Pages

Sunday, January 20, 2013

Belajar dari Suku Baduy

Nama : Jeannyffer Willyam
NIM  : 11140110095
Kelas : B1


Sebagai tugas akhir dari mata kuliah Komunikasi antar Budaya, mahasiswa/i Universitas Multimedia Nusantara, prodi Ilmu Komunikasi, angkatan 2011, diminta untuk mengobservasi dan menguak komunikasi antar budaya di komunitas tertentu yang ada di Indonesia. Saya memilih untuk melakukan observasi ke Komunitas Baduy. Nah, saat ini saya akan berbagi cerita mengenai pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan saat berada di Komunitas Baduy. Berikut liputannya.. Selamat menyimak ya..! J


Jumat, 21 Desember 2012, saya dan kelima orang teman saya memulai perjalanan menuju Komunitas Baduy sekitar pukul lima dini hari dari Tangerang, guna menghindari macet dan agar tidak terlalu sore ketika sampai di Baduy nantinya. Kami berangkat dengan mengendarai mobil pribadi milik salah seorang di antara kami.


Kira-kira pukul dua siang, kami tiba di daerah Koranji. Kami menitipkan mobil di sebuah bengkel, kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah Dr. Yusuf Tresna Budi, MSc., seorang rekan yang akan memberikan petunjuk bagi kami saat tiba di Baduy nanti. Kami menyapa beliau dengan panggilan Uwa Budi (Uwa adalah sebutan untuk paman atau om dalam bahasa Sunda).

Untuk sampai ke rumah Uwa Budi, kami harus berjalan kaki selama kurang lebih tiga jam. Cuaca yang kurang bersahabat menjadi hambatan bagi kami selama perjalanan. Jalanan yang licin akibat dibasahi oleh air hujan membuat kami harus memerhatikan langkah kaki kami dengan sangat hati-hati agar tidak terpeleset, meskipun ternyata ada beberapa orang dari kami yang akhirnya jatuh juga.


Selain licin, ‘medan’ yang harus kami lalui adalah jalanan yang dipenuhi oleh batu-batu besar dan tanah liat. Saya sendiri sempat mengalami kram kaki sebanyak dua kali karena memutuskan untuk berjalan di bebatuan tanpa alas kaki. Saya melepas sendal saya yang sudah basah dan licin akibat menginjak tanah liat yang becek.

Sekitar pukul lima sore, akhirnya kami sampai juga di rumah Uwa Budi. Setibanya di sana, kami disambut dengan hangat oleh Uwa Budi dan Isterinya. Setelah membersihkan diri, kami disuguhkan makan malam. Kebetulan, saat itu di Baduy sedang musim panen petai dan durian. Kami pun kebagian untuk menikmatinya. 

  
Makan malam saat itu terasa sangat lezat. Makanan yang disajikan semuanya organik, mulai dari nasi (Baduy terkenal dengan beras organik dan gula merahnya), bahkan sampai petai dan duriannya pun organik. Masyarakat Baduy memang tidak ingin menggunakan pupuk untuk tanaman mereka.


Setelah selesai makan, kami pun berbincang-bincang dengan Uwa Budi. Rumah Uwa Budi terletak di Desa Cicakal. Cicakal adalah komunitas muslim yang bersilahturahmi antara wali dengan Baduy. Hal itu dibuktikan dengan cara Seba yang diadakan setiap tahun.

Uwa Budi sendiri sudah tinggal di Cicakal selama 13 tahun, jadi beliau sudah sangat mengenal, memahami, bahkan akrab dengan masyarakat Baduy. Ketika ditanyakan mengapa Uwa Budi memilih untuk menetap di Cicakal, beliau menjawab bahwa ia merasa seolah menemukan ‘surga’nya. Keadaan lingkungan yang damai, udara yang masih bersih dari polusi, dan kekeluargaan diantara sesama membuatnya betah tinggal di sana.
Uwa Budi pun memulai ceritanya tentang masyarakat Baduy. Berikut informasi yang kami dapatkan dari Uwa Budi.



SUKU BADUY


Suku Baduy adalah suatu masyarakat yang mendiami Desa Kanekes (Baduy), Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sunda. Suku Baduy terdiri dari Baduy Dalam, Baduy Luar, dan Baduy Dangka.

Baduy Dalam adalah masyarakat Baduy yang berada di dalam. Pakaian yang mereka kenakan berwarna putih-putih, dan menggunakan Roma (ikat kepala) yang juga berwarna putih.

Baduy luar merupakan masyarakat Baduy yang berada di luar. Pakaian yang mereka kenakan berwarna hitam-hitam, dan menggunakan Roma (ikat kepala) batik.

Baduy Dangka adalah masyarakat Baduy yang sudah membuat suatu kesalahan sehingga dikeluarkan dari Baduy Dalam.

Luas Baduy sendiri sekitar 1,35 hektar. Terbagi menjadi zona konservasi (hutan), zona pertanian (lahan kering), dan zona pemukiman. Baduy lebih kuat dalam konservasi.



KOMUNIKASI DENGAN YANG KUASA


Masyarakat Baduy mengenal ajaran Sunda Wiwitan, di mana bagi mereka dosa adalah yang nomor tiga, yang kedua pamali, dan yang pertama adalah tabu. Inilah komunikasi mereka dengan Yang Kuasa, yang mereka sebut dengan Bakara Tunggal. Jika mereka sudah melakukan tabu, maka itu berarti mereka telah melakukan kesalahan. Dengan demikian, untuk berbuat dosa pun mereka tidak akan berani.
Masyarakat Baduy menganut prinsip dasar “Pondok tumenang disambung, lojor tumenang dipotong” yang artinya “Pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong”. Jadi, masyarakat Baduy menjalani realita hidup yang apa adanya. Masyarakat Baduy pun mengakui dan mentaati bahwa segala sesuatunya sudah terangkai dalam suatu skenario dari lahir sampai akhir hayat.
Soal kelahiran dan kematian juga demikian. Mereka percaya bahwa janji Tuhan yang paling pasti adalah meninggal.



KOMUNIKASI DENGAN ALAM


Komunikasi alam di masyarakat Baduy sendiri sangat kuat, terutama bagaimana mereka berkomunikasi dengan tumbuhan, angin, gelap, siang (matahari), burung, dan sebagainya. Masyarakat Baduy percaya bahwa sebelum mereka ada, alam sudah tercipta. Uwa Budi mengistilahkan hal ini dengan Deep ecology , yang berarti menghormati hak asasi selain manusia, seperti terhadap tanaman (pohon), dan satwa (tidak membunuh).

Masyarakat Baduy memiliki penghormatan yang begitu kuat terhadap kekuatan-kekuatan alam. Bagi mereka, jika alam sudah tidak ada, maka mereka tidak bisa hidup.
Untuk bertahan hidup, masyarakat Baduy memang memanfaatkan alam. Dalam hidup pertanian, mereka berhuma, menanam padi di wilayah yang mereka buka (bukan hutan). Sawah di Baduy ada stimbera, jadi tidak menetap.

Di Baduy ada beras yang berusia 150 tahun. Mereka menyimpan hasil padi mereka di lumbung.
Masyarakat Baduy juga memiliki kebun, seperti kebun durian, asam ganjir, dan sebagainya. Mereka mengambil hasil dan dibagi kepada masing-masing keluarga. Masyarakat Baduy merupakan penghasil gula merah yang paling bagus.

Dalam memanfaatkan hasil hutan, masyarakat Baduy tidak memakan binatang. Mereka lebih memilih untuk mengkonsumsi lalap-lalapan seperti petai. Bagaimana mereka bisa bertahan, yaitu dengan ‘mengencangkan ikat pinggang’, menahan hawa nafsu. Untuk masyarakat Baduy dalam, mereka tidak memakan makanan yang digoreng. Mereka memasak menggunakan tungku.

Jadi, masyarakat Baduy memanfaatkan alam, tetapi tidak merusaknya. Sebelum menanam sesuatu, mereka akan memikirkannya terlebih dahulu apakah hal itu merusak atau tidak. Sebagai contoh, di Baduy tidak diperkenankan untuk menanam cengkeh, kopi, kelapa, singkong, dan tanaman lainnya yang dianggap bisa merusak tanah dan tidak bisa menghasilkan kembali.

Masyarakat baduy sangat memahami arti konservasi, yaitu bagaimana melakukan pengawetan, perlindungan, dan pemanfaatan terhadap alam.



KOMUNIKASI DENGAN MANUSIA


Masyarakat Baduy juga saling menghormati antar sesama manusia. Di Baduy tidak ada pemimpin. Struktur sosial dalam masyarakat Baduy ada tiga kekuatan, yaitu Cikeusik, Cikatawanda, dan Cibeo.
Cikeusik mengajarkan masyarakat Baduy bagaimana berkomunikasi dengan Yang Kuasa. Cibeo mendidik masyarakat Baduy tentang penghormatan terhadap alam, segala sesuatu yang merusak alam adalah dosa.

Bentuk penghormatan masyarakat Baduy terhadap sesama manusia contohnya dalam hal berjalan. Saat berjalan, masyarakat Baduy tidak ingin menghalangi jalan orang lain. Jadi mereka berjalan selalu berundui (dalam satu jalur). Ketika berjalan pun, anak kecil yang mengambil posisi di depan, kemudian ibu, barulah ayah yang berada di posisi belakang.

Hak dan kewajiban antara suami dan isteri sangat jelas dan kuat di Baduy. Tidak ada istilah cemburu. Jika seorang lelaki berkunjung ke suatu rumah, tetapi sang suami tidak ada sehingga yang ada hanyalah isterinya saja, maka lelaki itu akan pulang.

Dengan sesama tetangga pun mereka tidak pernah ada konflik. Ketika bertemu, yang dibicarakan adalah bagaimana berhuma hari ini, bertani hari ini, dan mereka saling membantu.

Masyarakat Baduy sangat memegang kuat adat mereka. Kehidupan mereka pun masih sederhana. Tidak ada barang-barang elektronik seperti televisi, kulkas, mesin cuci dan sebagainya, karena memang tidak diperbolehkan. Namun, mereka juga cukup sering berkunjung ke kota. Hal itu mereka lakukan guna menjalin silaturahmi dengan orang-orang kota yang pernah berkunjung ke sana. Masyarakat Baduy berkunjung ke kota dengan berjalan kaki dan tanpa menggunakan alas kaki.

Pakaian yang dimiliki oleh masyarakat Baduy ada tiga, yang pertama digunakan untuk berhuma, yang kedua untuk tidur, dan yang ketiga untuk bertamu. Ketiga pakaian itulah yang mereka gunakan secara bergantian sesuai kepentingannya setelah dicuci bersih.

Bagi masyarakat Baduy, mereka sangat menjunjung tinggi Bung Karno. Begitu juga dengan Uwa Budi. Tak heran mengapa kami menemukan banyak foto dari Bung karno yang di pajang di rumah Uwa Budi.

Karena makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Baduy semuanya organik, maka tak heran jika sampai saat ini ada masyarakat Baduy yang sudah berusia ratusan tahun. Untuk menentukan usia seseorang, biasa kita menggunakan akta kelahiran, berbeda dengan masyarakat Baduy. Mereka menentukan usai mereka dengan pohon yang mereka tanam.

Setelah selesai berbincang-bincang dengan Uwa Budi, kami pun beristirahat karena besok kami akan melanjutkan perjalanan ke kampung Baduy Luar. Di daerah Cicakal, tenaga listrik belum terlalu besar dayanya, jadi kami tidur dengan bercahayakan lilin. Di Baduy sendiri pun tidak ada listrik.




PERJALANAN MENUJU KAMPUNG BADUY LUAR


Keesokan harinya, setelah membersihkan diri dan sarapan, kami kembali melakukan perjalanan ke kampung Baduy Luar. Kami ditemani oleh  dua orang utusan dari Uwa Budi yang akan menjadi penunjuk arah jalan. Uwa Budi tidak dapat ikut karena ada keperluan di Jakarta. Seperti biasa, kami menuju ke kampung Baduy Luar dengan berjalan kaki.

Kami memulai berjalan sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Pada awalnya cuaca cukup bersahabat karena tidak hujan, tetapi semakin siang cuaca menjadi semakin panas akibat matahari yang sudah meninggi. ‘Medan’ yang harus kami lalui kurang lebih sama seperti saat kami menuju ke rumah Uwa Budi, jalanan yang berbatu dan tanah liat. Namun kali ini tidak selicin yang kemarin.

Di tengah perjalanan menuju kampung yang pertama, kami melihat lumbung tempat penyimpanan padi seperti yang dikatakan oleh Uwa budi. Ada banyak lumbung yang kami temui di sana. 


Tak lama kemudian, kami pun sampai di kampung Baduy Luar yang pertama. Rumah-rumah yang ada dibangun dengan jarak yang berdekatan satu dengan lainnya.

Kami juga menemukan seorang lelaki warga Baduy luar yang sedang menjahit pakaian. Mereka memproduksi sendiri pakaian mereka. Bahkan kainnya pun mereka tenun sendiri. Dibutuhkan waktu kurang lebih dua minggu hingga pakaian tersebut siap dipakai. Masyarakat Baduy juga menjual pakaian buatan mereka tersebut seharga seratus ribu rupiah.


Tidak jauh berjalan, kami kembali menemukan seorang warga Baduy Luar, kali ini wanita, yang sedang menenun kain. Untuk menghasilkan sebuah kain, diperlukan waktu sekitar beberapa minggu hingga bulan. Untuk kain, masyarakat Baduy tidak menjualnya.


Kami kembali menjumpai salah seorang lelaki warga Baduy Luar yang sedang membuat tas rajut. Diperlukan waktu hingga satu bulan untuk menyelesaikan tas tersebut. Ada yang ukuran besar, dan ada yang ukuran kecil. Masyarakat Baduy juga menjual tas hasil karyanya kepada masyarakat luar seharga dua ratus ribu rupiah.


Dari kampung yang pertama, kami kembali melanjutkan perjalanan  ke kampung yang kedua. Di perjalanan kami melihat tanaman padi yang ditanam oleh warga Baduy. Hal yang menarik perhatian kami adalah padi-padi tersebut ditanam dengan posisi miring.  Saya pribadi sangat kagum dengan pemandangan yang saya lihat disepanjang perjalanan. Alam yang begitu luar biasa. Sungguh indah ciptaan Tuhan.


Sesampainya di kampung Baduy Luar yang kedua, kami beristirahat sejenak di rumah salah seorang warga yang kebetulan menjual minuman dan makanan-makanan kecil. Kami juga melihat padi yang sudah menguning dan sedang di jemur.


Ternyata, di sebelah rumah yang kami tumpangi saat itu, ada beberapa warga Baduy Luar yang sedang membangun rumah.
Cara kerja mereka sangat efektif. Tidak perlu banyak bicara, masing-masing sudah mengetahui bagian mereka dan apa yang harus mereka lakukan.

Ya, begitulah cara kerja masyarakat Baduy. Seperti saat membangun jembatan Leuwi Bulet yang kami singgahi saat ingin melanjutkan perjalanan ke kampung yang ketiga. Mereka tidak banyak berbicara saat bekerja. Masing-masing menyelesaikan bagiannya. Alhasil, pekerjaan pun dapat cepat terselesaikan.


Sesampainya di kampung yang ketiga, kami kembali beristirahat di rumah salah seorang warga Baduy luar. Kampung yang ketiga ini cukup sepi karena saat itu kebanyakan masyarakat Baduy sedang pergi ke ladang dan juga ada yang pergi ke Gazebo, di mana warga Baduy Luar dan Baduy Dalam bertemu.

Sebenarnya kami dianjurkan oleh Uwa Budi untuk pergi ke sana, setelah itu baru melanjutkan perjalanan ke wisata Baduy. Namun, mengingat bahwa perjalanan untuk menuju ke sana masih jauh dan kami harus kembali ke rumah Uwa Budi setelah dari sana (tidak bisa menginap) akhirnya kami memutuskan untuk tidak jadi pergi ke Gazebo dan memilih untuk pulang ke rumah Uwa Budi.

Ketika kami tiba di rumah Uwa Budi, ternyata ada beberapa orang rekan Uwa Budi sesama pecinta alam yang berkunjung dan akan menginap di rumah Uwa Budi. Mereka sangat ramah dan tidak canggung untuk berbagi pengalamannya dengan kami.

Malam harinya, ada seorang warga Baduy Dalam yang datang ke rumah Uwa Budi. Namanya Jarsih. Kami memanggilnya dengan sebutan Mang Jarsih. Kami pun memanfaatkan kesempatan ini untuk berbincang-bincang dengan Mang Jarsih juga rekan-rekan Uwa Budi, mengingat bahwa tidak sembarang orang yang bisa masuk ke wilayah Baduy Dalam.


Bercerita dengan Mang Jarsih, bagi saya cukup menyenangkan. Meskipun ada kesulitan karena Mang Jarsih yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga rekan dari Uwa Budi yang harus menjadi penterjemah bahasa Sunda, tetapi melihat kepolosan dari Mang Jarsih saat menjawab pertanyaan dari kami membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang mereka.

Jika masyarakat Baduy Luar masih diperbolehkan mandi dengan menggunakan sabun, keramas dengan menggunakan shampoo, menyikat gigi dengan menggunakan odol, masyarakat Baduy Dalam tidak. Mereka mandi dengan menggunakan daun Honje, keramas dengan menggunakan sabut kelapa, dan menyikat gigi dengan menggunakan batu yang ditumbuk sampai halus.

Kebiasaan bagi masyarakat Baduy, mereka tidak akan berbicara mengenai hal yang bukan menjadi bidang mereka, karena mereka tidak ingin sampai salah dalam berbicara. Mang Jarsih sendiri adalah seorang petani.
Setelah berbincang-bincang dengan Mang Jarsih dan rekan-rekan dari Uwa Budi kami pun makan malam bersama kemudian beristirahat.

Keesokan harinya kami berpamitan dengan Uwa Budi beserta keluarganya, rekan-rekan Uwa Budi, dan juga Mang Jarsih, untuk kembali ke Tangerang.
Beruntung cuaca saat itu cukup bersahabat, sehingga perjalanan kami akan terasa lebih mudah jika dibandingkan dengan yang kemarin.



PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL


Banyak hal yang bisa saya pelajari dari masyarakat Baduy, mulai dari penghormatan mereka yang luar biasa terhadap alam, ketaatan diri mereka terhadap adat, dan juga kesadaran diri mereka ketika melakukan suatu kesalahan. Menurut cerita Uwa Budi, jangankan berbuat kesalahan, baru memikirkan atau memiliki niatan untuk melakukan kesalahan saja masyarakat Baduy akan mengakui dengan sendirinya.

Uwa Budi sempat melontarkan candaan, bagaimana jika pemerintahan kita digantikan oleh masyarakat Baduy. Kami pun tertawa. Memang benar, seandainya saja pemerintah memiliki pola pikir yang sama dengan masyarakat Baduy, tentu tidak ada yang namanya eksploitasi sumber daya alam, dan juga tindak korupsi.

Saya berharap agar masyarakat Baduy dapat terus mempertahankan keaslian suku mereka dan tidak terpengaruh oleh globalisasi yang dapat mengancam adat istiadat mereka. Semoga masyarakat Baduy dapat menjadi salah satu masyarakat tradisional yang lestari.



KAITANNYA DENGAN TEORI DARI BUKU KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA (LARRY A. SAMOVAR)
1.   


       Seperti yang dikatakan oleh Larry A. Somovar dalam bukunya “Komunikasi Lintas Budaya”, bahwa budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Sama halnya dengan masyarakat Baduy yang mewariskan budaya mereka kepada generasi mereka mengenai ikatannya yang kuat dengan alam, sehingga masyarakat Baduy dapat ‘berkomunikasi’ dengan alam dan mengetahui gejala-gejala alam yang terjadi.
Contoh, salah seorang rekan Uwa Budi dari Baduy yang mengetahui alam dengan sangat baik akibat sudah diajarkan sejak kecil.

2.       Samovar juga mengatakan bahwa budaya itu didasarkan pada simbol. Masyarakat Baduy juga memiliki simbol dalam budaya mereka, yaitu yang mengenakan pakaian putih-putih adalah masyarakat Baduy dalam, sedangkan yang mengenakan pakaian hitam-hitam adalah masyarakat Baduy Luar.

3.       Menurut Samovar, komunikasi non-verbal merupakan hal yang penting dalam pembelajaran mengenai komunikasi antarbudaya, karena orang-orang menilai orang lain berdasarkan perilaku non-verbal, menggunakan pesan non-verbal untuk memberikan kesan, dan menggunakan pesan non-verbal untuk mengatur interaksi.
Dalam bekerja, masyarakat Baduy lebih menggunakan komunikasi non-verbal. Saat membangun jembatan mereka tidak banyak bicara, masyarakat otomatis saling membantu dan mengerjakan bagian mereka masing-masing tanpa harus menunggu perintah.

4.       Menurut Ryan dan Twibell, kejutan budaya membutuhkan beberapa penyesuaian sebelum Anda akhirnya dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Banyak orang yang telah berkunjung ke Baduy, dan orang tersebut tentu membawa budayanya masing-masing. Masyarakat Baduy tentu memiliki tindakan tertentu untuk mencegah agar budaya asing tersebut tidak merusak budaya asli mereka. Jika dirasa bertentangan, maka masyarakat Baduy akan dengan tegas menolaknya.
Sebagai contoh, Uwa Budi bercerita, pernah ada sekelompok orang dari salah satu provider telepon seluler yang datang ke Baduy. Mereka ingin membuat sebuah iklan, di mana masyarakat Baduy berkomunikasi menggunakan handphone. Hal ini tentu bertentangan dengan budaya Baduy sehingga mereka menolaknya.

5.       Samovar berpendapat, untuk memiliki suatu budaya, bahasa dibutuhkan, sehingga anggota suatu kelompok dapat berbagi kepercayaan, nilai, dan perilaku dan terlibat dalam usaha komunal. Masyarakat Baduy menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi, baik dengan sesamanya maupun dengan orang asing.

1 comment:

  1. Luar Biasa murni memang seharusnya semua manusia seperti ini berbudaya damai, jangan merusak alam dan juga seharusnya tidak mengkonsumsi dari hasil pembunuhan untuk alasan apapun tetapi langsung kosumsi dari sumber pertama yang masih murni karena dari struktur tubuh saja tumbuhan dan hewan berbeda jauh... hewan bisa bergerak dan mempunyai saraf sakit. Coba rasakan kulit kita yang terkelupas sedikit saja rasanya perih sekali apalagi rasa sakit dari hewan2 yang dijagal hanya untuk keserakahan makan kita dan memanjakan indera pengecap kita apalagi ada yang membunuh hanya untuk hobby???

    Artikel menarik:
    http://www.4shared.com/office/ggffoYcS/Ami_-_Hati_Alam_Semesta.html

    ReplyDelete