Pages

Friday, January 18, 2013

Wisata Seru Sambil Mengenal Budaya Betawi


NAMA: INTAN APRILIA
NIM: 11140110089
KELAS: F1

 



Baiklah, postingan ini akan saya mulai dengan berbasa-basi... Sejujurnya, ketika mendapatkan tugas KAB untuk observasi budaya ini saya bingung mau kemana, saya pingin ke Baduy, pingin ke Kampung Naga juga, pingin ke Jogja juga, pingin ke komunitas pelukis juga di Pasar Baru. Namun, saya yang kebanyakan dan kelamaan mikir, juga banyak maunya, ujung-ujungnya panik ketika sadar tiba-tiba sudah bulan Desember! 

Mulanya, saya akan pergi ke komunitas pelukis di Pasar Baru bersama beberapa teman, eh... ternyata saya ada keperluan di hari kita janjian untuk ke Pasar Baru. Ya sudah... gagal. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Kampung Betawi yang (saya pikir) dekat karena masih ada di Jakarta, bukan di luar kota (hmm... padahal itu termasuk luar kota juga ya, kan saya tinggalnya di Tangerang ._.)

Pergilah saya dengan tiga orang teman saya, Rima, Eka, dan Sherly di Minggu, 16 Desember yang super panas! Dugaan saya meleset. Kampung Betawi sama sekali nggak dekat! Jauh man... Kami harus naik bus jurusan Blok M 34 dari Islamic, setelah sampai ke Blok M kami lanjut naik Kopaja 616 yang nantinya berhenti tepat di depan Kampung Betawi Setu Babakan. Hal yang membuat perjalanan terasa jauh adalah panasnya sengatan matahari yang benar-benar galak di hari itu.  

Pintu gerbang Kampung Betawi Setu Babakan

 
Tinggal selama kurang lebih 18 tahun di lingkungan masyarakat Betawi membuat saya merasa biasa saja ketika berkunjung ke Kampung Betawi, saya sudah terbiasa dengan gaya bicara dan adat mereka yang saya saksikan sehari-hari. 

Kampung Betawi memiliki jadwal pagelaran yang berbeda setiap minggunya sehingga para pengunjung tidak akan bosan bila mereka mengunjungi wisata adat ini setiap minggu. Pagelaran tersebut antara lain; marawis, lenong betawi, rebana biang, gambang kromong, nasyid, topeng betawi, dan qasidahan.

Sesampainya di sana, yang kami berempat rasakan itu adalah... LAPAR! Tapi kami harus ketemu dengan Bang Indra yang akan kami wawancarai tentang Kampung Betawi. Malam sebelumnya, Bang Indra menyuruh kami datang hari Minggu itu tapi ketika kami hubungi lagi di Minggu pagi, sms maupun telepon nggak dibalas. Jadilah di sana kami ke kantor yang tampaknya sih seperti kator sekretariat atau semacamnya. Setelah tanya-tanya, ternyata Bang Indra belum datang, katanya sih bakal datang sehabis Dzuhur. Ya sudah... Kita menunggu sambil mengambil beberapa gambar. 

Kantor sekretariat dengan gaya rumah Betawi
 
Gadis-gadis cilik terlihat sedang latihan tarian Yapong bersama pelatih remaja. Tarian tradisional ini merupakan jenis tari pertunjukan yang biasa disuguhkan kepada pengunjung. 

Anak-anak yang sedang latihan tari Yapong

Masyarakat Betawi yang mayoritasnya adalah Islam memiliki pagelaran yang identik dengan Islam, seperti marawis, qasidah, rebana biang, juga nasyid. Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut telah mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang mereka selama ribuan tahun (Samovar: 124). Begitu pula dengan Islam, salah satu cara masyarakat Betawi memelihara adat dan melestarikan agama Islam kepada anak-anak atau remaja adalah dengan kesenian. Kesenian-kesenian ini diwariskan secara turun-temurun agar agama Islam tetap terpelihara.

Marawis adalah semacam band yang menggunakan alat musik yang ditepuk, yaitu perkusi. Kesenian membawakan nyanyian pujian kepada Allah SWT. Selanjutnya ada qasidah, yang sama seperti marawis, qasidah juga berisi pujian kepada Sang Pencipta. Bedanya, qasidah lebih menyerupai puisi yang dilagukan, sedangkan marawis memang sudah merupakan sebuah lagu-laguan, bukan puisi.

Masih berhubungan dengan alat musik pukul, rebana biang juga merupakan kesenian yang berkaitan dengan agama Islam dan dibawakan dengan tujuan untuk menghibur. Biasanya rebana biang dipertunjukkan saat ada hari raya atau acara-acara besar seperti Idul Fitri,  Idul Adha, Maulid Nabi, khitanan, pernikahan, dan lain-lain. 

Ketika saya berkunjung ke Kampung Betawi, kesenian yang dibawakan adalah nasyid. Nasyid juga merupakan kesenian Islam yang dibawakan dengan cara menyanyi. Isi dari lagu-lagu nasyid adalah pujian bagi Allah SWT, kisah para nabi, juga kata-kata nasihat yang berlandaskan Islam. Nasyid di Kampung Betawi ini dibawakan dengan cara lebih santai dan gaul karena yang membawakannya adalah beberapa remaja cowok memakai blazer hitam dan v-neck putih yang mengingatkan saya akan boyband... Nggak. Mereka nggak joget-joget kok. Cowok-cowok ini memadukan nasyid dengan rap agar para remaja seusia mereka tertarik mendengarkannya dan tidak menganggap nasyid adalah sesuatu yang kolot juga membosankan. 

Setelah nasyid selesai manggung, datanglah dua perempuan ke atas panggung. Mereka sedikit berbasa-basi lalu menyanyikan lagu jali-jali, lagu daerah Betawi yang tentunya sering kita dengar. Selesai mereka membawakan jali-jali, naiklah seorang bapak-bapak berpenampilan seperti Benyamin. Gaya bicaranya pun mirip. Ia melemparkan lelucon-lelucon yang disambut baik oleh penonton sebelum mulai menyanyikan lagu ondel-ondel. Seperti jali-jali, ondel-ondel pun sudah familiar di telinga kita.

Ondel-ondel 

 
Ondel-ondel pun selesai dinyanyikan. Si bapak-yang-mirip-Benyamin memanggil seorang bapak ke panggung untuk menyanyi bersamanya. Kali ini mereka menyanyikan lagu ‘nonton bioskop’ yang dipopulerkan oleh Benyamin. Menurut saya sih, lagu ini lumayan menghibur.

Dari empat penampilan yang saya tonton tadi; nasyid, jali-jali, ondel-ondel, dan nonton bioskop, semua penampilnya selalu menyapa penonton dengan hal yang sama, yaitu dengan teriakan lantang, “Assalamualaikum!!!” Bila hanya beberapa orang yang terdengar menjawab, mereka akan mengulang teriakan dengan kata-kata yang juga sama persis, “Inget-inget, di Islam itu menjawab salam hukumnya wajib loh, yang nggak jawab berarti dapat... Dooooo...saaaa! Nah, penonton, Assalamualaikum!” Barulah setelah diingatkan seperti itu, penonton menjawab salam mereka. 

Kesenian khas Betawi. Entah kenapa semua pemainnya mukanya bete ._.
 
Terdapat 6 (enam) klasifikasi komunikasi non-verbal, yaitu: penampilan, gerakan, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, dan parabahasa. Namun di Kampung Betawi, klasifikasi yang paling menonjol adalah penampilan dan parabahasa. 

Dari segi penampilan, di sini masih banyak warga yang memakai baju adat walaupun hanya sekadar ikat pinggang hijau ala si Pitung bagi para lelaki. Peci juga menjadi salah satu atribut wajib di dalam penampilan laki-laki di sini. Hanya dengan pakaian yang ‘mereka banget’, kita sudah tau bahwa mereka adalah orang Betawi. 

Bahasa, bagaimanapun, berperan besar dalam membentuk dan menyatakan identitas lebih dari yang Anda bayangkan (Samovar: 268). Bila kita perhatikan, Betawi memiliki beberapa ciri khas dalam berbahasa; kencang seperti berteriak, kadang kasar, juga terkesan nyolot. Betawi cenderung tidak membedakan umur dalam berbahasa. Contoh, mereka selalu menggunakan sapaan lo-gue kepada siapapun, terutama kepada yang sudah mereka kenal walaupun tidak terlalu akrab. Bapak membahasakan diri sendirinya dengan ‘gue’ dan membahasakan diri anaknya sebagai ‘lo’, bukan ‘kamu’ atau nama si anak. Hal itu adalah hal yang biasa bagi masyarakat Betawi, tidak ada maksud untuk kasar atau merendahkan kedudukan si anak. 

Mungkin orang dari budaya lain yang tidak biasa dengan sapaan lo-gue akan merasa kurang nyaman karena biasanya lo-gue hanya dipakai untuk hubungan pertemanan yang kasual. Bukan untuk sapaan dari orang yang lebih tua ke anaknya. 

Betawi juga terbiasa kencang dalam berbicara, agak nggak nyantai. Ingat suara teriakan khasnya Mpok Nori? Ya... Begitulah kira-kira.  Mereka pun berbicara dengan kata-kata yang kadang memang kasar dan vulgar.

Peristiwa bahasa ini saya temukan ketika menonton lenong di Kampung Betawi. Sayangnya, saya nggak merekamnya karena saat lenong berlangsung, kami sedang lelah-lelahnya dan sedang duduk-duduk sambil istirahat. Jadi saya hanya mendengarkan saja selama lenong berlangsung.

Pada lenong tersebut, terdapat dua orang, seorang bapak-bapak dan seorang ibu-ibu. Seperti biasa sebelum memulai pertunjukan, mereka menyapa penonton dengan salam. Mulailah mereka melenong. Lenong ini berisi humor-humor untuk menghibur pengunjung. Memang lenong ini memiliki paling banyak penonton dibandingkan pertunjukan sebelumnya seperti nasyid dan lagu-lagu daerah.

Namun yang menarik perhatian saya adalah lelucon yang dilontarkan oleh kedua orang di atas panggung itu. Sebagian besar isi dari lelucon lenong ini adalah humor yang berkaitan dengan hal-hal seksual dengan kata-kata vulgar yang sama sekali tidak disaring kata-katanya. Hampir seluruh penonton tertawa senang. Padahal bila didengar baik-baik, sebenarnya lelucon seperti ini agak kurang pantas ditampilkan, apalagi banyak sekali anak kecil yang ikut menonton.

Yah... tapi memang hal ini bukanlah hal yang tidak biasa bagi mereka. Ciri khas humor mereka memang seperti ini. Di sinilah perbedaan budaya yang terlihat. Dua teman saya yang berasal dari daerah Batam dan Pekanbaru yang juga terbiasa dengan budaya Melayu agak kaget dengan lelucon pada lenong Betawi ini.

Walaupun begitu, budaya Betawi dan bahasanya adalah satu kesatuan. Dengan bahasanya, mereka dapat melestarikan budaya mereka. Salah satunya dengan menggunakan lenong yang memiliki kekhasan dalam berbahasa. Bahasa dan budaya bekerja sama dalam hubungan yang saling menguntungkan yang menjamin keberadaan dan kelangsungan keduanya.

Selesai ngomongin yang serius-serius, mari kembali ngomongin yang santai-santai :D

Hari semakin siang, kami kembali ke kantor sekretariat untuk menanyakan keberadaan Bang Indra yang ternyata masih belum datang. Kami pun kembali melihat-lihat sekitar Kampung Betawi dan menemukan sebuah kandang burung kecil di taman samping kantor sekretariat. 

Sepasang burung gelatik yang penuh cintaaaaa~
 
Sepasang burung ini adalah burung gelatik yang merupakan simbol dari Kampung Betawi. Dua burung ini sengaja di‘jodohkan’ di dalam kandang agar mereka berdua memunyai teman hidup. Kalau kata abang-abangnya di sana sih, “Kan kalian aja punya pacar, masa burung nggak punya pacar...” 

Perut semakin terasa lapar, kami pun memutuskan untuk mencari makanan. Di sana adalah surga makanan. Segala makanan kampung ada dan enak! Kami pun memutuskan untuk makan soto mie yang sederhana tapi wuenak (mungkin karena kelaperan ._.) 

Soto mie super!

Setelah makan siang yang hanya memerlukan Rp. 10.000 saja kami pun melihat banyak orang yang menaiki delman. Kami akhirnya bertanya ke abang-abangnya berapa harga menaiki delman memutari area itu. Ternyata tarif si delman adalah Rp. 20.000, karena kami berempat, jadi kami pun patungan untuk naik delman tersebut.

Si bapak delman yang inginnya disebut ‘engkong’ sempat bercerita kepada kami kalau ia dari mudah sudah bekerja sebagai penarik delman karena menurutnya pekerjaan ini menguntungkan dan tidak beresiko. “Dari pada jadi tukang bangunan, neng. Udah gajinya kecil, resiko kerjanya gede...” ujarnya. 

Delman yang bekerja keras mengangkut pengunjung yang ingin berkeliling
Delman memang digunakan sebagai salah satu tur di Kampung Betawi sekaligus menjadi hiburan bagi pengunjung di sana, terutama bagi keluarga yang membawa anak. Selain delman, ada juga perahu bebek. Sebenarnya saya ingin naik perahu bebek itu, tapi tiga orang teman saya nggak mau, jadinya nggak jadi deh -_- Masa naik sendirian, sedih banget...

Penampakan perahu bebek dengan bocah-bocah

Wisata air yang terdapat di Kampung Betawi selain perahu bebek adalah olahraga kano dan pemancingan. Namun saat kami kesana, hanya perahu bebek sajalah yang sedang beroperasi. 

Dasar memang kami rakus, setelah puas keliling-keliling menggunakan delman, kami pun lanjut cari makanan ringan (tapi makannya banyak, jadi yah...)

Di sepanjang jalan, terdapat banyak makanan maupun oleh-oleh. Ada rambut nenek, dodol betawi, es goyang, tahu gejrot, laksa, toge goreng, kerak telor, rengginang, tape uli, dan masih banyak lagi. Langsung deh lapar mata. 

Pertama kami beli es goyang, jajanan masa kecil dulu. Lalu lanjut tahu gejrot dan es selendang mayang. Kami baru kali ini mencicipi es selendang mayang yang katanya sih khas Betawi. Sebenarnya sama aja dengan cendol, cuma ada semacam yang lembut-lembut itu di bawahnya yang disebut si selendang. Ternyata memang enak, saking enaknya kami sampai nambah ._.

Juga ada satu lagi jajanan masa kecil selain es goyang yaituuuuuu... gulali! Gulali yang dibentuk-bentuk dengan cara si abangnya mencet-mencet gulalinya (dengan tangannya yang kami pun nggak peduli entah higienis atau nggak) supaya menjadi suatu bentuk unyu. Saya dengan sukses menghancurkan satu gulali yang nggak sengaja kesenggol dan jatuh. Untung abang-abangnya baik, dia nggak minta ganti rugi, malah nanya mau request bentuk apa untuk gulali yang kami mau. 

Sherly yang baru pertama kali melihat wujud gulali pun penasaran. Tapi dia nggak beli, mau nyoba punya kami bertiga dulu, kalo enak baru dia beli (dasar!) Sayangnya... Sherly nggak suka, terlalu manis katanya -____-

Gulali berbentuk mawar

Makanan khas Betawi yang pasti semua orang tahu adalah kerak telor. Kami berempat nggak ada yang suka kerak telor, jadinya nggak ada yang beli. Cuma minta izin sama si ibu kerak telor untuk ngerekam proses pembuatan kerak telor sampai dibungkusnya. Ibunya udah agak sebel gitu sih mukanya, tapi biarlah... Maaf ya Bu kami semua nggak modal...

Kampung Betawi memang menawarkan wisata sambil mengenal kebudayaan Betawi lebih dekat. Dengan pertunjukan yang ada juga dengan makanan-makanan khas Betawi yang dijual sangat terjangkau di sini. Pengunjung pun dapat merasakan dengan lengkap bagaimana sebenarnya kebudayaan Betawi dengan suasana yang mendukung, juga dengan pakaian para pegawai yang berdandan dengan baju ala Betawi. Biasanya Kampung Betawi ramai oleh pengunjung saat ada acara nikahan atau sunatan karena disitulah kekhasan Betawi ditonjolkan. 

Saat musim buah, Kampung Betawi akan dipenuhi warna-warni berbagai macam buah, seperti belimbing, mangga, rambutan, kecapi, sawo, melinjo, pepaya, jambu, nangka, pisang, dan lainnya. Wisata agro memang salah satu keunggulan Kampung Betawi selain wisata budaya dan wisata air.

Pada akhirnya, kami gagal bertemu Bang Indra. Ia ternyata nggak masuk hari itu padahal kami sudah menunggu sampai jam 4 sore *ketawa miris*. Dengan sedikit dongkol, kami pun pulang. Oh, Bang Indra akhirnya menghubungi kami keesokan harinya dan ia bilang datang lagi aja ke Kampung Betawi untuk ketemu sama dia. Tapi dengan bijaksana, kami memutuskan bahwa liputan kami sudah cukup dan kami sudah cukup puas walaupun nggak ketemu dengan Bang Indra. 

Namun kami nggak menyesal sama sekali! Wisata budaya di Kampung Betawi ternyata sangat menyenangkan, apalagi dengan segala makanan yang melimpah ruah. Muahahaha :D

Sampai jumpa lagi, Kampung Betawi! ^o^

No comments:

Post a Comment