Pages

Thursday, January 10, 2013

Mengenal Kebudayaan di Kampung Betawi

Nama : Melissa Adelina
NIM : 11140110219
Kelas : B-1





Berbicara tentang kebudayaan betawi tentu kita akan berpikir tentang Jakarta, ibu kota negara yang sarat akan kemewahan dan segala hal yang menggiurkan. Benarkah bahwa kebudayaan betawi sama dengan gambaran orang mengenai Jakarta yang selama ini dipersepsikan orang-orang dewasa ini?
                Ya, kota Jakarta sendiri memang merupakan kampung orang betawi asli, tetapi kini kebudayaan betawi itu sendiri kian laun telah memudar seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, beruntung saya masih bisa menemukan kampung betawi di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, konon keberadaan kampung betawi di dalam kampungnya sendiri (baca : Jakarta) kini dapat dihitung dengan jari, para pendatang yang berdatangan ingin mengadu nasib di Jakarta sedikit demi sedikit telah menggeser keberadaan mereka, lalu bagaimana sebenarnya kebudayaan betawi sendiri muncul untuk pertama kali, dan bagaimana usaha para orang-orang betawi asli dalam melesarikan kebudayaannya di kampung sendiri?
                Saya mendatangi sebuah perkampungan betawi yang bernama “Setu Babakan”, kampung betawi ini terletak di antara Jakarta Selatan dan Depok, dan merupakan salah satu dari empat perkampungan betawi yang masih dilestarikan oleh pemerintah. Disini saya dapat merasakan atmosfer kebudayaan betawi yang sangat kental dari mulai suasananya sampai kepada ornamen dan atribut yang terdapat disana. Saya juga dapat merasakan aneka tata boga dan kesenian asli betawi.

Pintu masuk perkampungan betawi "setu babakan"
Kerak telor, merupakan salah satu makanan khas betawi.

Suasana perkampungan betawi di Hari Minggu.

Laksa betawi, juga merupakan salah satu makanan khas betawi.

Danau yang membuat nama tempat ini "Setu Babakan",
kita juga dapat bermain wahana air disini. 

                Setu Babakan, sebuah tempat yang ramah bagi siapapun yang ingin berkunjung kedalamnya, kondisinya yang khas dengan segala hal yang berbau betawi, serta atmosfer budaya betawi yang kental membuat tempat ini terasa mengesankan bagi para pengunjung, tidak jarang tempat ini menjadi tempat yang banyak diminati para pendatang yang ingin berdatang ke tempat ini. Disini selain kita dapat menikmati kehidupan masyarakat betawi, kita juga dapat berekreasi sambil bersantai. Setu sendiri artinya danau, ya tempat ini dikelilingi oleh danau, sehingga wisata air juga tersedia disini, selain itu orang-orang yang berjualan makanan khas betawi menambah lengkap daya tarik kampung ini, tidak heran jika setiap hari sabtu dan minggu kita akan mendapati lautan manusia disini, terutama para pengunjung yang ingin mengetahui kebudayaan betawi atau mungkin pengunjung yang rindu akan kebudayaan betawi yang kini mulai memudar di tengah kehidupan kota Jakarta.

Anak-anak yang sedang berlatih tari yapong. 

Kegiatan melenong, sebagai salah satu upaya melestarikan kebudayaan
betawi.
                 Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak akan pernah lepas dengan peradaban dan sejarahnya sendiri, saya yakin setiap kebudayaan tentu memiliki cerita dan sejarahnya sendiri, begitupun dengan kebudayaan betawi ini. Rasa penasaran saya ketika sampai ke kampung betawi akhirnya membawa saya untuk bertantanya-tanya sambil berbincang dengan seorang bapak yang bernama Bang Indra, beliau merupakan salah satu orang betawi asli yang bekerja di perkampungan betawi ini sebagai salah satu pengurus, beliau banyak sekali bercerita tentang kebudayaan betawi, mulai dari sejarah, pembauran,  busana, tata boga, sampai kepada adat yang terdapat di kebudayaan betawi sendiri, semuanya diceritakan oleh Bang Indra.
                Orang betawi awalnya berasal dari melayu, pada tahun 1619 saat John Peter Zoen Coon masuk ke Indonesia, terjadilah akulturasi atau percampuran budaya, percampuran dan adopsi budaya ini tidak hanya diambil dari budaya luar, tetapi juga dari dalam Indonesia, seperti contohnya dari Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan Makassar. Sementara dari luar Indonesia terjadi adopsi budaya dari Belanda, Portugis, Arab, dan China, yang pada akhirnya adopsi budaya ini berpengaruh di tata boga, tata graha, musik, silat, adat, dan pakaian masyarakat betawi sampai saat ini. Misalnya dalam tata graha, rumah kabaya diadopsi dari Sunda, sementara rumah joglo diadopsi dari Jawa. Lalu kesenian musik orang betawi, rebana diadopsi dari arab, gambang kromong diadopsi dari Jawa, dan tanjidor diadopsi dari Eropa. Sementara tradisi silat atau yang biasa disebut bekshi diadopsi dari kebudayaan China (bek : bertahan ; shi : empat penjuru).
                Berbicara tentang pakaian, Bang Indra menjelaskan bahwa memang tidak dipungkiri pakaian adat betawi merupakan adopsi dari beberapa negara, sebut saja Arab dan China. Pakaian adat pengantin betawi sendiri misalnya, pakaian sadariah prianya diadopsi dari busana arab, sementara pakaian wanitanya diadopsi dari busana China, namun ketika mereka bersanding di pelaminan maka jadilah busana betawi. Tidak hanya pakaian pengantinnya tetapi juga pakaian keseharian masyarakat betawi, dalam pakaian adat betawi, terdapat makna dan arti tersendiri. Kita mulai dari pakaian adat pria, diamana biasanya mereka mengenakan peci berwarna hitam polos dengan ketinggian antara 8-12cm, peci ini sudah menunjukkan dari betawi, karena kata Bang Indra, peci betawi sarat dengan hitam polos dan tidak bermotif dengan ketinggian 8-12cm. kemudian jas yang dikenakan biasa disebut “jas demang” atau “jas tutup hidung serong”, jas ini memiliki simbol kewibawahan atau biasanya yang mengenakan jas ini adalah orang kaya. Terdapat rantai kuku macan yang dikenakan bersama dengan jas ini, rantai kuku macan ini memiliki arti kekuatan, artinya orang betawi harus memiliki kekuatan dan kewibawahan, kain yang dikenakan bernama kain motif tumbak, tumbak artinya tajam, hal ini mengisyaratkan bahwa orang betawi harus memiliki mata yang tajam dalam melihat kehidupan, selain motif tumbak, ada juga motif tutup rebung, motif ini berarti menjadi tunas, orang betawi harus menjadi tunas dalam menyongsong kehidupan.
Cara melipat kainnya juga memiliki arti khusus, dalam mengenakan pakaian adat pria, kain yang dikenakan harus dilipat dari kiri ke kanan, hal ini mengartikan bahwa kejahatan harus ditutup dengan kebaikan, sementara kancing jas yang terdapat dalam jas demang tersebut biasanya berjumlah antara 5-6 kancing yang menandakan rukun sholat, artinya orang betawi harus selalu ingat kepada agama.
Untuk pakaian wanitanya, baju yang dikenakan disebut “kebaya encim” atau bisa disebut juga “kebaya keroncong” yang memiliki motif bordiran bolong-bolong. Konde yang dikenakan diatas kepala wanita terdapat burung Hong, burung Hong ini sebenarnya adalah burung khayalan yang diadopsi dari negara China, menyimbolkan keberuntungan.
                Sampai disini bertambahlah pengetahuan saya tentang arti dari pakaian adat orang betawi, di dalam mempelajari komunikasi antar budaya, arti pada pakaian ini masuk dalam komunikasi non verbal atau komunikasi yang disampaikan tidak menggukanan bahasa verbal tetapi melalui penampilan, gerakan, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, dan parabahasa. Rasa penasaran saya akhirnya membawa saya untuk bertanya lebih jauh kepada Bang Indra, tentu dalam setiap kebudayaan kita tidak akan terlepas dari adat istiadat dan tradisi, dan tentunya setiap adat dan tradisi itu juga memiliki arti dan simbol-simbol khusus, akhirnya rasa penasaran saya itu saya utarakan kepada Bang Indra, saya ingin tahu apa saja dan arti apa saja yang terdapat pada adat dan tradisi orang betawi.
                Dalam kebudayaan betawi, adat yang paling dilestarikan adalah seserahan (yang dilakukan sebelum pernikahan, atau bisa juga disebut acara lamaran), dan acara tujuh bulanan (dimana dalam acara tujuh bulanan hanya merupakan syarat keagamaan, dalam hal ini agama islam). Bang Indra memulai jawabannya dari adat seserahan atau dalam kebudayaan betawi bisa disebut juga dengan kenang-kenangan. Dalam iring-iringan seserahan biasanya ada yang bermain silat, hal ini menandakan bahwa calon pengantin pria sudah siap untuk melindungi keluarga secara lahir dan batin, dan biasanya para jawara tersebut akan membawa umbul-umbul kembang kelapa, kelapa diartikan sebagai buah yang bermanfaat, karena setiap bagian dari kelapa dapat digunakan, mulai dari pohon, buah, bahkan buah kelapa yang sudah tua dapat menjadi tunas baru, sementara itu orang betawi percaya bahwa sumber air tertinggi yang diciptakan Tuhan ada di pohon kelapa, pohon kelapa juga bersifat fleksibel (dapat hidup dimanapun, di dataran rendah, dataran tinggi, pantai, maupun gunung), sehingga dengan membawa umbul-umbul kembang kelapa, dapat mengisyaratkan bahwa keluarga yang nantinya akan terbentuk harus bermanfaat dan berguna bagi masyarakat sekitar. Dalam nampan seserahan terdapat roti buaya, yang berarti bahwa kedua calon pengantin harus setia sampai akhir hayat, karena buaya sendiri merupakan hewan yang hanya hidup dengan satu pasangan atau setia, sehingga dengan membawa simbol roti buaya ini diharapkan kedua calon pengantin hidupnya setia, panjang umur, sabar, selalu bekerjasama, dan kuat. Terdapat juga miniatur masjid, yang menyimbolkan bahwa kedua calon pengantin nantinya harus selalu ingat terhadap agama.
Biasanya dalam beberapa kasus, Bang Indra bercerita bahwa ada seserahan yang “sedikit berbeda”, maksudnya tidak setiap mempelai yang akan menikah membawa seserahan ini, kita ambil contoh seperti miniatur sumur, sebenarnya seserahan semacam ini memiliki arti tersendiri dari si calon mempelai wanita, konon ceritanya jika membawa miniatur sumur, mempelai wanita waktu masih kecilnya itu cengeng atau suka sekali menangis sehingga terkadang untuk membuat anaknya berhenti menangis, orang tua dari si mempelai wanita akan mengeluarkan janji, seperti akan memberikan kerupuk satu kaleng saat anaknya menikah atau janji apapun, bisa juga berjanji membelikan pakaian gaun, sepatu, atau perhiasan, sehingga saat acara lamaran yang membayar janji ini adalah pihak dari mempelai pria, maka tidak heran jika seserahan yang dibawa biasanya ada sedikit berbeda dari biasanya. Dalam seserahan gotong-gotongan, biasanya terdapat sayur-sayuran, roti, pisang raja, daun sirih, dan bunga mawar yang mekarnya kedepan, semua gotong-gotongan ini juga memiliki arti sendiri-sendiri loh… sayur dan roti menandakan bahwa calon mempelai pria sudah siap mencukupi kebutuhan pokok keluarga, pisang raja menandakan bahwa calon mempelai pria sudah siap memberikan yang paling istimewah untuk keluarganya kelak karena pisang raja bagi masyarakat betawi merupakan pisang yang paling istimewah dari pisang-pisang lainnya. Daun sirih menandakan agar keluarga ini senantiasa sehat, karena daun sirih identik dengan kebersihan, tertutama bagi calon mempelai wanita nantinya, daun sirih ini biasanya dilipat menjadi enam bagian, menandakan rukun iman, dan di dalam daun sirih tersebut biasanya di selipkan uang dengan pecahan terbesar, biasanya uang seratus ribu, karena pecahan terbesar dari mata uang rupiah adalah seratus ribu, sehingga ini mengartikan bahwa calon mempelai pria sudah siap bekerja keras untuk menghasilkan uang yang banyak bagi keberlangsungan kehidupan keluarganya kelak. Yang terakhir adalah bunga mawar yang arah mekarnya keluar, mengartikan bahwa apapun masalah yang terjadi didalam keluarga nantinya harus terdengar yang baik-baik, yang manis-manis dari mulut tetangga, jangan sampai ada berita-berita yang buruk terus yang terdengar di telinga tetangga, sehingga mekarnya harus keluar, tidak boleh ke dalam. Begitulah arti seserahan adat orang betawi yang diceritakan Bang Indra, tentu jika kalian pernah melihat prosesi adat betawi ini yang terlintas di kepala kalian adalah petasan bukan? Ya! Tepat! Tradisi seserahan ini juga tidak terlepas dari petasan, tapi sesungguhnya petasan itu tidak memiliki arti apa-apa disini, karena petasan tersebut dahulu hanya digunakan sebagai tanda bahwa calon mempelai dari pihak pria sudah datang, karena pada jaman dahulu tidak ada alat komunikasi yang canggih seperti telepon saat ini.
                Rumah adat betawi sendiri juga memiliki filosofi, seperti yang sudah saya katakana tadi bahwa rumah adat betawi diadopsi dari Sunda dan Jawa, sebut saja seperti rumah kabaya dan joglo. Sebanarnya menurut Bang Indra rumah adat ini tidak ada arti khusus, kecuali ornament yang terdapat pada rumah tersebut. Rumah adat betawi hanya tergantung pada luas tanah rumah tersebut, jika berbentuk segi empat, biasanya akan menggunakan rumah model joglo, sementara jika berbentuk persegi panjang biasanya menggunakan rumah model gudang atau boplo. Ornament –ornament yang terdapat di rumah adat betawi biasanya berupa bunga cempaka, belalang kecil yang sedang menggigit kayu, bunga matahari, dan bunga melati. Bunga cempaka di setiap rumah mengartikan bahwa pemilik rumah harus selalu harum seperti bunga cempaka, maksudnya kehidupan keluarga pemilik rumah yang selalu harmonis akan membuat omongan yang dikeluarkan setiap tetangga harum atau selalu dibicarakan yang baik-baik, bunga cempaka ini juga menandakan kewibawahan para penghuni rumah. Belalang kecil menggigit kayu mengartikan bahwa para penghuni rumah harus selalu giat, tekun, rajin, dan sabar, karena belalang hanya bisa mematahkan kayu jika dikerjakan secara terus menerus dan biasanya dalam tempo waktu yang dapat dikategorikan lama. Bunga matahari mengartikan bahwa kehidupan para pemilik rumah harus menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitar, karena matahari dilambangkan sebagai sumber kehidupan dan terang, sementara terang matahari disini diartikan bahwa para pemilik rumah harus selalu memiliki pemikiran yang terang. Yang terakhir adalah bunga melati, sama halnya dengan bunga cempaka, bahwa kehidupan para pemilik rumah haruslah selalu wangi dan harmonis, namun bedanya bunga melati biasanya diartikan masyarakat betawi sebagai lambang keramahan terhadap siapapun, tidak heran jika masyarakat betawi selalu terbuka bagi siapapun yang ingin bertamu ke kampungnya, ya seperti Jakarta ini, kota yang selalu terbuka bagi siapapun pendatang yang ingin tinggal di dalamnya. Biasanya di setiap rumah juga terdapat list tajam yang menjadi list di setiap rumah mengartikan bahwa pandangan para penghuni rumah haruslah tajam atau lurus kedepan, sehingga lebih bijak dalam menyikapi kehidupan. Bang Indra berkata ada beberapa rumah yang menggunakan dua tiang secara sejajar, biasanya ini diartikan bagi para penghuni rumah sebagai lambang keseimbangan, karena Tuhan menciptakan segala sesuatunya secara berpasang-pasangan.

Rumah adat betawi.

                Jika kita berbicara tentang budaya satu hal yang tidak dapat terpisahkan dari budaya itu sendiri adalah dialek atau bahasa. Kalian mungkin akan berkata bahwa bahasa betawi itu mudah, tinggal setiap ejaan A dibaca menjadi E saja, namun pada kenyataannya, Bang Indra bercerita bahwa dialek orang betawi tidak seperti yang selama ini di persepsikan orang-orang, selama ini orang bilang bahwa Jakarta dalam bahasa betawi adalah Jakarte, tapi sebenarnya ini hanya pelesetan dari sebuah persepsi yang keliru, seharusnya kita tidak bisa mengubah setiap ejaan A menjadi E dalam kasus penyebutan nama orang, nama tempat, dan nama kota. Terkadang kita juga berpikir bahwa orang betawi terkesan “kasar” dalam berbahasa, sebenernya kata Bang Indra bahasa betawi tergantung dari asal tempat tinggalnya, orang betawi pada jaman itu terbagi atas tiga wilayah, yakni wilayah pesisir, tengah, dan pinggir, biasanya orang betawi yang berbicara agak tinggi berasal dari wilayah pinggir, karena jarak rumah mereka yang berjauhan memungkinkan mereka menggunakan aksen bahasa yang agak tinggi. Bahasa betawi juga tergantung pada penggunaan katanya, yang agak halus biasa menggunakan kata aye atau dalam bahasa Indonesia saya, tapi penggunaan bahasa yang agak kasar biasanya loe atau gue, penggunaannya hanya berdasarkan etika dari lingkungan tempat orang tersebut tinggal. Hemm sebenarnya saya agak penasaran mengapa bahasa betawi ini memiliki perbedaan, namun secara cepat Bang Indra menjawab bahwa bahasa betawi sendiri sebenarnya juga mengalami pembauran dari China dan Arab, orang China jaman itu menyebut kata saya dan kamu dengan kata you – ngue yang akhirnya diadopsi kedalam bahasa betawi menjadi loe – gue, sementara orang Arab menyebut kata saya dan kamu dengan kata ana – anta, yang akhirnya diadopsi kedalam bahasa betawi menjadi ane – ente. Kenapa pada akhirnya kita salah mempersepsikan orang betawi dengan budaya yang masuk kategori kasar dalam berbahasa, itu karena steriotip masyarakat dewasa ini yang salah mengartikannya, “orang jika dicap jelek terus maka anak menjadi jelek terus dimata orang, kalo dicap yang baik terus akan menjadi baik.” Demikian kata Bang Indra. Jadi terjawab sudah steriotip kita mengenai orang betawi, bahwa tidak semua orang betawi kasar dalam berbahasa. Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa orang betawi sebenarnya ramah terhadap kebudayaan lain, terlihat dari banyaknya adopsi budaya yang bercampur dengan budaya betawi sendiri, serta keberadaan kota Jakarta yang banyak disinggahi para pendatang, menjadi bukti bahwa orang betawi sebenarnya ramah dan selalu “welcome” dengan siapapun yang datang.
                Tentu dengan banyaknya pendatang di kota Jakarta, lambat laun kebudayaan betawi akan bergeser dengan segala hiruk pikuk dan kesibukan kota Jakarta itu sendiri, sehingga usaha yang dilakukan para orang betawi asli adalah membuat kampung di dalam kampungnya sendiri, contohnya seperti keberadaan kampung Setu Babakan ini, di setiap Hari Rabu misalnya kita dapat melihat anak-anak kecil berlatih tari jaipong, ini merupakan salah satu usaha para pelakon kesenian betawi untuk melestarikan budayanya sendiri, begitu juga di Hari Minggu, kita dapat menikmati beberapa kesenian khas betawi seperti gambang kromong, melenong, tari topeng, serta rebana biang, semuanya dipentaskan di kampung ini pada Hari Minggu. Meski demikian para orang betawi asli mengaku mengalami kesulitan untuk melestarikan budayanya karena Jakarta merupakan kota niaga yang besar dan sibuk dengan aktifitasnya sendiri, namun begitu mereka tetap optimis untuk melestarikan kebudayaan betawi, karena pada akhirnya budaya betawi juga merupakan salah satu budaya asli Indonesia, yang seharusnya kitapun ikut melestarikan keanekaragaman budaya kita sendiri jika kita tidak ingin kehilangan identitas kita sebagai orang Indonesia. 


No comments:

Post a Comment