Pages

Thursday, January 10, 2013

Mengenal Kampung Naga

Nama : Niza Sari Pratiwi
NIM   : 11140110147
Kelas : F-1




Kampung Naga, sekilas awalnya pun saya masih asing dengan nama tersebut, tetapi setelah saya mencari informasi mengenai Kampung  tersebut dan saya merencanakan untuk dijadikan bahan observasi itu semua dengan teman-teman saya, akhirnya saya memilih untuk meneliti atau observasi langsung ke dalam sebuah perkampungan yang berada di Tasikmalaya yang bernama Kampung Naga itu. Mengapa saya memilih Kampung Naga sebagai tugas pengganti UAS mata kuliah Komunikasi Antar Budaya ini? Karena saya melihat Kampung Naga merupakan tempat yang patut untuk di observasi oleh saya, di Kampung Naga ini masih memegang teguh budaya nya selain itu lingkungan nya masih dikelilingi oleh hutan belantara, sungai dan pesawahan,  kebudayaan di Kampung Naga ini masih sangat tradisional, semua nya masih menggunakan alat tradisional, dan Kampung ini juga tidak menggunakan listrik, maka dari itu saya mencoba untuk menginap semalam dan melakukan observasi selama dua hari di rumah warga Kampung Naga agar lebih mendalami observasi ini dan mengetahui semua kegiatan yang dilakukan warga dari pagi hingga malam. Perjalanan menuju Kampung Naga normal nya memakan waktu kurang lebih lima-enam jam. Saya dan teman-teman saya berangkat dari kampus pukul tiga pagi dan sampai di Kampung Naga sekitar pukul 11 siang itu dikarenakan kami banyak berhenti di rest area untuk sekedar istirahat.
Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan yang masih di huni oleh masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat nya, Kampung ini diberi nama Kampung Naga karena jika ada turis atau masyarakat yang datang kesini dapat dengan mudah mengatakan kalau ini adalah Kampung Naga, selain itu nama Naga juga diambil dari kata Nagawir, jadi Wir nya dihilangkan sehingga menjadi Naga saja, selain itu juga karena kampung ini berada di bawah lembah gunung  dan tebing maka dari itu disebut dengan kampung Naga.  Kampung ini berada di desa Neglasari, berada di kecamatan Salawu, dan kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga ini memiliki area satu setengah hektar batas nya sebelah Timur yang dibatasi oleh Ci Wulan yang artinya kali Wulan, yang airnya bersumber dari Gunung Cikuray yang ada di Garut. Di sebelah Barat merupakan tepi atau pasir yang terdapat hutan terlarang yang diyakini warga sana sebagai hutan kramat dan tidak boleh ada yang menginjak hutan tersebut kecuali pada perayaan-perayaan dan keturunan dari leluhurnya, karena di dalam hutan tersebut terdapat pemakaman leluhur warga Kampung Naga. Di sebelah selatan dan utara itu terdapat sawah-sawah, karena disana terdapat batasan dari kali kecil yang airnya mengalir ke sungai Ci Wulan.

Rumah di Kampung Naga
Di dalam Kampung Naga ini terdapat 113 bangunan yang kokoh dibangun di Kampung Naga. Terdapat 108 kepala keluarga, dan jumlah warga disini terdapat 314 jiwa. Di kampung Naga ini memiliki dua pimpinan, yaitu formal dan non-formal, formal nya di pimpin oleh kepala dusun yaitu RT dan lain-ain yang sistem nya demokrasi, yaitu dipilih oleh masyarakat kampung Naga,  jabatannya lima atau enam tahun tugasnya menyampaikan pemerintahan dari atasan sampai ke masyarakat dan yang kedua (non formal) ada yang namanya Kuncen yang bertugas memimpin ziarah ke pemakaman, selain itu ada yang bertugas untuk mengayomi warga, dan yang ketiga ada yang bertugas untuk mengawas dan mengurusi jenazah jika ada warga yang meninggal dunia, ia yang mengurusi nya dari awal hingga proses penguburan.  Di kampung Naga ini juga terdapat jabatan yang masa jabatannya seumur hidup (bila ia masih mampu) ia tidak dipilih melainkan karena keturunan, dari turun temurun dari Kuncen disana. Semua yang menjadi pemimpin tersebut berasal dari keturunan kuncen sana, kecuali pimpinan yang formal seperti RT dan sebagainya itu sistem nya demokrasi, kalau kuncen, sistem nya keturunan. Itu dari gaya kepemimpinan budaya kampung Naga.
                Sistem ekonomi yang digeluti Kampung ini, semua warga wajib menanam padi setiap setahun dua kali. Bulan nya pun ditentukan disini untuk menanam padi, bulan Januari dan Juli merupakan awal dari penanaman padi, hasil dari padi tersebut di konsumsi oleh warga Kampung Naga, bilamana ada lebih, maka padi tersebut dapat dijual kembali, untuk pekerjaan sampingan, semua warga memanfaatkan bambu untuk dibuat kerajinan dan hasil nya di jual dan biasanya yang membeli kerajinan tersebut turis-turis atau masyarakat yang berkunjung ke Kampung Naga. Masyarakat kampung ini juga memelihara kambing dan memiliki peternakan kambing yang nanti nya jika idul qurban akan di jual kepada masyarakat lain. Selain itu setiap ari juga kegiatannya menebang kayu yang nantinya akan di perdagangkan kembali oleh masyarakat Kampung Naga.

Menebang Kayu (salah satu kegiatan sehari-hari warga Kampung Naga)

                Kalau dari segi Pendidikan pada budaya Kampung Naga ini, semua anak-anak memang wajib bersekolah selama enam tahun sampai dengan ke tahap perkuliahan, namun jarang sekali yang sampai bisa melanjutkan ke perkuliahan, dikarenakan biaya yang tidak mampu dan mahal. Untuk bangunan Sekolah Dasar (SD) memang tidak ada di Kampung Naga ini, mereka setiap hari nya pagi-pagi harus ke atas atau keluar terlebih dahulu jaraknya sekitar 550 meter.

Selain itu, jika kita lihat dari budaya dan konteks peraturan nya, di Kampung Naga ini juga terdapat bebagai larangan dan aturan yang tidak boleh dilakukan masyarakat kampung ini diantaranya satu minggu terdapat tiga hari (Selasa, Rabu dan Sabtu), dalam setahun ada dua bulan, yaitu Safar dan Syiam. Larangan-larangan nya diantaranya tidak boleh berziarah ke makam, dan tidak boleh menceritakan sislsilah atau sejarah Kampung Naga, pada saat saya kesana itu bulan Safar jadi menurut narasumber dan warga disana tidak boleh menceritakan sejarah Kampung Naga, maka dari itu saya tidak dapat informasi mengenai sejarah Kampung Naga. Setiap hari sabtu tidak boleh menceritakan tentang sejarah Kampung Naga karena ini bersifat pamali, yang berujuk ke amanat, wasiat dan akibat. Tetapi kegiatan yang lain boleh dilakukan, seperti Pernikahan, Khitanan dan lain sebagainya tidak apa-apa untuk dilaksanakan.  Selain itu larangan yang lain ialah, jika kita beristirahat , posisi badan kita jangan menghadap ke kiblat (Barat), dikarenakan kiblat itu dipakai untuk sebuah arahan untuk melaksanakan salat, jadi itu merupakan posisi yang suci dan patut untuk dihargai, dihormati bagi warga sana. Maka dari itu jika posisi kaki kita menghadap ke kiblat, kita akan mendapatkan akibatnya sendiri, dan apabila kita melanggar semua larangan tersebut, kita akan mendapatkan akibat dari perbuatan kita. Larangan yang lain, di Kampung Naga itu setiap pukul 9 malam harus sudah masuk rumah dan istirahat tidak ada yang boleh berkeluyuran atau di luar rumah, dikarenakan itu sudah turun temurun warga sana dan memang sudah peraturannya, selain itu di Kampung Naga terdapat ular yang berbahaya, dikarenakan letak Kampung ini bersebelahan dengan sungai dan hutan kramat, makanya semua warga harus sudah masuk kerumah pada pukul 9 malam, jika melanggar akan kena akibat nya sendiri.  

Perayaan-perayaan yang dilakukan di budaya Kampung Naga memang tidak sering seperti sabtu atau minggu, perayaan atau upacara yang dilakukan juga ada aturannya seperti pada bulan Muharam (merupakan tahun baru islam), kedua bulan Maulud ( kelahiran Nabi Muhammad SAW), ketiga pada bulan Jumadil Akhir (pertengahan tahun), keempat bulan Sya’ban (menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan), kelima pada bulan Idul Fitri (sudah melaksanakan puasa) dan keenam pada idul Adha juga dikatakan bulan Haji. Keenam bulan tersebut merupakan perayaan khas tersendiri dari Kampung  Naga, mereka mengikuti perayaan besar Islam dan tidak boleh ditinggalkan dalam satu tahun ada enam kali. Namun perayaan dan upacara yang dilakukan berbeda dengan Islam pada umumnya, mereka melakukan upacara adat terlebih dahulu, kemudian meraka pergi ke masjid atau mushola yang ada di kampung naga, setalah itu meraka bersih-bersih semua pekarangan dan halaman mereka, lalu mereka bersama-sama mengunjungi makam para leluhur yang sudah tiada dan yang di makam kan ke hutan. Di dalam Kampung Naga juga terdapat rumah yang tidak boleh untuk di foto ataupun di video kan karena rumah itu sangat suci dan hanya kuncen dan keturunannya sajalah yang bisa masuk ke dalam tersebut, rumah itu ditandai dengan menggunakan pagar. Disana kita tidak boleh foto rumah itu ataupun mengambil video. Disana juga terdapat air terjun kramat yang terkenal angker oleh penduduk sana, tidak boleh ada yang mandi ataupun berkunjung ke air terjun tersebut, letak nya ada di sekitar pesawahan yang membentang dan di depan sungai Ci Wulan.  

Warga Kampung Naga tidak menggunakan listrik dikarenakan mereka masih sangat cinta dengan alam, kebudayaan mereka masih sangat berpegang teguh oleh alam sekitar mereka, jika memakai listrik pun tidak akan kuat, dikarenakan bangunan rumah Kampung Naga mudah untuk konslet dan memicu kebakaran. Malam hari nya saya pun menginap di rumah salah satu warga Kampung Naga yang bernama Ibu Asih, saya melihat kesederhanaan yang ada di dalam rumah tersebut, masak menggunakan tungku dan kayu yang kemudian dibakar, tidak menggunakan kompor dan alat-alat untuk memasak yang sudah modern lainnya. Mengapa tidak menggunakan listrik, tidak terdapat alat elektronik seperti televisi, radio dan lainnya? Karena masyarakat kampung ini menjaga adanya kesenjangan sosial, menjaga akhlak mereka dan, karena jika terdapat televisi atau radio, warga sana takut jika terpengaruh oleh kebudayaan luar dan mereka takut kehilangan kebudayaan asli mereka, mereka takut berpengaruh ke arah yang negatif dan disini mereka mengambil hidup yang sederhana.  Masyarakat kampung Naga masih tunduk dengan alam sekitarnya. Selain itu juga di dalam rumah nya tidak ada kursi dan kasur, karena jika ada tamu yang datang tidak berpencar-pencarr duduk nya (diatas atau dibawah) makanya tidak ada kursi atau kasur agar semua sama duduk dibawah atau tidur pun dibawah.

Suasana di dalam rumah (tanpa listrik)

 Masyarakat yang tinggal di sana memang awal nya turun temurun dari nenek moyang nya, jika di buku Samovar (Komunikasi Lintas Budaya) pernah membahas yang namanya masyarakat multikultural,  namun sekarang ini sudah campur dan sudah multikultural dan ada pertukaran budaya nya, mengapa? Karena terus bertambah nya warga disana menyebabkan warga menikah dengan orang luar kampung naga seperti menikah dengan orang Bandung, Cirebon, Bogor. Sekarang ini sudah campur dengan orang dari luar kampung Naga, namun orang luar yang masuk ke Kampung Naga ini tetap harus mengikuti kebudayaan Kampung Naga. Pernikahan dengan orang luar tidak jadi masalah bagi warga Kampung Naga. Terkait dengan ledakan penduduk di Kampung Naga, tentunya orang luar yang harus mengikuti adat istiadat dari Kampung Naga ini, seperti dilarang mengecet atau memberi warna dinding rumah kecuali dengan kapur yang bewarna putih, tidak boleh mengubah bentuk asli rumah dari Kampung Naga jadi dinding rumah harus tetap dari bilik atau anyaman bambu, dan berbentuk panggung tidak boleh dari tembok, dan  rumah nya juga harus seragam yaitu  atap rumah berasal dari daun nipah, jika ada yang ingin bangun rumah atap yang berasal dari daun nipah itu harus sudah dipersiapkan 4 tahun sebelum membangun rumah karena proses pencarian nya lama dan sulit. Atap rumah juga harus berasal dari ijuk atau alang-alang, lantai rumah terbuat dari papan kayu atau bambu. Rumah juga harus menghadap ke utara atau selatan. Selain itu hal yang harus diperhatikan juga, pada saat saya memasuki rumah tersebut, rumah tidak dilengkapi dengan ranjang, kursi ataupun perabotan rumah lainnya, masak nya pun masih menggunakan tungku yang terbuat dari kayu lalu di bakar, tidak ada kompor, gas atau sebagainya.


Atap rumah yang berasal dari daun nipah, ijuk ataupun alang-alang

Alat kesenian yang khas dari Kampung Naga itu sendiri ada Angklung, Suling bambu, dan Karinding. Kalau angklung dan suling kita sudah sering melihatnya, tetapi Karinding merupakan alat musik yang terbuat dari bambu, proses membuat nya pun tidak mudah, bambu nya harus yang benar-benar pilihan sekitar tiga atau sampai empat tahun proses mencari bambu yang diingingkan, cara memainkannya dengan menggunakan tangan dan alat pernapasan. Karinding merupakan alat musik tambahan dari Kampung Naga ini dan harus dilestarikan kedepannya.

Salah satu alat musik tradisional Kampung Naga

         Yang menjadi ciri khas lainnya, kampung Naga sangat membudidayakan kesenian mereka, dan kesenian mereka dibuat oleh tangan mereka sendiri, kerajinannya pun juga berasal dari buatan mereka, yang kemudian dijual untuk mayarakat yang datang ataupun para turis yang datang. Kerajinan tangan yang dibuat oleh waga kampung ini diantara nya tas, dompet, gelang, kalung, sendok, topi, dan lain sebagainya.


Menjual kerajinan tangan asli buatan masyarakat Kampung Naga


Kerajinan tangan yang berbentuk teko, sendok, garpu, dll. (asli buatan masyarakat Kampung Naga)

Kalau membahas mengenai  Peranan Sosial Budaya Bahasa, masyarakat Kampung Naga juga sudah mengalami yang namanya pertukaran komunikasi, menurut teori yang ada di buku Komunikasi Lintas Budaya, Larry A. Samovar, bahasa berperan penting dalam komunikasi secara langsung menyatakan atau bertukar pemikiran atau pandangan mengenai orang lain. Masyarakat asli kampung Naga menggunakan bahasa Sunda namun hal ini terlihat dengan sudah mengerti nya mereka dengan bahasa orang Jakarta atau bahasa selain bahasa sunda disini masyarakat kampung Naga terjadi pertukaran informasi atau komunikasi dengan para pengunjung yang datang.  Menurut masyarakat kampung ini, pertukaran komunikasi mereka terjadi dengan sendirinya, dimulai dengan banyak nya pengunjung yang datang untuk melihat dan mempelajari kebudayaan kampung ini, dengan banyaknya pengunjung yang datang, tentunya masyarakat ini harus bisa mengerti bahasa selain bahasa Sunda namun tidak menghilangkan bahasa asli nya. Hal ini terjadi bukan dari pengunjung nya saja yang dapat informasi mengenai kampung Naga, melainkan masyarakat asli Kampung Naga juga sedikit demi sedikit mengerti bahasa selain bahasa Sunda jadi istilahnya mereka saling tukar bahasa dan komunikasi. Awal nya mereka (warga asli Kaampung Naga) benar-benar tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia seperti bahasa orang Jakarta yang dipakai sehari-hari untuk berkomunikasi, namun karena banyaknya pengunjung atau turis yang datang, menekankan kepada masyarakat kampung Naga untuk bisa mengenal bahasa mereka (pengunjung) dan lama kelamaan mereka jadi mengerti bahasa selain bahasa Sunda. Pertukaran Komunikasi khusunya dalam konteks bahasa juga di terapkan oleh masyarakat kampung ini, seperti setiap seminggu sekali atau dua kali warga kampung ini diajari bahasa Inggris, jadi jika ada para sukarelawan yang mengerti dan memahami bahasa Inggris, mereka selalu berbagi ilmu mereka kepada anak-anak bahkan orang dewasa yang ingin belajar banyak tentang bahasa Inggris.

Berbicara mengenai komunikasi Non Verbal, kalau dari buku Samovar (KAB) komunikasi non verbal mengekspresikan emosi demikian juga informasi yang spesifik. Jika dilihat-lihat rumah yang ada di Kampung Naga ini semuanya seragam, ini merupakan salah satu bentuk non-verbal yaitu bewarna putih (dinding) dan atap berasal dari daun nipah atau ijuk yang ada unsur warna hitam, dan bagian dapur (dindingnya) bewarma coklat,  semua rumah saling berhadapan. Kalau yang saya dapat dari hasil pendekatan saya dengan salah satu warga Kampung Naga ini melihat kepada nenek moyang mereka, jadi mereka melestarikan dan melanjutkan semua yang pernah dilakukan oleh keturunan mereka. Menurut masyarakat sana, dinding diberi warna putih karena itu merupakan simbol hati mereka yang suci, dan unsur warna coklat terlihat dibagian dapur kampung Naga itu menandakan warna tanah, masyarakart Kampung Naga memang masih sangat mencintai bumi dan alam, jadi mereka pun memberi warna rumah mereka seperti itu. Tour guide yang ada di Kampung Naga juga rata-rata berpakaian baju bewarna putih atau hitam dan coklat atau celana hitam atau putih, pokoknya tidak jauh-jauh dengan warna rumah mereka.

Bapak Nok dengan pakaian khas nya (salah satu warga Kampung Naga sekaligus menjadi tour guide kami di sana)

                
               Berbicara dengan konteks agama, menurut dari buku Samovar Komunikasi Lintas Budaya, agama merupakan salah satu dari institusi tersebut, hal ini telah mengikat orang bersama-sama memelihara cara pandang budaya mereka. Agama yang dipercayai oleh masyarakat kampung Naga ini adalah agama Islam, mereka semua mayoritas Islam bahkan hampir semua masyarakat kampung ini beragama Islam. Jika ada warga yang meninggal pun semua dikubur sesuai dengan ajaran Islam namun bedanya, Islam di kampung ini masih agak menyimpang dengan Islam yang sebenarnya, contoh nya saja, di kampung ini masih menggunakan dukun untuk ngelahirin anak mereka, sedangkan di Islam yang saya tahu dukun itu dilarang keras dan upacara adat nya pun masih agak menyimpang dengan ajaran Islam. Tetapi intinya masyarakat kampung ini beragama Islam dan di kampung ini terdapat masjid, jika adzan tiba seperti magrib, semua anak-anak berkumpul di mushola untuk melaksanakan salat dan mengaji bersama.
                
                Jika dikaitkan dengan pembelajaran KAB di buku Samovar, ada yang namanya konflik antar budaya dan di kampung ini jarang terjadi konflik antar budaya nya, ketika saya bertanya dengan salah satu warga kampung ini, mereka selalu menjawab kalau di kampung Naga ini semua nya harus hidup rukun, semua harus saling mengenal satu sama lain dan mengenal semua nama kepala keluarga di kampung ini sebanyak 300 lebih jiwa yang tinggal di kampung ini dan mereka harus mengenal satu sama lain. Jika ada konflik pun cara mereka menyelesaikan konfliknya selalu menerapkan kata istilah di benak mereka masing-masing yang sudah ada di hati mereka yaitu : Sili Asah (Menyayangi), Sili Asih (Memberi),  Sili Asuh (Menghargai), dan Sili Payungan (Merangkul sesama). Oleh sebab itu mereka tidak pernah terjadi konflik budaya yang mendalam antar satu sama lain. Dan satu lagi, mereka harus menaati semua peraturan yang ada di dalam budaya mereka karena ini semua menyangkut Amanat, Wasiat dan Akibat.
                
              Berkunjung ke kampung Naga dan terlibat langsung didalamnya dan merasakan tinggal bersama masyarakat sana memang mengasyikan dan saya jadi dapat banyak informasi mengenai Kampung Naga terutama yang berkaitan dengan Komunikasi Antar Budaya nya, dan budaya-budaya yang diterapkan di dalam kampung Naga ini, saya juga jadi sadar ternyata masih ada komunitas yang seperti masyarakat Kampung Naga yang masih tradisional sekali dan masih sangat kental dengan budaya adat sunda nya.

No comments:

Post a Comment