Pages

Sunday, January 20, 2013

Rambut Gembel dari Di Hyang

NIM  : 111140110071
Nama : Johanes Agung Kurniawan
Kelas  : E1

 



Rambut Gembel dari Di Hyang

            Rambut yang berbentuk gimbal ini, atau yang masyarakat Dieng sebut anak gembel adalah sebuah fenomena unik yang dapat ditemui di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Saya dan beberapa teman mencoba untuk mengulik lebih dalam mengenai fenomena ini. Maka, pada tanggal 30 Desember 2012 kami bersembilan berangkat menuju salah satu desa di Dieng yakni Desa Banteng.
            Dieng sendiri merupakan sebuah dataran tinggi yang terbagi menjadi 2 wilayah, yakni Dieng bagian Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Perbatasan antara 2 kabupaten ini ditandai dengan tugu dan sungai. Letaknya yang berada 2000 meter di atas permukaan air laut, membuat Dieng bersuhu dingin. Di siang hari, suhu mencapai 15 – 20 derajat celcius, sedangkan di malam hari suhu bisa mencapai 10 derajat celcius. Itu, tidak seberapa di bandingkan saat musim kemarau yang bisa mencapai 0 derajat celcius dan menyebabkan embun di pagi hari menjadi lapisan es.
            Itulah megapa tidak mengherankan, setiap saya melihat ke kiri dan kanan, selalu di isi dengan hamparan kebun sayur dan buah – buahan. Memang sebagiaan warga Dieng adalah bertani sayur dan buah. Komoditi utama mereka adalah kentang dan carica. Apakah anda kenal carica? Terdengar asing bukan? Ya, carica adalah pepaya khas Dieng yang hanya bisa tumbuh di Dieng saja. Bibit carica tidak akan berbuah apabila ditanam di luar Dieng. Rasanya yang manis memang pas untuk dijadikan manisan, seperti yang dijual para warga Dieng sebagai oleh – oleh khas.

           Warga Dieng sendiri mempunyai kebiasaan yang unik untuk mengatasi rasa dingin. Di dapur rumah, akan tersedia karpet dan bangku kecil atau dalam bahasa Jawa disebut dingklik. Masyarakat Dieng akan duduk di sana dan mengitari sebuah tungku menyala berbahan bakar arang kayu.
            Kegiatan ini disebut gegenen (diambil dari kata geni = api) dan biasanya lebih banyak dilakukan oleh kaum pria. Ya kalau bahasa kerennya nongkrong. Saat gegenen biasanya dibarengi dengan ngopi atau sekedar ngobrol saja. Ini merupakan pengalaman pertama bagi saya dan dari sini dapat terlihat sifat kekeluargaan warga Dieng. Bagi warga Dieng yang memang masih sangat kental denga budaya Jawa, tamu adalah raja dan sebisa mungkin dijamu dengan sebaik – baiknya. Itulah mengapa saya dan teman – teman sangat diperhatikan di sini dan sudah dianggap bagian dari keluarga ini.
            Selama saya berada di Dieng, saya menginap di homestya dan betapa beruntungnya saya ketika saya tahu bahwa saya menginap di rumah yang memiliki seorang anak berambut gembel. Hal ini tentu saja akan mempermudah saya dalam melakukan observasi dan membuat saya lebih mudah untuk meakukan pendekatan personal ke anak gembel

Najwa : Aku mau embek dua...
          Hari pertama di homestaya saya justru tidak bertemu dengan si anak gembel itu. Penasaran dengan dirinya, seperti apa rambutnya, bagaimana kesehariaanya harus saya tahan sampai malam hari, karena begitu tiba di Dieng saya harus segera bergegas menuju rumah dari pemangku adat. Setelah seharian meliput di rumah pemangku adat dan rumah dari panitia acara ruwatan (pemotongan) rambut gembel, saya pulang ke rumah dan beristirahat.
            Hawa dingin di malam hari sedikit terobati dengan segelas kopi hangat buatan Ibu homestay. Sembari menyeruput kopi dan menyortir video dan foto di kamera, dari arah samping, tepatnya sebelah kiri saya ada anak kecil berlari keluar dari kamar menghampiri ibunya dan bener dugaan saya itu dia yang saya cari, anak berambut gembel, Najwa.
            Najwa masih berusia 5 tahun dan duduk di bangku taman kanak – kanak. Kesehariannya sama seperti anak kecil pada umumnya, bermain dan senang bermanja dengan ayah ibunya. Yang membedakan secara signifikan ya tumbuhnya rambut gembel di sela – sela rambut aslinya. Jadi, ternyata rambut gembel itu tidaklah menyeluruh, melainkan hanya beberapa rambut saja.
            Tumbunya rambut gembel akan ditandai dengan sakit panas dengan suhu tinggi bahkan disertai dengan kejang. Hal itu juga dialami oleh Najwa ketika rambut gembelnya akan tumbuh. Sempat dibawa ke dokter dan diberikan obat, tetapi tidak sembuh. Menurutn Ibu Najwa, saat mau tumbuh gembel, beberapa kali Najwa terbangun dari tidurnya dan akan berjalan sesuka hatinya. Setelah itu ia akan kembali tidur di tempat yang ia sukai, bisa saja di ruang tamu, atau bahkan di dapur.
            Demam, panas yang tinggi dan sering terbangun dari tidur sembuh ketika rambut gembel Najwa tumbuh. Kala itu, sang Ibu yang sedang memandikannya, menemukan ada gumpalan rambut gembel yang tumbuh di sela – sela rambut aslinya. Memang tidak bisa diterima dengan akal sehat,  sakit panas tadi hanya akan sembuh saat rambut gembel tumbuh.


Ibunda Najwa mengatakan tidak ada perubahan yang drastis dari Najwa ketika ia belum berambut gembel dan sesudah berambut gembel. “Ya paling cuma rewel – rewel aja, masuk angin biasanya kalo lagi rewel. Dia anaknya mudah diatur, gak nangisan,” ucapnya.
Pada umumnya, anak berambut gembel akan cenderung lebih hiperaktif, lebih berani dan bahkan lebih nakal dari anak biasa. Hal ini dikarenakan si anak gembel merasa ada yang melindunginya. Masyarakat setempat percaya, bahwa ada sesuatu yang tinggal di dalam rambut gembel dan si anak gembel dipercaya dapat berkomunikasi dengan “isi” dari rambut gembelnya. Pantas saja, waktu saya bermain dengan Najwa, beberapa kali saya mendapati Najwa seperti menggumam dan nampak sedang berkomunikasi. Saya pikir, ya namanya juga anak kecil, tingkah lakunya masih suka aneh – aneh.
Dalam kesehariannya, Najwa adalah anak yang periang. Awalnya, ia diam seribu bahasa ketika kami mencoba untuk bermain dengannya. Ia hanya mau menjawab ketika ada sang Ibu di sampingnya. Karena saya ingin mencoba untuk lebih dekat dengan Najwa, saya bertanya dengan Ibu Najwa, apa kegemaran sehari – hari Najwa. Menurut sang Ibu Najwa dan teman – teman senang mewarnai.
Benar saja ketika saya dan salah satu teman saya Ferlina membawakan buku gambar dan pensil warna, ia asik dengan dirinya dan mulai terbiasa dengan kami. Namun, tetap saja ia masih sering diam kalau ditanya. Iseng – isenga saya bertanya dalam bahasa jawa, dan ternyat ia merespon. Jadi selama ini dia diam karena memang ia tidak begitu familiar dengan bahasa Indonesia dengan logat orang Jakarta.
Rambut gembel haruslah dipotong, masyarakat percaya apabila memelihara rambut gembel sampai usia diwasa akan membawa sial. Pemotongan rambut gembel atau dikenal dengan istilah ruawatan memiliki aturan tersendiri. Acara ruwatan ini akan dilaksanakan apabila si anak gembel sudah meminta atau dalam bahasa jawa jejaluk untuk dipotong. Sebelum si anak meminta, rambut gembel tidak boleh di potong, karena nanti akan tumbuh kembali.
Selain itu, keinginan anak gembel harus terpenuhi. Biasanya, setelah rambut gembel tumbuh, orangtuanya akan bertanya mau minta apa. Beragam jawaban yang mengejutkan muncul dari mulut seorang anak kecil, mulai dari kambing,sapi,kerbau,telur ayam 600butir, atau minta cambuk dan bahkan minta diselenggarakan pementasan reog ponorogo dan barongsai. Saya sendiri heran, seorang anak denan rentan usia 7 – 15 tahun meminta hal – hal seperti di atas.
Di zaman modern saat ini, kenapa tidak minta handphone? Atau laptop? Atau mobil – mobilan ya? Najwa sendiri saat saya tanya, “ Najwa mau minta apa?” dengan muka polosnya ia menjawab. “Mau embek, embeknya 2.” Masyarakat setempat mempercayai, bahwa yang meminta bukanlah si anak melainkan sesuatu yang tinggal dalam rambut gembel.

Aturan dalam budaya rambut gembel :
1.      Pemotongan rambut gembel  harus seijin si anak gembel yang bersangkutan.

2.      Pemotongan dilakukan dalam acara ruwatan atau dilakukan secara pribadi dengan keluarga.

3.      Pemotongan rambut gembel dengan tujuan merapikan rambut si anak, rambut gembel yang terpotong harus disimpan dan ikut dilarungkan pada prosesi pelarungan.

4.      Setelah diruwat/potong permintaan anak harus diberikan

5.      Ritual ruwat juga harus dilakukan mengikuti prosesi yang ada.


Prosesi Pencukuran Rambut Gembel / Ruwatan

1.      Napak Tilas
Pada proses ini, anak gembel akan dibawa ke tempat – tempat yang di anggap suci oleh masyarakat Dieng. Selai itu, anak gembel akan sowan (bertamu) ke rumah pemangku adat. Tujuan dari prosesi ini adalah, untuk mengingat dan menghormati leluhur.
2.      Kirab
Adalah sebuah perjalanan arak – arakan menuju lokasi ritual. Dimulai dari rumah sesepuh desa, pemangku adat dan berhenti di dekat kawasan Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu. Dalam arak – arakan ini, anak gembe dikawal oleh para sesepuh,pemangku adat, para tokoh masyarakat, kelompok seni tradisional dan masyarakat setempat.
Barisan depan diisi oleh pengawal utama yaitu dua tokoh sesepuh, yang disebut Cucuk Ing Ngayodya. Kemudian dibelakangnya diisi oleh dua orang pembawa dupa (tungku penolak bala), yang diteruskan oleh para prajurit pembawa tombak,keris dan pusaka lainnya. Barisan berikutnya adalah para pembawa Bunga Cucuk Lampah.
Selanjutnya adalah para pembawa sesaji sepeti jajan pasar, pisang raja emas, degan hijau,kinang,alat rias dan cangkir dengan 14 macam minuman. Barulah diikuti oleh rombongan anak gembel yang menaiki delman atau kendaraan tradisional lainnya. Barisan belakang di isi oleh para rombongan kelompok seni tradisional.

3.      Jamasan
Jamasan adalah proses mengkeramasi si anak gembel. Sebelum dikeramas, anak gembel akan disambut oleh para pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat dan tamu undangan di Dharmasala. Tempat ini, dulunya digunakan untuk tempat peristirahatan para peziarah dan tempat para pemuka agama mengajarkan agama pada para muridnya. Penyambutan ini diiringi dengan kesenian Janen, yang merupakan perpaduan antara rebana dan Gending Jawa.
Setelah selesai penyambutan, si anak gembel kemudian akan dianaungi dengan Payung Rombyong dan kain kafan yang panjang di sekitar Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu, tempat di mana mereka akan dikeramas oleh pemangku adat. Sebelum dikeramas

4.      Pencukuran
Pencukuran di lakukan di depan Candi Arjuna atau Candi Puntadewa. Pencukuran boleh dilakukan oleh siapa saja, asalkan harus didahului dan didampingi oleh pemuka adat. Alasan mengapa pencukuran di lakukan di depam Candi Arjuna adalah, karena kata Arjuna sendiri dalam bahasa Arab berarti pengharapan. Jadi, nantinya setelah pencukuran, anak gembel diharapkan menjadi anak yang berbakti dan taat beragama.
Pemakaian Candi Puntadewa sebagai lokasi pencukuran baru dilakukan sekali, 2012 silam. Alasannya adalah, tempatnya yang lebih luas dan dalam perwayangan Pandawa Lima, Puntadewa adalah kakak dari Arjuna. Berangkat dari kisah itulah, masyarakat Dieng ingin menghormati sosok yang lebih tua 

5.      Pelarungan dan Ngalap Berkah
Prosesi terakhir adalah melarungkan rambut gembel ke Sungai Serayu atai di Telaga warna. Kedua tempat ini dipercaya akan bermuara di Laut Selatan. Acara larungan bertujuan untuk mengembalikan titipan. Masyarakat percaya, rambut gembel adalah titipan dari Laut Kidul
Selanjutnya, tidak jauh dari lokasi pencukuran akan dilakuan Ngalap Berkah, yakni perebutan sesaji. Dipercaya, sesaji tadi bisa membawa berkah. Acara ruwatan juga dimeriahkan beragam kesenian daerah, untuk menghibur si anak gembel,warga dan wisatawan yang hadir.

Sejarah Rambut Anak Gembel
    Berbicara mengenai sejarah anak gembel, Mbah Naryono adalah orang yang paham benar dengan masalah ini. Beliau adalah pemuka adat di Dieng, yang selalu memimpin jalannya Prosesi Ruawatan anak gembel. Semasa kecil, beliau juga berambut gembel. Mbah sendiri juga tidak ingat benar bagaimana bisa menjadi gembel, atau ada tanda – tanda khusus selain penyakit panas yang mengindikasikan akan tumbuh rambut gembel pada dirinya.
            Kepercayaan yang beredar di masyarakat, rambut gembel merupakan sebuah titipan dari Laut Kidul. Bermula dari kisah Ki Kolodete dan Nini Roro Ronce, yang dipercaya sebagai leluhur tanah Dieng. Mereka berdua adalah sosok yang melakukan babat Dieng atau yang membuka hutan belantara yang kemudian menjadi Dieng sekarang ini. Kemudian keturunan dari Ki Kolodete kemudian diberikan titipan untuk dijaga dan harus dikembalikan oleh penguasa Laut Kidul. Maka dari itu, keturunan – keturunan berikutnya mulai banyak yang berambut gembel. Si anak gembel ini diyakini adalah anak terpilih.
            Mbah juga mengatakan, bahwa di rambut gembel ada yang “menunggu” dan menjadi pelindung bagi si anak gembel. Menurut Mbah, itulah mengapa si anak gembel akan bertingkah lebih berani,lebih aktif dan dalam beberapa kejadian, anak gembel menjadi kebal. Ia bercerita, pernah di desa sebelah, ada seorang anak gembel yang tertabrak mobil, tetapi ia tidak luka sama sekali.
            Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa keinginan dari si anak gembel juga harus terpenuhi, apabila tidak, rambut gembel yang sudah dipotong akan kembali tumbuh. “ Dulu, cucu saya minta dibelikan cambuk. Saya tanya kemudian, kenapa minta cambuk? Mintanya, sapi, atau kambing gitu. Siapa yang minta? Nah, cucu saya kemudian bilang, yang minta rambutnya gembel, tinggi besar, hitam.”
            Mbah sendiri tidak ingat pasti rasanya menjadi gembel. Ketika saya tanya, apa yang dirasakan saat menjadi gembel, apakah ada hal – hal lain yang mbah rasakan, Beliau hanya tersenyum sambil berujar, “Mbah udah lupa, sudah berapa tahun yang lalu itu.”

Relevansi dengan Konsep – Konsep Komunikasi Antar Budaya

Budaya Kolektivis: Buaya ini lebih terlihat pada masyarakat sekitar. Ketika permintaan si anak gembel tidak dapat terpenuhi oleh orangtua karena terbentur dengan keadaan ekonomi, maka permintaan anak gembel akan ditanggung oleh panitia penyelenggara dan pemerintah daerah. Mereka akan berupaya untuk bisa mewujudkan keinginan si anak gembel.

Komunikasi Verbal : Pada fenomena anak gembel di Dieng, tidak ada perbedaan komunikasi verbal dengan mereka yang tidak gembel. Bagaimana ia mengucapkan, intonasi, pelafalan sama dengan anak pada umumnya

Komunikasi Non-Verbal: Sifat anak gembel berbeda dengan abak pada umumnya. Mereka cenderung lebih aktif (bisa dikatakan hiperaktif), lebih berani dibanding anak lain, semisal keluar sendiri pada malam hari dan kecenderungan lebih manja. Ia ingin terus didampingi oleh Ibu atau ayahnya. Najwa sendiri sebenarnya sudah bisa makan sendiri, tetapi ia selalu minta disuapi oleh Ayah atau Ibunya


Ditinjau dari karakteristik budaya

1.      Budaya itu dipelajari
Fenomena anak gembel sudah ada sejak dari dulu dan masyarakat Diengpun tahu akan hal ini. Bagi mereka yang tidak mempunyai anak yang berambut gembel, tentu tata cara dan bagaimana harus menangani anak gembel tidak terlalu dipelajari. Berbeda dengan keluarga yang mempunya anak berambut gembel, tata cara dan aturan mengenai rambut gembel tentu harus dipelajari

2.      Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi
Melanjutkan tradisi gembel memang tidak bisaa dipukul rata untuk diteruskan ke generasi berikutnya. Pasalnya, masyarakat Diengpun tidak semua berambut gembel dan tidak tahu apakah nantinya keturunan mereka akan berambut gembel atau tidak.Jadi, budaya rambut gembel tetap diturunkan dari generasi ke generasi, hanya saja bagi mereka yang mempunyai keturunan rambut gembel yang akan lebih menjalakannya.

3.      Budaya didasarkan pada simbol
Simbol yang terdapat pada rambut gembel adalah rambut gembel itu sendiri. Tidak ada daerah lain yang mempunyai simbol khas rambut gembel. Walaupunn bentuknya sama yakni gimbal, tetapi rambut gembelpun ada jenisnya. Ada yang disebut gembel pari, karena bentuknya panjang seperti padi, gember pare, yang berbentuk panjang dan menyerupai buah pare dan gembel wedhus, rambut gember yang pendek dan menggerombol seperti bulu kambing (wedhus = kambing *jawa)

           
           


           
                                                                                                                             


No comments:

Post a Comment