Nama : Melissa Adelina
NIM : 11140110219
Kelas : B-1
Berbicara tentang kebudayaan
betawi tentu kita akan berpikir tentang Jakarta, ibu kota negara yang sarat
akan kemewahan dan segala hal yang menggiurkan. Benarkah bahwa kebudayaan
betawi sama dengan gambaran orang mengenai Jakarta yang selama ini
dipersepsikan orang-orang dewasa ini?
Ya,
kota Jakarta sendiri memang merupakan kampung orang betawi asli, tetapi kini
kebudayaan betawi itu sendiri kian laun telah memudar seiring dengan
perkembangan jaman dan teknologi, beruntung saya masih bisa menemukan kampung
betawi di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, konon keberadaan kampung betawi di
dalam kampungnya sendiri (baca : Jakarta) kini dapat dihitung dengan jari, para
pendatang yang berdatangan ingin mengadu nasib di Jakarta sedikit demi sedikit
telah menggeser keberadaan mereka, lalu bagaimana sebenarnya kebudayaan betawi
sendiri muncul untuk pertama kali, dan bagaimana usaha para orang-orang betawi
asli dalam melesarikan kebudayaannya di kampung sendiri?
Saya
mendatangi sebuah perkampungan betawi yang bernama “Setu Babakan”, kampung
betawi ini terletak di antara Jakarta Selatan dan Depok, dan merupakan salah
satu dari empat perkampungan betawi yang masih dilestarikan oleh pemerintah.
Disini saya dapat merasakan atmosfer kebudayaan betawi yang sangat kental dari
mulai suasananya sampai kepada ornamen dan atribut yang terdapat disana. Saya
juga dapat merasakan aneka tata boga dan kesenian asli betawi.
Pintu masuk perkampungan betawi "setu babakan" |
Kerak telor, merupakan salah satu makanan khas betawi. |
Suasana perkampungan betawi di Hari Minggu. |
Laksa betawi, juga merupakan salah satu makanan khas betawi. |
Danau yang membuat nama tempat ini "Setu Babakan", kita juga dapat bermain wahana air disini. |
Setu
Babakan, sebuah tempat yang ramah bagi siapapun yang ingin berkunjung kedalamnya,
kondisinya yang khas dengan segala hal yang berbau betawi, serta atmosfer
budaya betawi yang kental membuat tempat ini terasa mengesankan bagi para
pengunjung, tidak jarang tempat ini menjadi tempat yang banyak diminati para
pendatang yang ingin berdatang ke tempat ini. Disini selain kita dapat
menikmati kehidupan masyarakat betawi, kita juga dapat berekreasi sambil
bersantai. Setu sendiri artinya danau, ya tempat ini dikelilingi oleh danau,
sehingga wisata air juga tersedia disini, selain itu orang-orang yang berjualan
makanan khas betawi menambah lengkap daya tarik kampung ini, tidak heran jika
setiap hari sabtu dan minggu kita akan mendapati lautan manusia disini,
terutama para pengunjung yang ingin mengetahui kebudayaan betawi atau mungkin
pengunjung yang rindu akan kebudayaan betawi yang kini mulai memudar di tengah
kehidupan kota Jakarta.
Anak-anak yang sedang berlatih tari yapong. |
Kegiatan melenong, sebagai salah satu upaya melestarikan kebudayaan betawi. |
Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak akan
pernah lepas dengan peradaban dan sejarahnya sendiri, saya yakin setiap
kebudayaan tentu memiliki cerita dan sejarahnya sendiri, begitupun dengan
kebudayaan betawi ini. Rasa penasaran saya ketika sampai ke kampung betawi
akhirnya membawa saya untuk bertantanya-tanya sambil berbincang dengan seorang
bapak yang bernama Bang Indra, beliau merupakan salah satu orang betawi asli
yang bekerja di perkampungan betawi ini sebagai salah satu pengurus, beliau
banyak sekali bercerita tentang kebudayaan betawi, mulai dari sejarah,
pembauran, busana, tata boga, sampai
kepada adat yang terdapat di kebudayaan betawi sendiri, semuanya diceritakan
oleh Bang Indra.
Orang
betawi awalnya berasal dari melayu, pada tahun 1619 saat John Peter Zoen Coon
masuk ke Indonesia, terjadilah akulturasi atau percampuran budaya, percampuran
dan adopsi budaya ini tidak hanya diambil dari budaya luar, tetapi juga dari
dalam Indonesia, seperti contohnya dari Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan Makassar.
Sementara dari luar Indonesia terjadi adopsi budaya dari Belanda, Portugis,
Arab, dan China, yang pada akhirnya adopsi budaya ini berpengaruh di tata boga,
tata graha, musik, silat, adat, dan pakaian masyarakat betawi sampai saat ini.
Misalnya dalam tata graha, rumah kabaya diadopsi dari Sunda, sementara rumah
joglo diadopsi dari Jawa. Lalu kesenian musik orang betawi, rebana diadopsi
dari arab, gambang kromong diadopsi dari Jawa, dan tanjidor diadopsi dari
Eropa. Sementara tradisi silat atau yang biasa disebut bekshi diadopsi dari
kebudayaan China (bek : bertahan ; shi : empat penjuru).
Berbicara
tentang pakaian, Bang Indra menjelaskan bahwa memang tidak dipungkiri pakaian
adat betawi merupakan adopsi dari beberapa negara, sebut saja Arab dan China.
Pakaian adat pengantin betawi sendiri misalnya, pakaian sadariah prianya
diadopsi dari busana arab, sementara pakaian wanitanya diadopsi dari busana
China, namun ketika mereka bersanding di pelaminan maka jadilah busana betawi.
Tidak hanya pakaian pengantinnya tetapi juga pakaian keseharian masyarakat
betawi, dalam pakaian adat betawi, terdapat makna dan arti tersendiri. Kita
mulai dari pakaian adat pria, diamana biasanya mereka mengenakan peci berwarna
hitam polos dengan ketinggian antara 8-12cm, peci ini sudah menunjukkan dari
betawi, karena kata Bang Indra, peci betawi sarat dengan hitam polos dan tidak
bermotif dengan ketinggian 8-12cm. kemudian jas yang dikenakan biasa disebut
“jas demang” atau “jas tutup hidung serong”, jas ini memiliki simbol
kewibawahan atau biasanya yang mengenakan jas ini adalah orang kaya. Terdapat
rantai kuku macan yang dikenakan bersama dengan jas ini, rantai kuku macan ini
memiliki arti kekuatan, artinya orang betawi harus memiliki kekuatan dan
kewibawahan, kain yang dikenakan bernama kain motif tumbak, tumbak artinya
tajam, hal ini mengisyaratkan bahwa orang betawi harus memiliki mata yang tajam
dalam melihat kehidupan, selain motif tumbak, ada juga motif tutup rebung,
motif ini berarti menjadi tunas, orang betawi harus menjadi tunas dalam
menyongsong kehidupan.
Cara melipat kainnya juga
memiliki arti khusus, dalam mengenakan pakaian adat pria, kain yang dikenakan
harus dilipat dari kiri ke kanan, hal ini mengartikan bahwa kejahatan harus
ditutup dengan kebaikan, sementara kancing jas yang terdapat dalam jas demang
tersebut biasanya berjumlah antara 5-6 kancing yang menandakan rukun sholat,
artinya orang betawi harus selalu ingat kepada agama.
Untuk pakaian wanitanya, baju
yang dikenakan disebut “kebaya encim” atau bisa disebut juga “kebaya keroncong”
yang memiliki motif bordiran bolong-bolong. Konde yang dikenakan diatas kepala
wanita terdapat burung Hong, burung Hong ini sebenarnya adalah burung khayalan
yang diadopsi dari negara China, menyimbolkan keberuntungan.
Sampai
disini bertambahlah pengetahuan saya tentang arti dari pakaian adat orang
betawi, di dalam mempelajari komunikasi antar budaya, arti pada pakaian ini
masuk dalam komunikasi non verbal atau komunikasi yang disampaikan tidak
menggukanan bahasa verbal tetapi melalui penampilan, gerakan, ekspresi wajah,
kontak mata, sentuhan, dan parabahasa. Rasa penasaran saya akhirnya membawa
saya untuk bertanya lebih jauh kepada Bang Indra, tentu dalam setiap kebudayaan
kita tidak akan terlepas dari adat istiadat dan tradisi, dan tentunya setiap
adat dan tradisi itu juga memiliki arti dan simbol-simbol khusus, akhirnya rasa
penasaran saya itu saya utarakan kepada Bang Indra, saya ingin tahu apa saja
dan arti apa saja yang terdapat pada adat dan tradisi orang betawi.
Dalam
kebudayaan betawi, adat yang paling dilestarikan adalah seserahan (yang
dilakukan sebelum pernikahan, atau bisa juga disebut acara lamaran), dan acara
tujuh bulanan (dimana dalam acara tujuh bulanan hanya merupakan syarat
keagamaan, dalam hal ini agama islam). Bang Indra memulai jawabannya dari adat
seserahan atau dalam kebudayaan betawi bisa disebut juga dengan
kenang-kenangan. Dalam iring-iringan seserahan biasanya ada yang bermain silat,
hal ini menandakan bahwa calon pengantin pria sudah siap untuk melindungi
keluarga secara lahir dan batin, dan biasanya para jawara tersebut akan membawa
umbul-umbul kembang kelapa, kelapa diartikan sebagai buah yang bermanfaat,
karena setiap bagian dari kelapa dapat digunakan, mulai dari pohon, buah,
bahkan buah kelapa yang sudah tua dapat menjadi tunas baru, sementara itu orang
betawi percaya bahwa sumber air tertinggi yang diciptakan Tuhan ada di pohon
kelapa, pohon kelapa juga bersifat fleksibel (dapat hidup dimanapun, di dataran
rendah, dataran tinggi, pantai, maupun gunung), sehingga dengan membawa
umbul-umbul kembang kelapa, dapat mengisyaratkan bahwa keluarga yang nantinya
akan terbentuk harus bermanfaat dan berguna bagi masyarakat sekitar. Dalam
nampan seserahan terdapat roti buaya, yang berarti bahwa kedua calon pengantin
harus setia sampai akhir hayat, karena buaya sendiri merupakan hewan yang hanya
hidup dengan satu pasangan atau setia, sehingga dengan membawa simbol roti
buaya ini diharapkan kedua calon pengantin hidupnya setia, panjang umur, sabar,
selalu bekerjasama, dan kuat. Terdapat juga miniatur masjid, yang menyimbolkan
bahwa kedua calon pengantin nantinya harus selalu ingat terhadap agama.
Biasanya dalam beberapa kasus,
Bang Indra bercerita bahwa ada seserahan yang “sedikit berbeda”, maksudnya
tidak setiap mempelai yang akan menikah membawa seserahan ini, kita ambil
contoh seperti miniatur sumur, sebenarnya seserahan semacam ini memiliki arti
tersendiri dari si calon mempelai wanita, konon ceritanya jika membawa miniatur
sumur, mempelai wanita waktu masih kecilnya itu cengeng atau suka sekali
menangis sehingga terkadang untuk membuat anaknya berhenti menangis, orang tua
dari si mempelai wanita akan mengeluarkan janji, seperti akan memberikan
kerupuk satu kaleng saat anaknya menikah atau janji apapun, bisa juga berjanji
membelikan pakaian gaun, sepatu, atau perhiasan, sehingga saat acara lamaran
yang membayar janji ini adalah pihak dari mempelai pria, maka tidak heran jika
seserahan yang dibawa biasanya ada sedikit berbeda dari biasanya. Dalam
seserahan gotong-gotongan, biasanya terdapat sayur-sayuran, roti, pisang raja,
daun sirih, dan bunga mawar yang mekarnya kedepan, semua gotong-gotongan ini
juga memiliki arti sendiri-sendiri loh… sayur dan roti menandakan bahwa calon
mempelai pria sudah siap mencukupi kebutuhan pokok keluarga, pisang raja
menandakan bahwa calon mempelai pria sudah siap memberikan yang paling
istimewah untuk keluarganya kelak karena pisang raja bagi masyarakat betawi
merupakan pisang yang paling istimewah dari pisang-pisang lainnya. Daun sirih
menandakan agar keluarga ini senantiasa sehat, karena daun sirih identik dengan
kebersihan, tertutama bagi calon mempelai wanita nantinya, daun sirih ini
biasanya dilipat menjadi enam bagian, menandakan rukun iman, dan di dalam daun
sirih tersebut biasanya di selipkan uang dengan pecahan terbesar, biasanya uang
seratus ribu, karena pecahan terbesar dari mata uang rupiah adalah seratus
ribu, sehingga ini mengartikan bahwa calon mempelai pria sudah siap bekerja
keras untuk menghasilkan uang yang banyak bagi keberlangsungan kehidupan
keluarganya kelak. Yang terakhir adalah bunga mawar yang arah mekarnya keluar,
mengartikan bahwa apapun masalah yang terjadi didalam keluarga nantinya harus
terdengar yang baik-baik, yang manis-manis dari mulut tetangga, jangan sampai
ada berita-berita yang buruk terus yang terdengar di telinga tetangga, sehingga
mekarnya harus keluar, tidak boleh ke dalam. Begitulah arti seserahan adat
orang betawi yang diceritakan Bang Indra, tentu jika kalian pernah melihat
prosesi adat betawi ini yang terlintas di kepala kalian adalah petasan bukan?
Ya! Tepat! Tradisi seserahan ini juga tidak terlepas dari petasan, tapi
sesungguhnya petasan itu tidak memiliki arti apa-apa disini, karena petasan
tersebut dahulu hanya digunakan sebagai tanda bahwa calon mempelai dari pihak
pria sudah datang, karena pada jaman dahulu tidak ada alat komunikasi yang
canggih seperti telepon saat ini.
Rumah
adat betawi sendiri juga memiliki filosofi, seperti yang sudah saya katakana
tadi bahwa rumah adat betawi diadopsi dari Sunda dan Jawa, sebut saja seperti
rumah kabaya dan joglo. Sebanarnya menurut Bang Indra rumah adat ini tidak ada
arti khusus, kecuali ornament yang terdapat pada rumah tersebut. Rumah adat
betawi hanya tergantung pada luas tanah rumah tersebut, jika berbentuk segi
empat, biasanya akan menggunakan rumah model joglo, sementara jika berbentuk
persegi panjang biasanya menggunakan rumah model gudang atau boplo. Ornament
–ornament yang terdapat di rumah adat betawi biasanya berupa bunga cempaka,
belalang kecil yang sedang menggigit kayu, bunga matahari, dan bunga melati.
Bunga cempaka di setiap rumah mengartikan bahwa pemilik rumah harus selalu
harum seperti bunga cempaka, maksudnya kehidupan keluarga pemilik rumah yang
selalu harmonis akan membuat omongan yang dikeluarkan setiap tetangga harum
atau selalu dibicarakan yang baik-baik, bunga cempaka ini juga menandakan
kewibawahan para penghuni rumah. Belalang kecil menggigit kayu mengartikan
bahwa para penghuni rumah harus selalu giat, tekun, rajin, dan sabar, karena
belalang hanya bisa mematahkan kayu jika dikerjakan secara terus menerus dan
biasanya dalam tempo waktu yang dapat dikategorikan lama. Bunga matahari
mengartikan bahwa kehidupan para pemilik rumah harus menjadi inspirasi bagi
masyarakat sekitar, karena matahari dilambangkan sebagai sumber kehidupan dan
terang, sementara terang matahari disini diartikan bahwa para pemilik rumah
harus selalu memiliki pemikiran yang terang. Yang terakhir adalah bunga melati,
sama halnya dengan bunga cempaka, bahwa kehidupan para pemilik rumah haruslah
selalu wangi dan harmonis, namun bedanya bunga melati biasanya diartikan
masyarakat betawi sebagai lambang keramahan terhadap siapapun, tidak heran jika
masyarakat betawi selalu terbuka bagi siapapun yang ingin bertamu ke
kampungnya, ya seperti Jakarta ini, kota yang selalu terbuka bagi siapapun
pendatang yang ingin tinggal di dalamnya. Biasanya di setiap rumah juga
terdapat list tajam yang menjadi list di setiap rumah mengartikan bahwa
pandangan para penghuni rumah haruslah tajam atau lurus kedepan, sehingga lebih
bijak dalam menyikapi kehidupan. Bang Indra berkata ada beberapa rumah yang
menggunakan dua tiang secara sejajar, biasanya ini diartikan bagi para penghuni
rumah sebagai lambang keseimbangan, karena Tuhan menciptakan segala sesuatunya
secara berpasang-pasangan.
Rumah adat betawi. |
Jika
kita berbicara tentang budaya satu hal yang tidak dapat terpisahkan dari budaya
itu sendiri adalah dialek atau bahasa. Kalian mungkin akan berkata bahwa bahasa
betawi itu mudah, tinggal setiap ejaan A dibaca menjadi E saja, namun pada
kenyataannya, Bang Indra bercerita bahwa dialek orang betawi tidak seperti yang
selama ini di persepsikan orang-orang, selama ini orang bilang bahwa Jakarta
dalam bahasa betawi adalah Jakarte, tapi sebenarnya ini hanya pelesetan dari
sebuah persepsi yang keliru, seharusnya kita tidak bisa mengubah setiap ejaan A
menjadi E dalam kasus penyebutan nama orang, nama tempat, dan nama kota. Terkadang
kita juga berpikir bahwa orang betawi terkesan “kasar” dalam berbahasa,
sebenernya kata Bang Indra bahasa betawi tergantung dari asal tempat
tinggalnya, orang betawi pada jaman itu terbagi atas tiga wilayah, yakni
wilayah pesisir, tengah, dan pinggir, biasanya orang betawi yang berbicara agak
tinggi berasal dari wilayah pinggir, karena jarak rumah mereka yang berjauhan
memungkinkan mereka menggunakan aksen bahasa yang agak tinggi. Bahasa betawi
juga tergantung pada penggunaan katanya, yang agak halus biasa menggunakan kata
aye atau dalam bahasa Indonesia saya, tapi penggunaan bahasa yang agak kasar
biasanya loe atau gue, penggunaannya hanya berdasarkan etika dari lingkungan
tempat orang tersebut tinggal. Hemm sebenarnya saya agak penasaran mengapa
bahasa betawi ini memiliki perbedaan, namun secara cepat Bang Indra menjawab
bahwa bahasa betawi sendiri sebenarnya juga mengalami pembauran dari China dan
Arab, orang China jaman itu menyebut kata saya dan kamu dengan kata you – ngue
yang akhirnya diadopsi kedalam bahasa betawi menjadi loe – gue, sementara orang
Arab menyebut kata saya dan kamu dengan kata ana – anta, yang akhirnya diadopsi
kedalam bahasa betawi menjadi ane – ente. Kenapa pada akhirnya kita salah
mempersepsikan orang betawi dengan budaya yang masuk kategori kasar dalam
berbahasa, itu karena steriotip masyarakat dewasa ini yang salah
mengartikannya, “orang jika dicap jelek terus maka anak menjadi jelek terus
dimata orang, kalo dicap yang baik terus akan menjadi baik.” Demikian kata Bang
Indra. Jadi terjawab sudah steriotip kita mengenai orang betawi, bahwa tidak
semua orang betawi kasar dalam berbahasa. Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan
bahwa orang betawi sebenarnya ramah terhadap kebudayaan lain, terlihat dari
banyaknya adopsi budaya yang bercampur dengan budaya betawi sendiri, serta
keberadaan kota Jakarta yang banyak disinggahi para pendatang, menjadi bukti
bahwa orang betawi sebenarnya ramah dan selalu “welcome” dengan siapapun yang
datang.
Tentu
dengan banyaknya pendatang di kota Jakarta, lambat laun kebudayaan betawi akan
bergeser dengan segala hiruk pikuk dan kesibukan kota Jakarta itu sendiri,
sehingga usaha yang dilakukan para orang betawi asli adalah membuat kampung di
dalam kampungnya sendiri, contohnya seperti keberadaan kampung Setu Babakan
ini, di setiap Hari Rabu misalnya kita dapat melihat anak-anak kecil berlatih
tari jaipong, ini merupakan salah satu usaha para pelakon kesenian betawi untuk
melestarikan budayanya sendiri, begitu juga di Hari Minggu, kita dapat
menikmati beberapa kesenian khas betawi seperti gambang kromong, melenong, tari
topeng, serta rebana biang, semuanya dipentaskan di kampung ini pada Hari Minggu.
Meski demikian para orang betawi asli mengaku mengalami kesulitan untuk
melestarikan budayanya karena Jakarta merupakan kota niaga yang besar dan sibuk
dengan aktifitasnya sendiri, namun begitu mereka tetap optimis untuk
melestarikan kebudayaan betawi, karena pada akhirnya budaya betawi juga
merupakan salah satu budaya asli Indonesia, yang seharusnya kitapun ikut
melestarikan keanekaragaman budaya kita sendiri jika kita tidak ingin
kehilangan identitas kita sebagai orang Indonesia.
No comments:
Post a Comment