Pages

Sunday, January 20, 2013

Kampung Betawi ; Budaya Betawi ditengah Kota

Nama : Martina Andriani
NIM : 11140110171
Kelas : G1



Berbagai macam budaya ada di Indonesia. Karena banyak itulah, maka, tidak semua bisa terlindungi dengan baik, karena keterbatasan fasilitas dan perkembangan budaya globalisasi, yang akhirnya menyebabkan manusia sudah semakin meninggalkan, karena dengan alasan : kuno dan tua, dan mengakibatkan tidak banyak tempat-tempat tertentu yang bisa menampilkan budaya secara teratur.

            Di tengah keramaian kota, ada “kawasan” cagar budaya yang masih berdiri. Wisata Kampung Betawi,  terletak di Setu Babakan, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Memakan waktu sekitar 70 menit untuk sampai kesana.  Kesan awal yang bisa didapat ketika melihat kawasan ini adalah, betapa kentalnya nuansa budaya Betawi ; suasana tempat yang masih alami dan sejuk, jauh dari perkotaan ; masyarakat yang belum terlalu banyak tersentuh dengan kehidupan modern ; dan berbagai macam aktivitas.
            Boleh dibilang, perjalanan yang saya lalui untuk sampai ke Kampung Betawi cukup lancar. Namun, bukan berarti tidak ada hambatan. Ada beberapa yang harus dilalui, diantaranya : cuaca panas yang cukup menyengat, para pengunjung yang sangat ramai sehingga menghambat untuk mengambil beberapa gambar, sempat turun hujan, dan sempat tidak boleh mengabadikan momen pada saat prosesi dan acara adat dimulai karena alasan privasi. Jika melihat para pengunjung yang datang, mereka cukup antusias, jika dilihat dari jumlah pengunjung.
            Suku Betawi tidak akan pernah terlepas dari bayang-bayang Jakarta. Di seluruh Jakarta, pastinya masih ada orang-orang yang berasal dari suku tersebut, walaupun, sudah dikerumuni oleh orang-orang perantauan yang mungkin mencari peruntungan nasib.
  Wisata Kampung Betawi mulai dibangun pada bulan Oktober 2000, dan mulai diresmikan pada tanggal 20 Januari 2001. Tempat ini bernaung dibawah kepemilikan Pemerintah Daerah (PEMDA) Provinsi DKI Jakarta, jadi, tempat ini benar-benar dilindungi. Pada saat itu, tempat ini diresmikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Boleh dibilang, hal ini dilakukan atas keprihatinaan masyarakat Betawi yang berusaha untuk membangkitkan keberadaan kebudayaan yang cukup jarang kita lihat sampai sekarang, dan banyak masyarakat Betawi yang tidak memiliki tempat tinggal karena tergusur. Luas dari tempat ini sejumlah 289 Hektar, namun, yang sudah terpakai untuk kawasan wisata, sejumlah 165 hektar (berdasarkan Perda no.3/2005).
            Wisata ini terbuka untuk umum. Siapa saja bisa mendatangi kawasan ini, baik untuk tujuan observasi tugas, seperti saya, acara pernikahan, acara adat, atau memang hanya sekedar jalan-jalan saja. Namun, untuk mengadakan acara adat, maupun pernikahan, harus menggunakan adat budaya Betawi, karena tempat ini didirikan juga untuk menghormati budaya Betawi dan akan terus dipegang.
Kampung Betawi pada saat itu belum seperti sekarang. Belum ramai dikunjungi oleh banyak orang. Fasilitas seperti rumah adat contoh, panggung acara belum ada. Semua masih rata tanah. Setu Babakan sendiri pun belum terbentuk. Tujuan didirikannya kawasan ini adalah memperkenalkan kepada orang Indonesia khususnya, dan seluruh dunia, bahwa budaya Betawi masih ada, dan tidak mati.
            Mendengar hal ini, saya cukup salut dengan Kampung Wisata Budaya Betawi. Bagaimana tidak? Budaya tradisional yang pada zaman sekarang tidak terlalu terjamah oleh banyak orang karena old fashioned, karena mereka-mereka inilah, budaya diangkat menjadi sesuatu yang berharga, menjadi sesuatu yang harus dibanggakan, dan tidak terkesan “kampungan.” Mereka memegang teguh apa yang sudah diturun-temurunkan. Saya menjadi malu sendiri karena sebagai orang Indonesia, tidak bisa seperti mereka.
Ketika kita berpikir, bahwa yang tinggal disekitar Kampung Betawi, semuanya adalah penduduk asli. Namun, pemikiran tersebut tidak benar adanya. Fakta yang diketahui, orang-orang yang bermukim disana, tidak semuanya penduduk suku Betawi. Ada beberapa suku yang juga bermukim disana, seperti : Sunda, Jawa, Aceh, Padang, Batak, bahkan dari Papua. Proporsi penduduk menurut suku : 60 % merupakan penduduk asli, sedangkan 40% merupakan penduduk perantauan. Tidak akan ada yang menyangka bahwa hal tersebut bisa terjadi.Disini sudah terjadi budaya kolektivisme dalam Kampung Betawi (dalam teori kolektivisme dan individualisme, yang menyatakan, menurut Thomas dan Inkson (dalam buku Komunikasi Antar Budaya karangan Larry A.Samovar), yang menyatakan bahwa individu menyatakan diri dalam kelompok, bukan individu yang bebas.)
Perbedaan suku dan agama, bukan berarti tidak bisa hidup rukun dan damai. Mereka saling hidup berdampingan dan tolong menolong satu sama lain. Yang saya dengar, bahwa ketika ada hari raya untuk umat Islam, seperti Idul Fitri, ada umat Nasrani yang ikut membantu menyelenggarakan acara kecil-kecilan atau sekedar silahturahmi, bahkan merekapun (yang non-Islam) ada yang ikut membawa obor untuk mengikuti malam takbiran, sekedar meramaikan hari raya. Begitupula sebaliknya, mereka yang Islam pun berkunjung ke yang non untuk sekedar berkunjung dan mengucapkan Selamat Natal. Ini adalah hal yang jarang cukup ditemui, mengingat kehidupan di daerah kota , sudah saling mementingkan kehidupan sendiri dan tidak ada solidaritas yang terlihat.
Sesuai dengan salah satu teori komunikasi antar budaya adalah, bahwa bahasa membantu menyampaikan budaya mereka ke budaya lain. Bahasa juga menyatakan tentang identitas mereka sebenarnya. Sama halnya dengan Orang Betawi, aksen bicara mereka terlihat jelas. Ceplas-ceplos adalah gaya mereka, tapi tetap dengan gaya santun. Contoh kata-kata : “Abang, cang-cing, Nyak, Babe.”
Kegiatan-kegiatan yang diadakan di kawasan yang “dihuni” oleh dua setu (danau kecil), Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong, tidak selalu tentang gotong royong dan hari raya besar agama masing-masing. Karena berada di tempat yang sudah masuk sebagai cagar budaya Propinsi DKI Jakarta, pasti banyak kegiatan-kegiatan budaya yang dilakukan. Diantaranya adalah : injek tanah, aqiqah, latihan pencak silat, ngarak penganten sunat, pertunjukan wayang Betawi. Juga terdapat budidaya ikan tawar, berdagang, dan bertani, serta wisata air. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah ada sejak berdirinya tempat ini.
Kegiatan pertunjukan yang ada tidak selalu diadakan setiap bulan, mengingat biaya dari Suku Dinas dan Kebudayaan DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi. Selain itu, juga ada kegiatan di hari besar, seperti : Kegiatan di bulan Ramadhan, Gebyar Budaya, Festival Budaya, dan HUT DKI Jakarta.
                        Tidak ketinggalan pula Pertunjukan Wayang Kulit Betawi. Awalnya, terpikirkan bahwa wayang kulit ini sama seperti dengan yang di Jawa. Namun, ternyata hal ini berbeda, dan yang membuat ini khas, adalah : bahwa yang memainkan kesenian ini tidak terlihat secara visual (ada di balik panggung). Kedua, bahan wayang. Kalau wayang kulit Jawa terbuat dari kulit sapi, tetapi, kalau yang dari Betawi, terbuat dari kayu. Jalan cerita yang dibuat tidak terlalu pelan, naik turun, dan cara berbicara yang berbeda.
 Kesenian Betawi pun beragam. Diantaranya adalah:
  Qasidah

Gambang Kromong
   - Kesenian Berpantun
   - Lenong
   - Tanjidor
Seperti tempat-tempat wisata daerah lain, di  “Kampung” ini, juga terdapat wisata air yang bisa dinikmati. Memanfaatkan dua Setu, kita bisa melakukan berbagai macam fasilitas yang disediakan. Diantaranya, sepeda air, perahu naga, memancing, dan olahraga kano. Selagi menikmati wisata air, kita juga bisa menikmati pemandangan disekitar.         
Berbicara soal kuliner khas Betawi, sepertinya tidak ada habis-habisnya. Macam-macam kuliner Betawi :

 
 - Soto Betawi
Rupanya seperti gulai, karena terdapat santan yang cukup kental. Namun, itulah yang menjadi ciri khas, berbeda daripada yang lain. Bahan yang ada di dalam Soto Betawi, ialah : tomat, daun bawang, santan, garam, kaldu sapi, kentang, lidah sapi.

-          Kerak Telor
Asal muasal kerak telor sendiri sudah ada pada zaman Belanda (pada saat itu Jakarta masih bernama Batavia). Pada saat itu, kelapa menjadi salah satu bahan komoditi utama. Bahan kerak telor : telor ayam/ bebek, nasi ketan, kelapa parut. Uniknya, dimasak dengan api arang.
-          Bir Pletok
Minuman yang satu ini tidak akan membuat anda mabok. Padahal namanya bir. Asal muasal Bir Pletok ini ada di zaman Belanda, karena pada saat itu, tentara Belanda meminum bir sebagai pelepas dahaga. Namun, karena efek alkohol yang membuat mereka mabok, maka, mereka meminta penduduk sekitar untuk membuat minuman yang menyehatkan. Bahan dari minuman ini adalah : Jahe, kayu manis, secang, lada hitam, cabe jawa, daun pandan, batang sereh, cengkeh, gula putih, dan garam. Yang unik dari minuman ini adalah bahan-bahan yang tidak lazim, karena : cabe, batang sereh, garam, dan lada hitam biasanya dipakai untuk bahan memasak.
-          Es Selendang Mayang
Es ini terbuat dari tepung sagu aren dan tepung beras sebagai bahan utama, lalu diberi pewarna dan berkuah santan. 

-          Dodol Betawi    
Makanan manis satu ini mungkin sudah cukup akrab ditelinga. Bahan dasar dari makanan ini adalah : Tepung Ketan Beras, Gula Merah, Santan, dan Gula Putih. Proses memasak menuju pembungkusan memakan waktu sekitar 9 jam. Dimasak dengan menggunakan sendok kayu yang nyaris menyerupai dayung perahu, dan kuali tembaga.

-          Roti Buaya   
Makanan ini layaknya seperti roti biasa yang dijual di banyak toko, namun, dibentuk menyerupai buaya. Makanan ini biasanya dijumpai ketika ada acara pernikahan ala budaya Betawi sebagai seserahan. Masyarakat Betawi memiliki kepercayaan bahwa buaya adalah binatang yang setia dan ia tidak pernah meninggalkan pasangannya. Diharapkan, pasangan yang menikah tidak akan cerai.
-          Nasi Uduk
-          Kue Kembang Goyang
-          Kue Cucur
-          Kue Wajik
Kalau saya bisa tarik kesimpulan, makanan khas Betawi memiliki nama-nama yang cukup unik didengar. Sebagian makanan khas Betawi,  bahan utamanya adalah santan. Soto Betawi, Nasi Uduk, Es Selendang Mayang menggunakan santan.
            Ketika ke kampung Betawi, kita akan melihat arsitektutal rumah adat yang berdiri cukup kokoh. Yang menjadi ciri-ciri khusus dari rumah Betawi adalah: Warna cat yang ada ; Kita akan melihat warna hijau dan kuning. Arti dari Warna kuning adalah keceriaan dan warna hijau berarti kesejukan. Kesimpulannya, orang Betawi memiliki sifat ceria dan memberikan kesejukan ; bentuk meja dan kursi yang berada di teras. Setiap rumah khas Betawi memiliki bentuk kursi dan meja yang sama. Kursi yang menyerupai huruf D tanpa garis tegak, dan meja bundar. Dinamakan Kursi Lenong dan Meja Lenong ; Lampu Gantung yang digunakan pun bentuknya sama. Berwarna putih dan terdapat ukiran menyerupai bunga matahari. Bisa menggunakan listrik maupun minyak (nama dari lampu tersebut adalah Lampu Blander : yang menggunakan minyak sebagai bahan bakar) ; terdapat lis plang gigi belalang yang terletak di atap rumah serta jendela rampyak.
            Terdapat tiga jenis rumah adat Betawi. Diantaranya adalah ; Rumah Joglo, Rumah Kebaya, dan Rumah Gudang. Perbedaan yang mencolok antara kedua rumah ini adalah bentuk atap yang mempengaruhi turun air hujan.
-          Rumah Joglo
Air hujan turun ke depan dan ke belakang.

-          Rumah Kebaya
Air Hujan turun ke segala arah (Ke Depan, ke belakang, samping kiri, dan samping kanan.
-          Rumah Gudang
Air hujan turun ke samping kiri dan kanan saja.
            Lain rumah, lain pula dengan baju adat. Namanya pun bermacam-macam. 
                   
-          Baju Demang ; digunakan oleh laki-laki. Berwarna hitam pada umumnya, dan berlengan panjang. Tapi panjangnya tidak sama dengan baju Sadariah. Biasa dipakai dalam acara resmi.
-          Baju Sadariah : juga digunakan oleh laki-laki. Berlengan panjang, namun, panjangnya lebih panjang dari baju damang.
-          Kebaya Encim : Kebaya yang biasa dipakai dengan ibu-ibu. Memiliki bordiran. Terbuat dari bahan kain paris. Bisa dipakai untuk acara resmi maupun non-resmi.

-          Kebaya None  : Kebaya yang biasanya dipakai oleh perempuan yang berumur muda. Bahan dari kebaya ini berbeda dengan kebaya encim. Bahannya menyerupai baju pesta. Untuk kebaya none, warna yang digunakan pun kebanyakan cerah. Dipadukan dengan kain kerudung dan berbagai macam asesoris.

Khusus untuk baju perempuan kebaya none, orang khas Betawi suka bermain dengan “tabrak” warna-warna cerah. Seperti contoh : kerudung warna kuning dan baju kebaya berwarna hijau.
            Satu hal sebelum terlewatkan, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa orang tersebut berasal dari Betawi? Lihat dari gaya berbicara nya. Kebanyakan, mereka berbicara dengan ceplas-ceplos, dan ada nada-nada tersendiri. Ciri khas yang lain : mereka suka berkumpul dan ngerumpi, rame orangnya, suka bergaul, dan tetap memiliki sopan santun, serta etika.
            Datang ke Kampung Betawi, kita juga bisa melihat berbagai macam pohon yang ada. Diantaranya : pohon rambutan, pohon jengkol, pohon kranggan. Ada satu aturan yang khusus untuk pengunjung budaya Betawi. Kawasan ini ditutup pada pukul 17.00. Alasannya adalah, takut ada perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dan mengganggu kawasan ini.

            Nama makanan yang unik, sejarah yang unik, membuat budaya Betawi ini sebagai salah satu yang terunik. Budaya Betawi berbeda dengan budaya yang lain, karena budaya ini merupakan hasil dari percampuran berbagai budaya yang ada di negara lain. Contohnya adalah : Gambang Kromong merupakan hasil percampuran dari budaya Betawi- China ; Irama Gambus, hasil percampuran dari budaya Betawi-Arab; Tanjidor, percampuran antara budaya Betawi-Eropa. Selain itu, cara menyapa orang Betawi dengan yang lain pun agak berbeda. Contoh : Engkong (nama lain untuk kakek), Enci, Encim, Encing (merupakan hasil dari Budaya Betawi-China juga).           
            Kesenian yang bermacam-macam jumlahnya ditambah suasana tempat yang asri dan sejuk, serta tertata rapi membuat kawasan Wisata Kampung Betawi adalah salah satu cagar budaya yang harus tetap dipertahankan, karena budaya Betawi merupakan satu dari sekian banyak warisan budaya
 yang ada di Indonesia, meneruskan kepada generasi berikutnya, agar tidak punah. Banyaknya anak-anak yang meneruskan pertunjukan-pertunjukan ini membuat semakin menyadari bahwa budaya Betawi tetap harus ada.

 





No comments:

Post a Comment