Pages

Thursday, January 10, 2013

Belajar Budaya di Kampung Betawi

Nama : Cinthya Tania
NIM : 11140110036
Kelas : B1

Budaya Betawi merupakan sebuah budaya yang sangat identik dengan ibu kota Jakarta. Dengan segala ciri khas yang diwarisi budaya ini, baik gaya bahasa yang unik, cara berbicara yang ceplas-ceplos, hingga ke warisan budaya berupa kesenian, makanan khas, pakaian daerah yang sering dijumpai baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kontes Abang-None, beserta hal-hal lainnya membuat budaya Betawi sebenarnya cukup mencolok dan menarik perhatian. Namun, di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat yang diiringi dengan masuknya nilai-nilai modernitas ke tengah-tengah kehidupan masyarakat membuat budaya tradisional, termasuk budaya Betawi, mulai kehilangan perhatian dari benak dan hati masyarakat banyak yang bukan masyarakat asli Betawi itu sendiri.

Sangat disayangkan sekali bukan, kalau kita sendiri yang menjadi bagian dari keseharian kota Jakarta ikut melupakan salah satu budaya tradisional yang berkembang di kota metropolitan ini. Maka dari itu saya pribadi yang merasa sebagai bagian dari warga kota Jakarta merasa tertarik untuk mempelajari lebih banyak dan lebih mendalam lagi tentang budaya Betawi. Menurut saya, tidak perlu jauh-jauh untuk mempelajari budaya, kalau budaya yang ada dan berkembang di sekitar kita saja belum kita pahami dengan baik. Maka dari itu untuk memenuhi rasa ketertarikan saya, saya memilih untuk berlabuh di Perkampungan Budaya Betawi di kawasan Kota Administrasi Jakarta Selatan. 

Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan, merupakan salah satu tempat di Jakarta yang masih melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi. Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, ini terbuka untuk umum sehingga siapa saja boleh berkunjung ke sana dan ikut belajar tentang budaya Betawi. Ternyata, Perkampungan Budaya Betawi ini sudah ada sejak dua belas tahun yang lalu sejak diresmikan pada Januari 2001. 

Sedikit cerita, menurut Ibu Irma, salah satu pengurus Perkampungan Budaya Betawi, Kampung Betawi ini asal mulanya dicetuskan berdasarkan ide dari para tokoh masyarakat dan seniman Betawi. Para pemerhati budaya Betawi tersebut bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi agar budaya Betawi tidak memudar begitu saja. Kemudian ide para pencetus tersebut diusulkan kepada Bamus Betawi, baru kemudian diproses untuk diajukan ke Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Ibu Irma pula, awalnya terdapat sekitar tiga kawasan yang dijadikan opsi untuk mendirikan Perkampungan Budaya Betawi ini, namun pada akhirnya, kawasan yang paling tepat dan memungkinkan untuk dibangun Perkampungan Betawi adalah di kawasan Srengseng Sawah, yang sekarang benar-benar menjadi tempat Perkampungan Budaya Betawi. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan kawasan Srengseng Sawah inilah yang ternyata masih dihuni oleh masyarakat Betawi yang nilai-nilai budayanya masih kental. Sampai sekarang, komunitas di Perkampungan Budaya Betawi ini masih terus menumbuhkembangkan seluruh gagasan dan hasil karya budaya Betawi yang meliputi kesenian, sastra, adat istiadat, pakaian, serta makanan dan minuman khas Betawi.

Perjalanan menuju Kampung Betawi cukup menguji kesabaran karena hari itu merupakan hari pertama saya pergi ke sana sehingga saya sama sekali tidak tahu arah jalan yang harus ditempuh untuk bisa sampai di Kampung Betawi. Namun, tentu saja hal itu tidak menjadi persoalan karena saya bertanya pada orang-orang di sepanjang perjalanan hari itu. Ibarat pepatah, malu bertanya sesat dijalan, maka saya tidak ingin malu-malu bertanya agar tidak tersesat mencapai tujuan. Akhirnya setelah kurang lebih dua jam perjalanan, saya sampai di tempat yang saya tunggu-tunggu tersebut. Perkampungan Budaya Betawi, here I start
 
Saat menyusuri jalan untuk menuju ke Setu Babakan, saya menjumpai berbagai rumah penduduk di kiri dan kanan saya. Gang-gang kecil yang pas untuk ukuran satu mobil tersebut cukup ramai dengan penduduk sekitar Kampung Betawi yang sudah memulai aktivitas mereka. Mulai dari anak kecil bermain sepeda, ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling, hingga bapak-bapak yang sedang berdiri di teras rumah mereka adalah “pemandangan” alami yang hampir selalu saya temui di sepanjang jalan. Saya juga sempat melihat beberapa rumah penduduk yang bertuliskan “SOTO KHAS BETAWI” atau “RUMAH BUSANA BETAWI”, yang sebenarnya menandakan bahwa penduduk sekitar ternyata membuka usaha sesuai dengan budaya Betawi, baik makanan khas, maupun pakaian pengantin khas Betawi. 

Saya menyusuri lebih jauh lagi jalanan menuju Kampung Betawi hingga saya benar-benar sampai di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan yang dimaksud. Pertama kali sampai di Kampung Betawi, saya langsung disuguhkan dengan pemandangan indah danau atau yang biasa disebut setu, yang terhampar luas dilengkapi dengan pantulan cahaya matahari pagi. Tidak salah lagi setu yang saya lihat adalah Setu Babakan yang menjadi salah satu ciri khas Kampung Betawi. Di awal perjalanan saya, saya sudah menemui sebuah perahu naga yang terletak di tengah-tengah setu, dan pastinya sangat menarik perhatian saya. Ternyata, perahu naga tersebut dapat digunakan untuk mengelilingi setu sambil melihat-lihat pemandangan. Cukup menarik untuk dicoba di pagi hari yang sejuk di awal perjalanan saya tersebut. Saya melanjutkan perjalanan saya yang masih terlalu dini tersebut untuk menggali lebih dalam mengenai Perkampungan Budaya Betawi ini. 



Di pagi hari itu memasuki pintu masuk kawasan Kampung Betawi, Setu Babakan, saya menjumpai berbagai gerobak makanan dan minuman di sepanjang jalan. Makanan minuman yang dijual tentu beragam, mulai dari yang ciri khas Betawi, seperti kerak telor, toge goreng, laksa, ketoprak sampai ke penjual mie ayam pun berjejer di sana. Sementara minuman yang paling khas yang saya temui adalah bir pletok. Saya tertarik sekali ingin mengetahui minuman seperti apa yang dimaksud dengan bir pletok tersebut. Nah, kalau kita berpikir bahwa bir pletok adalah sejenis minuman beralkohol yang dapat menghasilkan efek memabukkan, ternyata kita salah besar. Ternyata, bir pletok ini dibuat dari bahan-bahan yang alami dan tentunya tidak mengandung alkohol layaknya minuman keras pada umumnya. Bir pletok terbuat dari campuran beberapa bahan-bahan alami seperti jahe, cengkeh, daun pandan, secang, batang sereh, gula, garam, dan lain sebagainya. Karena kealamian bahan-bahan yang menjadi kandungannya tentu saja bir pletok aman untuk dikonsumsi dan justru sangat baik untuk kesehatan.


Beranjak dari kuliner khas Betawi, saya kembali ingin menjelajahi Perkampungan Budaya Betawi yang sekarang luasnya sudah mencapai 289 hektar ini. Perhatiannya saya tertuju pada beberapa rumah yang berada di dalam Perkampungan Budaya Betawi tersebut. Jika diamati rumah ini sebenarnya mirip-mirip dengan rumah warga Betawi yang dulu pernah saya lihat di film “Si Doel”. Tipe bangunan rumahnya tidak terlalu tinggi, cenderung terlihat lebar, dan tentunya dengan teras di depan rumah yang agak besar yang dilengkapi dengan meja dan kursi kecil untuk menerima tamu atau duduk-duduk santai. Ciri-ciri rumah yang seperti itulah yang membuat saya mengidentikkan rumah-rumah di Kampung Betawi ini dengan rumah yang ada di film “Si Doel”. 

Ternyata, rumah-rumah tersebut memang merupakan rumah adat yang disewakan untuk menunjang salah satu fasilitas home stay yang disediakan di Perkampungan Budaya Betawi ini. Terdapat sebanyak 67 rumah adat yang dijadikan fasilitas home stay bagi para pengunjung yang datang dan ingin berada di sana untuk waktu yang cukup lama (untuk keperluan rekreasi, penelitian, pendidikan, maupun pelatihan kesenian). Menurut saya, fasilitas home stay ini sebenarnya sangat efektif dan sangat membantu para pengunjung yang ingin tinggal dan menikmati suasana Kampung Betawi untuk beberapa waktu. Ditambah lagi, Perkampungan Budaya Betawi ini sekarang telah sekaligus menjadi salah satu kawasan wisata budaya yang terbuka untuk umum yang artinya dapat dikunjungi oleh siapa saja. Tidak hanya wisatawan lokal yang boleh datang ke sini tetapi wisatawan asing pun boleh ikut datang untuk mengenal lebih banyak lagi mengenai budaya Betawi. Tinggal “sementara waktu” di Kampung Betawi tentu dapat membantu para pengunjung untuk lebih bisa merasakan bagaimana keramahtamahan berinteraksi dengan penduduk sekitar dan juga menjalankan aktivitas tradisional di Kampung Betawi. 

Selanjutnya, saya menuju ke alun-alun Kampung Betawi. Di pintu pagar tercantum jadwal pertunjukkan kesenian di Kampung Betawi hari itu. Setiap akhir minggu, di pagi hari, tempat ini atau yang biasa disebut alun-alun selalu dijadikan tempat berlatih berbagai kesenian tradisional khas Betawi. Latihan tersebut diadakan bergilir setiap minggunya sesuai dengan jadwal yang ada. Sementara itu, khusus pada hari Sabtu dan Minggu, pada siang harinya, di alun-alun akan diadakan pertunjukkan kesenian khas Betawi.

Ada banyak sekali seni musik dan tari yang ditampilkan oleh masyarakat sekitar Kampung Betawi setiap minggunya. Sebut saja marawis, rebana biang, gambang kromong, lenong betawi, dan topeng betawi. Beberapa seni musik dan seni tari yang telah disebutkan tadi secara bergantian akan ditampilkan di Perkampungan Budaya Betawi. Yang istimewa adalah pertunjukkan seni musik dan tari tersebut tidak hanya dibawakan oleh orang-orang yang sudah dewasa, tetapi juga dibawakan oleh para generasi muda, dan tentunya adik-adik kecil yang tinggal di sekitar kawasan Kampung Betawi. Sungguh indah dan menakjubkan sekali ketika kita dapat melihat generasi muda dan anak-anak kecil turut berupaya untuk melestarikan budaya asli mereka dan merasa bangga akan budaya yang mereka miliki.

Jika sudah menyinggung mengenai kuliner, rumah adat, dan kesenian khas Betawi, belum lengkap rasanya kalau saya belum mengenal lebih dalam lagi tentang orang-orang yang ada di Kampung Betawi ini. Sebuah kawasan budaya tentu tidak dapat bertahan lama dan eksis sampai sekarang kalau tidak ada orang-orang yang tinggal dan menghidupi budayanya, bukan? 



Seperti yang tertulis dalam buku Communication Between Cultures, karya Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel, menurut Braswell : “Masyarakat beragama tidak lagi saling berjauhan. Penganut agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen merupakan populasi dengan tingkat mobilitas yang tinggi yang telah melintasi batas geografis dan budaya untuk bertemu dan hidup bersama.”

Masyarakat di Kampung Betawi ini sebenarnya terdiri dari berbagai agama. Meski mayoritas beragama Islam, namun tidak menutup kemungkinan buat masyarakat lain yang beragama non Muslim untuk tinggal dan hidup bersama di wilayah Kampung Betawi. Terbukti, meski mayoritas yang tinggal adalah yang beragama Islam, namun di Kampung Betawi juga terdapat penduduk-penduduk yang beragama Kristen, Katolik. Lalu apakah mereka hidup di tengah konflik? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Masyarakat Kampung Betawi yang meskipun memeluk kepercayaan yang berbeda-beda namun ternyata dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Hal yang membuat saya semakin takjub adalah ketika saya mengetahui salah satu “tradisi” warga Kampung Betawi yang menunjukkan sifat toleransi dan keterbukaan mereka yang tinggi adalah ketika memperingati hari besar, antar umat beragama ini saling bertoleransi dengan berkunjung satu sama lain. Saat masyarakat yang beragama Muslim merayakan hari Lebaran, warga masyarkat lain yang non Muslim akan berkunjung dan bersilaturahmi. Demikian sebaliknya, saat masyarakat yang non Muslim merayakan hari besar mereka, masyarakat Muslim secara bergantian akan “berkeliling” mengunjungi rumah tetangganya untuk bersilaturahmi. Di sinilah perbedaan terlihat menjadi lebih indah.

Tidak hanya beragam kepercayaannya, ternyata masyarakat di Kampung Betawi pun kini juga sudah bercampur. Mereka berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda. Mungkin kalau mendengar dari namanya saja yang disebut dengan Kampung Betawi, kita pasti akan langsung berpikir bahwa pasti masyarakatnya adalah masyarakat asli Betawi. Namun kenyataannya tidak demikian. Di Kampung Betawi, penduduknya tidak hanya berasal dari Betawi lokal atau Betawi asli namun ada juga masyarakat dari suku-suku lain, seperti Jawa, Aceh, Papua, dan lain sebagainya. Namun tetap, namanya saja Kampung Betawi, sudah pasti yang mayoritas adalah penduduk asli Betawinya. Tapi kembali saya tinjau lagi bahwa tidak ada dampak negatif yang muncul dari sini karena sejauh ini tidak ada konflik “besar” antarsuku atau budaya yang terjadi di Kampung Betawi. Kalaupun ada konflik yang kecil-kecilan, itu semua masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan baik-baik. Wajarlah kalau konflik kecil-kecilan seperti sedikit berbeda pendapat misalnya. Antar saudara kandung sendiri saja masih bisa bertengkar, apalagi yang berbeda budayanya kan. Jadi wajar saja kalau ada konflik kecil-kecilan antar masyarakat yang berbeda budaya ini, asalkan bisa diselesaikan dengan baik. Namun, jangan khawatir, selama ini masyarakat di sini mampu membuktikan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis, kok. Meskipun mereka berada di tengah-tengah perbedaan. Kembali lagi, perbedaan terlihat menjadi lebih indah kalau manusia-manusianya dapat menghargai perbedaan.

Dalam buku Communication Between Cultures, karya Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel, pada dasarnya bahasa merupakan sejumlah simbol atau tanda yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa masyarakat Betawi selalu identik dengan logat ‘e nya saat sedang berbicara. Susah-susah-gampang memang ketika kita mencoba mempelajari Bahasa Betawi. Orang Betawi selalu menyebut kata “iya” menjadi “iye” , “udah” menjadi “udeh” dan lain sebagainya. Namun bukan berarti semua kata dengan huruf ‘a dapat kita ganti menjadi ‘e dengan seenaknya. Seperti kata “silat” misalnya, tidak berarti menjadi “silet” karena justru akan menjadi berubah maknanya. Namun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Betawi, bahasa yang berkembang atau yang umumnya digunakan dalam percakapan sehari-hari justru sudah berganti menjadi Bahasa Indonesia. Masyarakat di Kampung Betawi cenderung sudah meninggalkan penggunaan istilah ‘e saat mereka berbicara. Di Kampung Betawi ini, kebanyakan orang-orangnya sudah berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang umum, sama seperti dengan apa yang kita ucapkan sehari-hari. Meski ada beberapa orang yang masih berbicara dengan istilah “e tersebut namun jumlahnya sudah tidak banyak dan sangat terbatas di Kampung Betawi ini. 

Menurut Bapak Abdul Khorim, salah satu mantan pengurus kawasan Perkampungan Budaya Betawi ini, salah satu dampak dari berbaurnya masyarakat Betawi dengan masyarakat non Betawi adalah nilai-nilai Betawi yang ada menjadi mengalami kemunduran, salah satunya dari segi bahasa. Logat asli Betawi yang semakin jarang digunakan dinilai sebagai salah satu kemunduran nilai-nilai Betawi.
Sebenarnya, mengalami kemunduran tidak berarti jadi hilang sepenuhnya, karena bukan berarti logat Betawi hilang begitu saja, hanya saja di kawasan Kampung Betawi ini sudah jelas logat dan bahasa Betawi sudah sangat jarang digunakan di tengah kehidupan sehari-hari. Namun,  di daerah Betawi Tengah, logat dan bahasa Betawi tersebut masih kental digunakan. Jadi dapat dikatakan sebenarnya masih ada pelestarian dan perkembangan bahasa Betawi di daerah-daerah lainnya, seperti Betawi Tengah.

Dari komunikasi verbal yaitu bahasa, saya beralih kepada komunikasi non verbal dari budaya Betawi ini. Saya tertarik sekali untuk mengamati tentang pakaian daerah khas Betawi. Saya sempat melihat komunitas sepeda ontel yang ada di sana, dan beberapa diantaranya saat itu berpakaian ala pakaian Betawi.

Dalam buku Communication Between Cultures, karya Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel, komunikasi non verbal merupakan komunikasi yang meliputi semua stimulus non verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber dan penerima.
Dikatakan pula bahwa pakaian sebagai bentuk dari komunikasi non verbal, di samping berfungsi sebagai pelindung, juga merupakan suatu bentuk komunikasi.

Pakaian sehari-hari laki-laki dalam budaya Betawi biasanya menggunakan baju koko (sadariah). Baju sadariah ini biasanya berbentuk sama dengan baju koko pada umumnya hanya saja dengan motif yang polos, disertai dengan celana kain, kain pelekat yang diselempangkan di pundak atau di leher, dan juga peci hitam berbahan beludru. Konon katanya, kain pelekat yang diselempangkan di pundak para laki-laki ini  bisa digunakan untuk sholat atau bisa juga dijadikan senjata buat “nyabet” kalau ada orang yang jahat.

Pakaian wanita dalam budaya Betawi biasanya menggunakan kebaya none dan kebaya ncim, yang keduanya dilengkapi dengan pemakaian kerudung. Kebaya-kebaya ini cenderung memiliki warna yang terang (cerah), makna dari pemilihan warna cerah tersebut adalah untuk menggambarkan keceriaan.

Perlu diketahui bahwa budaya Betawi sendiri sebenarnya merupakan percampuran dari berbagai budaya seperti Arab, Cina, dan Melayu. Maka dari itu, pakaian pernikahan adat Betawi mengadopsi nilai-nilai dari budaya tersebut. Pakaian pengantin laki-laki disesuaikan dengan negara Arab, sementara pakaian pengantin wanita disesuaikan dengan negara Cina. 

Dari observasi saya ke Perkampungan Budaya Betawi, saya belajar bahwa sebenarnya  kebudayaan asli, lokal, tradisional itu amatlah “kaya” dan begitu indah, sehingga sangat patut untuk dilestarikan dan terus dikembangkan. Saya juga belajar bahwa perbedaan budaya, suku, ras, dan agama seharusnya tidak menjadi persoalan untuk dapat hidup bersama dan saling berdampingan. Budaya Betawi sendiri yang ternyata lahir dari percampuran berbagai budaya, yaitu Arab, Cina, dan Melayu menunjukkan bahwa budaya Betawi dan masyarakat Betawi mampu untuk hidup harmonis di tengah-tengah perbedaan keyakinan, suku, bangsa. Pada akhirnya, saya juga belajar untuk bisa merasakan bahwa sesungguhnya perbedaan itu indah apabila kita mampu bersikap dewasa dan berpikiran terbuka dalam menyikapi setiap perbedaan yang ada. Last but not least, bagi saya, observasi saya ke Perkampungan Budaya Betawi ini benar-benar menambah wawasan saya akan budaya lokal yang ada di sekitar saya, dan pastinya, menjadi suatu kenangan dan pengalaman yang berharga dalam hidup saya. Terima kasih, Perkampungan Budaya Betawi...

No comments:

Post a Comment