Pages

Sunday, January 20, 2013

Sebuah Cerita dari Keraton Kasepuhan


Nama : Arwinda Pritami Yahya
NIM    : 11140110053
Kelas  : F1





Ketika saya diberikan tugas dari mata kuliah Komunikasi Antar Budaya yang mengharuskan melakukan observasi terkait budaya, tanpa pikir panjang saya langsung menunjuk sasaran ‘Cirebon’. Mengapa? Karena Cirebon adalah kampung halaman yang saya tinggali sejak lahir hingga lulus SMA. Di samping itu, Cirebon menjadi jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga bahasa yang digunakan oleh masyarakat Cirebon adalah percampuran bahasa antara Sunda dan Jawa. Contohnya, “wis mangan tah? Ari durung bari kita bae.”, yang artinya “sudah makan? Kalau belum sama saya saja.”, dan contoh lainnya “iki pira? Kita jaluk siji bae wis mong akeh-akeh.”, artinya adalah “ini berapa? Saya ambil satu saja deh tidak mau banyak-banyak.”. Bagi saya observasi ke Cirebon tidak akan begitu sulit karena sudah kenal betul kebudayaannya. Selain itu, saya memilih Cirebon karena sekalian saya pulang kampung ketika liburan akhir tahun sehingga ‘sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui’. Setelah mengingat beberapa tempat yang saya pikir bisa dijadikan sebagai tempat observasi, pilihan saya jatuh pada Keraton Kasepuhan yang terletak di Jalan Keraton Kasepuhan no. 43, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.



Untuk sampai ke Keraton Kasepuhan tidak memakan waktu yang lama karena kota Cirebon adalah kota yang cukup kecil. Tidak heran kami masyarakat Cirebon sangat akrab satu sama lain. Sesampainya di Keraton Kasepuhan begitu terasa suasana Cirebon zaman dulu yang dilukiskan melalui bangunan-bangunan Keraton yang masih utuh dan cukup terawat. Tak lama berjalan masuk, saya sampai di loket. Untuk mendapatkan tiket masuk cukup mengeluarkan 5 ribu rupiah, dan apabila membawa kamera maka dikenakan biaya tambahan sebesar 2 ribu rupiah saja.

Kebetulan saat itu sedang ramai oleh pengunjung yang berdatangan dari luar kota, karena menjelang perayaan Muludan yang diadakan sekali dalam setahun. Akibatnya, saya tidak kebagian pemandu untuk mendampingi saya berkeliling Keraton. Akhirnya saya memutuskan untuk berkeliling sendiri sambil mengambil beberapa gambar. Ketika di tengah-tengah perjalanan saya berkeliling Keraton saya bertemu dengan salah satu pengurus Keraton yang menawarkan dirinya untuk mendampingi saya. Namanya adalah Suparman, tetapi oleh Ratu Ida Cakradiningrat (keponakan bapaknya Sultan) diganti menjadi Parmin. Umurnya yang hanya berjarak 2 tahun dengan saya, membuat saya merasa lebih santai dan nyaman ketika melakukan observasi di Keraton Kasepuhan.

Banyak yang dapat dipelajari dari Keraton Kasepuhan, seperti sejarah, falsafah hidup, dan budayanya. Selain itu, Keraton Kasepuhan membawa banyak sejarah yang mungkin telah hilang dalam benak masyarakat Cirebon saat ini. Meskipun menjadi keraton tertua di Cirebon, berbagai bangunan dan benda yang ada sangat terawat dan masih utuh seperti sedia kala. Terbukti dari adanya Museum Benda Kuno, yaiyu museum yang berisi benda-benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Sayangnya ketika saya berkunjung ke sana, Museum Benda Kuno sedang mengalami renovasi sehingga tidak mendapatkan dokumentasinya. Di samping itu, ada sebuah koleksi kerajaan yang dikeramatkan dan sangat terkenal yaitu kereta Singa Barong. Sama seperti Museum Benda Kuno, Museum Kereta Singa Barong juga sedang mengalami renovasi sehingga hanya bisa melihat kereta Singa Barong dari kejauhan saja. Kereta ini hanya dikeluarkan setiap 1 Syawal dan tidak lagi dipergunakan oleh kerajaan. Saat ini Keraton Kasepuhan telah mencapai hingga Sultan ke XIV yang dijabat oleh Sultan PRA. Arief Natadiningrat, SE.
Kartu nama Sultan yang saya dapat dari Parmin

Lokasi pertama yang dapat dilihat ketika pertama memasuki Keraton adalah Langgar Agung dan Sumur Kemandungan. Langgar Agung berfungsi sebagai tempat ibadah bagi masyarakat umum. Sedangkan Sumur Kemandungan digunakan untuk mencuci benda-benda pusaka yang diadakan setahun sekali yang kemudian air bekas cuciannya diperebutkan oleh warga. Konon katanya air tersebut mampu memberikan rejeki dan berkat bagi yang menggunakan. Setelah sedikit berjalan masuk saya sampai di halaman depan Keraton yang cukup luas. Terdapat papan penunjuk arah dengan 4 tujuan, yaitu Museum Kereta Singa Barong, Bangsal Keraton, Dalem Agung Pakungwati Gallery, dan Museum Kuno. Sebelum saya menuju ke salah satu tempat tersebut, saya melihat ada 2 patung singa putih dan 2 meriam yang terletak di Taman Bundaran Dewan Daru. Patung singa putih melambangkan Keraton Kesepuhan sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.


Kemudian di samping kanan taman terdapat bangunan kecil bernama Lunjuk yang fungsinya sebagai ruang informasi. Tepat di seberang Lunjuk, terdapat bangunan bernama Sri Manganti. Manganti artinya menanti yang berarti Sri Manganti adalah ruang menanti / ruang tunggu.

Saya memutuskan untuk ke Bangsal Keraton terlebih dahulu yang pintu utamanya terletak tepat di belakang Taman Bundaran Dewan Daru yang bernama Gapura Kutawadasan. Di bagian atas gapura terdapat desain ukiran batik Cirebon yang bernama mega mendung. Tepat di depan gapura terdapat sebuah tugu batu yang bernama Tugu Manunggal yang artinya satu keyakinan, satu kepercayaan, satu budaya, dan satu panutan. Karena orang umum seperti saya dilarang masuk melalui Gapura Kutawadasan sehingga saya masuk melalui gapura yang terbuat dari kayu jati yang bernama Buk Bacem.
Gapura Kutawadasan dan Tugu Manunggal
Buk Bacem




















Di samping pintu masuk ke Bangsal Keraton terdapat bangunan kecil bernama Langgar Alit yang digunakan untuk sembahyang, baik bagi orang dalam Keraton maupun warga. Untuk masuk ke Bangsal Keraton, alas kaki harus dilepaskan terlebih dahulu. Di dalam Bangsal Keraton terbagi menjadi 2 bangsal yakni Bangsal Prabayaksa dan Bangsal Priggadani. Bangsal Prabayaksa adalah bangsal bagian luar yang terdapat banyak foto-foto Keraton yang masih berwarna hitam putih dan foto Sultan saat ini yaitu PRA. Arief Natadiningrat, SE. Ada 1 hal yang menjadi ketertarikan setiap orang yang datang ke sana, yaitu lukisan Pangeran Prabusiliwangi. Apabila saya melihat dari arah mana pun, maka mata dari Pangeran Prabusiliwangi akan mengikuti saya. Selain itu, Prabusiliwangi dalam lukisan ini akan terlihat berbeda-beda jika saya berpindah tempat. Jika dilihat dari depan maka akan terlihat pendek dan gendut. Kemudian saya berpindah agak menyerong ke kanan, maka yang terlihat adalah Pangeran Prabusiliwangi yang lebih langsing, tinggi, dan agak tampan. Lalu saya bergeser lagi lebih menyerong, maka sosok Pangeran Prabusiliwangi yang tinggi, gagah, dan tampan yang terlihat di mata saya. Selain itu juga, di sisi lain Bangsal Prabayaksa terpampang gambar bendera cirebon yang bernama Bendera Macan Ali yang melambangkan 2 kalimat syahadat.

Lukisan Pangeran Prabu Siliwangi
Lalu setelah melihat keunikan lukisan Prabusiliwangi, saya berjalan masuk ke dalam Bangsal Pringgandani yang di dalamnya terdapat sebuah bangsal kecil bernama Bangsal Panembahan. Panembahan yang dimaksud adalah kursi gading yang berada di tengah-tengah bangsal. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Di sekitar Bangsal Panembahan terdapat ukiran berupa bunga Kanigara, buah delima dan tempelan-tempelan keramik yang memiliki arti tersendiri. Kembang Kanigara melambangkan sholat 5 waktu, sedangkan buah delima melambangkan 5 rukun islam. Kembang Kanigara yang berjumlah 2 buah melambangkan sholat subuh, 3 buah melambangkan sholat maghrib, dan 4 buah melambangkan sholah duhur, azar, dan isa. Bagaimana dengan tempelan keramik? Keramik yang berwarna coklat dan ungu tersebut menceritakan perjalanan Nabi Nuh yang keramiknya berasal dari Mesir, sedangkan yang biru berasal dari Belanda, dan piring keramik yang berada di tengah berasal dari Cina. 
Selesai dengan Bangsal Keraton, saya menuju ke arah yang berlawanan untuk melanjutkan berkeliling ke Patilasan Keraton Dalem Agung Pakungwati.

Sumur Upas atau Sumur Soka adalah sumur yang digunakan ketika zaman dulu ada seorang yang jahat atau maling yang tidak mau mengaku, maka ia harus meminum air dari sumur tersebut yang niscaya beracun. Akan tetapi, saat ini Sumur Upas sudah ditutup karena takut disalahgunakan oleh orang-orang.

Tepat di sebelah kanan Sumur Upas terdapat sebuah kolam berbentuk persegi panjang terbuat dari tembok yang di dalamnya terdapat genangan air. Tempat ini berfungsi untuk mengetahui keadaan pasang-surut air laut. Jika airnya hanya mencapai pada anak tangga kolam tersebut, tandanya aman karena air sedang surut. Tetapi apabila airnya hampir memenuhi kolam tersebut, artinya air sedang pasang.

Jika kita melihat ke arah seberang Sumur Upas, kita akan menemukan tempat beribadah yang biasa digunakan oleh orang-orang Keraton yang bernama Paseban Keraton Pakungwati. Hingga saat ini tempat ibadah masih sering digunakan, bahkan ketika saya berkunjung saya melihat adik dari Sultan sedang menjalankan ibadah di sana. Bangunannya tidak terlalu besar dan sangat rindang.
Paseban Keraton Pakungwati
 Di samping kirinya terdapat Keraton Patilasan Sunan Gunung Jati yang dikhususkan untuk para pria saja. Wanita dilarang memasuki wilayah ini, alasannya yang pertama, karena bukan muhrimnya (non-muslim dan datang bulan), dan yang kedua, karena wanita dianggap dapat menjadi gangguan atau godaan bagi para pria yang sedang melakukan aktivitas di keraton ini.
Keraton khusus para lelaki
Meneruskan perjalanan yang masih di dalam Pakungwati, sampailah pada dua tempat terakhir yaitu Sumur Agung dan Gua Sirna Raga. Sumur Agung merupakan sumur yang dapat digunakan airnya, baik untuk keperluan mandi maupun untuk dikonsumsi. Kebanyakan orang yang berkunjung mencuci muka dengan air dari sumur tersebut yang dipercaya mampu memberikan berkah. Di belakang Sumur Agung, terdapat Gua Sirna Raga memiliki arti, Sirna = hilang, Raga = badan, yang maksudnya adalah Gua Sirna Raga ini dipercaya bisa membawa kita menuju tempat yang kita inginkan. Apabila kita beriman dan percaya, maka kita bisa sampai ke Tanah suci Mekkah dengan melalui gua yang panjangnya 9M ini. Akan tetapi saat ini sudah tidak boleh dipergunakan lagi karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Gua Sirna Raga
 Setelah perjalanan di atas, inilah saatnya saya menceritakan tempat-tempat yang jarang di datangi oleh pengunjung. Akan tetapi dengan pertolongan dari Parmin, saya bisa melihat tempat-tempat yang jarang diketahui oleh orang banyak. Akan saya mulai dengan yang pertama, yaitu Pedati Pekalangan. Pedati ini digunakan untuk mengangkut hasil bumi yang ditarik oleh 4 ekor sapi. Karena tempatnya yang agak terpencil dan dikelilingi oleh hutan, tidak heran kondisinya sangat kotor. Meskipun begitu, Pedati Pekalangan ini masih terlihat kokoh dan mungkin masih bisa membawa beban.

Tempat kedua adalah tempat tinggal Sultan yang berada di bagian belakang Keraton. Oleh karena itu, jarang ada orang yang melihat kecuali orang Keraton dan warga yang tinggal di sekitar Keraton. Akan tetapi, akses keluar-masuk Keraton melalui 1 jalan saja yang nantinya akan melewati Aula Keraton dan Museum Singa Barong. Jadi, kalau mau bertemu dengan  Sultan, sudah tau jalannya kan? :D
Hasil candid rumah Sultan
 Selanjutnya adalah Gunung IndrakilaTempatnya lebih ke belakang lagi dari rumah Sultan. Di sini terdapat replika dari Batu Kilan yang aslinya terdapat di depan  pintu masuk Patilasan Keraton Dalem Agung Pakungwati. Tepat di puncak lokasi ini terdapat semacam bangunan kecil yang digunakan oleh Sultan ketika zaman dahulu memantau rakyatnya menggunakan teropong bambu. Meskipun hanya terbuat dari bambu, tetapi jangan diremehkan karena mampu melihat sampai jarak 10KM. Rumah rakyat yang diawasi tepat berada di bawah bangunan tersebut sehingga lokasinya sangat strategis bagi Sultan.
Gunung Indrakila
 Lokasi terakhir adalah Dapur Mulud atau Dapur Umum yang memang tidak boleh terlihat dari orang-orang, karena tempatnya memang cukup terpencil dan tertutup oleh sebuah pohon pisang. Dapur umum digunakan untuk memasak makanan yang sakral, seperti nasi Jimat. Hal yang membedakan Nasi Jimat dengan nasi yang lainnya adalah dibuat menggunakan minyak sayur yang direndam selama 1 hari, baru kemudian dikukus. Banyak yang meyakini bahwa mendapatkan nasi jimat adalah berkah. Di samping itu, Nasi Jimat juga memiliki khasiat untuk menyembuhkan sakit perut. Caranya dengan mengambil 7 butir Nasi Jimat, lalu direndam air selama 1 malam, baru air bekas rendamannya di minum. Ingin tahu bagaimana wujud dari Dapur Umum ini? Saksikan videonya ya! :D

Kaitan dengan Teori

  • Keluarga merupakan salah satu institusi sosial budaya yang mempunyai tugas untuk meneruskan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, tidak heran orang-orang kerajaan zaman dahulu memilih seseorang dari anggota keluarganya (biasanya anak lelaki dari raja sebelumnya) untuk menjadi pemimpin. Sama halnya dengan Keraton Kasepuhan yang selalu menjadikan keturunan selanjutnya sebagai pemimpin. Sehingga budaya itu sendiri diturunkan dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya.
  • Tanpa kita sadari, dengan berlangsungnya sistem pemilihan Sultan atau Raja yang ada di Kerajaan menimbulkan perbedaan gender. Untuk menjabat sebagai Sultan atau Raja, biasanya akan dipilih anak laki-laki atau pria. Sedangkan wanita, meskipun ia keturunan asli dan anak kandung dari Raja sebelumnya, akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk menjadi pemimpin Kerajaan. Hal ini terkait dengan budaya dan individu, di mana terdapat identitas gender yang merujuk pada cara budaya tertentu dalam membedakan peranan maskulin dan feminin.  
  • Menurut McGregor, fenomena globalisasi meliputi berbagai perubahan dalam berbagai aspek sosial, budaya, politik, agama, dan kehidupan ekonomi. Jika melihat kehidupan Keraton Kasepuhan yang sekarang, saya bisa merasakan dampak globalisasi yang cukup besar. Misalnya, Sultan beserta saudara kandungnya sudah tidak harus menggunakan pakaian adat sebagai pakaian sehari-hari. Saya dapat melihat dengan mata kepala saya sendiri, adik dan kakak dari Sultan mengenakan kaos, celana jeans, dan sendal. Contoh lainnya adalah, ketika saya ke Keraton Kasepuhan saya bertemu dengan seorang anak dari Putri Eka Dewi Septiati yang bernama Raden Tiara Nurviana Dewi (15) sedang bersama kawannya yang rupanya ingin pergi bermain keluar Keraton sambil keduanya bermain ponsel. Di samping itu, melihat dari segi ekonomi Sultan mendapatkan hidup yang sejahtera karena terlihat dari adanya beberapa kendaraan yang cukup mewah berada di dalam rumah Sultan. Tidak hanya sang Sultan, tetapi juga kakak dan adik dari beliau. Contoh terakhir adalah anak Sultan yang mengambil kuliah di Bandung. Jika kita bandingkan keadaan Keraton ketika masih memimpin dulu dengan saat ini sangat terlihat jelas perbedaannya. Arus globalisasi yang terjadi di Keraton ini tidak lepas dari peran media massa dan migrasi yang membawa Keraton tak se-“kental” dulu lagi.
Raden Tiara Nurviana Dewi
Adik Sultan (kiri), kakak Sultan (kanan)
  • Menurut Ting-Toomey, manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka. Pengembangan tersebut dilangsungkan melalui komunikasi yang mampu membentuk identitas dalam berbagai bentuk, seperti percakapan, peringatan sejarah, musik, tarian, ritual, dan upacara. Hal yang paling menonjol dari Keraton Kasepuhan adalah ritualnya, seperti Pajang Jimat yaitu kegiatan mencuci benda-benda pusaka menggunakan air dari Sumur Kemandungan yang dilangsungkan setahun sekali. Ada pula bentuk peringatan sejarahnya, seperti Muludan yang menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAWDi Aula Kasepuhan sering ada latihan kesenian, seperti tari topeng.
  • Meskipun Keraton Kasepuhan dominan dengan agama muslim, tetapi perlu diketahui bahwa ada agama Hindu dan Budha juga yang ikut berperan serta di dalamnya. Buktinya adalah Keraton Kesepuhan sebagai penerus Kerajaan Pajajaran, sedangkan Pajajaran menganut agama resmi Hindu. Akulturasi budaya kian terasa ketika memasuki Bangsal Pringgandani. Keramik-keramik yang tertempel di sekeliling tembok ternyata berasal dari berbagai negara yang sangat berbeda, seperti Belanda, Mesir, dan Cina. Budaya Cina yang masuk ke dalam Keraton Kasepuhan rupanya dibawa oleh Putri Ong Tien.

Kita sebagai generasi muda, harus mau dan mampu menjaga serta mengembangkan budaya Indonesia, karena kita adalah generasi penerus bangsa yang nantinya akan menceritaka kebudayaan ini kepada anak dan cucu kita. Sebenarnya kebudayaan kita sudah dikenal oleh negara lain, tetapi kita perlu mengembangkannya agar tidak terserang juga oleh budaya asing. Budaya adalah identitas kita, apakah kita orang Indonesia? Apakah kita mampu menunjukkan apa itu Indonesia? Kenalilah budaya kita, maka kita akan tahu siapakah diri kita. 


Terima Kasih

1 comment: