Pages

Sunday, January 20, 2013

Masyarakat Abdi Dalem

Nindya Putri E
11140110084
E1

Keraton Yogyakarta

            Hello! What is Yogya? Yogya is timewa!

I think this is the coolest assignment I’ve done since saya menjadi seorang mahasiswi setahun lalu. Observasi, tugas observasi. Why I said it’s cool? Karena tugas ini tidak hanya sekedar liputan, melainkan lebih dalam dari itu. Dari beberapa pilihan lokasi observasi yang ditawarkan oleh Pak Inco, pilihan terakhir saya jatuh pada Yogyakarta dengan Masyakarakat Abdi Dalem Keraton Yogyakarta sebagai objeknya.

Pergi dari Jakarta tanggal 24 Desember 2012 menggunakan kereta. Sendiri, rasanya sudah seperti seorang backpacker hahaha sayangnya saya bukan. Perjalanan dari Jakarta ke Yogya yang memakan waktu kurang lebih 8 jam, melewati Cirebon, Purwekerto dan Solo dan sampailah saya pukul 05:09 pagi di stasiun Yogyakarta. So, let’s get started!



Day1, Dec, 25th 2012.

Hari observasi pertama saya di Keraton Yogyakarta. Setelah menaruh barang-barang di hotel lalu saya langsung menuju Keraton Yogyakarta. Saya sampai di Keraton sekitar pukul tujuh pagi, jalanan yang dibasahi air hujan membuat kota Yogya hari itu terasa sangat dingin. Saya melihat banyak orang yang sedang mempersiapkan jualannya dibawah pohon besar yang berada tepat di depan pintu masuk wisata keraton. Saya mengamati sekeliling keraton dan masyarakatnya sangat ramah, mereka menyapa saya. Saya duduk disebuah kursi, kemudian ada seorang bapak yang ikut duduk disebelah saya, beliau mengatakan bahwa pintu untuk wisata masih dua jam lagi dibuka, lalu saya bilang bahwa saya sedang menjalankan tugas saya, untuk mengobservasi masyarakat Abdi Dalem yang ada di keraton. Ternyata, Bapak ini juga merupakan masyarakat abdi dalem. Kami mengobrol dan ia memberitahu dimana saja tempat tinggal masyarakat abdi dalem.

Pratjimosono,
Sebuah gerbang yang betuliskan Pratjimosono, tidak jauh letaknya dari tempat saya duduk tadi. Saya masuk kesana, didalamnya terdapat beberapa rumah, ada kantor, ada toilet umum di belakang deretan rumah tersebut. Pratjimosono adalah tempat dimana beberapa masyarakat abdi dalem tinggal di dalamnya. Parkiran yang luas di depan rumah-rumah tersebut, ketika jam wisata tiba, dijadikan sebagai tempat parkir para pengunjung. Saya menuju wc umum yang berada di belakang deretan rumah tersebut, ternyata dibelakang deretan rumah  yang ada didepan, masih ada beberapa rumah lagi. Ada seorang ibu yang sedang mempersiapkan jualannya, ia meletakkan barang-barangnya didalam sebuah gerobak, ibu tersebut adalah istri seorang abdi dalem, ketika suaminya sedang bertugas di keraton maka para istri juga bekerja, mereka berjualan di sekitar keraton. Selebihnya, ada yang mencuci piring, memasak dan  mengerjakan kegiatan rumah lainnya disekitar Pratjimosono.




Keraton Yogyakarta berdiri pada tahun 1755 dan pada tahun tersebut pula masyarakat abdi dalem telah mengabdi di Keraton. Namun, Keraton mulai digunakan pada tahun 1756.

Pak Nurdianto, salah satu masyarakat abdi dalem yang telah tinggal dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Keraton sejak beliau kecil, namun baru menjadi abdi dalem setelah dilantik 4 tahun yang lalu. Ayah dari Pak Nurdianto sendiri juga merupakan seorang abdi dalem, beliau adalah Pak Kli’. Pak Nurdianto memiliki nama dari keraton yaitu, M. Yosowiromo. Setiap masyarakat yang kemudian memutuskan dirinya untuk menjadi masyarakat abdi dalem maka ia akan mendapatkan nama dari Keraton sendiri, pemberian nama baru tersebut akan diberikan ketika mereka dilantik.



Untuk masyarakat yang bekerja di pemerintahan, setelah mereka pensiun dan memutuskan untuk mengabdi di keraton maka ia akan langsung menjadi abdi dalem dengan pangkat tertinggi, misalnya seperti kanjeng ratu, namun tidak di gaji.

Dalam setiap tahunnya, pelantikan masyarakat abdi dalem dilaksanakan dua kali. Yang pertama dilaksanakan setelah gerebek sawal/Idul Fitri dan yang kedua setelah bulan maulud. Masyarakat yang telah memutuskan dirinya untuk menjadi abdi dalem kemudian dilantik disebuah tempat yang bernama Bangsal Kesaktrian. Satu per satu dari mereka nantinya akan maju ketika disebutkan namanya masing-masing, dipanggil menurut golongan dan mereka juga akan mendapatkan nama baru.

Pangkat atau golongan dari masyarakat abdi dalem adalah sebagai berikut, dimulai dari pangkat atau golongan yang paling bawah:

I.                    Jajar
II.                  Bekel
a.      Bekel Muda
b.      Bekel Sepuh
III.                Lurah
IV.                Lurah Kliwon
V.                  Wedono
VI.                Rio
VII.              KMT, untuk masyarakat kalangan biasa
VIII.            KRT, untuk masyarakat yang berasal dari kalangan ningrat.

Pak Nurdianto yang telah mengabdikan dirinya di Keraton sejak 4 tahun yang lalu sampai saat ini masih berada pada pangkat Jajar, sedangkan untuk Pak Kli’ sudah berpangkat Lurah.
Masyarakat abdi dalem sendiri tidak semuanya berasal dari Yogya, ada pula yang berasal dari wonosari, Bantul, bahkan Sulawesi.

Day2, Dec, 26th 2012.

Setelah mendapatkan beberapa informasi dari Pak Nurdianto di hari pertama, saya kembali mengobservasi di daerah keraton Yogyakarta. Disekitar keraton sendiri ternyata ada 45 Kepala Keluarga yang tinggal. Namun, dalam satu keluarga tersebut tidak semuanya abdi dalem, bisa saja hanya Bapaknya saja, namun bisa juga Bapak dan ibu dari keluarga tersebut.
Jenis masyarakat abdi dalem ada dua macam, yang pertama adalah abdi dalem punokawan dan yang kedua adalah abdi dalem kaprajan.

Gaji dari masyarakat abdi dalem berbeda-beda, Pak Nurdianto sendiri setiap bulannya mendapat gaji sebesar dua ribu rupiah, ada yang tiga ribu rupiah, lima ribu rupiah dan lain-lain. Setiap tahunnya gaji mereka akan di potong sebesar seribu rupiah untuk biaya pralinan/kematian. Guna menghidupi keluarganya, selain menjadi abdi dalem, mereka juga ada yang bekerja sebagai karyawan swasta dan membuka usaha sendiri walau hanya kecil-kecilan, biasanya yang berjualan adalah istri atau anak mereka. Seperti Pak Nurdianto, ketika ia tidak bertugas di keraton maka ia berada di depan halaman rumahnya, untuk memarkirkan mobil-mobil para wisatawan yang datang.
Besarnya gaji yang diterima para masyarakat abdi dalem tergantung dengan pangkat mereka, kanjeng ratu sebagai abdi dalem punokawan, setiap bulannya hanya mendapatkan gaji sebesar seratus ribu rupiah. Gaji yang didapatkan masyarakat abdi dalem berasal dari Keraton. Tidak pernah ada keluh kesah dari mereka mengenai besarnya gaji yang dikeluarkan Keraton kepada mereka. Mereka benar-benar mengabdi dan percaya benar bahwa atasan-atasan mereka tidak pernah melakukan korupsi, tidak seperti banyaknya petinggi negara sekarang ini.

Tiap-tiap abdi dalem memiliki jobdesk masing-masing, seperti halnya Pak Nurdianto, ketika pagi ia membersihkan istana, mendapatkan kepercayaan untuk membantu adik dari Sri Sultan dan bersih-bersih di gedung wisata. Malam harinya kembali ke aktivitas keluarga masing-masing, bukan hanya Pak Nurdianto saja, para abdi dalem yang lainnya juga sama.

Bagian-bagian dari masyarakat abdi dalem sendiri juga bermacam-macam, ada yang bagian rumah tangga, tugasnya adalah mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, ada bagian koncocaos, yaitu sebagai security di dalam istana, untuk koncocaos sendiri mereka bertugas 12 hari sekali, ketika pada hari pertama mereka datang pagi, maka dihari keduabelas mereka akan pulang di pagi hari pula. Kemudian, ada bagian koncopuryokoro, yang bertugas mengurusi alat-alat pecah belah dan alat-alat maka, ada pula bagian kesenian dan beberapa bagian lainnya.

Salah satu hal istimewa dari masyarakat abdi dalem adalah ketika ada upacara adat atau perayaan-perayaan dan event-event lainnya, maka para masyarakat abdi dalem juga ikut mempersiapkan, hanya saja, yang terlibat dalam mempersiapkan tergantung bagian mana yang akan ditugaskan. Misalnya saja upacara adat dan penobatan raja maka masyarakat abdi dalem ikut mempersiapkan adalah abdi dalem bagian kesenian.

Beberapa upacara yang sering dilaksanakan dikeraton adalah:

a.      Labuan Ageng
Upacara ini diadakan sebelum bulan puasa, tujuan diadakannya upacara ini ialah untuk menjalin silahturahmi antara Keraton Yogyakarta dengan nyi roro kidul atau yang biasa dikenal dengan Ratu Pantai Selatan.

b.      Upacara Gerebek
Yaitu upacara mengeluarkan sedekah. Upacara gerebek sendiri terbagi menjadi tiga, upacara gerebek besar, upacara gerebek sawal dan upacara gerebek maulud.

c.       Labuan Alit
Upacara yang dilakukan setelah bulan maulud.

Setiap event sendiri, para abdi dalem yang ditugaskan juga akan mendapatkan upah diluar dari gaji mereka, event idul adha kemarin, Pak Nurdianto mendapatkan upah dari keraton sebesar dua ribu rupiah. 



Untuk panglima prajurit atau adik raja setiap eventnya beliau akan mendapatkan upah sebesar delapan ribu rupiah. Pemasukan lainnya dari Keraton adalah ketika idul fitri, masyarakat abdi dalem akan mendapatkan lima ribu rupiah sebagai THR setiap tahunnya.

Di hari kedua observasi saya yang dibantu oleh cerita-cerita Pak Nurdianto, saya sempat tercengang begitu mendengar gaji dari Pak Nurdianto sendiri. Tidak ada pamrih bagi mereka masyarakat abdi dalem, mereka tinggal disekitar keraton, menjaga keraton, membersihka keraton dan turut mempersiapkan ketika ada upacara di Keraton namun, hanya menerima Gaji yang sepersekian, salut! Pengabdian mereka sungguh besar sekali, saya benar-benar salut. Melihat sekarang ini uang sudah menjadi orientasi utama untuk banyak orang, namun berbeda dengan para masyarakat abdi dalem.

Day3, Dec, 27th 2012.

Dihari pertama dan kedua saya observasi, saya hanya mengamati daerah rumah masyarakat abdi dalem dan mendapatkan informasi dari Pak Nurdianto yang benar-benar sangat membantu tugas observasi saya. Jadilah, hari ketiga ini saya masuk ke keraton. Ikut dalam antrian para wisatawan lainnya yang juga ingin melihat kemegahan Keraton Yogyakarta. Masuk membeli satu karcis dan karena saya membawa camera, maka ada karcis tersendiri untuk camera tersebut, karcis berwarna hijau yang nantinya harus di ikatkan di camera masing-masing pengunjung.

Di pintu masuk utama Keraton, ada empat bapak-bapak yang sedang duduk, tiga diantaranya mengenakan pakaian warna biru, kain batik Yogya, Blankon, tidak beralas kaki dan dibelakangnya terdapat keris. Mereka adalah abdi dalem yang sedang bertugas di depan, menyambut pengunjung yang datang, mereka sangat ramah, mereka menegur saya dan mengajak saya berfoto bersama mereka, begitu juga dengan para pengunjung lainnya. 






Didalam banyak sekali yang berpakaian seperti ketiga bapak yang saya temui di depan tadi, pakaian tersebut merupakan pakaian wajib para abdi dalem yang sedang bertugas.

Abdi Dalem wajib mengenakan:

a. Kain Batik

b. Pranaan
merupakan kain lurik sebagai atasan yang berwarna biru, bermotif Yogya dan berlatar
gelap. Garis-garis dari kain lurik tersebut memiliki jumlah tersendiri.


c. Blankon

d. Keris
namun hanya abdi dalem berpangkat jajar saja yang tidak menggunakan, bekel hingga diatasnya wajib menggunakan.


e.Emblem berlambang Keraton 
terletak di dada sebelah kanan, pemakaian emblem ini tidak diwajibkan, namun jika dikenakan akan lebih baik.



Wilayah Keraton sangat bersih dan tenang, saya menjumpai banyak sekali bapak-bapak abdi dalem, ada yang sedang membawakan minuman untuk abdi dalem koncocaos (security) yang sedang bertugas, 



ada yang menulis buku kehadiran untuk laporan siapa saja rekan-rekan abdi dalem yang bertugas hari ini, 


ada yang sedang duduk di depan ruangan lukisan, pakaian, alat makan, camera dan benda-benda lainnya yang biasa dulu digunakan oleh Sri Sultan dan Kanjeng Ratu, ada yang sedang berkumpul dan bercengkrama, 




ada yang sedang menjaga sebuah kios souvenir dan kios minuman dan lainnya, 



namun ada satu yang membuat saya tercengang dan sangat salut rasanya, seorang bapak abdi dalem yang bisa dikatakan umurnya sudah sangat tua, ia memandu dua orang turis untuk berkeliling wilayah Keraton atau sebut saja seorang Tour Guide.






Saya kemudian berjalan ke sisi lain dari Keraton dan mendengar nyanyian semacam gamelan, kemudian saya menghampirinya. Di sebuah aula yang luas, beberapa bapak abdi dalem sedang memainkan alat musik tradisional melantunkan harmoni-harmoni yang sangat indah, tidak hanya ada bapak-bapak abdi dalem, ada juga dua orang ibu-ibu yang berada di deretan depan pemain musik, mereka juga ikut bersenandung.




Jika untuk lelaki yang mengabdi kepada Keraton Yogyakarta disebut abdi dalem, maka untuk para wanitanya sebutannya adalah Keparak.

Kedua ibu yang sedang meyenandungkan nada-nada tersebut, adalah Keparak pertama yang saya temui di Keraton Yogyakarta. Untuk Keparak sendiri mereka memang berada di dalam Keraton dan untuk meliputnya cukup sulit dibandingkan dengan para bapak-bapak abdi dalem.

Bukan hanya abdi dalem yang memiliki pakaian khusus disaat bertugas, ibu-ibu Keparak juga sama halnya, mereka wajib menggunakan:

  1. Kain Panjang bermotif Yogya.
  2. Kemben
  3. Rambut disanggul

Baik bapak-bapak abdi dalem ataupun ibu-ibu keparak mereka tidak pernah menggunakan alas kaki, seorang bapak yang saya temui ketika beliau sedang berdiri ditengah-tengah tanah lapang yang ada dikeraton mengatakan bahwa sudah lebih dari 35 tahun ia tidak pernah mengenakan alas apapun selama bertugas di Keraton, ia tidak mengeluh dan bagi beliau hal tersebut adalah salah satu hal bukti pengabdian beliau terhadap Keraton Yogyakarta.

Pakaian abdi dalem dan keparak biasa dibeli dipasar ataupun di tukang jahit, terantung kelompok atau bagian merek sendiri, mau membeli pakaiannya dimana, kalau ingin terlihat lebih bagus dan rapi, mereka akan membelinya di tukang jahit. Ketika para abdi dalem dan keparak kepasar untuk membeli pakaian mereka, masyarakat pasar sudah mengenali mereka sebagai abdi dalem ataupun keparak, karena ketika ada event di Keraton, orang-orang yang berjualan di pasar sering datang dan sudah mengenali wajah mereka.

Saya mengunjungi ruangan tempat dimana barang-barang yang dulu digunakan para Sri Sultan dan Kanjeng Ratu, ada sebuah camera lama yang memikat perhatian saya, camera bermerk contax yang benar-benar jadul. Saya meninggalkan ruangan tersebut. Lalu, saya mendapati dua bapak-bapak abdi dalem yang sedang beriringan berjalan, bapak yang satu terlihat sudah cukup tua dan yang satu masih berwajah muda, mereka mengenakan pakaian wajib yang sama, namun yang membedakannya hanyalah sebuah keris. Bapak yang berwajah lebih muda dari bapak disebelahnya tidak menggunakan keris dibelakagnya. Seketika saya ingat apa yang telah diberitahukan oleh Pak Nurdianto kepada saya, bahwa yang belum menggunakan Keris adalah abdi dalem yang berpangkat jajar, mereka tidak menggunakan keris karena pangkat mereka masih pangkat pertama. Namun, walaupun berbeda pangkat mereka terlihat sangat akrab dan santai berbicara, tidak ada kecanggungan walaupun salah satu dari mereka pangkatnya lebih tinggi.




Biarpun begitu, para abdi dalem dan keparak ketika berbicara mereka menggunakan bahasa jawa yang halus dan ada panggilan tersendiri berdasarkan umur mereka, ketika berbicara dengan rekan mereka yang umurnya sama, biasanya mereka menggunakan kata ‘co’’ yang merupakan kependekan dari ‘konco’, sedangkan jika memanggil rekan mereka yang lebih tua, mereka menggunakan panggilan ‘mo’, yang berarti ‘romo’.

Pak Nurdianto adalah salah satu abdi dalem yang dekat dengan Pangeran, beliau dan Pangeran sering mengobrol dan bercengkrama, ini menandakan bahwa walaupun berbeda pangkat, tidak ada kekakuan di dalamnya, baik pangeran, Sri Sultan atau Kanjeng Ratu sekalipun. Bahkan, Pak Nurdianto dipercaya untuk membawa cindera mata dan berdiri di samping Pangeran ketika ada tamu negara yang datang ke Keraton. Walaupun demikian, para abdi dalem diharuskan untuk selalu sopan dengan Pangeran, Sri Sultan ataupun Kanjeng Ratu. Ketika abdi dalem dipanggil oleh salah satu dari mereka, mereka wajib menjawab dengan “wonten dawu?” dan tidak diperkenankan menjawab dengan “iya, ada apa?”, perkataan tersebut dianggap sangat tidak sopan di dalam Keraton Yogyakarta. Dan sangat dilarang jika didalam kawasan Keraton Yogyakarta, ada dua orang abdi dalem yang menggunakan payung namun hanya satu orang yang memegang payung tersebut, keduanya harus sama-sama memegang payung karena, ketika hanya satu saja yang memegang, dianggap seperti memayungi raja dan para pusaka.

Beberapa tata tertib ataupun peraturan lainnya yang ditujukan kepada masyrakat abdi dalem adalah sebagai berikut:

  1. Tiap-tiap abdi dalem wajib mentaati semua peraturan dengan baik.
  2. Tiap-tiap abdi dalem wajib menjalankan tugas dengan baik.
  3. Harus bisa menjadi contoh untuk masyarakat luar lainnya.
Hingga saat ini di Keraton Yogyakarta, abdi dalem yang paling muda berumur 22 tahun dan untuk Keparaknya sendiri berumur 20 tahun. Untuk yang tertua sekitar 70 tahun. Namun, di umur yang 70 tahun ini ada beberapa peraturan yang harus dipenuhi, seperti masih dalam keadaan sehat wal afiat, karena ketika sudah menggunakan tongkat, sudah tidak diperkenankan untuk tinggal di kawasan Keraton Yogyakarta, takut dianggap merepotkan yang lainnya.

Day4, Dec 28th 2012. Or let say, Last Day!

Yap! Hari keempat atau hari terakhir saya berada di Yogyakarta dan hari terakhir saya pula untuk mengamati kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat abdi dalem Keraton Yogyakarta. Saya sampai di Keraton sekitar pukul sepuluh dan langsung membeli karcis. Seperti yang sudah saya ceritakan pada hari ketiga, ada 4 orang bapak-bapak abdi dalem yang duduk untuk menyambut para pengunjung di depan pintu masuk, masih sama ada 4 orang juga, namun halnya, berbeda orang, berarti yang kemarin sudah tidak lagi ditugaskan di depan. Lalu, saya masuk kedalam, melewati aula dimana kemarin saya melihat sekumpulan bapak-bapak abdi dalem dan dua ibu-ibu keparak yang sedang memainkan musik tradisional, kali ini saya melihat ada seorang abdi dalem yang sedang membacakan buku, berada ditengah-tengah aula tersebut, beliau sangat menarik perhatian pengunjung, para pengunjung duduk di kursi yang telah disediakan untuk mendengarkan alunan suara beliau. Setelahnya, saya kembali berjalan-jalan disekitar kawasan Keraton, seperti kemarin, tiap-tiap abdi dalem sangat ramah dan mereka menjalankan tugasnya masing-masing, tempat tugas bergantian dan hari ini saya sangat beruntung, saya bisa melihat para Keparak mengantar sesajen, sekitar pukul 11 kurang.

Sesajen tersebut di ambil di tempat yang bernama ‘patehan’ kemudian dibawa menuju ‘gedung pusaka’ dan diletakkan disebuah meja. Sesajen tersebut berisi makanan-makanan kesukaan para leluhur, makanan tersebut kemudian dipersembahkan kepada leluhur-leluhur. Pemberian sesajen ini dilaksanakan setiap hari sebelum jam makan siang.







Setelah itu saya masih berjalan-jalan di sekitar kawasan Keraton, lalu ada seorang bapak abdi dalem yang menanyakan untuk tugas apa hasil liputan saya, saya memberitahu beliau dan beliau memperkenankan seorang abdi dalem muda, mungkin masih berpangkat jajar yang berada dibawahan beliau untuk saya wawancarai (dapat dilihat divideo) sedikit seputar pertanyaan singkat mengenai abdi dalem, yang sudah lebih dalam saya jelaskan didalam tulisan ini.

Terimakasih untuk bapak-bapak abdi dalem dan ibu-ibu keparak yang sudah memberikan saya kesempatan untuk mengamati kegiatan disekitar kawasan Keraton selama 4 hari berturut-turut, khususnya kepada Pak Nurdianto.

Again, what is Yogya? Yogya is timewa and this is Abdi Dalem Folks of Keraton Yogya!

6 comments: