Pages

Saturday, January 19, 2013

Taman Lawang, Legalitas yang Ilegal

                                   

Taman Lawang, Legalitas yang Ilegal
11140110044 - MERRY - E1

               

Apa yang terlintas di pikiran kita jika kita mendengar kata Taman Lawang? Pasti ada rasa deg-degan juga mengerikan mendengar nama itu. Taman Lawang merupakan salah tempat terkenal di daerah Jakarta. Tentu saja, bagi orang yang tinggal di Jakarta nama tersebut tidak asing bagi telinga mereka. Taman Lawang itu sendiri terletak di Jakarta Pusat.


Bagi mereka yang sering melalui jalan tersebut pasti akan merasakan takut, deg-degan serta ingin buru-buru melalui jalan tersebut. Mereka yang buru-buru itu bukan takut karena tempat itu angker atau ada setan. Tetapi, Taman Lawang itu terkenal dengan salah satu profesi yang tentu saja cukup sangat sering kita dengar dimanapun.

Yah, Pekerja Seks yang menghadirkan suasana berbeda di sepanjang Jalan Taman Lawang tersebut. Berbeda dengan pekerja seks lainnya, pekerja seks yang ada di Taman Lawang ini tentu saja, Pekerja Seks Komersial transgender. Kenapa disebut transgender? Karena di Taman Lawang itu terkenal dengan warianya yang transgender lohh.

Banyak dari masyarakat yang ada di desa berbondong-bondong ke Jakarta. Kenapa ? Tentu saja untuk mengadu nasib mereka di Jakarta. Konon katanya, Jakarta adalah tempat dimana bisa menjanjikan keinginan mereka terpenuhi. Mendengar hal itu, masyarakat desa tentu saja ingin mencicipinya. Iya jika mereka yang datang itu memang memiliki kemampuan untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan sama sekali? Sebagian dari mereka yang tidak mempunyai kemampuan tentu saja akan tinggal di bawah jembatan dengan mencari uang di lampu merah atau bisa saja sebagai pengamen.


Pekerjaan itu lebih baik jika dibandingkan mereka mencuri atau merampok. Yahh.. Itu semua akibat dari pemberitaan di media yang selalu memberikan pencitraan yang baik tentang Ibukota Jakarta ini. Tidak hanya sebagai pengamen atau apapun itu, banyak gadis belia yang baru datang ke ibukota sudah ditawari dengan pekerjaan yang mungkin tidak baik bagi mereka.
Masyarakat desa itu, belum mengetahui bagaimana rasanya tinggal di Jakarta. Semua yang mereka dapatkan dari pembicaraan orang lain tentu saja akan membuatnya penasaran apalagi dengan dukungan di lingkungan sekitarnya. Mungkin bagi orang desa, jika belum ke Jakarta itu belum keren atau apapun itu. Tapi, mereka tidak tahu bahwa kehidupan Jakarta itu keras dan berat jika seseorang tidak mempunyai kemampuan. Di Jakarta itu, perlu kemampuan dan penuh dengan persaingan demi mendapatkan uang.


Pekerja Seks merupakan salah satu pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan apapun. Pekerja Seks ini selalu di pandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Pekerjaan yang tidak halal dan kadang orang pun melihat pekerjaan itu sebagai pekerjaan yang haram.

Yahh. Itu bagi masyarakat yang tentu saja bisa mencari uang dengan cara lain. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai kemampuan di bidang apapun? Daripada mereka pulang lagi ke desa tanpa membawa apa-apa pasti mereka lebih memilih lewat cara itu. Gampang, mudah, dan cepat mendapatkan uang. Pekerja yang ada di Taman Lawang tidak hanya wanita saja, tetapi juga ada waria. Nah, Taman Lawang merupakan tempat bersarangnya para PSK waria. Di sana bisa ditemui, para waria menjajakan dirinya di sepanjang Jalan Barito sampai Latuharhary SH. Taman Lawang terletak sepanjang perlintasan rel kereta api di Stasiun Sudirman.

Taman Lawang, sebenarnya mirip dengan jalanan biasa lainnya. Hanya saja yang membedakannya pekerja yang ada di daerah sana. Pekerja Seks transgender. Di sana pula, tempat mereka “bekerja”. Apa yang PSK transgender lakukan? Tentu saja, mereka menjajakan diri mereka. Menjajakan dirinya kepada setiap pengguna jalan tersebut.

Pada malam hari, tempat itu akan ramai dengan para waria. Para waria yang berpakaian seksi dengan menjual dirinya. Masyarakat Jakarta pasti mengetahui apa sih Taman Lawang itu, karena Taman Lawang itu terkenal di Jakarta. Demi kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan dengan pendidikan yang minim di dapatkan. Itulah yang menjadi faktor banyak orang yang mencari jalan cepat untuk mendapatkan uang. Pekerja Seks transgender adalah salah satu banyak yang diminati. Transgender sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Transgender merupakan proses dimana laki-laki memutuskan untuk berubah menjadi wanita karena hormon atau sifatnya yang menyukai laki-laki atau sesama jenis.


Baik transgender maupun pekerja seks itu selalu dianggap sebelah mata bagi masyarakat umum. Ada kalanya masyarakat melakukan penghakiman sendiri kepada orang yang menjadi PSK. Tidaklah heran dengan kejadian yang seperti umum. Pada dasarnya, manusia hanya dibedakan berdasarkan satu jenis kelamin saja, laki-laki ataupun wanita.

Waria yang ada di Taman Lawang selalu mendapatkan kesan yang negative bagi mereka yang sering menggunakan jalan tersebut. Kesan nekat dan garang lah yang menghampiri para waria yang ada di Taman Lawang itu. Berhati-hatilah bagi kaum Adam yang melewati jalan itu. Karena kaum Adamlah yang menjadi sasaran utama para waria yang bekerja di Taman Lawang. Tutup jendela dan kunci pintu mobil. Itulah pesan yang sering didapatkan jika kita ingin pergi ke sana. PSK transgender kadang melakukan hal-hal yang aneh, salah satunya yaitu berjoget sensual di pinggiran jalan. Saya pun melihatnya sendiri ketika pergi ke sana.

Pada paper ini, untuk memenuhi Ujian Akhir Semester. Saya melakukan observasi para waria yang ada di Taman Lawang dengan pertimbangan yang cukup lama. Sekitar satu jam dari Tangerang. Jam Sembilan malam dari rumah dan sesampainya di sana sekitar jam sepuluh malam. Ketika sampai disana, terlihat sepi di sepanjang jalan. Tempat mangkal atau sebutan warianya “Tempat Mejeng” tersebut dihiasi dengan rumah-rumah mewah di belakangnya.


Taman Lawang memang terkenal di Jakarta, terkenal karena warianya dan terkenal karena tempatnya yang remang-remang. Setelah sampai di sana dan tidak menemukan para waria di pinggiran jalan. Saya pun berkeliling di dekat daerah sana dengan melihat kondisi dan situasi sekitar.

Penampilan dari para wariapun dapat dinilai berdasarkan klasifikasi komunikasi non-verbal, yang terdiri dari perilaku tubuh, ekspresi wajah, kontak mata dan tatapan, sentuhan, parabahasa, ruang dan jarak, waktu, dan sikap diam. Tetapi, saya akan lebih perilaku tubuh terlebih dahulu. Dalam observasi yang saya lakukan, saya melihat dari beberapa waria yang ada di pinggiran jalan itu ada yang berkulit putih, ada yang berkulit hitam, ada yang berpakaian yang agak tertutup tetapi tetap seksi, dan ada juga yang berpakain sudah seksi dengan memakai baju yang terbuka. Dari penilaian yang seperti itu, saya menganggap bahwa waria yang berkulit hitam itu dari Nusa Tenggara yang rata-rata orang sana itu berkulit agak hitam dan itu membuat saya beranggapan bahwa mungkin orang itu agak galak ditambah dengan mukanya yang sedikit seram.

Kemudian, dari gerakan tubuh maupun postur tubuh para waria. Misalnya saja pada gerakan tubuh, waria tersebut akan marah jika mereka dibilang aneh sehingga dia bisa melakukan apapun sesuka dia, seperti melempari mobil dengan sepatu mereka. Sedangkan postur tubuh para waria itu beragam. Ada yang masih bertubuh seperti laki-laki ada juga yang sudah seperti wanita, bahkan tidak akan menyangka jika dia adalah waria. Bertubuh kurus, kekar, berambut panjang, pendek, bermuka seram, cantik itulah ciri-ciri para waria di sana. Bahkan bagi yang awam melihat waria, pasti akan terkejut dengan muka para waria. Kenapa? Ternyata para waria di sana itu lebih cantik loh dibandingkan wanita asli pada umumnya. Tidak percaya? Silahkan di buktikan dengan pergi ke sana.


Tidak putus asa ketika sampai di sana tidak menemukan waria satupun. Menurut orang di sekitar sana, akhir minggu-minggu itu adanya razia dari pihak kepolisian setempat. Entah benar apa tidak. Atau mungkin jam sepuluh malam itu masih terlalu pagi untuk para waria “bekerja”. Di Taman Lawang  terbagi menjadi dua jenis waria, yaitu waria Palembang dan waria Bandung. Banyaj yang bilang kalau waria Palembang itu seram dan galak beda dengan waria Bandung yang katanya sih baik. Tidak hanya di Taman Lawang saja yang ada warianya. Ternyata di jalan Setiabudi pun juga terdapat waria yang menjajakan dirinya.

Berbeda di Taman Lawang, di Setiabudi warianya lebih sedikit dibandingkan dengan di Taman Lawang. Di Setiabudi hanya dua atau tiga waria saja yang ada. Pada saat kendaraan yang saya gunakan berhenti, tidak ada waria yang menghampiri kendaraan saya. Berbeda dengan persepsi orang yang katanya warianya akan menghampiri kendaraan yang berhenti di pinggiran jalan. Melihat waria yang sedikit di Setiabudi. Saya memutuskan untuk kembali lagi ke taman Lawang. Sekarang sudah terlihat beberapa waria yang mulai menggoda para pengguna jalan. Berpakaian seksi dan berdandan cantik guna untuk menarik perhatian para pelanggan dan pengguna jalan.

Setelah melihat beberapa waria yang sudah mangkal. Saya memutuskan untuk mencoba memanggil satu waria yang ada di pinggiran jalan tersebut dengan perasaan takut dan deg-degan tentu saja. Setelah memanggil dan melakukan transaksi. Saya mulai mewawancarainya di dalam mobil dan waria itu membawa saya dan yang lainnya ke tempat yang tidak jauh dari sana untuk melakukan wawancara.


Wawancarapun dilakukan di sekitar rumah-rumah yang mewah di sekitar daerah sana. Ternyata oh ternyata yang saya masuki itu adalah tempat waria Palembang mangkal. Mendengar hal itu sayapun agak sedikit panik.

Kita pasti sering mendengar kata Stereotip. Apa sih yang dimaksud dengan stereotip? Menuru Larry A.Samovar, Richard E.Porter, dan Edwin R.McDaniel dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya pada halaman 50.
“Stereotip merupakan sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua   budaya terhadap karakteristik anggota kelompok budaya lain.”
Sedangkan arti dari “orang di semua budaya”, menurut Peoples dan Bailey.
“Setiap masyarakat memiliki stereotip mengenai anggota, etika, dan kelompok rasial dari masyarakat lain.”
Sebenarnya stereotip itu muncul karena adanya asumsi atau pandangan yang negative terhadap sesorang atau kelompok atau lebih dapat disimpulkan stereotip itu menyudutkan seseorang atau sekelompok dengan pandangan yang negative.

Mendengar hal itu, kita pasti beranggap bahwa ada saja orang yang selalu menganggap pekerja seks itu haram atau selalu mendapatkan pandangan yang buruk mengenai sesuatu hal dan hal itu akan kita ingat terus menerus. Buktinya, ada saja yang tidak bisa menerima para waria itu sekalipun di tempat mereka biasanya mangkal.

Pada saat ingin mewawancarai waria itu. Ada seorang nenek yang rumahnya di sekitar sana dan selalu saja menghalangi para warianya memasuki daerah gang di rumahnya. Nenek itu akan keluar dengan membawa selang air jika para waria melewati gang rumahnya. Dengan tatapan yang sinis dari sih nenek itu membuat para waria selalu meledekinya dengan cara berjoget-joget di hadapan neneknya. Itulah yang saya lihat.

Kehidupan malam, memang tidak pernah ada akhirnya. Ada yang lokasinya tetap dan ada juga yang berpindah-pindah. Baik resmi, maupun tidak resmi. Kehidupan waria ialah salah satu bagian dari kehidupan malam di kota-kota besar, tidak terkecuali kota Jakarta. Para waria tersebut keluar untuk “bekerja” terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama berkisar antara jam sepuluh malam sampai jam dua pagi dan yang kedua dari jam dua pagi sampai subuh dini hari ketika aktivitas masyarakat kota akan di mulai. 

Waria yang hendak “bekerja” itu berdandan layaknya wanita asli. Wanita dengan dandanan menor ala waria itu sendiri. Tidak sedikit pula yang berpakaian seksi bak model majalah panas dan yang cukup mencengangkan adalah KTP mereka masih berjenis kelamin laki-laki. Para pengguna jalan yang lewatpun seolah tidak peduli dengan keberadaan mereka, kecuali yang memang menjadi pelanggan. Kehidupan mereka sangat tidak menentu. Kadang dapat pelanggan, kadang tidak. Kadang banyak, kadang sedikit. Kehidupan yang seperti itulah yang membuat mereka menjadi pekerja seks atau menjadi waria. Mereka masing-masingpun memiliki pelanggan tetapnya.

Ketua? Kepala? Apa di tempat seperti tempat para waria ada ketuanya juga? Jawabannya tentu saja iya. Dengan dibuktikan dalam buku Komunikasi Lintas Budaya, Larry A.Samovar dan teman-temannya. Pada buku itu tertulis.

“Struktur sosial merefleksikan budaya kita, misalnya, apakah kita raja dan ratu atau presiden dan perdana menteri. Dalam struktur sosial, lebih lanjut, memberikan peranan pada berbagai pemain – harapan bagaimana masing-masing individu bertingkah laku, apa yang mereka wakili, dan bahkan bagaimana mereka akan berpakaian.”
Ternyata, dalam kehidupan para waria juga ada yang menjadi ketua atau oknum-oknum tertentu yang berkuasa di wilayah tertentu. Tidak semudah yang kita pikirkan, dalam bekerja sebagai pekerja seks ternyata juga ada kepalanya dari setiap waria yang ada. Tugas kepalanya atau yang biasa dikenal dengan sebutan mami ini hanya tinggal menerima uang dari para warianya yang di pegangnya dalam daerah tersebut. Tidak hanya sekedar mami saja, tetapi ada pula kelompok lebih kuat yang terintegrasi secara baik dan melakukan suatu perkumpulan tahunan dengan mengadakan seminar-seminar yang mendukung, seperti latihan make-up, merias pengantin, pekerjaan salon, serta seminar tentang HIV Aids-pun mereka dapatkan sehingga merekapun mendapatkan banyak pengetahuan yang ia terima dengan bergabung dalam komunitas tersebut.

Tidak hanya yang mengharuskan mereka menyetor kepada ‘mami’-nya saja, tetapi mereka yang menjadi waria selalu memiliki suka dan duka dalam menjalankan kehidupannya tersebut. Dukanya yaitu ketika mereka ditipu dan di turunkan di tengah jalan dan kadang pula mereka tidak di bayar, tetapi yang paling menyakitkan adalah pada saat mereka diejek dan di hina-hina. Seringkali, ada pulayang melewati mereka dan meledeknya sehingga tak jarang merekapun kesal dan melempari batu. Dan, sukanya adalah ketika mereka mendapatkan uang yang cukup banyak dalam sehari dan bagi mereka yang menyenangkan yaitu ketika mendapat pelanggan yang ganteng. Waria tersebut biasanya tidak keluar hanya pada waktu tertentu saja, biasanya ketika menjelang hari raya.


Hasrat untuk menjadi perempuan biasanya sudah disadaro sejak mereka kecil. Orang tua merekapun hanya bisa mengelus dada dan menerima kenyataan. Saat mereka kecil, mereka tak berbeda dengan anak laki-laki seusianya, yaitu berpakaian layaknya anak laki-laki dan mulai berubah ingin menjadi wanita ketika menjelang remaja dan dewasa. Pada saat itu juga mereka akan berpakaian seperti wanita dan secara nurani berperilaku seperti wanita pada umumnya, yaitu menyukai para lelaki. Tapi terkadang muka mereka masih terlihat seperti laki-laki dan suaranyapun masih berat da nada juga yang sudah mirip dengan perempuan, bahkan suaranyapun sudah halus layaknya perempuan.

Rata-rata dari para waria menyesali pekerjaannya sebagai pelacur. Mereka sebenarnya ingin sekali berubah. Berubah bukan berarti berubah kelaminnya, tetapi ingin merubah hidupnya. Untuk merubah menjadi laki-laki sewajarnya, banyak di antara mereka yang menolak atau tidak menginginkannya. Mereka ingin tetap menjadi sama seperti itu hanya saja dengan kehidupan yang lebih baik dari yang sebelumnya.


Tidak semua waria itu buruk atau selalu dianggap rendah. Banyak dari mereka itu sebenarnya baik tidak seperti apa yang di katakan orang maupun apa yang ada di pandangan orang lain tentang mereka. Tetapi, banyak oknum waria yang berbuat kasar kepada para waria dan sering meresahkan. Itu semua yang menjadikan waria mendapatkan cap jelek dari masyarakat umum, seperti orang yang menyimpang dengan tingkah lakunya serta berpakaian yang sangat tidak senonoh di jalan raya maupun menggoda para pengguna jalan, dan sebagainya. Sedangkan ada pula waria yang baik. Mereka dapat beradaptasi dengan masyarakat umum, bahkan ada di antara mereka bisa hidup di lingkungan normal, yaitu di tenagh-tengah masyarakat biasa. Semua itu dapat terwujud dengan syarat mereka tidak mengganggu warg sekitar dan warga sekitarpun akan terbuka menerima para waria dan masyarakat yang tinggal di sekelilingnya tahu dengan pekerjaan para waria tersebut.







1 comment:

  1. hello, aku tertarik untuk mengangkat kasus transgender juga, aku boleh minta contact mbak yang diwawancarai? :)

    my e-mail: leonita_nerisa@yahoo.com

    ReplyDelete