Nama : Cinthya Tania
NIM : 11140110036
Kelas : B1
NIM : 11140110036
Kelas : B1
Budaya Betawi merupakan sebuah budaya yang sangat
identik dengan ibu kota Jakarta. Dengan segala ciri khas yang diwarisi budaya
ini, baik gaya bahasa yang unik, cara berbicara yang ceplas-ceplos, hingga ke
warisan budaya berupa kesenian, makanan khas, pakaian daerah yang sering
dijumpai baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kontes Abang-None, beserta
hal-hal lainnya membuat budaya Betawi sebenarnya cukup mencolok dan menarik
perhatian. Namun, di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat yang diiringi
dengan masuknya nilai-nilai modernitas ke tengah-tengah kehidupan masyarakat
membuat budaya tradisional, termasuk budaya Betawi, mulai kehilangan perhatian
dari benak dan hati masyarakat banyak yang bukan masyarakat asli Betawi itu
sendiri.
Sangat disayangkan sekali bukan, kalau kita sendiri
yang menjadi bagian dari keseharian kota Jakarta ikut melupakan salah satu
budaya tradisional yang berkembang di kota metropolitan ini. Maka dari itu saya
pribadi yang merasa sebagai bagian dari warga kota Jakarta merasa tertarik
untuk mempelajari lebih banyak dan lebih mendalam lagi tentang budaya Betawi. Menurut
saya, tidak perlu jauh-jauh untuk mempelajari budaya, kalau budaya yang ada dan
berkembang di sekitar kita saja belum kita pahami dengan baik. Maka dari itu
untuk memenuhi rasa ketertarikan saya, saya memilih untuk berlabuh di
Perkampungan Budaya Betawi di kawasan Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan, merupakan salah satu tempat di Jakarta yang masih melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi. Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, ini terbuka untuk umum sehingga siapa saja boleh berkunjung ke sana dan ikut belajar tentang budaya Betawi. Ternyata, Perkampungan Budaya Betawi ini sudah ada sejak dua belas tahun yang lalu sejak diresmikan pada Januari 2001.
Sedikit cerita, menurut Ibu Irma, salah satu pengurus Perkampungan Budaya Betawi, Kampung Betawi ini asal mulanya dicetuskan berdasarkan ide dari para tokoh masyarakat dan seniman Betawi. Para pemerhati budaya Betawi tersebut bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi agar budaya Betawi tidak memudar begitu saja. Kemudian ide para pencetus tersebut diusulkan kepada Bamus Betawi, baru kemudian diproses untuk diajukan ke Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Ibu Irma pula, awalnya terdapat sekitar tiga kawasan yang dijadikan opsi untuk mendirikan Perkampungan Budaya Betawi ini, namun pada akhirnya, kawasan yang paling tepat dan memungkinkan untuk dibangun Perkampungan Betawi adalah di kawasan Srengseng Sawah, yang sekarang benar-benar menjadi tempat Perkampungan Budaya Betawi. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan kawasan Srengseng Sawah inilah yang ternyata masih dihuni oleh masyarakat Betawi yang nilai-nilai budayanya masih kental. Sampai sekarang, komunitas di Perkampungan Budaya Betawi ini masih terus menumbuhkembangkan seluruh gagasan dan hasil karya budaya Betawi yang meliputi kesenian, sastra, adat istiadat, pakaian, serta makanan dan minuman khas Betawi.
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan, merupakan salah satu tempat di Jakarta yang masih melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi. Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, ini terbuka untuk umum sehingga siapa saja boleh berkunjung ke sana dan ikut belajar tentang budaya Betawi. Ternyata, Perkampungan Budaya Betawi ini sudah ada sejak dua belas tahun yang lalu sejak diresmikan pada Januari 2001.
Sedikit cerita, menurut Ibu Irma, salah satu pengurus Perkampungan Budaya Betawi, Kampung Betawi ini asal mulanya dicetuskan berdasarkan ide dari para tokoh masyarakat dan seniman Betawi. Para pemerhati budaya Betawi tersebut bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi agar budaya Betawi tidak memudar begitu saja. Kemudian ide para pencetus tersebut diusulkan kepada Bamus Betawi, baru kemudian diproses untuk diajukan ke Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Ibu Irma pula, awalnya terdapat sekitar tiga kawasan yang dijadikan opsi untuk mendirikan Perkampungan Budaya Betawi ini, namun pada akhirnya, kawasan yang paling tepat dan memungkinkan untuk dibangun Perkampungan Betawi adalah di kawasan Srengseng Sawah, yang sekarang benar-benar menjadi tempat Perkampungan Budaya Betawi. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan kawasan Srengseng Sawah inilah yang ternyata masih dihuni oleh masyarakat Betawi yang nilai-nilai budayanya masih kental. Sampai sekarang, komunitas di Perkampungan Budaya Betawi ini masih terus menumbuhkembangkan seluruh gagasan dan hasil karya budaya Betawi yang meliputi kesenian, sastra, adat istiadat, pakaian, serta makanan dan minuman khas Betawi.
Perjalanan menuju Kampung Betawi cukup menguji
kesabaran karena hari itu merupakan hari pertama saya pergi ke sana sehingga
saya sama sekali tidak tahu arah jalan yang harus ditempuh untuk bisa sampai di
Kampung Betawi. Namun, tentu saja hal itu tidak menjadi persoalan karena saya
bertanya pada orang-orang di sepanjang perjalanan hari itu. Ibarat pepatah,
malu bertanya sesat dijalan, maka saya tidak ingin malu-malu bertanya agar
tidak tersesat mencapai tujuan. Akhirnya setelah kurang lebih dua jam
perjalanan, saya sampai di tempat yang saya tunggu-tunggu tersebut.
Perkampungan Budaya Betawi, here I start!
Saat menyusuri jalan untuk menuju ke Setu Babakan,
saya menjumpai berbagai rumah penduduk di kiri dan kanan saya. Gang-gang kecil
yang pas untuk ukuran satu mobil tersebut cukup ramai dengan penduduk sekitar
Kampung Betawi yang sudah memulai aktivitas mereka. Mulai dari anak kecil
bermain sepeda, ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling, hingga
bapak-bapak yang sedang berdiri di teras rumah mereka adalah “pemandangan”
alami yang hampir selalu saya temui di sepanjang jalan. Saya juga sempat
melihat beberapa rumah penduduk yang bertuliskan “SOTO KHAS BETAWI” atau
“RUMAH BUSANA BETAWI”, yang sebenarnya menandakan bahwa
penduduk sekitar ternyata membuka usaha sesuai dengan budaya Betawi, baik
makanan khas, maupun pakaian pengantin khas Betawi.
Saya menyusuri lebih jauh lagi jalanan menuju
Kampung Betawi hingga saya benar-benar sampai di Perkampungan Budaya Betawi,
Setu Babakan yang dimaksud. Pertama kali sampai di Kampung Betawi, saya
langsung disuguhkan dengan pemandangan indah danau atau yang biasa disebut
setu, yang terhampar luas dilengkapi dengan pantulan cahaya matahari pagi. Tidak
salah lagi setu yang saya lihat adalah Setu Babakan yang menjadi salah satu
ciri khas Kampung Betawi. Di awal perjalanan saya, saya sudah menemui sebuah
perahu naga yang terletak di tengah-tengah setu, dan pastinya sangat menarik
perhatian saya. Ternyata, perahu naga tersebut dapat digunakan untuk
mengelilingi setu sambil melihat-lihat pemandangan. Cukup menarik untuk dicoba
di pagi hari yang sejuk di awal perjalanan saya tersebut. Saya melanjutkan
perjalanan saya yang masih terlalu dini tersebut untuk menggali lebih dalam
mengenai Perkampungan Budaya Betawi ini.
Di pagi hari itu memasuki pintu masuk kawasan
Kampung Betawi, Setu Babakan, saya menjumpai berbagai gerobak makanan dan
minuman di sepanjang jalan. Makanan minuman yang dijual tentu beragam, mulai
dari yang ciri khas Betawi, seperti kerak telor, toge goreng, laksa, ketoprak
sampai ke penjual mie ayam pun berjejer di sana. Sementara minuman yang paling
khas yang saya temui adalah bir pletok. Saya tertarik sekali ingin mengetahui
minuman seperti apa yang dimaksud dengan bir pletok tersebut. Nah, kalau kita
berpikir bahwa bir pletok adalah sejenis minuman beralkohol yang dapat
menghasilkan efek memabukkan, ternyata kita salah besar. Ternyata, bir pletok
ini dibuat dari bahan-bahan yang alami dan tentunya tidak mengandung alkohol
layaknya minuman keras pada umumnya. Bir pletok terbuat dari campuran beberapa
bahan-bahan alami seperti jahe, cengkeh, daun pandan, secang, batang sereh,
gula, garam, dan lain sebagainya. Karena kealamian bahan-bahan yang menjadi
kandungannya tentu saja bir pletok aman untuk dikonsumsi dan justru sangat baik
untuk kesehatan.
Beranjak dari kuliner khas Betawi, saya kembali
ingin menjelajahi Perkampungan Budaya Betawi yang sekarang luasnya sudah mencapai
289 hektar ini. Perhatiannya saya tertuju pada beberapa rumah yang berada di
dalam Perkampungan Budaya Betawi tersebut. Jika diamati rumah ini sebenarnya
mirip-mirip dengan rumah warga Betawi yang dulu pernah saya lihat di film “Si
Doel”. Tipe bangunan rumahnya tidak terlalu tinggi, cenderung terlihat lebar,
dan tentunya dengan teras di depan rumah yang agak besar yang dilengkapi dengan
meja dan kursi kecil untuk menerima tamu atau duduk-duduk santai. Ciri-ciri
rumah yang seperti itulah yang membuat saya mengidentikkan rumah-rumah di
Kampung Betawi ini dengan rumah yang ada di film “Si Doel”.
Ternyata, rumah-rumah tersebut memang merupakan
rumah adat yang disewakan untuk menunjang salah satu fasilitas home stay yang disediakan di
Perkampungan Budaya Betawi ini. Terdapat
sebanyak 67 rumah adat yang dijadikan fasilitas home stay bagi para pengunjung yang datang dan ingin berada di sana
untuk waktu yang cukup lama (untuk keperluan rekreasi, penelitian, pendidikan,
maupun pelatihan kesenian). Menurut saya, fasilitas home stay ini sebenarnya sangat efektif dan sangat membantu para
pengunjung yang ingin tinggal dan menikmati suasana Kampung Betawi untuk
beberapa waktu. Ditambah lagi, Perkampungan Budaya Betawi ini sekarang telah
sekaligus menjadi salah satu kawasan wisata budaya yang terbuka untuk umum yang
artinya dapat dikunjungi oleh siapa saja. Tidak hanya wisatawan lokal yang
boleh datang ke sini tetapi wisatawan asing pun boleh ikut datang untuk
mengenal lebih banyak lagi mengenai budaya Betawi. Tinggal “sementara waktu” di
Kampung Betawi tentu dapat membantu para pengunjung untuk lebih bisa merasakan
bagaimana keramahtamahan berinteraksi dengan penduduk sekitar dan juga
menjalankan aktivitas tradisional di Kampung Betawi.
Selanjutnya, saya menuju ke alun-alun Kampung
Betawi. Di pintu pagar tercantum jadwal pertunjukkan kesenian di Kampung Betawi
hari itu. Setiap akhir minggu, di pagi hari, tempat ini atau yang biasa disebut
alun-alun selalu dijadikan tempat berlatih berbagai kesenian tradisional khas
Betawi. Latihan tersebut diadakan bergilir setiap minggunya sesuai dengan
jadwal yang ada. Sementara itu, khusus pada hari Sabtu dan Minggu, pada siang
harinya, di alun-alun akan diadakan pertunjukkan kesenian khas Betawi.
Ada banyak sekali seni musik dan tari yang
ditampilkan oleh masyarakat sekitar Kampung Betawi setiap minggunya. Sebut saja
marawis, rebana biang, gambang kromong, lenong betawi, dan topeng betawi.
Beberapa seni musik dan seni tari yang telah disebutkan tadi secara bergantian
akan ditampilkan di Perkampungan Budaya Betawi. Yang istimewa adalah
pertunjukkan seni musik dan tari tersebut tidak hanya dibawakan oleh
orang-orang yang sudah dewasa, tetapi juga dibawakan oleh para generasi muda,
dan tentunya adik-adik kecil yang tinggal di sekitar kawasan Kampung Betawi.
Sungguh indah dan menakjubkan sekali ketika kita dapat melihat generasi muda
dan anak-anak kecil turut berupaya untuk melestarikan budaya asli mereka dan
merasa bangga akan budaya yang mereka miliki.
Jika sudah menyinggung mengenai kuliner, rumah adat,
dan kesenian khas Betawi, belum lengkap rasanya kalau saya belum mengenal lebih
dalam lagi tentang orang-orang yang ada di Kampung Betawi ini. Sebuah kawasan
budaya tentu tidak dapat bertahan lama dan eksis sampai sekarang kalau tidak
ada orang-orang yang tinggal dan menghidupi budayanya, bukan?
Seperti yang tertulis dalam buku Communication Between Cultures, karya Larry A. Samovar, Richard E.
Porter, dan Edwin R. McDaniel, menurut Braswell : “Masyarakat beragama tidak
lagi saling berjauhan. Penganut agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen
merupakan populasi dengan tingkat mobilitas yang tinggi yang telah melintasi
batas geografis dan budaya untuk bertemu dan hidup bersama.”
Masyarakat di Kampung Betawi ini sebenarnya terdiri
dari berbagai agama. Meski mayoritas beragama Islam, namun tidak menutup
kemungkinan buat masyarakat lain yang beragama non Muslim untuk tinggal dan
hidup bersama di wilayah Kampung Betawi. Terbukti, meski mayoritas yang tinggal
adalah yang beragama Islam, namun di Kampung Betawi juga terdapat
penduduk-penduduk yang beragama Kristen, Katolik. Lalu apakah mereka hidup di
tengah konflik? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Masyarakat Kampung Betawi
yang meskipun memeluk kepercayaan yang berbeda-beda namun ternyata dapat hidup
berdampingan dengan rukun dan damai. Hal yang membuat saya semakin takjub
adalah ketika saya mengetahui salah satu “tradisi” warga Kampung Betawi yang
menunjukkan sifat toleransi dan keterbukaan mereka yang tinggi adalah ketika
memperingati hari besar, antar umat beragama ini saling bertoleransi dengan
berkunjung satu sama lain. Saat masyarakat yang beragama Muslim merayakan hari
Lebaran, warga masyarkat lain yang non Muslim akan berkunjung dan
bersilaturahmi. Demikian sebaliknya, saat masyarakat yang non Muslim merayakan
hari besar mereka, masyarakat Muslim secara bergantian akan “berkeliling”
mengunjungi rumah tetangganya untuk bersilaturahmi. Di sinilah perbedaan
terlihat menjadi lebih indah.
Tidak hanya beragam kepercayaannya, ternyata
masyarakat di Kampung Betawi pun kini juga sudah bercampur. Mereka berasal dari
berbagai daerah yang berbeda-beda. Mungkin kalau mendengar dari namanya saja
yang disebut dengan Kampung Betawi, kita pasti akan langsung berpikir bahwa
pasti masyarakatnya adalah masyarakat asli Betawi. Namun kenyataannya tidak
demikian. Di Kampung Betawi, penduduknya tidak hanya berasal dari Betawi lokal
atau Betawi asli namun ada juga masyarakat dari suku-suku lain, seperti Jawa,
Aceh, Papua, dan lain sebagainya. Namun tetap, namanya saja Kampung Betawi,
sudah pasti yang mayoritas adalah penduduk asli Betawinya. Tapi kembali saya
tinjau lagi bahwa tidak ada dampak negatif yang muncul dari sini karena sejauh
ini tidak ada konflik “besar” antarsuku atau budaya yang terjadi di Kampung
Betawi. Kalaupun ada konflik yang kecil-kecilan, itu semua masih dapat
diselesaikan secara kekeluargaan dan baik-baik. Wajarlah kalau konflik
kecil-kecilan seperti sedikit berbeda pendapat misalnya. Antar saudara kandung
sendiri saja masih bisa bertengkar, apalagi yang berbeda budayanya kan. Jadi
wajar saja kalau ada konflik kecil-kecilan antar masyarakat yang berbeda budaya
ini, asalkan bisa diselesaikan dengan baik. Namun, jangan khawatir, selama ini masyarakat
di sini mampu membuktikan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis,
kok. Meskipun mereka berada di tengah-tengah perbedaan. Kembali lagi, perbedaan
terlihat menjadi lebih indah kalau manusia-manusianya dapat menghargai
perbedaan.
Dalam buku
Communication Between Cultures, karya Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan
Edwin R. McDaniel, pada dasarnya bahasa merupakan sejumlah simbol atau tanda
yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa masyarakat
Betawi selalu identik dengan logat ‘e nya saat sedang berbicara. Susah-susah-gampang
memang ketika kita mencoba mempelajari Bahasa Betawi. Orang Betawi selalu
menyebut kata “iya” menjadi “iye” , “udah” menjadi “udeh” dan lain sebagainya.
Namun bukan berarti semua kata dengan huruf ‘a dapat kita ganti menjadi ‘e
dengan seenaknya. Seperti kata “silat” misalnya, tidak berarti menjadi “silet”
karena justru akan menjadi berubah maknanya. Namun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Kampung Betawi, bahasa yang berkembang atau yang umumnya digunakan dalam
percakapan sehari-hari justru sudah berganti menjadi Bahasa Indonesia.
Masyarakat di Kampung Betawi cenderung sudah meninggalkan penggunaan istilah ‘e
saat mereka berbicara. Di Kampung Betawi ini, kebanyakan orang-orangnya sudah
berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang umum, sama seperti dengan apa yang
kita ucapkan sehari-hari. Meski ada beberapa orang yang masih berbicara dengan
istilah “e tersebut namun jumlahnya sudah tidak banyak dan sangat terbatas di
Kampung Betawi ini.
Menurut Bapak Abdul Khorim, salah satu mantan
pengurus kawasan Perkampungan Budaya Betawi ini, salah satu dampak dari
berbaurnya masyarakat Betawi dengan masyarakat non Betawi adalah nilai-nilai
Betawi yang ada menjadi mengalami kemunduran, salah satunya dari segi bahasa.
Logat asli Betawi yang semakin jarang digunakan dinilai sebagai salah satu
kemunduran nilai-nilai Betawi.
Sebenarnya, mengalami kemunduran tidak berarti jadi
hilang sepenuhnya, karena bukan berarti logat Betawi hilang begitu saja, hanya
saja di kawasan Kampung Betawi ini sudah jelas logat dan bahasa Betawi sudah
sangat jarang digunakan di tengah kehidupan sehari-hari. Namun, di daerah Betawi Tengah, logat dan bahasa
Betawi tersebut masih kental digunakan. Jadi dapat dikatakan sebenarnya masih
ada pelestarian dan perkembangan bahasa Betawi di daerah-daerah lainnya,
seperti Betawi Tengah.
Dari komunikasi verbal yaitu bahasa, saya beralih
kepada komunikasi non verbal dari budaya Betawi ini. Saya tertarik sekali untuk
mengamati tentang pakaian daerah khas Betawi. Saya sempat melihat komunitas
sepeda ontel yang ada di sana, dan beberapa diantaranya saat itu berpakaian ala
pakaian Betawi.
Dalam buku
Communication Between Cultures, karya Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan
Edwin R. McDaniel, komunikasi non verbal merupakan komunikasi yang meliputi
semua stimulus non verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik
oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan memiliki nilai pesan
yang potensial untuk menjadi sumber dan penerima.
Dikatakan pula
bahwa pakaian sebagai bentuk dari komunikasi non verbal, di samping berfungsi
sebagai pelindung, juga merupakan suatu bentuk komunikasi.
Pakaian sehari-hari laki-laki dalam budaya Betawi
biasanya menggunakan baju koko (sadariah). Baju sadariah ini biasanya berbentuk
sama dengan baju koko pada umumnya hanya saja dengan motif yang polos, disertai
dengan celana kain, kain pelekat yang diselempangkan di pundak atau di leher,
dan juga peci hitam berbahan beludru. Konon katanya, kain pelekat yang
diselempangkan di pundak para laki-laki ini
bisa digunakan untuk sholat atau bisa juga dijadikan senjata buat
“nyabet” kalau ada orang yang jahat.
Pakaian wanita dalam budaya Betawi biasanya
menggunakan kebaya none dan kebaya ncim, yang keduanya dilengkapi dengan
pemakaian kerudung. Kebaya-kebaya ini cenderung memiliki warna yang terang
(cerah), makna dari pemilihan warna cerah tersebut adalah untuk menggambarkan
keceriaan.
Perlu diketahui bahwa budaya Betawi sendiri
sebenarnya merupakan percampuran dari berbagai budaya seperti Arab, Cina, dan
Melayu. Maka dari itu, pakaian pernikahan adat Betawi mengadopsi nilai-nilai
dari budaya tersebut. Pakaian pengantin laki-laki disesuaikan dengan negara
Arab, sementara pakaian pengantin wanita disesuaikan dengan negara Cina.
Dari observasi saya ke Perkampungan Budaya Betawi,
saya belajar bahwa sebenarnya kebudayaan
asli, lokal, tradisional itu amatlah “kaya” dan begitu indah, sehingga sangat
patut untuk dilestarikan dan terus dikembangkan. Saya juga belajar bahwa
perbedaan budaya, suku, ras, dan agama seharusnya tidak menjadi persoalan untuk
dapat hidup bersama dan saling berdampingan. Budaya Betawi sendiri yang
ternyata lahir dari percampuran berbagai budaya, yaitu Arab, Cina, dan Melayu
menunjukkan bahwa budaya Betawi dan masyarakat Betawi mampu untuk hidup
harmonis di tengah-tengah perbedaan keyakinan, suku, bangsa. Pada akhirnya,
saya juga belajar untuk bisa merasakan bahwa sesungguhnya perbedaan itu indah
apabila kita mampu bersikap dewasa dan berpikiran terbuka dalam menyikapi
setiap perbedaan yang ada. Last but not
least, bagi saya, observasi saya ke Perkampungan Budaya Betawi ini
benar-benar menambah wawasan saya akan budaya lokal yang ada di sekitar saya,
dan pastinya, menjadi suatu kenangan dan pengalaman yang berharga dalam hidup
saya. Terima kasih, Perkampungan Budaya Betawi...
No comments:
Post a Comment