Pages

Thursday, January 17, 2013

Komunitas Waria Taman Lawang



Dita Anggreani
11140110041
E1




Manusia turun ke dunia telah ditakdirkan untuk berpasang-pasangan, laki-laki dengan perempuan, seperti halnya Adam dan Hawa. Mereka saling melengkapi, sudah sewajarnya laki-laki memiliki perilaku dan budaya maskulin, sedangkan perempuan adalah feminin. Namun, sering kali kita lihat banyak manusia yang tidak menghendaki takdirnya dan memaksa untuk berubah. Banyak yang keliru antara takdir dengan nasib, takdir ialah ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat diubah, lain halnya dengan nasib yang masih dimungkinkan untuk diubah. Lantas, bagaimana dengan sex dan gender? Beberapa budaya menganut sistem Patrilineal dan Matrileneal. Patrilineal merupakan budaya yang menganggap kaum laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan wanita, sebaliknya dengan Matrilineal yang menganggap derajat wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Jenis kelamin atau sex merupakan identitas manusia yang ditentukan secara biologis, baik itu laki-laki ataupun perempuan yang telah Tuhan tentukan. Sedangkan gender adalah peran, fungsi, dan tanggung jawab dari manusia itu sendiri. Misalnya, perempuan senang memasak, bermain boneka, merias diri hal tersebut berhubungan dengan gender. Terbentuknya gender adalah konstruksi dari lingkungan sosial tempat manusia tumbuh dan berkembang kemudian menjalankan peran dan fungsinya. Gender dikatakan juga sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan budaya maskulin dengan feminin. Oleh karena itu, lingkungan sosial yang konstruktif memengaruhi sifat manusia untuk berperilaku dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya tersebut. Pada realitas sosial, kemampuan ataupun kapasitas yang dimiliki oleh individu saat bereaksi dengan efektif dan wajar menandakan adanya proses penyesuaian sosial yang bisa diterima sesuai dengan ketentuan dan harapan dalam kehidupan sosial. Selain itu, penyesuaian juga berarti proses merespon secara mental dan perilaku ketika menghadapi tuntutan sosial yang membebani individu dengan relasinya dalam lingkungan sosial. Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial ialah kemampuan individu saat bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan sosial dengan benar dan wajar. Seperti yang kita ketahui, adanya norma-norma yang tumbuh di lingkungan sosial kita merupakan aturan yang harus kita taati. Namun, melihat realitas yang terjadi di sekitar kita bukan lagi hal yang aneh jika individu-individu menyalahi norma dan individu lain mulai terbiasa menyaksikannya. Adanya norma dalam suatu masyarakat yang kemudian di ‘tabrak’ dan menjadi kebiasaan atau cara hidup baru hingga membentuk komunitas (masyarakatnya sendiri) dalam lingkungannya.

Taman Lawang hanya sebuah taman kecil di kawasan Perikanan,  Jakarta Pusat
Nah... pada pembahasan kali ini, saya akan memaparkan komunitas yang ada di Taman Lawang. Ya, dari namanya saja pasti sudah terlintas komunitas apa yang ada di sana, siapa yang tidak kenal daerah yang terletak di Jakarta Pusat itu. Kawasan tersebut merupakan tempat di mana waria sudah menjadi ‘penghuni’-nya dengan menjalankan aktivitas dan mencari uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Taman Lawang merupakan kawasan metropolitan berskala kecil yang juga merupakan bagian dari ibukota. Di tempat ini, terkumpul banyak waria dari berbagai suku bangsa. Kita dapat tahu dari mana asal para waria ini, ada yang berasal dari Bandung, Medan, Palembang, Jakarta, dan sebagainya. Kita dapat mengenali mereka dari cara bicaranya yang masih diselingi dengan bahasa daerah yang mereka gunakan atau dari ciri-ciri fisiknya. Misalnya, bentuk mata dan warna kulitnya. Jika kita hubungkan keberadaan waria yang pada takdirnya adalah laki-laki tapi ‘menjelma’ menjadi seorang perempuan lantas diberikan kawasan bagi mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks oleh warga setempat. Hal ini menandakan adanya kemungkinan norma tidak sekuat aturan yang telah diciptakan sebelumnya. Lebih lanjut, meskipun mereka merupakan komunitas waria Taman Lawang, di kawasan ini juga ternyata terbagi menjadi dua kelompok waria. Menurut Ajeng (waria Taman Lawang) di daerah belakang Taman Lawang adalah kelompok waria Bandung, karena kebanyakan mereka berasal dari Bandung. Sedangkan di Taman Lawang depan adalah komunitas waria Palembang yang menurut beberapa narasumber mengatakan bahwa waria Palembang dikenal lebih agresif dan sedikit ‘kasar’. Sebelum bertemu dengan Ajeng, saya sempat berkomunikasi dengan waria lainnya, yakni Cece. Hampir tidak dapat dibedakan lagi cantiknya wanita sungguhan dan waria... Bukan hanya wajah dan penampilan saja, namun secara biologis kebanyakan mereka melakukan operasi guna mendapatkan bentuk tubuh yang indah selayaknya wanita pada umumnya. Hal tersebut tak jarang dijumpai di sini, berbeda dengan waria lainnya waria di Taman Lawang ini memang terlihat high class mereka bahkan datang ke kawasan tersebut dengan menggunakan taksi. Menurut Cece, yang membedakan mereka dengan waria lain di luar kawasan Taman Lawang adalah penampilan dan kegiatan mereka yang konsisten sebagai wanita. “Kalau malamnya dandan cantik tapi siangnya mereka terlihat seperti laki-laki, kerja kayak laki itu namanya bukan waria, tapi homo. Beda dong,” papar Cece.

Saya sempat menemui hambatan saat meneliti para waria ini, karena ini merupakan pertama kali saya memasuki komunitas yang baru. Salah satunya adalah rawan terkena tipu yang mengaku link orang dalam. Namun, hal tersebut adalah pengalaman untuk pembelajaran apabila kita ingin melakukan observasi lebih mendalam lebih baik kita langsung permisi saja ke tempat kost-kostan tempat tinggal para waria ini. Jangan sekali-kali membayar melalui orang lain, lebih baik izin pada ‘Bunda’-nya langsung untuk meliput. Awalnya saya berniat menjadikan Cece sebagai narasumber, tapi ternyata tarif yang dia minta terlalu tinggi untuk saya, yakni 500 ribu rupiah. Bukan hanya itu, untuk mengetahui nomer teleponnya saja sulit, dia meminta 200 ribu rupiah sebagai tanda jadi.

Suasana di depan kamar Bunda Joice (lantai dua)
Banyak pakaian yang digantung (lantai tiga)
Kemudian, setelah menunggu waria lain dan berharap mendapatkan harga yang lebih murah lagi, akhirnya saya dikenalkan oleh Ajeng. Waria ini berasal dari Medan, parasnya ayu dan tutur katanya lemah lembut. Dimulailah perkenalan malam itu, for your information waria Taman Lawang baru keluar di atas jam 10 malam dan ramai ketika jam 1 pagi. Keesokan harinya, saya datang ke kostan Ajeng  yang letaknya tidak jauh dari Taman Lawang. Kosannya berwarna hijau, seperti rumah susun dari luar gangnya tampak beberapa mobil mewah yang sedang parkir di depan rumah-rumah makan. Warga setempat hidup rukun dengan para waria, bahkan seorang waria mengantarkan saya ke tempat tujuan untuk bertemu dengan Bunda Joice, sesuai dengan kesepakatan malam sebelumnya agar kami meminta izin dahulu kepada sang Bunda. Ketika saya masuk ke kost-kostannya ternyata seperti berada di sebuah rumah tua, tangganya dari kayu dan cukup sempit sampai harus menundukkan kepala saat menaikinya. Setelah melewati tangga yang saya jumpai adalah kamar mandi yang tidak ada lampunya, lebih jauh lagi saya berjalan dan memasuki lorong dengan tikar merah, lampu yang remang-remang, dan alunan lagu jaman dulu. Baju dan aksesoris wanita berserakan di atas lantai, beberapa waria menghampiri saya guna menanyakan keperluan datang ke tempat mereka. Setelah itu, Bunda Joice keluar dari kamarnya, dia terlihat ramah dan welcome sesudah saya menjelaskan maksud kedatangan, Bunda Joice berkata pada Ajeng kalau sudah menerima uang harus tanggung jawab, Bunda Joice sama sekali tidak keberatan, semuanya diserahkan kepada Ajeng apabila Ajeng setuju. Bahkan Bunda Joice berkata kita harus saling membantu karena pandangan negatif tentang kaumnya sudah banyak, untuk itu tidak ada salahnya jika ingin mengekspos lebih dalam lagi kehidupan waria yang bukan hanya sisi negatifnya saja, agar masyarakat juga tahu.

Meskipun sudah ditipu oleh orang yang mengaku link orang dalam itu. Saya membayar Ajeng 200 ribu rupiah lagi, karena ternyata Ajeng hanya mendapat 100 ribu rupiah. Awalnya Ajeng keberatan, namun setelah bernego hambatan tersebut bisa dilalui. Dari salah satu waria yang tinggal di sana juga, saya beranggapan bahwa mereka juga masih memikirkan keluarga. Dia mengatakan mereka mengerti dengan tugas yang sedang saya lakukan karena mereka juga banyak yang memiliki adik yang masih bersekolah, mereka juga membantu biaya sekolah untuk adikanya. Tibalah saatnya mewawancarai Ajeng, kamar Ajeng naik satu lantai lagi. Masih dalam suasana yang sama, tikar merah dan lampu remang-remang. Tambahan lainnya adalah dindingnya yang berlubang dan banyak jemuran di sekitarnya, di sana saya mendengar cara mereka bercanda dan memanggil nama sapaan mereka. Salah satu teman Ajeng mamakai argot yang khas, seperti menyebut dirinya dengan ‘akika’. Ajeng yang nama aslinya ialah Irwansyah, mengaku bahwa dia ingin menjadi wanita karena nalurinya adalah wanita. Bukan karena terpengaruh oleh lingkungan atau didikan keluarganya, dia bercerita keluaraganya hanya tahu dia bekerja di Jakarta, namun bukan sebagi waria. Ajeng berasal dari Medan, anak pertama dari empat bersaudara.  Sambil sedikit tertawa namun terlihat sekali bahwa raut mukanya sedih ketika dia berkata apabila terlahir kembali Ajeng ingin terlahir sebagai perempuan karena jiwanya memang perempuan.

Ya... Terlepas dari takdir yang tidak dapat diubah, manusia selalu memiliki keinginan yang terkadang meskipun salah tetap dilakukan. Tak lepasnya dari sosok Ajeng, keberadaan mereka juga disambut oleh para lelaki normal. Tarif yang mereka terima dari 30-500 ribu rupiah. Biasanya tukang ojek dikenakan 30 ribu rupiah, supir truck 50 ribu rupiah, dan tarif lebih tinggi lagi tergantung dari mobil yang tamunya bawa. Bukan hanya dari kalangan bawah, di antara mereka sudah sering mendapat turis asing dan pejabat sebagai tamunya. Waria di sana juga ada yang pintar berbahasa Inggris, bahkan di-booking sampai luar negeri. Pada dasarnya mereka, memiliki keinginan atau motivasi dari masing-masing pihak, baik tamu maupun warianya. Jika disimpulkan, motivasi yang terlihat dari orang yang datang ke Taman Lawang adalah mencari kepuasan syahwat dan tentu saja uang. Bukan semata-mata pemonopolian dari pihak penghuni yang tergiur dengan uang. Hari itu saya mengamati Ajeng yang saya panggil dengan Tante Ajeng, dari penampilannya saat belum ber-make up sampai setelah make-up. Tangannya begitu cekatan memoleskan alat make-up ke wajahnya.

Rutinitas Ajeng sebelum beroperasi di Taman Lawang
Sambil sibuk merias diri, Ajeng bercerita bahwa mereka mengikuti semacam les make-up dan adapula  ajang kontes kecantikan bagi kaum mereka ini. Sadar bahwa pekerjaan yang dilakukannya dekat dengan penyakit seperti HIV/Aids mereka juga rutin melakukan pemerikasaan kesehatan agar meminamalisir jika ada penyakit yang mungkin dideritanya. Penghuni di kost-kostan milik Bunda Joice ini paling muda masih berumur 17 tahun, Ajeng sendiri termasuk yang di’tua’kan. Saat saya sedang bertanya kepada Ajeng, seorang waria lain datang menghampiri dan mengeluarkan humornya. Cara dia menyapa Ajeng dengan menyebutnya ‘Oma’ karena Ajeng sudah terbilang senior di sana. Sedangkan mereka memanggil saya dengan sebutan ‘Neng’. Mereka cukup sopan, menawari saya makan dan minum. Selama pengamatan yang saya lakukan, saya tidak melihat dapur di sana. Hanya ada dispenser. Mereka makan dengan membeli makanan di luar kostan, mengakrabkan diri dengan warga sambil berbincang-bincang di depan kost-an.

Berkumpul dan bercanda, adanya keakraban dalam komunitas ini
Kolektivitas waria terlihat saat membantu menyambung rambut
Adanya kaligrafi di atas pintu kamar
Ajeng dandan cukup lama, satu jam lebih dan itu belum termasuk mengenakan gaun yang akan dipakainya. Sambil menunggu Ajeng selesai menggunakan gaun, saya melihat di sekeliling, ada dua waria yang sejak saya datang sampai hampir selesai berada di tempat itu, mereka masih menyambung rambut dengan sangat teliti dan rapih. Tanpa banyak berkomunikasi satu waria telaten menyambung rambut waria yang satunya lagi. Nampak di kamar sebelah Ajeng, ada empat waria sedang berkumpul dan menonton TV tak jarang mereka saling bercanda dan melemparkan lelucuan kepada waria lainnya. Hari itu sabtu, banyak dari mereka sudah memiliki janji dengan tamunya. Saat menunggu Ajeng selesai berdandan, saya melihat ada seorang waria naik diikuti dengan pria berperawakan tinggi besar dan masuk ke kamar waria tersebut kemudian menutup pintu.  Sejauh pengamatan yang saya lakukan mengenai aspek keagamaannya, di sebelah kamar Ajeng terlihat semacam kaligrafi. Entah apa gunanya, hanya digantung di atas pintu yang terlihat sedikit berlubang.

Selang tak berapa lama, Ajeng keluar lengkap dengan gaun hitam pendeknya. Rambut aslinya yang tadinya hitam sebahu kini berubah menjadi pirang, panjang sepinggang, dan bergelombang. Ajeng terlihat anggun, namun belum siap keluar karena menurutnya masih terlalu ‘pagi’ keluar jam 10 malam. Dia masih sibuk menata rambutnya dengan meminta bantuan temannya, terlihat keakraban di antara mereka dan saling membantu. Menurut Ajeng, tidak pernah ada konflik yang terjadi, mereka hidup saling tolong-menolong, bahkan dengan kelompok waria Palembang pun mereka tidak ada konflik meskipun terbagi menjadi dua kelompok dalam kawasan Taman Lawang. Para waria ini beroperasi di atas jam 10 malam dan selesai sampai pagi. Sambil menunggu Ajeng siap turun, saya mengamati dinding-dinding di sana. Ada tulisan Arab yang ditempel di atas pintu kamar pojok. Hal tersebut terbilang sangat kontras dengan apa yang mereka lakukan. Lebih dari itu, mereka pun sadar bahwa apa yang mereka lakukan merupakan sebuah kesalahan (dosa). Sempat teujar dari salah seorang waria lainnya yang menggoda Ajeng, “dandan sudah cantik, tetap aja matinya ga diterima tanah,” katanya sambil tertawa.

Ajeng berjalan mencari klien
Menghampiri klien di sebuah warung
Di pagi hari, tidak ada kegiatan yang yang dilakukan. Kebanyakan dari mereka masih tidur dan baru bangun di atas jam 9 pagi, tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan,  selama menunggu malam mereka hanya berkumpul saja sambil bersendau gurau. Ada satu warung di kawasan Sumenep yang merupakan tempat Ajeng mencari tamu atau klien, dengan cara bertutur kata dan merayu Ajeng menghampiri klien tersebut dan mulai mengajak berkenalan terlebih dulu sebelum aksi berikutnya. Sebenarnya, Taman Lawang adalah nama sebuah taman yang tidak terlalu luas, bahkan tidak luas. Saat siang hari taman ini banyak disinggahi orang-orang berjualan, di kawasan Sumenep ini juga dikenal dengan daerah perikanan karena rata-rata warganya berjualan ikan hias, walaupun ada juga rumah mewah di sekitarnya. Taman Lawang bak disihir pada malam harinya, tidak ada satupun yang menjajakan makanan di sekitar Taman Lawang, hanya mereka yang mempunyai warteg atau rumah makan saja yang buka untuk menjual makanan dan terlihat mobil-mobil yang berlalu lalang dan menggoda waria yang sudah mulai beroperasi menarik tamunya.

No comments:

Post a Comment