Pages

Saturday, January 19, 2013

Mengenali Budaya Laweyan


NIM       : 11140110262

NAMA   : SANTIKA INDRI EKA PUTRI

KELAS  : F-1





Kota Surakarta atau biasa disebut Solo merupakan salah satu kota yang berdekatan dengan Jogjakarta, yaitu di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Jawa tengah memiliki bahasa yang berbeda dengan wilayah Jawa lainnya. Jawa tengah, terutama Solo dan Jogja mempunyai bahasa Jawa yang lebih halus dibanding dengan wilayah Jawa Timur, hal tersebut berbeda karena adanya perbedaan regional. Terdapat komunitas-komunitas (perkumpulan) batik di kota yang di lewati oleh sungai Bengawan Solo ini. Salah satunya ialah Kampung Batik Laweyan yang terdapat di jalan Dr. Rajiman 565 Kampoeng Batik Laweyan, Solo, Indonesia 57148. 

sumber: www.google.com

Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu kawasan industri batik di Solo yang tergolong bersejarah, karena Kampung Batik Laweyan merupakan kampung batik tertua dibandingkan dengan Kampung Batik Kaoeman, sedangkan Kampung Batik Laweyan sudah ada sejak abad ke-19 dimana pada saat itu Laweyan sudah disebut sebagai kawasan kampung batik. Karena itulah, Kampung Batik Laweyan menjadi pusat batik dan bahkan menjadi icon batik Solo.


Ketika mendengar batik, saya cenderung teringat kepada Solo. Ya, Solo terkenal dengan kain batik khasnya. Sehingga membuat kota ini menjadi salah satu pusat tradisi Jawa, selain Jogja. Batik merupakan motif yang dihasilkan dari bahan tinta malam yang dituliskan dengan canting, di cap atau di print dengan mesin cetak pada sehelai kain. Batik Solo mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dari batik lainnya yang terdapat pada corak batiknya. Sido Mulyo, Tirto Tejo, Samurai, Tambal, Cuwiri, Liris, Parang Pamor, Parang Kesit, Truntum, Kawung, Slobok dan Parang Rusak merupakan beberapa contoh motif batik Solo.

Laweyan berasal dari kata Lawe yang artinya benang. Dimana, benang sangat terkait terhadap bahan sandang. Nama tersebut lahir karena pada masa Kerajaan Pajang, desa Laweyan atau yang kerap sekarang disapa Kampung Laweyan, merupakan pusat perdagangan benang. Semakin lama, Laweyan sangat terkenal di dunia perdagangan batik karena mempunyai lokasi yang strategis, yaitu di tepi Sungai Jenes, dimana Sungai Jenes merupakan sungai yang terhubung dengan sungai Bengawan Solo yang bermuara di Pantai Utara Jawa.

Pada awal abad ke-20, tren industri dibilangan Laweyan beralih dari menenun menjadi membatik. Hingga saat itulah industri batik kian tumbuh pesat dengan dibentuknya Kampung Batik Laweyan dibawah Forum Perkembangan Batik Laweyan. Tidak hanya industri batik yang dikembangkan, tetapi juga melakukan pengembangan wisata batik terpadu di kawasan Laweyan. Hingga saat ini, Kampung Batik Laweyan bergerak sebagai kawasan belanja sandang dan budaya yang menjadi sebuah komunitas wisata yang menawarkan keindahan seni batik dan sejarah secara bersamaan.

Menurut buku Komunitas Lintas Budaya karya Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, kemampuan untuk memindahkan produk, perlengkapan, manusia, informasi, dan sekuritas dengan cepat ke seluruh dunia tanpa masalah batas nasional atau internasional telah meningkatkan apa yang biasanya disebut dengan kerja sama antarnegara. Kini, industri batik warga Laweyan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Terbukti dengan adanya ekspor batik asal Laweyan ke Amerika dan Jerman. Bahkan, akhir-akhir ini Agent Tour Jepang telah melakukan kunjungan ke Laweyan sejumlah 25 orang untuk membuat wisata Kampung Batik Laweyan yang nantinya batik tersebut akan di jual di Jepang. Tidak hanya Jepang yang tertarik untuk mengekspor batik ke negeranya, Swedia dan Taiwan ternyata tertarik untuk memperluas budaya batik di negaranya masing-masing.


Saat memasuki kawasan Kampung Batik Laweyan, saya merasakan budaya batik disini lebih kental dibandingkan dengan toko-toko batik pada umumnya yang ada di Jakarta. Ketika memasuki gapura di desa ini, terdapat rumah kuno di sebelah kanan dan di sebelah kiri terdapat tembok-tembok jalanan yang masih berupa batu bata. Tidak jauh dari pintu masuk, di kanan dan kiri jalan dapat kita jumpai beragam toko-toko atau gerai-gerai batik yang tersebar di Kampung Batik Laweyan ini. Masing-masing gerai umumnya menawarkan berbagai fasilitas tersendiri, seperti melihat langsung proses pembuatan batik hingga terjun langsung dalam membuat batik. Salah satu gerai yang saya kunjungi adalah gerai Batik Cempaka.

Batik Cempaka merupakan graha batik yang menyediakan fasilitas workshop, showroom, meeting room and out bound batik. Gerai tersebut terletak di tengah-tengah Kampung Batik Laweyan. Lokasinya hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki menyusuri jalan-jalan kampung yang terbilang sangat sempit dengan tembok-tembok yang tinggi. Kendaraan yang dapat dilalui di lokasi ini hanya sepeda, sepeda motor, gerobak dan becak. Saat kita memasuki lorong jalanan, suasana tempo dulu dapat terasa yang dapat terlihat dari corak dinding, tingginya dinding dan bangunan-bangunan yang umumnya masih terlihat kuno. Sejak tahun 1980, Batik Cempaka sudah memeroduksi batik tradisional dengan motif khas solo yang memunyai nama dan arti filsafat tersendiri didalamnya.


Disini, kita dapat melihat suasana pabrik batik dengan melihat cara mencap batik dengan menggunakan alat yang tentunya sudah dibuat dari logam. Sehingga, para pembuat tidak susah payah untuk mencanting kain satu persatu. Tidak hanya itu, saya juga diajarkan bagaimana menggunakan canting yang akan dicelupkan pada malam lalu mengolesnya pada selembar kain putih yang sudah diberi gambar oleh pensil. Ternyata, membatik itu susah-susah-gampang. Mungkin susah karena saya tidak terbiasa dengan mencanting, gampangnya karena hanya dengan menggerakan canting, saya dapat menciptakan gambar yang begitu indah. Setelah itu saya membuat gambar dasar dari malam, saya memberi sentuhan olesan terakhir, yaitu dengan mewarnai kain yang masih terlihat putih dengan warna yang saya inginkan. Hasilnya mengagumkan. Dengan Rp 25.000 saya dapat belajar dan dapat membawa hasil batik saya yang sudah diwarnai dan dikeringkan untuk dibawa pulang.


Seperti yang dikemukakan oleh Peoples dan Bailey, budaya itu bervariasi dari cara masyarakat berpikir maupun bertindak. Sedangkan Rodriguez berpendapat bahwa, budaya berisi tentang bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana kita berperilaku dan bagaimana kita melihat dunia ini. Solo terkenal dengan keramahannya, begitu pula dengan warga Kampung Batik Laweyan yang hangat dalam memberikan sapaan dan tutur kata. Bahasa tidak hanya mengizinkan anggotanya untuk berbagi pikiran, perasaan dan informasi, tetapi juga merupakan metode utama dalam menyebarkan budaya. Saat saya memasuki kawasan, saya sedikit berbincang-bincang dengan warga sekitar mengenai keadaan sekitar kampung. Beliau menggunakan bahasa Jawa yang saya sendiri tidak memahami arti dari ucapannya. Dengan memasang wajah yang bingung, ternyata pesan nonverbal saya sampai kepada beliau. Beliau dengan ramah meminta maaf karena ia tidak mengetahui bahwa saya tidak mengerti bahasa Jawa dan mengulang kembali ucapannya.

Sejak tahun 1975, di Kampung Batik Laweyan sudah terdapat banyak masyarakat yang membatik, tetapi tidak semua dari mereka bisa membatik. Ada yang memeroduksi batik, dan ada yang membuka usaha produksi batik. Sayangnya, semakin perkembangan jaman dan perubahan budaya yang ada di Kampung Batik Laweyan, hingga saat ini warga susah untuk menemukan penerus membatiknya, tidak ada lagi penerus yang meneruskan usaha membatik dan bahkan yang membatik dengan cantik atau dengan cap. Hal tersebut dapat dilihat dari para pembuat batik yang rata-rata sudah manula. Ini merupakan konflik yang terjadi di dalam tradisi batik.

Menurut Parkes, Laungani dan Young, budaya memiliki agama yang dominan dan terorganisir di mana aktivitas dan kepercayaan mencolok (upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan) dapat berarti dan berkuasa. Masyarakat di Kampung Batik Laweyan mayoritas dan bahkan hampir semuanya memeluk agama Muslim. Dimana, pandangan mengenai kematian pada agama Islam adalah mereka yang mati akan dibangkitkan dari kubur disertai peristiwa yang akan mengacaukan tatanan alam. Mereka akan dihakimi menurut perbuatan baik dan jahat mereka yang tertulis dalam buku kehidupan oleh malaikat yang bertugas untuk mencatat semua perbuatan manusia. Agama berusaha menolong orang untuk memahami hidup dan menghadapi kematian.

Solo selain terkenal karena batiknya, kota ini juga terkenal dengan kejujuran dan keramahannya. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa masyarakat asli Kampung sini tidak pernah mengalami kehilangan, baik itu perhiasan, barang-barang, mobil atau motor. Jika ada masyarakat yang menemukan dompet yang jatuh, akan dikembalikan ke pemiliknya atau melapor kepada ketua RW. Kalaupun terjadi kehilangan, berarti pelakunya bukanlah warga asli Laweyan, melainkan warga lain yang bukan merupakan warga asli Laweyan. Sehingga dapat disimpulkan hampir tidak pernah warga Kampung Batik Laweyan mengalami konflik karena perbedaan persepsi dan keyakinan. Disini, warga-warga sangat ramah, bahkan dengan turis mancanegara atau warga di luar Laweyan. Rumah yang dimiliki warga Laweyan rata-rata masih tergolong rumah "jadul" dengan konsep nuansa Jawa yang masih kental.


Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus menjadi salah satu tradisi yang diadakan di Kampung Batik Laweyan. Dimana, pada hari itu, warga bersama-sama mengadakan bermacam-macam lomba, diantaranya yang paling mentradisi di kampung ini adalah lomba tari daerah bagi anak-anak. Tidak hanya pada saat merayakan kemerdekaan Republik Indonesia, kampung ini juga ramai pada saat Idul Fitri dan Tahun Baru. Karena mayoritas warga di kampung ini memeluk agama Islam, maka tidak heran jika pada saat Idul Fitri warga banyak merayakannya dengan ramai. Ratusan warga menggelar halal-bihalal setelah menunaikan sholat Idul Fitri dengan cara berkeliling kampung dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Namun, sebelum berkeliling, warga kembali ke rumah masing-masing dan mengambil lauk pauk dan sayuran yang sudah mereka bungkus untuk di bagikan kepada tetangga-tetangganya setelah itu barulah mereka berkeliling untuk berbagi kebahagiaan. Warga yang non-muslim pun ikut merasakan kebahagiaannya. Jika ada warga Laweyan yang kebetulan non-muslim, mereka juga merayakannya, sehingga terjalin hubungan baik antar kedua belah pihak. Kegiatan halal-bihalal ini merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya di kampung Laweyan.

Selain Idul Fitri dan perayaan 17 Agustus, di Kampung Laweyan juga terdapat satu tradisi yang merupakan pertemuan rutin warga Laweyan yang biasanya disebut Selawenan. Acara yang diadakan setiap tanggal 25 ini merupakan ajang silaturahmi, diskusi dan promosi yang disertai pentas kesenian tradisional bagi warga. Dengan acara ini, diharapkan sesama warga Laweyan dapat bertemu dengan tokoh masyarakat dan para tamu sehingga dapat lebih mempererat jalinan komunikasi dan persahabatan antar sesamanya. Maksud dari tradisi yang diadakan ini adalah agar warga dan para tamu dapat menambah wawasan dan mengetahui sosial budaya dari para narasumber atau tokoh yang berkompeten. Tidak hanya itu, terdapat juga dialog terbuka dan interaktif sehingga masyarakat yang hadir dapat saling bertukar pikiran untuk mencari solusi dari permasalahan yang timbul di sekitar, seperti banjir musiman, limbah produksi dan air tanah yang buruk. Namun sayangnya, saya tidak dapat meliput kegiatan tersebut karena waktu yang tidak memungkinkan.

Menurut Cicero, sejarah memberikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari yang disebarkan dari generasi ke generasi dengan melestarikan pandangan suatu budaya. Tidak jauh dari pemukiman warga Kampung Laweyan, terdapat masjid tertua dalam sejarah kerajaan Pajang. Masjid Laweyan, merupakan masjid pertama yang dibangun Kerajaan Pajang yang dibangun pada masa Djoko Tingkir sekitar tahun 1546. Dahulu, masjid milik Kyai Ageng Henis ini merupakan pura bagi agama Hindu. Seiring dengan banyaknya penduduk yang saat itu mulai memeluk agama Islam, dan dengan pendekatan yang dilakukan secara akomodasi, akhirnya bangunan pura tersebut berubah fungsi menjadi Masjid yang hingga sekarang masih digunakan oleh warga setempat untuk melakukan ibadah, acara pernikah, dan juga ziarah makam. Jenazah yang dimakamkan di masjid ini ialah hanya sebatas keturunan cucu dan buyut dari Kasunanan. Sedangkan untuk warga sekitar ditempatkan di TPU yang sudah disediakan. Di setiap depan pintu besar, terdapat tumpuhan berisi air yang diatasnya terdapat bunga Setaman dan dupa yang terdapat diluar dari baskom tersebut. Tempat tersebut dipercayai warga sebagai syariat dalam keraton. Setiap malam Jumat dan sebelum puasa warga berbondong-bondong ramai untuk datang dan berziarah di Masjid peninggalan jaman Pajang ini, hal tersebut menjadi kegiatan rutin warga Kampung Batik Laweyan. 


Ritual yang dilakukan oleh warga antara lain ritual tolak bala dimana pada ritual ini tokoh Dewi Sri melempar sesuatu kepada warga dalam bentuk uang receh, kacang hijau dan kedelai di Masjid ini. Ritual tersebut merupakan salah satu acara yang digelar. Menurut Malefijt, “Ritual mengingatkan masa lalu, memelihara, dan menyampaikan dasar suatu masyarakat. Setiap anggota tidak hanya mengingat dan menegaskan kepercayaan penting, mereka juga merasa terhubung secara spiritual dengan agama mereka, mengembangkan rasa identitas dengan meningkatkan ikatan sosial dengan siapa mereka berbagi pandangan dan kenyataan bahwa hidup mereka memiliki arti dan struktur”. Ritual dapat berupa bentuk tradisi menyalakan lilin atau dupa, mengenakan pakaian tertentu dan duduk, berdiri atau berlutut ketika berdoa. Upacara pengalihan yang menandakan tahapan dalam siklus hidup manusia, seperti kelahiran, pubertas, pernikahan dan kematian.

Mempelajari budaya melalui dongeng, legenda dan mitos. Ketiganya mengandung kebijaksanaan, pengalaman dan nilai budaya yang menceritakan cerita yang mengandung pesan moral yang sudah menjadi metode pengajaran selama ribuan tahun. Cerita tersebut diturunkan dari generasi ke generasi yang lain yang menekankan pesan moral yang dianggap penting oleh suatu budaya.

Peninggalan bersejarah lainnya di Kampung Batik Laweyan adalah penemuan bunker yang terdapat di rumah kuno milik seorang juragan batik bernama Harun Muryadi. Pada saat saya memasuki rumah beliau, terdapat pagar merah besar yang menjadi pintu utama. Saat saya masuk, pemikiran saya adalah bunker besar, ternyata setelah dilihat bunker seluas kurang lebih 550 m2 yang memiliki ukuran mulut lubangnya kurang lebih sebesar 60 x 75 meter dengan kedalaman kurang lebih 3 meter tanpa adanya lubang ventilasi didalamnya. Menurut keturunan pemilik dari bunker tersebut, konon dahulu tempat itu menjadi tempat penyimpanan barang berharga (harta) seperti emas, berlian, uang, sandang, pangan dan papan karena banyaknya perampok dari wilayah Utara dimana disana sedang terjadi krisis besar-besaran sehingga mengakibatkan warga kekurangan makanan, minuman dan bahkan pakaian. Pada saat saya memasuki bunker tersebut, sedikit ragu-ragu karena di dalam sangat gelap dan minim sekali udara. Namun, saya beranikan diri untuk masuk karena penasaran apa yang terdapat di dalam. Terdapat anak tangga yang membantu saya untuk dapat masuk ke dalam bunker tersebut. Saat di dalam, benar saja ruangan sangat gelap, panas dan tidak ada cahaya apapun jadi saya mengambil senter dari atas dan baru terlihat bunker yang terbuat dari bahan batu bata tersebut. Kini, rumah tua tersebut ramai didatangi warga dan para turis lainnya, dan bahkan ada yang mengkaji lebih dalam untuk pembuatan skripsi mahasiswa. Menurut paparan pak Harun, bunker tersebut sempat ditawar oleh pengusaha asal Malaysia dengan harga Rp 10 miliyar, tetapi beliau menolaknya dengan alasan ini adalah amanah dari keluarga yang sudah turun-temurun.


Organisasi sosial mewakili unit sosial yang beraneka ragam yang terkandung dalam budaya seperti keluarga, pemerintah, sekolah dan suku bangsa dimana dapat menolong anggota suatu kelompok budaya untuk mengatur kehidupan mereka. Nolan menggarisbawahi sifat organisasi, bahwa struktur sosial merefleksikan budaya kita. Kampung Batik Laweyan mempunyai struktur kewargaan yang baik. Disini terdapat 3 RW yang masing masing RW mempunyai 3 sampai 4 RT. Setiap bulan sekali warga sering mengadakan perkumpulan untuk membahas permasalahan yang terjadi di kampung ini atau yang biasa disebut Musrenbangkel (Musyawarah rencana pembangunan keluarga). Tidak hanya itu, di kampung ini juga terdapat perkumpulan Karang Taruna dan ibu-ibu PKK sehingga warga di Kampung Batik Laweyan ini sangat kental sekali kekeluargaannya.

sumber: www.google.com
Sempat saya menaruh stereotip kepada budaya di Kampung Batik Laweyan ini, saya berasumsi bahwa seluruh masyarakat disini mendapatkan penghasilan dari membatik. Kenapa saya bisa berasumsi demikian, karena dari namanya saja sudah Kampung Batik. Belum lagi saat saya memasuki lingkungan desa tersebut, dimana-mana terdapat toko batik dan pabrik batik. Namun, saat saya meneliti lebih dalam, keseharian dan mata pencaharian warga Kampung Batik Laweyan tidak hanya membatik dan memeroduksi batik, tetapi juga membuka usaha lain seperti Wartel, Warung Makanan, Pengobatan Alternatif, Pengajian, Catering dan Penjahit. Indonesia terkenal dengan budaya kolektivisme, termasuk Solo yang menganut budaya kolektivisme. Warga Kampung Batik Laweyan sangat memerhatikan hubungannya dengan warga lainnya. Mereka juga saling tergantung, hal ini terbukti dari kegiatan warga sekitar yang selalu mementingkan hubungan kekeluargaan, berkumpul, berbagi pendapat hingga saling membantu saat adanya salah satu warga yang sedang mengadakan hajatan.


Kue Pronyes, mungkin kita asing dengan itu. Kue pronyes merupakan makanan khas yang di buat oleh komunitas Kampung Batik Laweyan. Terbuat dari campuran tepung terigu, 1kg kelapa yang dijadikan santan, ¼ kg gula, ½ liter susu dan mentega lalu semuanya kemudian diolah menjadi satu adonan kue yang kemudian dipotong-potong menjadi delapan bagian, dimana delapan bagian tersebut dijadikan satu lagi menjadi suatu bentuk persegi panjang. Setelah terbentuk, adonan di panggan kurang lebih selama satu jam. Spesialnya dari kue Pronyes ini adalah kue tidak di jual di pasaran dan hanya ada pada saat resepsi nikahan. Hidangan ini akan semakin lezat jika dipadukan dengan kroket atau sosis. Harga yang dipatok untuk kue ukuran besar ialah Rp 100.000 dan untuk ukuran kecilnya berkisar antara Rp 45.000 hingga Rp 50.000 perloyang. Selain kue Pronyes, ada juga makanan khas Laweyan, yaitu Ledre Laweyan yang terbuat dari ketan.


Pengalaman saya saat berkomunikasi dengan warga Laweyan ialah saat mereka menerapkan hubungan high context, dimana informasi pesan tidak selalu di dapat dari kata-kata, tetapi dari kesimpulan, gerakan dan bahkan dalam keheningan. Berbicara yang terbelit-belit dan tidak langsung pada poin-nya juga saya temukan di kampung ini. Namun, perilaku dan bicara yang sopan dan menghormati satu dengan yang lainnya juga tidak luput dari perhatian saya.

No comments:

Post a Comment