Pages

Sunday, January 20, 2013

Titisan Bajang, Di Hyang


Sekar Rarasati

11140110068
Jurnalistik 2011
Kelas B1













Letak geografis Dieng



Penampakan Dieng pada saat matahari terbit
dari Gardu Pandang,1800 di atas permukaan laut
Terletak 2800 meter di atas permukaan laut menjadikan Dieng sebuah desa tertinggi di Pulau Jawa.  Awal mula nama Dieng berasal dari bahasa Sansekerta, “Di” yang berarti pegunungan dan “Hyang” yang berarti Dewa. Secara keseluruhan Di Hyang berarti pegunungan tempat berkumpulnya para dewa.
Desa Dieng, kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Jawa Tengah menyimpan begitu banyak rahasia dewata. Tersirat dari kecantikan alam yang mampu memukau hati setiap insan. Dataran tinggi yang kaya akan lahan pertaniannya membuat desa ini menjadikan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Berbagai macam tanaman dimulai dari buah hingga sayuran mampu tumbuh subur sepanjang tahun. Berbagai lokasi pariwisata khas alam seperti Telaga Warna yang memiliki tempat persemadian di dalamnya, dan masih banyak telaga-telaga lainnya seperti, Cebong, Merdada, Pengilon, Dringa, dan Nilon. Tidak hanya itu, wisata khas bersejarahpun juga terdapat di desa yang memiliki suhu normal 12-17 derajat celcius ini, seperti gugusan candi peninggalan Hindu yaitu, Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. 



"Hal unik apa saja yang terdapat di Dieng?"



Pemandangan Multikultur di Dataran Tinggi Dieng



Komplek  Candi Pandawa sebagai bukti peninggalan bersejarah Hindu
Desa tertinggi yang menjadi tempat bersemayamnya para dewa-dewi ini berhasil menarik hati saya untuk menulusuri lebih jauh rahasia yang tersimpan di dalamnya. Selain eksotisme alam yang memukau mata, ternyata masih ada satu hal unik yang mampu membuka pandangan saya tentang kompleksitas kehidupan. Ternyata, Dieng merupakan sebuah desa yang kaya akan kisah bersejarah serta tradisi budaya yang kental dari generasi ke generasi penerusnya.
Secara fisik, desa ini memiliki banyak surau dan letaknya berdekatan. Tapi tahukah Anda? Desa ini dulunya dilatarbelakangi oleh Agama Hindu. Jadi, pada abad ke-8 masehi dataran tinggi Dieng mendapat salah satu peninggalan arca Hindu, hal itu dapat dibuktikan dengan adanya komplek candi Arjuna dan candi Srikandi yang hingga kini masih terawat baik. Pemerintah daerah setempat menjadikan komplek candi Arjuna sebagai salah satu ikon Dieng. Pemagaran pun mulai dilakukan sejak tahun 2000 lalu, sisa-sisa peninggalan bersejarah itu disimpan dalam museum Dieng Kailasa.

Konon, sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia yang telah merubah mayoritas keyakinan masyarakat Dieng. Sekarang mayoritas warga Dieng beragama Islam, hal ini bisa dibuktikan dengan terdapatnya banyak surau yang menghiasi sudut perkampungan dataran tinggi ini. Dari satu surau ke surau lain letaknya berdekatan.

Suasana multikultur pun sangat kental terasa apabila adzan berkumandang. Selarak jauh mata memandang candi-candi khas peninggalan Hindu terjajar rapih dan suara adzan dari masjid satu dan masjid lainnya saling berkumandang mendamaikan hati.

Ada satu hal yang menjadi tujuan utama saya menginjakkan kaki di dataran tinggi Dieng. Tidak banyak orang yang mengetahui keunikan dari dataran tinggi yang sakral ini. Kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi telah membentuk sebuah budaya yang sulit dipercaya oleh orang awam. Percaya atau tidak, kesakralan dari khayangan tempat berkumpulnya para dewa-dewi ini telah membuat Dieng sebagai desa yang istimewa. Inilah yang membuat desa ini semakin menarik untuk dikulik.


Apakah keistimewaan itu?
Pernahkah Anda mendengar kisah tentang anak titipan bajang dari Laut Kidul? Atau cerita tentang anak berabut gimbal yang sakti mandraguna bakal berkat keluarga?

Ya, kisah ini telah menyelimuti Dieng sejak ratusan tahun lalu. Rambut gimbal berwarna cokelat kemerahan menghiasi kepala anak-anak asli keturunan Dieng. Seluruh anak Dieng yang menjadi titipan bajang dari Laut Kidul rata-rata memiliki rambut gimbal sejak usia di bawah lima tahun. Rambut ini tidak sengaja dibuat untuk mengikuti tren reggae pada umumnya, melainkan rambut gimbal itu perlahan tumbuh secara alamiah.

Pemandangan rambut gimbal sangat mengikat rasa penasaran saya untuk mengulik lebih jauh apa yang menjadi penyebab kegimbalan tersebut. Mengapa rambut gimbal hanya tumbuh pada anak-anak tertentu? Bagaimanakah proses terbentuknya rambut gimbal? Apakah faktor geografis menjadi salah satu alasan utama? Apakah ini hanya sebuah kebetulan?




Mereka yang Ketiban Sampur

Najwa salah satu anak berambut gimbal saat ditemui di rumah sanak
saudara bersama ayahnya. (30/12)
Hari pertama menginjakkan kaki di Dieng saya langsung dipertemukan oleh salah satu keluarga bocah berambut gimbal yang sekaligus menjadi pemandu kami saat menjalani penelitian. Saya dan delapan teman saya akhirnya memutuskan untuk homestay di rumah Najwa untuk mendalami lebih lanjut fenomena anak gimbal. Kami pun  membagi diri menjadi dua tim ekspedisi, pertama Tim Najwa dan yang kedua Tim Riezie. Saya dan ketiga teman bergabung dalam masuk ke Tim Rizie, sedangkan keempat teman lainnya menetap di rumah Najwa.

Najwa, 2,5 tahun, salah satu anak
gimbal yang belum diruwat
Malamnya kami langsung berkunjung ke rumah Rizie yang letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi homestay kami. Awalnya yang ada di benak saya hanyalah rasa deg-degan, prasangka takut bila kehadiran kami tidak diterima. Namun, semua rasa itu sirna ketika kami memasuki rumah Rizie dan disambut hangat oleh keluarganya. Antusias saya pun meningkat ketika melihat Rizie menampakkan diri dari balik pintu. Bersama-sama kami berkumpul di ruang tengah untuk saling mengenalkan diri. Pendekatan high context pun kami terapkan dalam kegiatan ini, melihat latar belakang keluarga Rizie asli keturunan Jawa. Sambutan hangat dari keluarga Rizie pun semakin kami rasakan, mereka mulai menyajikan minuman hangat dan makanan ringan untuk menghangatkan tubuh kami dari hembusan suhu 12 derajat celcius. Rizie pun mulai membaur bersama kami, berbincang, dan bersenda gurau.

Rizie merupakan salah satu anak yang mendapat anugerah untuk menjadi bocah gimbal. Ia mulai mendapatkan titipan itu sejak usia 2,5 tahun. Awal mulanya Rizie mengalami panas yang sangat tinggi hingga kejang-kejang. Usaha untuk meredakan panasnya pun sudah dilakukan, membawanya ke dokter dan memberikan obat penurun panas. Sayangnya, usaha itu tidak membuahkan hasil, panas Rizie tidak berangsur turun. Orang tua Rizie pun mulai khawatir terhadap kondisi anaknya yang disangkut-pautkan dengan fenomena anak gimbal.

“Ya, jadi saya itu sebenarnya tidak percaya dengan mitos tersebut. Orang bilang kalau anak saya ini sedang mengalami gejala rambut gimbal. Mau diobati kayak apapun juga nggak akan sembuh, nanti dia sembuh dengan sendirinya. Tapi saya masih tidak percaya sampai paginya rambut Rizie menggimbal dan sembuh dengan sendirinya,” ujar Ayah Rizie menjelaskan proses anaknya menjadi anak gimbal.

Suatu pagi tiba-tiba Rizie kembali sehat seperti tidak sakit sebelumnya. Hal ini mengejutkan, Rizie sembuh setelah rambut gimbalnya tumbuh satu gimbal kecil (segimbal) di bagian belakang. Hal ini yang membuat Ayah Rizie menjadi percaya akan mitos yang sudah menyebar di Dieng sejak ratusan tahun lalu.

“Ya, akhirnya saya percaya tentang mitos itu. Anak saya menjadi salah satu titipan bajang dari laut kidul,” jelasnya.

Tidak ketinggalan saya juga mewawancarai salah seorang pemangku adat yang menjadi sesepuh dalam tradisi ruwatan anak gimbal.

“Jadi saya disini bisa bercerita tentang sejarahnya (anak gimbal) karena dulu saya pernah jadi anak gembel,” ujar Mbah Naryono menjelaskan identitas dirinya.

Menurut cerita yang sudah dipaparkan oleh Mbah Naryono, sejarah terjadinya rambut gimbal itu merupakan titisan dari Ki Ageng Kolodete dan Nini Ronce Kolo Prenye sepasang leluhur pendiri perkampungan Dieng. Tidak ada yang bisa meminta atau menghindari titisan dari kedua leluluhur ini. Pernah suatu ketika rambut gimbal Rizie dicoba untuk diluruskan dengan cara disisir dan diminyaki. Namun, hasilnya sama saja, keesokan harinya rambut itu kembali menggimbal.

“Anak gembel ini merupakan titisan jadi sebenarnya mereka itu istimewa, berbeda dengan yang lain,” jelasnya.

Seorang anak berambut gimbal akan terus mengalami sakit panas hingga nanti seluruh rambutnya menjadi gimbal. Lalu apakah hal itu tidak bisa diakhiri?

“Anak-anak titisan itu nantinya akan kembali menjadi normal setelah mengalami proses ruwatan. Tapi ruwatan itu tidak bisa dilakukan kapan saja, mereka (anak titisan) yang menentukan,” ucapnya.

Mbah Naryono, salah seorang pemangku adat yang memimpin prosesi
ruwatan anak gimbal.
Mbah Naryono menjelaskan bahwa permintaan dari anak tersebut merupakan sebuah prasyarat yang harus dipenuhi untuk menyudahi status anak gimbal itu. “Anak-anak gembel itu nantinya pasti menyebutkan permintaan sebelum diruwat. Bila permintaan itu sudah disebutkan biasanya mereka langsung minta dicukur (diruwat),” ucap Mbah Naryono.

Permintaannya pun beragam, dimulai dari yang paling sederhana sampai yang luar biasa. Apa yang diminta dari anak gimbal ini dipercayai tidak murni dari permintaan sang anak, melainkan sang gembel yang telah menyatu dengan jiwa sang anak. Mereka menjadikan sang anak sebagai perantara.

“Yang paling sering diminta itu ya kambing. Dipotong atau tidak, dimasak atau diapakan ya kita nurut anaknya. Macam-macamlah permintaannya,” ujar mantan anak gimbal ini.
Namun, terkadang ada permintaan yang menyusahkan keluarganya. Permintaan tersebut jauh dari dugaan dan sulit dicari maupun ditebus dengan materi. Padahal, bila permintaan dari anak tersebut tidak dapat dipenuhi maka sang anak akan mengamuk dan menolak untuk diruwat (dibuang sialnya).

“Jadi dulu ada satu anak yang permintaannya neko-neko. Dia minta dicarikan ular yang besarnya se-kendang. Mana ada.. besar sekali.. sampai akhirnya anak itu sekarang sudah tua dan tidak diruwat-ruwat,” jelas Mbah Naryono.


Prosesi Ruwatan

Mas Alief adalah Ketua Penyelenggara Acara Ruwatan Gimbal
Saya juga menghadiri kediaman mas Alif, ketua penyelenggara prosesi ruwatan anak gimbal Dieng tahun 2012 untuk mengetahui tentang urutan prosesinya. Adapun prosesi yang dijelaskan adalah sebagai berikut:

1.       Kirab

Anak-anak gimbal yang akan diruwat wajib dikirab yang dimulai dari rumah pemangku adat di desa Dieng Kulon menuju ke komplek candi pandawa (Arjuna) sejauh satu kilometer. Kirab dilakukan dengan berjalan kaki bersama-sama rombongan orang yang membawa sesaji tasyakuran. Sepanjang kirab itu berlangsung para penonton pun ikut mengikuti sampai lokasi peruwatan.


2.       Keramas

Sendang Sedayu, tempat pencucian rambut anak gimbal
Sesampainya di pemberhentian pertama, anak-anak gimbal tersebut lehernya dikalungi selendang (kain mori) putih oleh pemangku adat. Kemudian anak-anak itu langsung dicuci rambutnya. Upacara pencucian rambut dengan air sumur dan kembang tujuh rupa ini dipimpin oleh pemangku adat. Sang pemangku adat memimpinnya dengan mantra-mantra khusus dan doa agama islam yang dibawakan dengan bahasa Jawa.

3.       Penyambutan di Panggung Hiburan

Latar dari komplek Candi Arjuna,letaknya tidak jauh dari Sendang Sedayu
Setelah melewati tahap pencucian rambut, para anak gimbal dibawa ke panggung hiburan yang letaknya tak jauh dari sendang sedayu. Anak gimbal beserta ribuan penonton akan dihibur oleh pertunjukan kesenian seperti Ampyak-Ampyak Pringgondhani, dan tarian-tarian tradisional khas Dieng.



Candi Arjuna
4.       Pencukuran Rambut Gimbal


Setelah melewati tiga tahap sebelumnya akhirnya masuklah pada inti acara. Pencukuran rambut anak gimbal dilakukan tepat di depan candi Arjuna. Di depan candi telah berjajar berbagai sesaji dan barang yang diminta oleh anak gimbal tersebut. Prosesi ini masih dipimpin oleh pemangku adat, tetapi siapa saja boleh mencukur rambut gimbal dari anak tersebut. Turis asing sekalipun pernah mencukur rambut gimbal dari salah seorang anak yang diruwat.






5.       Larung

Telaga Warna, salah satu tempat untuk melarung rambut
anak gimbal yang sudah diruwat
Rambut gimbal yang sudah dipotong tadi kemudian dibungkus dengan kain mori berwarna putih. Tahapan yang terakhir kali ini merupakan sebuah pilihan. Melarung atau menghanyutkan rambut gimbal ke sebuah telaga bukanlah hal yang wajib untuk dilakukan. Masing-masing keluarga memiliki hak untuk itu.
Makna dari pelarungan tersebut adalah mengembalikan apa yang telah diberikan oleh alam. Semua yang diberikan kemudian dikembalikan.



Musibah atau Anugerah ?

Beragam permintaan yang disebutkan oleh anak titisan bajang tersebut terkadang memberatkan sebagian pihak keluarga yang ketiban sampur. Terkadang nilainya cukup memberatkan keuangan mereka. Tidak hanya materi, permintaan yang aneh-aneh acap kali memusingkan keluarga.

“Terkadang susah dicari atau malah menyakiti anak itu sendiri,” ucap Ayah Rizi.
Lalu, apakah anak yang menjadi titisan bajang dari Kidul ini menjadi merupakan sebuah musibah dalam keluarga?

“Kalau dibilang musibah ya tidak juga. Justru kami bersyukur, semenjak Rizi jadi anak gimbal berkah atau rezeki itu selalu ada, Alhamdulillah…” tukas Ayah Rizie ketika dimintai pendapatnya.

Ayah Rizi pun sempat berbicara tentang sikap anaknya yang sulit sangat pemilih, dia berkata bahwa Rizi tidak mau bertemu dengan orang yang dianggapnya tidak asik atau cocok dengannya.

“Ya, kayak dulu ada sebuah media yang au ngeliput Rizi. Ya, tiba-tiba ngeluarin kamera, anaknya ga suka ya lari mbak. Beda sama sampeyan yang ngajak ngobrol dulu kayak tadi, Rizi suka yang kayak gitu,” ujarnya kepada saya dan kawan-kawan.

Ketika musibah berubah menjadi anugerah, mereka berusaha mengerahkan semua yang diminta oleh anak titisan kidul tersebut terkabul. 



Mengenal Rizi Lebih Dekat

“Mereka itu istimewa,” ucap ringan Ayah Rizi menghangatkan suasana yang kembali dingin.

Rizi, 11 tahun. Bocah rambut gimbal
 yang hingga kini belum minta untuk diruwat
Adakah yang sudah menonton iklan kuku bima? Disana pasti Anda akan melihat penampakan rambut-rambut gimbal seperti yang sudah saya jabarkan di atas. Coba perhatikan model-model yang ada di dalam iklan tersebut lalu cari bocah laki-laki berkulit cokelat yang mengenakan celana pendek berwarna putih, dia adalah Rizi. Ya, bagi Anda penikmat tayangan edukasi hiburan seperti BOLANG (Bocah Petualang), Mr. Tukul Jalan-Jalan, Empat Mata, pasti Anda sudah tidak asing dengan Rizi. Gimbal cilik ini sudah beberapa kali membintangi acara tersebut.

Bocah yang baru genap berusia 11 tahun ini dalam kesehariannya merupakan anak yang hiperaktif atau tidak bisa diam. Kegiatan sehari-harinya adalah bersekolah, bermain, dan berlatih bersama burung Daranya. Bocah yang duduk di sekolah dasar ini hobi bermain dan bergaul bersama orang-orang dewasa yang jauh dari kata sebaya.

“Dia lebih nyambung main sama tetangganya yang lebih tua, ya kerjaannya paling kumpul-kumpul, bal-balan, nyanyi-nyanyi lagunya Slank, dia suka,” ujar yah Rizie menjelaskan keseharian anaknnya.

Rizi berpose dengan bang Mando
Bocah yang bercita-cita sebagai pemain bola ini selalu mendapat posisi juara di kelas, padahal ia tidak pernah belajar atau mengulas pelajaran yang didapatkan dari sekolah di rumah sekalipun.

“Dia nggak pernah belajar, tapi nilainya bagus terus,” jelas Ayah Rizie
Ketika ditanya bocah ini terlihat cakap dan luwes dalam berinteraksi dengan orang baru. Tidak seperti yang saya bayangkan ketika melihat raut wajahnya yang sedikit galak dan bandel seperti di google. Rizie pun tak enggan untuk berfoto bersama, malah dia berpose dengan gaya andalannya. Peluang yang baik ini pun saya ambil untuk mengulik lebih jauh tentang kebiasaan unik Rizi. Ketika ditanya dia pun tak bisa diam dan terus berlari mengelilingi ruangan sambil bermain bersama sanak saudara.

“Rizi mau jadi pemain bola, kayak Messi!” ujar Rizi sambil menendang bola.
Rizi pun memiliki kebiasaan yang beda dari anak-anak biasanya. Ketika anak seumur Rizi tidur mulai pukul 20.00 , dia baru bisa tidur di atas pukul 00.00. Ya, dia gemar menanti pagi sambil menonton pertandingan bola di televisi.

Apa lagi keistimewaan yang dimiliki seorang bocah gimbal ini? Pernahkah Anda menyangka bahwa anak sekecil ini mampu mengendalikan burung Dara?
Ya, hal ini telah dibuktikkan oleh Rizi kecil telah berhasil menyabet beberapa prestasi nasional perlombaan burung Dara. Beberapa kali ia menduduki posisi juara baik di lingkup daerah maupun luar daerah. 






Rasional or Irasional


Setelah membaca dan menelaah penjabaran saya tentang fenomena rambut gimbal dari Dieng pastinya ada sebagian dari Anda yang masih ragu akan kebenarannya. Untuk menjawab keraguan itu saya pun juga menghadiri ahli medis yang sudah yang sekaligus menjadi kepala kesehatan di desa Dieng, dokter Kukuh.

Ketika dimintai keterangan tentang fenomena rambut gimbal di mata medis, pak Kukuh pun menjabarkan tentang aktivitas para medis yang sudah melakukan penelitian tentang fenomena ini.

“Sudah banyak yang melakukan penelitian tentang fenomena anak rambut gimbal ini, mulai dari universitas yang ada di Indonesia sampai lebaga penelitian mancanegara, seperti dari Jepang, Amerika, dan lain-lain. Ya, termasuk saya ini sudah 14 tahun tinggal disini mengikuti perkembangan anak gimbal tapi hasilnya nihil, belum terjawab apa penyebabnya,” ujar Kukuh yang bukan asli keturunan Dieng ini.

Berbagai penelitian pun sudah dilakukan hingga test DNA sekalipun. Namun, hasil penelitian tidak menjawab bahwa datangnya rambut gimbal ini akibat keturunan genetik.

“Kita sudah melakukan tes, dari ujung rambut ke kaki, tapi hasilnya juga normal, tidak ada hasil signifikan yang bisa dijadikan bukti bahwa ini bisa terjadi karena adanya faktor genetik. Dari segi geografis pun tidak menjelaskan, meskipun disini lembab tapi tidak menjadi sebuah bukti bahwa iklim yang menyebabkan rambut jadi gimbal. Kalo iya memang, kenapa masyarakat Dieng yang lain tidak gimbal?” ujarnya menambahkan.

Upaya-upaya medis yang dilakukan ketika menghadapi anak-anak gimbal pun juga dirasa sia-sia. Obat-obatan yang diberikan ketika salah seorang calon anak gimbal terkena panas tidak memberikan efek bagi mereka.

“Paling ya obat penurun panas, tapi itu juga nggak ngaruh banyak. Soalnya mereka sembuh setelah rambutnya jadi gimbal sedikit-sedikit,” tambahnya.

Sampai saat ini Kukuh pun masih berupaya untuk memecahkan rahasia dibalik fenomena rambut gimbal secara medis. Sebagai penduduk dataran tinggi Dieng yang tidak memiliki darah asli keturunan Di Hyang, Kukuh pun belum mengiyakan kebenaran yang diyakini oleh penduduk setempat selama ini. Kukuh masih akan berupaya untuk menuntaskan segala rahasia yang tersimpan dalam fenomena tersebut.




Dari Alam untuk Alam










Budaya animisme yang masih merekat pada diri masyarakat Dieng telah menutup mata mereka akan kenyataan-kenyataan berat yang telah dibawa oleh titisan sang mendiang. Kepercayaan yang telah mereka rengkuh selama ini telah menjadikan desa ini memiliki budaya yang kental. Mereka bersyukur dan selalu menikmati setiap rahasia yang terduga. Mereka tidak menolak melainkan menjalani serta melanjutkan apa yang telah ada dan diberikan.






Dieng telah menyumbang begitu banyak kekayaan budaya yang mampu menghiasi multikultur di Indonesia. Rahasia itu telah diturunkan ke alam oleh sang pencipta. Alam menyajikannya untuk mahluk hidup di dunia yang nantinya akan kembali pada Sang alam. Begitu juga dengan sebuah rahasia alam yang sudah lama diturunkan. Biarkan alam menyimpan sedikit suaranya tanpa mengurangi performa elok sang Dewata.


No comments:

Post a Comment