Pages

Friday, January 18, 2013

Cirebon ! Akulturasi pada Kota dan Keraton !

Nama : Nicko Purnomo
NIM : 11140110122
Kelas : E1



Cirebon ! Itulah yang tersemat dalam pikiran penulis ketika mendapatkan tugas untuk melakukan observasi kebudayaan. Mengapa harus cirebon ? Mungkin dalam benak pembaca bertanya-tanya mengapa harus Cirebon. Namun, penulis memiliki alasan lain mengapa Cirebon yang menjadi tempat pilihan. Penulis memilih Cirebon karena sejarah kota Cirebon yang pada jaman dahulu kental akan akulturasi budaya, terkenal dengan wali sanga ( 9 wali ) dan juga sebagai pusat pengembangan ajaran Agama Islam di Pulau Jawa.

Perjalanan menuju Cirebon
Dalam perjalanan menuju Cirebon, penulis menggunakan transportasi darat. Bukan bus melainkan kereta. Perjalanan kali ini sangat mengesankan bagi penulis karena ini kali pertama penulis menggunakan kereta sebagai alat transportasi. Penulis tidak berangkat sendiri dalam observasi ini. Penulis pergi bersama rekan-rekan lainnya yang juga mengemban tugas observasi. Penulis dan rekan berangkat dari Stasiun Gambir pada pukul 6 pagi. Waktu tempuh kereta api dari Jakarta menuju Cirebon memakan waktu kurang lebih sekitar 3 jam. Setibanya kami di stasiun Cirebon, penulis beserta rekan langsung melanjutkan perjalanan ke Keraton Kasepuhan karena memang keraton itulah tujuan utama kami berangkat ke Cirebon.

Stasiun kereta di Cirebon
Sebelum sampai ke Keraton Kasepuhan, penulis dan rekan sempat mampir terlebih dahulu ke warung nasi jamblang untuk memakan nasi jamblang yang merupakan salah satu makanan khas di daerah Cirebon ini. Selama di Cirebon, penulis dan rekan juga mencoba nasi Lengko yang juga termasuk makanan khas Cirebon. Singkat cerita, penulis dan rekan sampai di Keraton Kasepuhan. Sesampainya kami disana, kami sudah ditunggu oleh seorang guide yang merupakan abdi dalam keraton.
Perlahan namun pasti, penulis dan rekan menelusuri setiap sudut di Keraton Kasepuhan. Alangkah terpesonanya kami ketika Keraton yang sudah lama berdiri ini masih kokoh walau terjangan arus modern kian kencang berhembus. Masyarakat sekitar keratonpun terlihat masih memegang nilai-nilai teguh dalam kehidupannya.

Nilai-nilai kebuadayaan Keraton Kasepuhan
Seperti masyarakat pada wilayah kerajaan umumnya, kehidupan masyarakat disana sangatlah high context. Masyarakat sangat menjaga kesantunan dalam bicara dan bertindak. Hal itu terlihat dalam wawancara penulis dengan guide. Guide terlihat sangat lembut dan santun dalam menceritakan tiap detail kisah mengenai keraton ini. Tidak hanya itu, masyarakat sekitar keraton ini pun memiliki gerakan non-verbal tertentu dan untungnya merekapun tidak pelit untuk memberitahukan arti dan definisi dari setiap gerakan non-verbal tersebut

Salah satu keraton di dalam lingkungan Kasepuhan
Selain itu, pandangan Samovar dan rekan dalam buku Komunikasi Lintas Budaya mengenai bahasa dan budaya memang sangat cocok dengan kehidupan di Keraton Kasepuhan. Mengapa demikian ? Dalam buku Komunikasi Lintas Budaya dijelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu cara untuk menggambarkan tinggi atau rendahnya konteks budaya masyarakat disana. Masyarakat Keraton sangatlah memperhatikan bahasa ketika melakukan percakapan sehari-hari. Kesantunan dalam berbicara dan menyampaikan informasi sudah dipegang teguh oleh masyarakat sekitar keraton dari masa kemasa.

Interior dalam keraton Kasepuhan
Enkulturasi menitik beratkan pada suatu proses dimana budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Budaya ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Hal inilah yang ada dalam Keraton Kasepuhan. Masyarakat yang berada di lingkungan Keraton diajarkan untuk mempelajari budaya asing. Karena seperti yang kita ketahui bahwa kota Cirebon merupakan kota yang terbentuk karena adanya pencampuran budaya.

Sejarah Cirebon
Cirebon  merupakan salah satu kota yang berada di Jawa Barat. Kota yang berada di sekitar pesisir utara Jawa ini ternyata menyimpan ragam budaya didalamnya. Salah satunya adalah adanya Keraton Kasepuhan. Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai perjalanan penulis untuk menelusuri budaya yang ada di Keraton Kasepuhan, alangkah lebih baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu sejarah mengenai kota Cirebon itu sendiri.
Cirebon merupakan kota yang berada pada koordinat 6°41′S 108°33′E / 6.683°LS 108.55°BT / -6.683; 108.55 pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta. ( sumber : wikipedia )
Sebelum terkenal dengan nama Cirebon. Kota ini dahulu disebut dengan sebutan Caruban yang berarti campuran ( karena budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab ). Kemudian berganti nama lagi menjadi Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang. Konon, pada jaman dahulu kota ini dijadikan sebagai tempat persinggahan untuk para saudagar-saudagar dan pedagang asing dari dalam maupun luar negeri sehingga kota ini disebut dengan sebutan Caruban.
Jika melihat paragraf diatas, Cirebon merupakan salah satu kota di Indonesia yang sarat akan unsur akulturasi didalamnya. Salah satu contoh akulturasi budaya adalah adanya wayang kulit dan wayang topeng. Perbedaan yang umumnya aneh dikalangan kota tertentu malah menjadi suatu nilai lebih untuk kota Cirebon ini. Keharmonisan antara masyarakat Jawa, Sunda, Tionghoa, dan Arab bagai bumbu pelengkap dalam nuansa kehidupan di Cirebon.
Selain itu, ada sumber lain juga yang mengatakan bahwa asal muasal dari nama Cirebon merupakan campuran dari  Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang artinya udang dalam bahasa Sunda.
Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, Pangeran Walangsungsang yang merupakan putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran Walangsungsang inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan barang atau upeti kepada Raja Galuh. Keputusan untuk tidak memberikan upeti membuat Raja Galuh berang. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon. Namun, dalam pertempurannya ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Seiring dengan kemenangan Pangerang Walangsungsang maka berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.
Kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak asing yakni VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menandatangani perjanjian dengan VOC.
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.
Pada tanggal 15 April 2011, Kota Cirebon diguncang dengan bom bunuh diri. Lokasi pengeboman berada di masjid Mapolresta Cirebon. Pada peristiwa tersebut, pelaku bom bunuh diri tewas seketika, dan terdapat beberapa orang luka parah.

Keraton Kasepuhan
Setelah mengetahui asal mula dari Cirebon. Sekarang penulis mengajak pembaca untuk mengetahui hal-hal mengenai Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan merupakan simbol dari kebudayaan di Cirebon. Keraton Kasepuhan ini merupakan keraton terbesar dan terawat di Cirebon dibandingkan dengan keraton lainnya. Adapun makna di setiap sudut  dan arsitektur dari keraton inipun dikenal sebagai yang paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton Kasepuhan ini ternyata memiliki museum yang bisa dikatakan cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Dari sekian banyak koleksi, ada salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Lokasi bangunan Keraton Kasepuhan membujur dari utara ke selatan atau menghadap ke utara, karena keraton-keraton di Jawa semuanya menghadap ke Utara yang artinnya menghadap magnet dunia, arti falsapahnya sang raja mengharapkan kekuatan.

Kereta Singa Barong
Jika pada paragraf sempat disinggung mengenai Kereta Singa Barong. Kini penulis ingin mengajak pembaca mengetahui lebih jauh mengenai kereta yang dikeramatkan ini. Singa Barong merupakan sebuah nama kereta pusaka di Keraton Kasepuhan Cirebon. Kereta ini berbentuk barong, sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya tersebut bisa kita lihat dari adanya berbagai unsur yang merupakan penggabungan antara singa atau macan (tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga (mulut yang menyeringai dengan lidah menjulur). Nama atau istilah barong itu sendiri banyak terdapat dalam kesenian di Pulau Jawa dan Bali. Barong memiliki makna “ajaib”, yaitu seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita kehidupan.
 Dalam hal Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak, terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas kekuatan dan keangkerannya. Kereta Singa Barong ditarik oleh  kerbau bule (kerbau putih). Kereta Singa Barong ini terakhir di gunakan pada tahun 1942.
Jika kita kaitkan dengan teori pada buku yang dibuat Samovar dan rekan “ Komunikasi Lintas Budaya”. Adanya Kereta Barong ini merupakan salah satu bentuk budaya yang mempercayai unsur mistik didalamya. Atau dalam buku akan lebih jelas diterangkan pada bagian elemen Worldview mengenai adanya kekuatan dan kepercayaan manusia terhadap hal-hal supranatural.
Kereta Barong ini hanyalah salah satu contoh dari sedemikian banyak koleksi keramat yang ada pada Keraton Kasepuhan. Selain Kereta Barong, Keraton Kasepuhan juga memiliki koleksi keramat seperti Sumur Upas , Keranjang Kencana dan koleksi lainnya.

Sejarah Keraton Kasepuhan
Pada abad XV, Pangeran Cakrabuwana Putra dari Mahkota Pajajaran membangun Keraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati. Maka keratonnya dinamai Keraton Pakungwati ( hingga sekarang dikenal dengan panggilan Dalem Agung Pakungwati).
Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya Syech Hidayatullah ( putra Ratu Mas Larasantang adik Pangeran Cakrabuwana ) lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kemudian, Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai pimpinan atau Kepala Negara di Cirebon dan bertempat tinggal di Keraton Pakungwati. Semenjak itu Cirebon merupakan pusat pengembangan agama Islam di Jawa dengan adanya Wali Sanga yang dipimpin Sunan Gunung Jari dan peninggalan-peninggalannya diantaranya Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pada abad XVI Sunan Gunung Jati wafat. Kemudian, Pangerang Emas Moch Arifin cicit dari Sunan Gunung Jati bertahta menggantikannya. Kemudian pada tahun candra sangkala Tunggal tata Gunaning wong atau 1451 Saka yaitu tahun 1529 beliau mendirikan Keraton Baru di sebelah barat daya Dalam Agung Pakungwati, Keraton ini dinamai Keraton Pakungwati dan beliaupun bergelar Panambuha Pakungwati I.
Keraton Pakungwati mengambil dari nama Ratu Ayu Pakungwati Putri P Cakrabuwana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati; Putri ini cantik rupawan dan berbudi luhur dapat mendampingi suami di bidang pembinaan Negara dan Agama juga penyayang rakyat.
Pada tahun 1959 Masjid Agung Sang Cipta Rasa kebakaran, Ratu Ayu Pakungwati yang sudah tua itu turut memadamkan api, api dapat dipadamkan. Namun, Ratu Ayu Pakungwati kemudian wafat. Semenjak itu nama/sebutan Pakungwati dimulyakan dan diabadikan oleh nasab Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1678 didirikanlah Keraton Kanoman oleh Sultan Anom I ( Sultan Badridin ) maka semenjak itu Keraton Pakungwati disebut Keraton Kesepugan hingga sekarang dan sultannya diberi gelar Sultan Sepuh. Kasepuhan itu sendiri memiliki arti tempat yang sepuh/tua. Jadi antara Kasepuhan dan Kanoman itu awalnya yang tua dan yang muda ( bisa dikatakan kakak beradik ).

Keistimewaan Keraton Kasepuhan
Berkunjung ke Keraton Kasepuhan laksana mengunjungi Kota Cirebon pada jadul atau jaman dahulu. Adanya Keraton Kasepuhan memperkokoh bukti bahwa di kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tentunya tidak saja terjadi antar kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, melainkan juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina,India, Arab, dan Eropa. Hebat memang ! Akulturasi inilah yang pada akhirnya membentuk identitas dan tipikal masyarakat di kota udang dewasa ini, yang bukan Jawa dan bukan Sunda. Kesan tersebutlah yang sudah mulai terasa sedari awal memasuki lokasi keraton.
Adanya dua patung macan putih yang terpampang di gerbang, selain melambangkan simbol Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran, juga memperlihatkan  betapa peranan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan Padjajaran. Gerbangnya pun ternyata menyerupai pura di Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi. Nuansa akulturasi kian kentara saat memasuki ruang depannya yang berfungsi sebagai museum.
Selain terisi dengan pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua tandu kuno, dan berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini pengunjung juga dapat memanjakan mata dengan melihat berbagai koleksi cinderamata berupa perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam Mongol, dan zirah Portugis. Singgasana raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Songo.Hal ini membuktikan bahwa Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.

Kesimpulan observasi
Demikian penjelasan mengenai Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Kota Cirebon merupakan kota dimana terjadi akulturasi budaya didalamnya. Tidak hanya akulturasi dengan budaya sekitar Indonesia saja, melainkan budaya dari luar negeri pun mampu berjalan secara harmonis di kota ini. Hal senada juga terjadi pada Keraton Kasepuhan, aksitektur keraton yang penuh dengan nuansa akulturasi dengan masyarakat sekitar yang sangat menghargai arti perbedaan mengajarkan kepada kita betapa indahnya perbedaan.
Selain itu, nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat Keraton Kasepuhan masih dipegang teguh dari jaman ke jaman. High Context yang merupakan dasar dari kehidupan keraton, seringnya melakukan interaksi non-verbal, hingga enkulturasi masih mendarah daging dalam nuansa keindahan Keraton Kasepuhan ini.
Perlu kita ingat dan renungkan sekali lagi, perbedaan bukanlah sesuatu yang harus kita hindari, karena terkadang perbedaan juga dapat membuat hidup kita lebih berwarna. Seperti yang ada pada semboyan negeri kita, Bhinekka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu dan bukan berbeda-beda dipaksa satu.
Sekian dari penulis, terima kasih telah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat. Salam Satu Jiwa J




No comments:

Post a Comment