Pages

Saturday, January 19, 2013

Kampung Naga dalam Kesederhanaannya




Jessica Hayadi
11140110151
F1

Kampung Naga adalah kampung kebudayaan yang terletak di Tasikmalaya. Saya memutuskan kesana karena menurut saya kampung ini cukup unik. Jadilah saya beserta beberapa teman saya, yang berjumlah 17 orang, pergi ke kesana pada tanggal 22 Desember dan menginap selama 1 hari. Perjalanan dimulai pada jam 3 subuh jadi sudah kebayang kita tidak tidur menunggu jam 2 subuh agar bisa beres-beres kemudian langsung berangkat. Selama perjalanan ini sungguh saya tidak tahu apa yang akan saya hadapi di kampung naga sana, pokoknya saya selalu berdoa agar perjalanan kita dan pengalaman kami semua berjalan lancar.
Setelah kira-kira 8 jam perjalan, akhirnya tibalah kami ditempat tujuan. Ketika pertama kali masuk ke daerah Kampung Naga tidak terlihat tanda-tanda kampung yang tradisional menurut saya Kampung Naga sama seperti rumah rumah penduduk disepanjang jalanan di gunung-gunung.Kemudian berdirilah Tugu Kujang Pusaka menyambut kedatangan kami semua. Selain tugu tersebut, tiba tiba datang seorang berpakaian tradisional dan blangkon yang memperkenalkan diri sebagai tour guide kami dengan keramahannya. Beliau bernama Nok dan saya kadang memanggilnya mas Nok atau mang Nok. Pertama tama kami diberi kata sambutan dan setelah itu saya harus menuruni 490 anak tangga yang dituntun  oleh Mang Nok. Setengah perjalanan berlalu kaki ini pun mulai gemeteran. Walau hanya turun tetapi ternyata sulit juga ya. Tetapi begitu sampai saya pun langsung merasa perjuangan tersebut setimpal, di jalanan beratu itu saya temukan disebelah kiri saya terbentang hutan yang memiliki air terjun kecil, hanya sawah lah yang memisahkan saya dengan air terjun tersebut kemudian di kanan saya ada sungai lebar dan berarus yang bewarna coklat bernama Sungai Ciwulan. Kata Mang Nok sih karena lagi musim hujan makanya seperti itu, biasanya sungai tersebut tenang dan lumayan jernih. 

Setelah melewati keindahan alam tersebut, sampailah kami di Kampung Naga, hal yang pertama kali saya lihat adalah lapangan luas yang kemudian diujungnya terdapat balai desa. Untuk balai desa, saya harus melewati kira-kira 5 anak tangga yang dibuat dari batu. Disitu saya menyadari bahwa unsur dari pembangunan Kampung Naga ini antara lain batu, bambu, dan kayu.
Sesampainya di balai desa, Mang Nok memperkenalkan kami dengan Punduh dimana beliau adalah narasumber kami dan salah satu pejabat lembaga adat disana (sesepuh). Setelah menyampaikan maksud dan tujuan, Pak Punduh memeberikan kata sambutan yang didominasi oleh Bahasa Sunda, dimana memang di Kampung Naga lebih banyak digunakan Bahasa Sunda daripada Bahasa Indonesia. Punduh berkata bahwa mereka sangat terbuka untuk mengajarkan budaya mereka. Sebelum memulai sesi tanya jawab, kami pun mengucapkan “Bismilah” karena di Kampung Naga ini juga semua warganya pemeluk agama Islam. Kampung Naga berada di tengah tengah jalan dari Garut menuju Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga hanya memiliki area sebesar  1,5 hektar dan termasuk dalam Desa Neglasari.  Kampung Naga mempunyai 112 bangunan adat dengan 109 kepala keluarga dan total semua penduduk di dalam Kampung Naga adalah 314 orang. Menurut Pak Punduh, warga Kampung Naga kebanyakan mengikuti semua ritual agama Islam, contohnya seperti upacara pernikahan dan upacara orang meninggal. Namun ada beberapa peraturan khusus yang masih kental dengan takhayul di dalam Kampung Naga ini, seperti tidak boleh menceritakan sejarah Kampung Naga di hari Selasa, Rabu, Sabtu dan bulan Safar dan bulan Ramadhan. Kemudian adanya hutan adat sebelah timur yang tidak boleh dimasuki turis dan sangat suci serta hutan sebelah barat untuk makam para leluhur. Warga Kampung Naga melaksanakan peraturan tersebut karena pamali.

Pertanyaan yang paling bikin saya penasaran adalah, mengapa Kampung Naga menolak adanya listrik? Jawaban yang diberikan Punduh adalah agar tidak adanya kesenjangan sosial lagipula rumah warga Kampung Naga dari dulu terbuat dari bambu, kayu, ijuk, dan alang-alang yang mudah terbakar. Jadi yang saya simpulkan daripada harus merubah tradisi yang sudah turun-temurun dan sangat dihormati mendingan warga Kampung Naga hidup sederhana saja. Namun bukan berarti teknologi tidak ada disana, Kampung Naga sudah mengenal TV yang dinyalakan menggunakan aki serta handphone yang sangat memudahkan mereka untuk berkomunikasi. Konsep ini juga berlaku dalam hal ketiadaan meja kursi di dalam rumah, agar siapapun yang bertandang bisa sama-sama sejajar duduk beralaskan tikar dan tidak ada yang berdiri kalau semisal kursinya habis serta konsep mengapa semua rumah harus sama ukurannya, sama bahan-bahan yang dipakai untuk membuat, tidak boleh dicat, dll? Agar semua warga Kampung Naga sejajar dan sama rata. Tidak ada yang menonjol dan sangat tidak individualis.
Hal lain yang sangat saya kagumi dari Kampung Naga ini sendiri adalah kedamaian dan kerukunan warganya. Mengapa rumah- rumah dibangun hadap-hadapan? Agar sesama tetangga bisa salang melindungi dan mendukung. Terlihat sekali budaya kolektivis yang sangat kental. Dasar mereka adalah Sili Asah (menyayangi), Sili Asih (memberi), Sili Asuh (menghargai), Sili Payungan (merangkul sesama). Terbukti juga dari gotong royong mereka membanggun rumah. Padahal hanya untuk satu warga, tidak seperti di Jakarta yang kalo mau bangun ya bangun sendiri, tapi bagi mereka satu membangun rumah yang lain ikut membantu. Walaupun kata Punduh sudah tidak ada lagi rumah yang dibangun karena lahan 1,5 hektar sudah penuh dengan bangungan.
Orang-orang dalam Kampung Naga ini boleh pindah dari Kampung Naga namun jarang, orang yang kuliah pun sedikit. Namun yang pindah dari Kampung Naga biasanya karena ingin listrik dan boleh membangun rumah menggunakan semen dan juga boleh mengecat rumahnya. Bukan berarti mereka jadi musuhan, tetapi budaya kolektivisnya tetap tinggi. Orang yang berada diluar 1,5 hektar tersebut sering silahturahmi. Selang beberapa lama kita sudah menjalani sesi tanya jawab kami, tiba tiba bunyi handphone berkumandang di balai desa, dan tak disangka Punduh yang mengangkat telepon gengam tersebut sambil permisi untuk melayani telepon tersebut sebentar. Kami pun langsung tertawa dan memepersilahkan. Saya pikir untuk yang satu ini, maksud teknologi komunikasi, Kampung naga sudah maju dan mau menerima perubahan yang mempermudah mereka karena bagaimanapun komunikasi sangat esensial bagi kehidupan manusia.
Tanya jawab kami pun berakhir, ditutup dengan “Alhamdulilah” yang artinya mengucap syukur acara yang diselenggarakan di balai desa berjalan dengan lancar. Ketua RT pun datang untuk menunjukan kepada kami rumah yang akan kita inapi. Letak rumah yang akan kami tinggali selama satu malam itu tidak jauh dari balai desa, hanya perlu melewati beberapa gang kecil yang ada di tengah satu rumah dengan rumah lainnya. Sesampainya kita, Ibu Cucu beserta anak-anaknya, Teguh dan Rido, sudah menunggu. Dengan ramahnya kami berkenalan dan dipersilahkan masuk. Rumahnya pun cukup unik yaitu rumah gadang yang didepannya terletak dapur dan langsung ruang keluarga atau ruang tamu baru dibagian belakang terdapat kamar tidur. Rumah ini mempunyai pintu didepan dan tidak ada pintu dibelakang karena warga Kampung Naga mempercayai rejeki yang masuk tidak akan keluar. Rumah rumah ini pun tidak ada yang menghadap kiblat karena pamali bahkan untuk menyelonjorkan kaki ke arah kiblat pun tidak boleh karena cara pandang mereka yang menganggap tindakan tersebut tidak sopan. Nah untuk kamar kecil, warga Kampung Naga mempunyai kamar mandi yang umum diluar rumah mereka. Mereka gunakan bersama-sama terlihat kan kekompakan mereka? Kamar mandi ini tidak bisa disebut hanay kamar mandi saja, karena tempat tersebut juga digunakan untuk mencuci piring dan sebagainya. Yang unik dari kamar mandi ini adalah bambunya yang hanya setengah badan, pertama kali saya lihat saya kaget, akhirnya ibu Cucu pun menejelaskan bahwa mereka mandi dengan cara duduk dan kalau sudah ada  handuk yang digantung berarti ada ornagnya dan tidak boleh mengintip. Kepercayaan mereka satu sama lain sangat terbukti dari sini. Hal lain yang membuat saya cukup tercengan adalah air dari mata airnya sangatlah bersih tetapi ketika kita melihat kebawah, jangankan keramik. Kamar mandinya hanya terbuat dari babu dan dibawah kamar mandi tersebut sudah ada ikan ikan yang menunggu di kolam .
 Ibu Cucu pun langsung menyuguhi kita makanan yang berisi ayam goreng, tahu, dan sambal terasi yang enak. Cara makan mereka sudah menggunakan sendok dan garpu dan piring keramik tetapi cara masaknya yang masih tradisional. Warga Kampung Naga yang tidak menerima gas ataupun listrik jadi mereka masih memakai tungku yang dibawahnya dimasukan kayu bakar yang nantinya akan dinyalakan oleh api. Tungku tersebut mempunyai 2 “kompor” yang satu adalah wadah untuk memanaskan nasi dan kemudian yang satu untuk memasak lauk pauk. Setelah itu Mang Nok pun mengajak kita berkeliling untuk melihat lihat Kampung Naga. Pertama ia memperkenalkan kita pada kerinding yaitu alat musik tradisional Kampung Naga. Kerinding dibuat dari bambu dan digunakan secara ditiup. Setelah itu kami pun pergi melihat rumah keramat Kampung Naga yang tidak boleh difoto karena alasan adat isitiadat turun temurun. Mang Nok mengajak kami pergi ke terapi ikan dekat waduk yang dibuat oleh warga setempat dari semen. Lumayan unik karena kalau terapi ikan biasa menggunakan ikan kecil, kali ini ikan koi yang besar-besar disuruh menggigiti kulit mati kita. Selain untuk terapi ikan tersebut juga bisa kita beri makan pelet, namun pelet tersebut harus dibeli dengan harga seribu rupiah per plastik. Betapa senangnya saya karena ikan-ikan tersebut sangat lahap memakan sampai harus mencipratkan air kepada kaki kita, walaupun mereka sudah besar besar namun tetap saja setiap peleet yang dilemparkan selalu dimakan samapai berebutan. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya sudah memperjelas fungsi pariwisata di dalam Kampung Naga.
                Sore pun tiba dan kami pun sudah berkeringat dan lengket hal berikutnya yang harus kita lakukan adalah mandi. Namun karena tidak terbiasa dengan kamar mandi yang setengah badan dan air yang sedang kotor karena curah hujan yang tinggi, saya pun menapaki  anak tangga untuk naik agar bisa mandi di tempat permandian umum hanya dengan dua ribu rupiah. Itu adalah pengalaman pertama saya naik begitu banyak tangga, betul betul sangat capek untunglah disepanjang tangga-tangga tersebut ada tempat peristirahatan kecil yang bisa digunakan untuk berisitirahat. Tidak sia-sia temoat tersebut digunakan penduduk lokal untuk mejual berbagai minuman dan makanan ringan. Sesamapainya diatas harus saya akui saya pusing, mungkin memang saya kurang berolahraga. Ketika mandi tentu saja bisa ditebak kalau airnya jernih dan dingin maklum lah air tersebut langsung dari air mata pegunungan asli. Saya merasa sangat segar beda sekali dengan air jakarta yang memakai PAM.
                Kami pun bersantai dan mengobrol dengan penduduk di atas pemukiman Kampung Naga, disinilah saya bertemu beberapa warga Kampung Naga yang “ngungsi” ke atas dikarenakan keinginan mereka untuk memiliki listrik, untuk mempunyai TV namun mereka tetap memegang teguh adat istiadat Kampung Naga seperti walaupun rumah mereka sudah semen tetapi tolak bala yang dipasang disetiap pintu rumah tetap mereka pasang, isi tolak bala pun masih sama seperti warga Kampung naga yang berada di bawah.
                Ketika jam setengah tujuh sudah tertera pada bb saya, saya beserta teman-teman pun memutuskan untuk balik lagi kerumah tempat kediaman kami, melewati anak tangga tersebut lagi saya kali ini tidak merasa capeknya tapi lebih ke takut, karena dipinggir kami semuanya hutan dan sudah malam matahari sudah terbenam. Sangat gelap kalau kita tidak memakai senter. Saya pun bergandengan dengan salah satu teman saya agar rasa takut bisa sedikit menghilang dan agar lebih hati-hati. Sesudah masuk ke dalam kawasan Kampung Naga dan tiba dirumah kediaman kami, Ibu Cucu pun langsung menyambut dan menyuguhi kita makanan.  Karena sudah capek dan lapar tentunya kami pun makan ditemani anak- anak Ibu Cucu. Teguh bercerita kalau ia selalu ranking satu dan terlihat sekali Ibu Cucu bangga dengannya kemudian ada Rido, umur 3 tahun, yang meniru gaya Olga di TV sambil berteriak “Buat Elo!” yang mengkukuhkan kalau media berpengaruh kepada masyarakat  dan keinginan Rido yang ingin mempunyai HP. Bapak pun bilang wah gara-gara TV nih.
                Kemudian kami pun bertemu dengan nenek dari Ibu Cucu, beliau sangat ramah dan kami pun mengobrol walupun adanya keterbatasan bahasa maklum nenek tidak lancar berbahasa Indonesia. Ini menunjukan perbedaan budaya dalam bahasa yang bisa menghambat komunikasi kita tetapi walau begitu kami masih berusaha bercakap-cakap dan tertawa dengan humor sang nenek.

                Nah ketika sudah malam nenek pun sudah tidur kami semua ngobrol dan teringat kata Mang Nok dan Ibu Cucu mengenai ular yang sering terlihat di kampung Naga. Kami semua diperingatkan untuk tidak berjalan-jalan karena ularnya belum mengenal kita. Ini salah satu hal unik, kampung Naga yang sudah mengenal ular akan terbiasa melihat ular tersebut mencaplok ayam ayam  yang berkeliaran dan mereka tahu ular tersebut tidak akan mencelakakan mereka. Setelah itu kami pun merasa ingin pipis karena gelapnya kampung naga kami pun rada-rada antara mau dan tidak namun karena sudah kebelet akhirnya kami bela bela memakai senter dan setiap kami pipis ada satu orang yang mensenteri sambil melihat ke arah lain sekalian memegangi karung goni untuk menutupi bilik kamar mandi.  Menurut saya pengalaman tersebut adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan.
                Setelah itu, kami pun memutuskan tidur dan keesokan paginya saya dibangunkan dengan segar dan dinginnya udara. Jam enam kami gosok gigi dan cuci muka setelah itu sarapan, saya pun membantu Ibu Cucu mencuci kentang karena pada hari itu Ibu Cucu memutuskan untuk membuat perkedel kentang. Pada saat Ibu Cucu ditengah proses memeasak tiba-tiba ia keluar karena penasaran saya pun keluar alhasil beliau keluar karena mendengar suara pesawat terbang dan ingin melihatnya kata beliau kebanyakan rakyat Kampung naga senang melihat pesawat terbang apalagi anak-anak Kampung Naga, betul juga saya lihat dan para tentangga pun sudah keluar rumah dan sedang melihat ke langit. Saya pun mengobrol banyak dan kemudian bercerita bagaimana dulu rumah Bapak dan Ibu berdekatan dan ibu sering dijenguk dan diajak nonton layar tancap dan untuk “menyuap” Ayah Ibu Cucu, bapak suka membawakan rokok. Sangat romantis ya? Teringatlah saya akan pertanyaan salah satu teman kepada Mang Nok, poligami dibolehkan gak mang? Lalu beliau menjawab, boleh secara agama namun belum ada di Kampung Naga karena ketika mencari, kami mencari cinta sejati.  
                Setelah makan, kami pun pergi beserta Mang Nok melihat kambing besar dan beliau bercerita sejarah Kampung Naga tidak diketahui pastinya karena dulu DI/TII Kartosoewiryo sempat membakar Kampung Naga karena Kampung Naga menolak tidak mendukung program mereka pada tahun 1956. Peristiwa ini dinamakan Pareum Obor yang artinya matinya penerangan. Menurut saya sejarah ini sangat berpengaruh pada budaya Kampung Naga. Masa lalu dijadikan dasar pemikiran karena Budaya yang memiliki filososfi terorientasi masa lalu cenderung menggunakan masa lalu dengan situasi yang baru. Mungkin bisa dibilang kebetulan namun dari sejarah Pareum Obor membuat Kampung Naga hanya mengandalkan penerangan biasa saja dan menolak listrik dengan alasan takutnya mereka listrik bisa menyebabkan kebakaran.
                Kemudian kami diajak melihat kegiatan bapak-bapak Kampung naga dalam bersawah. Kebetulan ini adalah masa-masa mereka mempersiapkan penanaman padi. Jadi tahpa pertama adalah tentu saja mencangkul dan yang kedua bagaimana mereka menginjakan tanahnya kembali agar bisa ditanami padi. Setelah itu Mang Nok menunjukan kepada kita bagaimana ia memakan belut hidup hidup agar bisa menambah stamina pria dewasa. Belut ini biasanya banyak ditemukan di sawah sawah. Selain belut ada juga tanaman pakokak yang memiliki fungsi yang sama, saya sempat mencoba pakokak dan rasanya pahit.
                  Saat saya dalam perjalanan pulang saya melihat anak kecil sedang bermain masak masakan say baru mengetahui dari Mas Nok bahwa bakul yang dia pakai itu sengaja dibuat oleh warga agar dari kecil mereka sudah mnegrti cara memakai bakul nasi, ini menunjukan bahwa kebudayaan diturunkan melalu generasi ke generasi lain. 

                    Setelah itu pun kami balik lagi ke rumah Ibu Cucu untuk beres-beres karena waktu sudah menunjukan untuk kita pulang. Sempat dihiasi dengan beberapa air mata karena Ibu Cucu dengan sederhana berkata maaf ya kalau rumahnya tidek enak. Dan kita semua sedih karena kebaikan Ibu Cucu. Setelah berpamitan kami pun pulang dan pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan. Terima Kasih Kampung Naga untuk mengajarkan kebahagiaan dalam kesederhaan.


1 comment:

  1. makasih critanya, jadi sedikit tahu soal kampung naga.. kami dari bandung tgl 2-3 mau berkunjung kesana.. salam kenal. :)

    ReplyDelete