Pages

Sunday, January 20, 2013

Kampung Cina Bojong Nangka


Kampung Cina Bojong Nangka, 
Tradisi yang Tergerus Jaman

Oleh  : Berthier Pandu Juwandono
NIM  : 11140110283
Kelas : F1


Desa Bojong Nangka tak menyangka memiliki salah satu kelompok masyarakat yang unik. Yakni suatu kelompok masyrakat yang tinggal di pinggiran desa Bojong Nangka. Masyarakat tersebut merupakan pecahan dari masyarakat cina benteng, yang hidup berkelompok secara dinamis di wilayah Bojong Nangka. Kampung Cina Bonanglah namanya. Letaknya disudut atau diujung kelurahan Bojong Nangka. Sebenarnya pemberian dari nama Kampung cina ini  sendiri berasal dari warga sekitar yang beretnis pribumi. Penamaan kampung cina ini baru ada sejak tahun 1990, tapi tradisi dan etnisnya hingga kini masih ada dan masih kental. 

Saya pergi ke lokasi tersebut bersama rekan saya yaitu Felix. Awalnya kami heran karena masih ada saja di Tangerang tempat suatu desa yang masih gelap akan lebatnya kebon. Jalanannya pun banyak yang rusak. Kampung cina hingga kini masih banyak yang mempertahankan berbagai warisan leluhurnya baik itu dalam segi adat istiadat, ritual keagamaan, dan lain lain.

Sejarah dari Kampung Cina Bojong Nangka sendiri berasal dari penyebaran Chinese benteng di tangerang. Hal ini diceritakan oleh orang tertua yang masih tinggal di kampung cina namanya Ong Eng Tong (83). Masyarakat Cina Benteng mulai memasuki kampung Bojong Nangka sejak delapan generasi diatas Babe Ong Eng Tong atau bisa di perkirakan sekitar 800th yang lalu. Ketika Jaman penjajahan Belanda seluruh tanah yang di miliki leluhur Babe dan masyrakat cina lainnya di monopoli oleh Belanda dan diberikan kepada orang kepercayaan belanda untuk mengelolanya. Orang yang diberikan kepercayaan tersebut bernama tuan tanah yang merupakan orang yang beretnis pribumi. Para etnis cina hanya di perkerjakan untuk berkebun dan setelah itu bagi hasil dengan Belanda dan tuan tanah. Pada jaman Belanda Babe dan generasi diatas Babe memiliki profesi sebagai petani. Komuditas pertanian yang diperdagangkan adalah mengkudu, sereh khususnya dalan era kolonial Belanda, setelah itu ada juga bagian yang luas untuk perkebunan nangka. Nahh dari sini muncul sejarah mengapa kapung Bojong Nangka di namai, ternyata adanya kebon yang dihasilkan adalah Nangka sendiri.

Pada jaman Babe kecil, babe menceritakan etnis cina di Kampung Cina berpenampilan seperti para jagoan kung fu di china. Mereka mengepangkan rambutnya yang panjang atau yang disebut cokek dan membotakkan bagian depan diatas kening.  
Babe juga menceritakan untuk mendapatkan kuasa sebuah tanah rekan leluhurnya menggunakan taktik judi atau yang disebut Ceki, dalam Judi ini para pemain tidak hanya mempertaruhkan uang saja tetapi juga mempertaruhkan tanah berserta harta hartanya. Bagi yang kalah maka Uang, tanah atau harta akan menjadi milik sang pemenang. Cara permainan judi tersebut ialah mengocok dadu yang ditutup dengan piring dan batok kelapa, setelah itu pemain memasang perkiraan apakah angka besar atau angka kecil yang akan keluar.

Karena permainan judi itulah tanah tanah para kaum tuan tanah kian menyusut dan dimiliki oleh orang lain. Orang lainnya tersebut salah satunya merupakan etnis china. dan akhirnya para etnis itu berkumpul di pinggiran kampung tersebut (kampung bojong nangka).
Intinya adanya masyarakat Kampung Cina itu sendiri terjadi akibat penyebaran etnis Cina Benteng di Banten yang berkumpul di pinggiran desa Bojong Nangka.
Perbedaan antara cina benteng di daerah Pintu air atau di daerah cisadane dengan masyarakat Kampung Cina Bojong Nangka adalah warga atau masyarakat Kampung cina ini memiliki bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Sunda dan justru mereka telah melupakan bahasa cina itu sendiri. Babe mengatakan sudah dari jaman kakek neneknya ia menggunakan campuran bahasa indonesia dengan bahasa sunda, dan bahkan Babe tidak bisa menggunakan bahasa cina itu sendiri. Pada saat ini karna adanya pengaruh media massa dan masuknya berbagai golongan etnis ke daerah kampung tersebut (kampung cina) bahasa yang dipergunakan sehari hari adalah bahasa indonesia tetapi sedikit berlogat sunda. Hal ini paling kental di ucapan ibu Yanti anak terakhir dari babe Ong Eng Tong. Bu Yanti juga mengatakan ababila bu Yanti berbicara memakai bahasa sunda kita mengerti apa artinya tapi untuk menjawabnya agak binggung. Dalam percakapan sehari hari ketika berkumpul mereka menggunakan bahasa indonesia dengan logat sunda, atau bahkan menggunakan campuran kedua bahasa tersebut.

Untuk rumah yang ditempati oleh Ong Eng Tong atau Babe sudah berumur 81 tahun. Kondisinya pun katanya masih sama dengan yang asli hanya saja sebelumnya untuk lantai masih tanah dan kini sudah di pelur atau disemen. Bilik atau temboknya terbuat dari kayu atau dari seratan bambu yang diayam. Atapnya pun terbuat dari tanah liat atau jaman dahulu terbuat dari jerami. Nama dari rumah itu adalah Rumah kebaya atau disebut pula rumah asli betawi. Karena tanah Babe yang luas maka beberapa bagian dari tanah tersebut dibutkan rumah untuk anak anaknya. Rumah anaknya Babe memang tak setradisional rumah Babe karena rumah anaknya Babe didirikan sekitar tahun 2000an ke atas.
 
Tak seberapa jauh dari rumah Babe ada rumah tua yang dihuni oleh sepupu babe, rumahnya tak jauh seperti rumah babe hanya saja kondisinya kumuh. Beberapa ratus dari rumah Babe saya menemukan Rumah lain yang dihuni oleh etnis cina juga. Rumah tersebut lebih kokoh dibanding dengan rumah Babe karena dinding dan atapnya sudah menggunakan kayu pohon dan genteng semen. Tetapi rupa depannya sangatlah cantik dan tradisional. Benar benar seperti rumah adat Betawi yang ada di film “Si Doel” hanya saja rumahnya agak kecil.

Dalam sistem kepercayaan dan agama para etnis cina di kampung cina bermayoritaskan agama Buddha. Agama Buddha memang agama yang paling tua di pegang oleh leluhur Babe, bahkan hingga kini Babe masih memegang agama tersebut. Karena adanya perkembangan jaman banyak dari keluarga Babe dan masyarakat sekitar yang memilih pindah agama ke agama Kristen dan Islam. Kata Babe sih yang paling sedikit itu pindah ke agama islam. Alasan Babe jarang yang pindah ke agama islam karena agama tersebut agak berseberangan dengan ajaran dan tradisi dari leluhur cina sendiri.

Ritual yang masih dilakukan hingga sekarang yang sifatnya dari leluhur adalah ritual ceng beng, yakni ritual bersih bersih makan setahun sekali. Mereka melakukan hal tersebut tujuannya adalah untuk menghormati sang leluhur. Acara tersebut dilakukan secara kekeluargaan yakni seluruh anggota berkumpul bersama membersihkan makam dan berdoa kepada leluhur (dipemakaman). Di dalam acara doa tersebut mereka juga memberikan beberapa sesajen yang berupa makanan matang kepada leluhur.

Selain itu, ada juga ritual yang dinamakan ritual reka bumi atau sedekah bumi. Ritual sedekah bumi itu sendiri bermaksud memberikan ucapan terimakasih kepada Tuhan sang pencipta atas hidup, rejeki dan kemakmuran. Acara ritual sedekah bumi tersebut dimulai dari memberikan sedekah makanan yang di letakan dalam nampan yang dibungkus oleh kain. Setiap etnis cina wajib menyumbangkan nampan tersebut untuk sedekah bumi. Setelah itu nampan dikumpulkan dan diletakan di suatu tempat. Ditempat tersebut masyarakat pribumi pada duduk mengelilingi nampan yang berisai makanan tersebut, acara tersebut dipimpin oleh imam yang merupakan pribumi. Imam tersebut bertugas sebagai pendoa. Selain makanan rumahan sedekah bumi juga disediakan kambing untuk di potong dan dibagi bagikan kepada etnis pribumi. Dalam acara sedekah bumi babe mengatakan bahwa ritual ini adalah ritual yang asli dari etnis cina Kampung cina Bojong Nangka sendiri, dan persertanya adalah warga pribumi. Dalam penutupan acara sedekah bumi diadakan acara lenong atau gambang kromong dan juga ada pesta pertunjukan berantem beranteman, jadi berantem disini maksudnya hanyalah untuk hiburan bukan adu sakti.

Untuk acara pribadi yakni acara keluarga inti, ada yang dinamakan panen rakyat. Panen rakyat adalah acara syukuran atas dikaruniai musim yang baik hingga bisa memanen padi. Acaranya sangatlah sederhana, setelah memetik padi padi diletakan dilumbung di luar rumah dan setelah itu ngariung atau lebih akrabnya seperti intropeksi diri.
Menurut kepercayaan masyrakat cina di kampung cina. Padi adalah ibu Suri sang pemberi kehidupan, dan kehidupan itu berasal dari beras. Jadi semua acara itu (panen rakyat) adalah upacara ucapan terimakasih kepada Ibu Suri.

Di tanah Babe yang seluas 2 hektar itu juga termasuk tempat Pemakaman keluarga Babe. Pemakaman tersebut luasnya sekitar 300an meter persegi. Dalam makam itu berisi kakek nenek, orang tua Babe, istri Babe dan anak anak babe (4 generasi). Dalam Tradisi pemakaman masyarakat kampung cina sendiri lebih banyak yang dimakamkan ketimbang di bakar (kremasi). Ketika saya bertanya tentang mengapa kok lebih memilih di makamkan, pak Yayang sang pemandu kami mengatakan karena itu permintaan dari beliau sendiri, ia mengatakan kalau saya sih tidak masalah mau di kubur atau di kremasi. Kuburan leluhur dari Babe berukuran sangatlah besar, hal ini dikarnakan apabila yang telah meningal sepasang (suami dan istri) maka akan dipersatukan secara bersebelahan. Dalam keluarga Babe hingga kini (dari generasi ke 4 sebelum Babe) belum ada yang di kremasi. Dalam upacara kematiannya diadakan sembayang besar besaran. Makin kaya atau sukses orang yang meninggal maka makin besar pula acara upacara kematiannya.

Upacara kematian bagi leluhur dimulai dengan memandikan jenazah orang yang telah meninggal. Setelah dimandikan, jenazah di doakan di rumah. Jenazah didoakannya juga menurut teknis tionghoa yakni lewat sembayang samkai. Sebelum Jenazah tersebut dikuburkan sang keluarga mempersiapkan berbagai pernak pernik untuk dibawa oleh jenazah ke alam baka. Pernak perniknya tersebut bermaksud seperti bekal materi. Pernak perniknya berupa uang kertas, perunggu, baju. Setelah pernak pernih itu memadai maka pernak perniknya dimasukkan ke dalam peti. Maka petinya pun harus peti yang besar sehingga muat untuk barang barang tersebut dan juga jenazahnya. Peti besar tersebut dinamakan kuan ukurannya sekitar 1m x 2m dan tentunya sangat berat. setelah semuanya lengkap maka prosesi penutupan peti pun dilaksanakan. Acara penutupan peti pun diiringi dengan doa juga. Setelah jenazah dikuburkan maka ritual untuk penghormatan atau ritual perpisahannya pun tidak cukup sampai disitu. Masih ada ritual doa atau hajatan yang dilakukan per periode, yakni 3 harian, 7 harian, 40 harian, 100 harian dan yang terakhir 1000 harian atau 3 tahunan.  


Dalam tradisi pernikahan kampung cina tidak jauh seperti adat dari cina benteng itu sendiri. Sang pengantin pria menggunakan topi besar layaknya sang pengembara pada jaman dinasti cina jaman dulu. Sang wanita menggunakan baju yang berwarna merah dan wajahnya ditutupi manik manik keemasan. Sebelum mengadakan pernikahan diadakan terlebih dahulu acara lamaran terhadap pengantin wanita. Tahap pelamaran disebut sebagai Sanggit. Dalam Sanggit sang pengantin pria memberikan seserahan seperti uang atau emas kepada pengantin wanita. Setelah Sanggit keesokan harinya kedua mempelai dipersiapkan untuk acara pernikahan. Pernikahan tersebut diadakan di gereja atau di vihara, pada jaman Babe dahulu hingga sekarang (yang masih menganut agama buddya) dilakukan di vihara yang di pimpin oleh Romo (sebutan bagi sang pemuka agama atau sang pemimpin ibadah). 



Ketika sang pengantin siap (sudah didandani dan sudah disahkan secara agama) maka diadakan sembayang kepada leluhur, acara ini dilakukan di ruang paling depan dalam rumah. Sembayang pada leluhur ini tentu saja menggunakan hio dan yang sembayang adalah para orang tua pengantin dan pengantin itu sendiri. Di tempat menancapkan hio juga disediakan buah buahan serta makanan kepada leluhur. Setelah acara doa atau ritual sembayang maka diadakan acara makan 12 mangkok menggunakan sumpit. Acara makan 12 mangkok itu dilakukan di depan sebuah meja yang berisi 12 macam makanan mulai dari nasi hingga makanan berat lainnya. Acara makan 12 mangkok memberi arti bahwa itulah suapan terakhir dari orang tua dan Sang pengantin telah berpisah dengan orang tuanya, tidak dimanjakan lagi. Acara tersebut dilakukan oleh satu calon pengantin yang di dampingi oleh salah satu orang tuanya yang secara bergantian menyuapi sang pengantin sambil berdiri (satu persatu gantian orang tua sang pengantin menyuapi pengantin). Diantara pengantin di saksikan oleh dua orang lelaki sambil duduk dan ikut makan, para saksi pun diharuskan belum menikah dan harus laki laki.


Setelah acara makan 12 mangkok dilanjutkan dengan acara minum teh atau disebut juga tepai. Hampir sama dengan acara makan 12 mangkok hanya saja hal ini dilakukan dengan secangkir teh. Arti dari acara ini adalah menutup acara makan 12 mangkok. Acara minum teh ini dilakukan juga seperti acara makan 12 mangkok, disuguhi oleh orang tua dan diminum oleh pengantin.
Acara pernikahan yang terakhir adalah mengadakan hajatan, nah hajatannya ini berupa gambang kromong. Gambang Kromong adalah adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongehyan. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongehyan. (dikutip dari wikipedia.com).

Acara pesta atau hajatan gambang kromong dilakukan 2 hari dua malam setelah acara pernikahan. Dalam acara gambang kromong tersebut diselipkan pula acara lainnya seperti joget bareng, dan judi bagi nenek nenek. Judinya ini cukup unik karena yang melakukan adalah nenek nenek (paling banyak), nama judi ini adalah ceki yakni judi kartu yang dimainkan oleh empat orang. Setelah acara hajatan maka selebrasi pernikahan pun usai dan pengantin dipersilahkan untuk hidup berdampingan.

No comments:

Post a Comment