Pages

Sunday, January 20, 2013

Yogyakarta Kota Budaya

Nama : Diana Febi Winata
NIM : 11140110264
Kelas : E1




Yogyakarta, sebuah kota yang meninggalkan banyak kisah dibalik keberadaannya. Sejarah-sejarah yang tidak akan dengan mudah dilupakan dan dilestarikan oleh warga Yogyakarta itu sendiri. Dan setiap tempat yang ada hingga sampai saat ini juga menjadi saksi bisu atas perjuangan Indonesia selama 4 zaman.
Kota Pelajar, Kota Budaya, panggilan untuk kota Yogyakarta. Banyaknya universitas ternama di Indonesia dan banyaknya pendatang dari berbagai bagian di Nusantara. Kota dengan berbagai warna dan karakter. Meskipun begitu namun tidak menjadikan kota ini menjadi pusat keributan karena perbedaan yang ada. Tapi menjadi kota yang penuh dengan keramahan dan keindahan karena warganya sendiri.
            Dalam rangka memenuhi tugas Komunikasi Antar Budaya di semester 3 ini, saya melakukan kunjungan ke Yogyakarta dengan teman saya Bunga. Kami mengunjungi beberapa tempat disana dan juga melakukan beberapa wawancara singkat dengan turis dan pendatang yang tinggal di Yogyakarta. Tempat-tempat yang kami kunjungi antara lain adalah Benteng Vredeburg, Taman Sari, dan daerah tempat kost di Yogyakarta untuk melakukan wawancara dan observasi singkat bagaimana pola hidup mahasiswa, khususnya mahasiswa pendatang, karena Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pelajar.
            Pada tanggal 9 November 2012, saya dan Bunga langsung melakukan perjalanan ke Yogyakarta usai menghadapi UTS. Ini adalah kali pertamanya saya menginjakkan kaki ke kota itu, dan saya tidak memiliki gambaran sedikitpun seperti apa itu kota Yogya. Dalam waktu 1 jam dan 15 menit pesawat kami mendarat di Bandara Adisutjipto. Dengan penuh rasa penasaran dan ingin tahu, kami langsung menuju hotel tempat kami akan menginap sambil melihat suasana di Yogyakarta.
            Betapa kagumnya saya dengan kota ini. Kota yang bisa terbilang kecil, namun bersih dan semua warga terlihat sangat ramah dengan kesibukannya masing-masing. Meskipun perjalanan kami sempat terhambat macet karena kurangnya koordinasi dijalanan, namun menurut sang supir biasanya Yogyakarta adalah kota yang tidak pernah mengalami kemacetan.
            Setiba di hotel, kami memutuskan untuk langsung mencari tempat-tempat yang akan kami tuju, dan dengan bantuan dari saudara Bunga yang memang tinggal di Yogyakarta akhirnya kami menentukan tujuan kami yaitu ke Bentent Vredeburg dan Taman Sari. Pada hari pertama kami di Yogyakarta, tidak banyak yang dapat kami lakukan karena berbagai hal. Jadi, kami memutuskan untuk berkeliling kota dengan berjalan kaki sambil melihat-lihat kota Yogyakarta secara langung.
            Berjalan dibawah rindangnya pohon yang ada dipinggir jalan diatas trotoar yang bersih dan terawat menambah kekaguman saya dengan kota ini. Petugas-petugas kebersihan yang dengan telaten membersihkan kota dan para pengguna jalan yang menaati peraturan sekitar. Betapa Yogya merupakan kota yang indah dengan beribu kesibukan warganya.
            Hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi Benteng Vredeburg. Benteng yang menjadi saksi 4 zaman. Di Benteng ini, kami dibantu oleh Bapak Suriyo sebagai narasumber dan juga guide kami. Kami diceritakan tentang sejarah terbentuknya benteng ini dikembangkan.


Benteng Vredeburg
            Benteng Vredeburg dibangun tahun 1760 hampir bersamaan dengan berdirinya Keraton Yogyakarta. Alasan berdirinya benteng ini awalnya adalah untuk menjaga keamanan kota Yogyakarta, yang pada kenyataannya adalah digunakan oleh kolonial belanda untuk mengawasi aktivitas yang terjadi di keraton dan apakah keraton masih tunduk terhadap pemerintahan belanda atau tidak. Pada awalnya, bangunan benteng ini masih bersifat semi permanen, yang direnovasi pada tahun 1767 dan memakan waktu yang cukup lama, yaitu 20 tahun. Hal ini terajdi karena pada waktu yang bersamaan, Keraton Yogyakarta juga sedang mengembangkan bangunan keratonnya. Nama benteng ini memiliki arti arafiah sebagai tempat peristirahatan. Dimana benteng ini juga digunakan tidak hanya sebagai benteng pertahanan, tetapi juga sebagai pemukiman pertama bagi orang-orang belanda.
            Di benteng ini terdapat museum yang menceritakan tentang sejarah perjuangan Indonesia yang terjadi di Yogyakarta. Dan ini semua disampaikan dalam bentuk diorama yang dibuat pada tahun 1980. Diorama dan miniatur-miniatur ini dibuat oleh seniman sekitar di Yogyakarta. Pada saat kunjungan kami, banyak juga anak-anak SD sampai SMA yang melakukan kunjungan kesana dan mempelajati tentang perkembangan sejarah yang terjadi di kota asal mereka ini.
            Miniatur ini terdiri dari berbagai macam kejadian, mulai dari kisah perjuangan pemuda Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hingga kejadian-kejadian penting lokal, seperti kisah-kisah yang terjadi di alun-alun kota Yogyakarta. Hal ini dikarenakan pentingnya kejadian sejarah ini bagi warga Yogyakarta. Sangat disayangkan jika hal itu dilupakan begitu saja karena termakan oleh waktu.

Miniatur dari diorama di Museum Vredeburg

            Dalam buku Communication between Cultures oleh Larry A. Samovar menyatakan bahwa : “Sejarah merupakan saksi yang menyaksikan berlalunya waktu; mengiluminasi kenyataan, mementingkan memori, menyediakan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari, dan memunculkan pengetahuan tentang zaman dahulu.” Sejarah merupakan bagian penting dalam pembelajaran mengenai budaya.
            Perjalanan berikutnya kami lanjutkan ke Taman Sari. Taman Sari adalah tempat peristirahatan atau villa raja. Di dalam Taman Sari ada danau buatan untuk pemandian raja dan selir-selir. Taman Sari pertama kali digunakan oleh Sultan pertama dari tahun 1758 – 1812.  Tempat ini juga telah mengalami 3 kali renovasi yaitu pada tahun 1970, 2004, dan 2006 yang dilaksanakan setelah erupsi Merapi. Meskipun telah melakukan renovasi 3 kali, hal ini tidak merubah bentuk, hanya menambahkan unsure-unsur seni dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Jadi, hingga sekarang Taman Sari memiliki 5 unsur seni, yaitu dari Eropa, Portugis, Cina, Hindu dan Jawa.


             Seperti yang telah saya uraikan sebelumnya bahwa Taman Sari adalah tempat istirahat dan pemandian raja. Di dalam Taman Sari ini terdapat beberapa kolah besar yang masing-masing memiliki tujuannya masing-masing. Ada kolah yang diperuntukkan anak-anak raja, ada yang untuk para selir, 2 kolam itu terletah di tengah-tengah Taman Sari. Dan kolam yang khusus diperuntukkan kepada raja terletak agak lebih kedalam lagi.
            Taman Sari juga tidak hanya terdapat kolah untuk permandian, ada juga tempat sauna dan loker yang digunakan oleh raja. Sauna yang ada disana tidak sama dengan sauna yang sekarang kita kenali. Ruang sauna di Taman Sari adalah ruangan tertutup yang terdapat tempat berbaring sebagai alas dan dibawahnya terdapat tungku-tungku untuk tempat pembakaran. 

             Di dalam Taman Sari juga terdapat tempat untuk beribadah yang bentuknya cukup unik, yaitu melingkar, dan ada juga tempat khusus yang diperuntukkan kepada para imam. Sekarang ini disekitar Taman Sari terdapat pemukiman-pemukiman penduduk yang menurut narasumber kami adalah abdi dalem atau orang dalam dari keraton.
            Para penduduk dan abdi dalem yang tinggal disekitar Taman Sari tidak hanya bersama-sama menjaga dan melestarikan Taman Sari, tapi juga melakukan kegiatan seni seperti membuat kerajinan wayang dan melukis. Lukisan-lukisan yang ada disana sangat indah dan menceritakan banyak hal. Ada lukisan yang menceritakan kisah-kisah legenda, dan banyak lagi.
            Arsitektur Taman Sari yang unik membawa kami lebih jauh lagi kedalam Taman Sari. Lorong-lorong bawah tanah yang membawa kami menuju tempat beribadah. Lorong-lorong ini sangat menarik untuk digunakan sebagai set tempat photo shoot.




            Di Taman Sari kami juga bertemu dengan sepasang turis yang berasal dari Jerman. Karena penasaran dan tertarik dengan pilihan wisata mereka, kami pun melakukan sedikit wawancara mengenai alasan mereka memilih Yogyakarta sebagai tujuan wisata di Indonesia. Dan kami mendapati bahwa mereka baru saja tiba dari Bali dan langsung melakukan kunjungan ke Keraton dan Taman Sari.
            Kunjungan ini didasarkan atas saran dari temannya yang memberitahu bahwa Yogyakarta adalah kota yang indah dan patut untuk dikunjungi. Dan menurut mereka setelah mendatangi Yogyakarta, ini adalah kota yang indah dan mereka sangat menyukai Yogyakarta.
            Setelah mengunjungi 2 tempat ini, saya masih belum merasa puas dengan hasil yang didapatkan, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan wawancara singkat dengan salah satu teman kakak teman saya mengenai kehidupannya di Yogyakarta untuk mencari ilmu tersebut.
            Yudha namanya, berasal dari Palembang dan berkuliah di UGM (Universitas Gajah Mada). Menurut pengakuannya, beradaptasi di Yogyakarta bukanlah hal yang sulit, karena memang warga Yogya yang ramah dengan para pendatang. Yogyakarta adalah kota yang memberikan suasana nyaman karena keramahannya dibandingkan dengan kota asalnya yang memang memiliki dasar cuek dan keras.
            Perbedaan ini tidak hanya berasal dari sikap dasar, tapi juga dari cara komunikasi non-verbal dan verbal yang disampaikan masing-masing orang. Saat saya berada di Yogyakarta, saya melihat bahwa warga asli Yogyakarta yang memiliki latar belakang budaya Jawa menggunakan bahasa yang halus, sangar ramah, dan bahkan ada yang memberikan salam dengan menunduk dan penuh sikap hormat.
            Bentuk komunikasi non-verbal lainnya adalah ketika menunjuk suatu temapat, beliau tidak akan menunjuk dengan jari telunjuk, melainkan dengan mengarahkan dengan telapak tangan terbuka. Cara berbicara yang penuh sopan santun, ramah dan menggunakan bahasa formal menjadi ciri-ciri yang sangat menonjol dari mereka.
            Sedangkan Yudha yang memiliki latar belakang budaya Palembang juga memiliki cara komunikasi yang khas. Cara berkomunikasi yang lebih to the point dan dengan suara yang lebih keras dibandingkan dengan yang berlatar belakang budaya Jawa. Dan budaya ini juga terlihat lebih berani dalam menghadapi orang baru dibandingkan budaya Jawa yang menghadapi orang dengan penuh rasa hormat.
            Pada dasarnya tidak ada kendala besar yang ia alami semenjak pindah ke Yogyakarta. Karena orang asal Yogyakarta yang welcome. Namun, pindah ke Yogyakarta memiliki tantangan tersendiri, dimana ia harus langsung berhadapan dengan banyak orang dari berbagai macam budaya, ras, asal, suku, dll. Hal ini memberikan Yudha kesempatan untuk belajar lebih lagi dalam menghadapi orang dari berbagai macam suku.
            Pandangan positif Yudha membuat saya menyadari bahwa masih banyak orang yang memang masih menghargai perbedaan. Kota Yogyakarta ini menjadi contoh yang sangat baik dalam menghargai perbedaan. Meskipun warga atau penduduknya tidak sepenuhnya berasal dari Jawa asli, namun mereka tetap welcome dalam menerima dan bersama-sama membangun kota yang indah. Betapa indahnya dan damainya dunia jika semua orang dapat memiliki pemikiran yang sama dalam menghargai setiap perbedaan yang ada.
            Perjalanan selanjutnya adalah ke wisata belanja Malioboro. Disana kami mengunjungi toko batik yang cukup besar. Tidak hanya menjual batik, tapi disana juga dijal berbagai macam kerajinan tangan hasil buata di Yogyakarta sendiri. Hal ini menunjukkan seberapa tinggi kecintaan warga Yogyakarta terhadap hasil seni dan budaya di kotanya sendiri sehingga mengembangkannya menjadi usaha sehari-hari.
            Tidak banyak yang kami lakukan disana karena keterbatasan waktu. Hanya berbelanja beberapa keperluan kami dan oleh-oleh. Lalu kami pun langsung mencari sebuah tempat makan. Hari itu adalah malam minggu dimana sama seperti di Jakarta, malam minggu keadaan jalanan ramai dan macet. Setelah mengisi tenaga dan sempat  terjebak macet cukup lama. Akhirnya kami sampai di hotel tempat kami menginap dan dapat beristirahat.
            Demikian perjalanan saya ke Yogyakarta, Kota Indah, Kota Budaya, Kota Pelajar. Kota yang banyak memiliki sejuta kenangan dan menjadi saksi bisu dari banyak kejadian penting untuk Indonesia. Kota yang memiliki berbagai budaya dan kesenian yang menarik untuk digali lebih lagi. Namun sayang, waktu kami tidak memungkinkan untuk melanjutkan observasi lebih lagi.
            Ingin saya kembali lagi ke kota itu dengan mencari lebih banyak pengalaman dan pengetahuan. Betapa saya berharap kota Jakarta dapat menjadi seperti Yogyakarta. Mengapa? Jakarta juga dapat dikatakan sebagai kota yang memiliki banyak kebudayaan. Masyarakat yang heterogen dikarenakan banyaknya pendatang yang ingin mengadu nasib di Jakarta.         
            Namun hal ini tidak membuat masyarakat menerima perbedaan yang ada dan dapat menjaga kotanya. Mencintai tempat tinggal kita sendiri, mencintai kota kita sendiri dan merawatnya hingga nyaman untuk kita dan orang lain yang berkunjung ke kota ini. Meskipun berbeda budaya, ras, etnis, suku, agama, kepercayaan, pemikiran, namun kita semua adalah satu bangsa Indonesia. Dimana sudah layak dan sepantasnya kita bersama-sama bersatu menghilangkan perbedaan itu dan memajukan Ibu Pertiwi. Menjadikan perbedaan sebagai pelajaran dan kekuatan bukan malah saling menjatuhkan.
            Yogyakarta Kota Budaya, inginku kembali kesana, bersama sanak saudara dan keluarga. Menyenangkan untuk dapat melihat perbedaan-perbedaan itu dan mempelajarinya untuk dapat menerima perbedaan itu dan menjadikannya sesuatu yang berharga. Terima kasih Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment