Pages

Saturday, January 19, 2013

Pesona Keramahan Sindangbarang

Nama : Ribka Rianawati
NIM   : 11140110073
Kelas : E-1

          Budaya dapat terbentuk dari banyak aspek, bisa dari agama yang kita anut, keadaan politik di sekitar kita, pakaian, bangunan, hingga bahasa yang kita dan lingkungan sekitar kita pergunakan semua turut andil dalam membangun budaya dalam diri kita. Budaya itulah yang akan nantinya mempengaruhi sifat dan perilaku komunikasi kita. Setiap orang pasti memiliki budaya masing –masing yang berbeda antara satu dengan yang lain. Budaya sendiri merupakan suatu cara hidup atau kebiasaan yang berkembang dan akan terus diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Budaya setiap individu pasti berbeda-beda itu karena setiap orang hidup dan berkembang di lingkungan yang berbeda-beda yang akan membangun diri seseorang juga berbeda dari yang lain.
          Komunikasi tidak selamanya berupa pembicaraan dengan suara antara kita dengan orang lain. Pakaian, bentuk rumah, perilaku itu juga merupakan suatu bentuk komunikasi yang memiliki arti, dan biasa dikenal dengan komunikasi non-verbal. Komunikasi seperti ini yang sering tidak kita sadari, karena kita hanya terpaku pada komunikasi verbal. Pesan yang disampaikan secara non-verbal juga biasanya lebih dalam dibandingkan dengan pesan non-verbal.
          Menyadari betapa banyaknya budaya di Indonesia mau tidak mau kita harus mau mengenal dan mempelajari tentang budaya saudara-saudara kita yang lain. Ini penting karena sekarang ini tidak jarang terjadi perselisihin yang dikarenakan perbedaan pemahaman karena masing-masing memiiki latar belakang budaya yang berbeda. Di Universitas Multimedia Nusantara kami diajari betul betapa pentingnya kita mempelajari budaya lain, maka dari itu diadaka kelas Komunikasi Antar Budaya yang khusus mengajarkan kami segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan cara menghadapinya.
          Kali ini kami diberi tugas untuk mencari dan meliput kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan kami masing-masing. Pertama kali mendapat tugas ini saya sedikit kewalahan karena bingung harus meliput budaya apa dan siapa. Saya berpikiran untuk meliput ke luar pulau yang saya pikir pasti memiliki kebudayaan yang beda dengan saya yang berlatar belakang budaya chinese. Saya mulai mencari-cari melalui internet daerah-daerah yang sekiranya memiliki budaya yang unik dan berbeda dengan saya. Ketika itulah saya menemukan Kampung Sindangbarang. Dari foto yang saya lihat kampung ini masih begitu asri dan sangat menjaga kebudayaan warisan nenek moyang.
          Akhirnya, saya beserta 4 teman saya memutuskan untuk mengunjungi Kampung Sindangbarang. Kampung ini terletak di desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor, Jawa Barat dan berjarak lebih kurang 5 km dari pusat kota Bogor. Kampung Sindangbarang ini tercatat sebagai kampung tertua di Bogor karena menurut cerita yang ada kampung ini sudah ada sejak lebih kurang abad XII atau bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Sunda.
          Perjalanan menuju kampung Sindangbarang memakan waktu sekitar 2 jam dari Jakarta. Tidak terlalu sulit mencari kampung ini karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Bogor. Meski letaknya tidak terlalu jauh tapi saya dapat merasakan perbedaan suasana ketika saya berada di kota Bogor dengan ketika saya sampai di Sindangbarang.
Beginilah keadaan ketika kami sampai...
          Ketika saya sampai, suasana kampung terlihat sepi mungkin dikarenakan saya sampai siang hari. Sesekali saya berpapasan dengan warga yang menggotong karung sambil membawa arit atau semacam celurit untuk memotong rumput. Warga disini sangat ramah, setiap saya berpapasan dengan warga mereka selalu melemparkan senyum ke arah kami. Hal tersebut membuat kami merasa nyaman berada di kampung ini meskipun suasananya begitu asing karena berbeda dengan keadaan tempat tinggal kami sehari-hari yang ramai.
          Dengan berjalan kaki kami masuk lebih dalam ke daerah rumah warga. Kami bertemu dengan kang Sule yang kemudian membawa kami berkenalan dengan Abah. Abah merupakan salah satu panatua di kampung Sindangbarang, disini abah disebut sebagai kokolot (yang dituakan). Lagi-lagi kesan pertama kali betemu dengan abah adalah abah sangat ramah menyambut kami di rumahnya. Abah terus melemparkan senyum sembari menanyakan asal tempat tinggal kami. Abah juga sedikit bercerita tentang keadaan kampung Sindangbarang yang sengaja dijadikan sebagai kampung budaya karena para kokolot di kampung Sindangbarang ingin tetap melestarikan warisan budaya sunda yang sekarang ini sudah mulai banyak terkikis oleh modernitas.
          Abah kemudian mengajak saya dan teman-teman untuk berkeliling kampung sembari mengunjungi warisan budaya Sunda yang berupa cagar alam yang masih dijaga oleh masyarakt sekitar. Pertama abah akan mengajak saya ke sumur Jalatunda. Perjalanan menuju situs sumur Jalatunda sangat menyenangkan. Abah menjelaskan pakaian yang digunakan oleh abah saat itu yang ternyata merupakan pakaian tradisional masyarakat sunda tempo dulu. Nama pakainnya yaitu baju kampret dan celana pangsi, bentuknya menyerupai kemeja lengan panjang hitam tanpa kerah yang dipadukan dengan celana panjang bahan yang juga berwarna hitam. Abah bilang setiap hari dia sengaja memakai baju itu, supaya suasana sunda tetap terasa dan terjaga di kampungnya. Ternyata bukan hanya abah seorang yang memakai baju seperti itu, ketika kami berjalan menuju situs Jalatunda, beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang menggunakan baju kampret seperti abah, dan kata abah mereka juga sama seperti abah, yaitu sudah kokolot di kampung Sindangbarang. Warga di Sindangbarang sangat menghargai para kokolot yang ada. Mereka dianggap sebagai pemimpin di kampung tersebut.
          Selama perjalanan abah sering kali bertegur-sapa dengan warga sekitar. Aku sungguh kagum melihat kedekatan antar warga di Sindangbarang ini, semua anggota kampung ini saling mengenal satu dengan yang lain. Rasa kekeluargaan terasa sangat kental di kampung ini. Abah bilang memang warga di kampung ini 90 persen memang masih asli keturunan Sindangbarang, yang lahir dan besar disana jadi pastilah saling mengenal satu dengan yang lain.
          Abah mengatakan bahwa Indonesia memang terkenal dengan berbagai macam budayanya yang bevariasi. Semua kebudayaan di Indonesia berhubungan dengan keramahan masyarakatnya, begitu pula yang terjadi di kampung abah ini. Sedari dulu masyarakatnya memang akrab satu dengan yang lain, ramah menyapa dan halus dalam bertutur kata, itulah yang diwariskan nenek moyang mereka hingga saat ini. Itu juga yang akan abah dan rekan-rekannya di Sindangbarang coba untuk jaga dan lestarikan. Abah dan para kokolot lain ingin agar budaya Sunda di kampung Sindangbarang tetap mempertahankan eksistensinya karena dengan begitulah keramahan, kedamaian, serta sikap rendah diri yang diajarkan secara turun temurun oleh nenek moyang akan tetap tinggal di hati warga Sindangbarang.

“Budaya berisi tentang bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana kita berpikir, bagaimana kita bertingkah laku dan bagaimana kita melihat dunia.” –Rodriguez-  

          Setelah berjalan cukup lama akhirnya kami sampai di Sumur Jalatunda, saah satu situs budaya yang masih dijaga masyarakat sekitar hingga sekarang. Setelah menceritakan kisah asal mula sumur tersebut abah menyuruh kami mencoba mencuci muka dengan air sumur. Menurut kepercayaan Sindangbarang, bila kita menginginkan sesuatu dan dengan sepenuh hati percaya dengan kekuatan sumur ini, cukup membilas muka kita dengan air sumur keinginan kita akan terkabul. Akhirnya karena untuk menghargai kebudayaan abah dan warga, kami semua mencoba untuk membilas muka.
Sindangbarang... 
          Abah kembali mengajak kami melihat satu situs lain di kampungnya, yaitu Taman Sri Bagenda. Kami semua mengira bahwa itu berbentuk seperti taman dengan banyak bunga dan pohon-pohon, tapi ternyata situs tersebut lebih menyerupai danau buatan. Abah mulai bercerita bahwa setiap setahun sekali danau ini akan dibersihkan oleh warga. Air beserta segala isinya harus dibuang, tidak terkecuali ikan-ikan yang ada di dalamnya. Warga tidak boleh mengambil atau bahkan memakan ikan yang ada di dalam kolam tersebut. Konon kata abah, dahulu ada warga yang mengambil ikan di danau tersebut ketika tengah dibersihkan, tetapi entah bagaimana tiba-tiba pada malam hari warga tersebut berjalan dan mengembalikan ikan tersebut dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kepercayaan mengenai keajaiban danau tersebut membuat warga menaati peraturan yang ada hingga sekarang.


Kami bersama abah ...

          Karena matahari mulai tinggi abah mengajak kami kembali ke rumah. Ketika perjalanan pulang, kami heran melihat rumah warga yang dipenuhi kardus-kardus serta ptongan karet dimana-mana. Abah kemudian memberitahu kalau memang sebagian warga disini membuka rumah mereka untuk dijadikan pabrik sepatu. Kami semua yang notabene perempuan langsung mengajak abah untuk melihat-lihat. Kami masuk ke empat rumah warga yang berbeda untuk melihat sepatu-sepatu yang ada. Untunglah karena warga Sindangbarang ini saling mengenal, semua jadi mengenal abah dan dengan senang hati mempersilahkan kami untuk melihat-lihat, bahkan kami masing-masing disuruh mengambil satu sepatu tanpa perlu membayar. Keramahan ini tidak mungkin kita temui di perkotaan seperti Jakarta, ya kan?
          Selesai melihat-lihat hasil kerajinan warga, kami melanjutkan perjalanan kembali ke rumah abah. Perjalan pulang terasa lebih menegangkan, karena abah mengajak kami berjalan melalui pematang sawah serta hutan-hutan kecil. Perjalanan kami terasa amat sangat panjang, tetapi semua rasa lelah tergantikan dengan pemandangan yang kami lihat sepanjang perjalanan. Langit biru dengan udara bersih tanpa polusi, pohon-pohon rindang, hamparan sawah yang berwarna hijau bagaikan permadani, memang indah negeri kita Indonesia.
          Sesampainya di rumah abah, kami semua duduk di teras sambil melepas lelah. Tak lama istri abah yang kami panggil emak datang sambil membawa nangka. Ternyata emak sengaja mengambil nangka di kebun untuk kami makan bersama. Emak benar-benar ramah dan halus dalam berbicara, ciri khas masyarakat sunda.
Kami beristirahat sembari menunggu nangka dari emak :3
          Lama kami duduk di teras sembari bercanda, kemudian abah berdiri dan mengajak kami ke sawah belakang rumah abah. Ternyata abah mengajak kami menanam padi. Kami yang belum pernah merasakan menanam padi langsung bersemangat untuk masuk ke sawah. Abah mengajarkan kami menanam padi yang benar, ternyata kita harus menanam padi sambil berjalan mundur atau istilahnya ‘nandur’. Sangat menyenangkan bisa masuk ke sawah, meskipun awalnya kami merasa geli karena kaki serta tangan kami semuanya berhiaskan lumpur tapi kami merasa bangga bisa merasakan hal ini.
          Pertarungan melawan lumpur membuat kami sadar bahwa abah ingin mengajarkan pada kami untuk selalu rendah hati. Ternyata menanam padi tidak semudah yang saya bayangkan, tapi kita terkadang suka membuang-buang makanan begitu saja tanpa tahu jerih payah para petani. Setelah puas bermain-main di lumpur, kami semua segera membersihkan diri.
          Melihat kami masih bersemangat abah kembali mengajak kami untuk masuk ke dapurnya, tempat dimana emak masak. Dapur abah masih benar-benar tradisional, dengan atap dan dinding dari kayu. Peralatan memasak di dapur abah juga tidak kalah tradisional, semua masih berbahan kayu dan aluminum yang sudah menghitam.
          Abah mulai menjelaskan satu persatu kegunaan dari alat dapur yang ada. Abah juga menjelaskan bagaimana orang jaman dulu memasak nasi dengan menggunakan peralatan tradisional, tidak seperti sekarang yang menggunakan magic jar, ternyata dahulu memasak nasi membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang ekstra karena peralatan yang digunakan juga masih seadanya. Abah bilang nasi yang dimasak dengan menggunakan cara lama akan terasa lebih nikmat dibandingkan nasi yang dimasak dengan menggunakan magic jar seperti sekarang. Proses memasak yang lama membuat masyarakat jaman dahulu sangat menghargai nasi. Sungguh salut dengan perempuan-perempuan jaman dahulu yang tahan berada di dapur dalam jangka waktu yang lama.
          Setelah abah menjelaskan seluk beluk dapur miliknya abah mengajak kami ke gubuk kecil tempat menumbuk gabah. Ditempat ini biasanya abah mengajarkan orang-orang bagaimana gabah bisa berubah menjadi beras. Gubuk abah hanya kecil dan didalamnya terdapat lesung dan alu. Keduanya terbuat dari kayu dan sangat berat. Lesung bentuknya mirip seperti peti lonjong, dimana nanti gabah akan dimasukan kedalamnya dan di tumbuk dengan menggunakan alu yang berbentuk tongkat panjang.
          Proses menumbuk gabah ini ternyata sangat panjang dan melelahkan. Kita harus menumbuk gabah berkali-kali sampai kulit arinya terlepas dari biji beras. Setelah ditumbuk kita harus menampinya supaya kotoran serta kulit arinya terbuang, lalu diulang lagi ditumbuk. Begitu seterusnya sampai bersih. Abah menjelaskan mengapa ia ingin agar generasi penerus tetap mengenal lesung dan alu padahal sekarang mulai banyak bermunculan mesin-mesin modern untuk membersihkan gabah, beliau ingin agar masyarakat sunda tetap mengenal sejarah dan mempertahankannya di era globalisasi seperti sekarang, agar kebudayaan sunda beserta sejarahnya tetap terjaga.
          Kunjungan kami berakhir dengan bermain bersama abah. Abah menunjukan permainan-permainan tradisional, seperti enggrang, bakiak, pletokan, dan lainnya. Tidak hanya itu, abah juga mengajarkan bagaimana cara memainkannya. Abah bilang, jaman dahulu, setiap anak akan membuat mainannya sendiri, jarang bahkan tidak ada yang beli di toko. Semua bahan-bahan untuk membuat mainan tersedia di alam. Maka abah bilang kita harus menjaga alam, agar Indonesia tetap lestari.
          
Seperti komentar Cicero, seorang ahli pidato di Roma yang mengatakan bahwa sejarah turut memberikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari, demikianlah abah ingin agar kita tidak melupakan sejarah yang ada, karena sesungguhnya sejarah memberikan petunjuk pada kita bagaimana hidup dengan baik pada masa kini.
          
Kunjungan ke kampung Sindangbarang memberikan kami pengalaman yang tidak terlupakan. Bukan hanya karena suasananya, tetapi juga karena begitu banyak kebudayaan yang dapat kami pelajari, khususnya kebudayaan Sunda. Mulai dari bahasa, adat setempat, sejarah, hingga komunikasi non verbal yang digunakan warga setempat.
Salah satu permainan tradisional milik abah...
          Komunikasi non verbal masyarakat Sindangbarang terlihat dari bagaimana mereka semua ramah menyambut kedatangan kami. Senyum dan gerakan tubuh mereka menandakan mereka menerima kami di kampung mereka, itu yang membuat kami nyaman. Bahasa yang mereka gunakan juga masih sangat halus, sesuai dengan ajaran sejak dulu dan masih sangat kental dengan bahasa sunda. Keseluruhan merupakan pesona tersendiri bagi kampung Sindangbarang yang tidak akan saya lupakan... :3


Enjoy the video guys :3
         

No comments:

Post a Comment