawa Tengah.

    ReplyDelete