Nama : Niza Sari Pratiwi
NIM : 11140110147
Kelas : F-1
Kampung Naga, sekilas awalnya pun
saya masih asing dengan nama tersebut, tetapi setelah saya mencari informasi
mengenai Kampung tersebut dan saya
merencanakan untuk dijadikan bahan observasi itu semua dengan teman-teman saya,
akhirnya saya memilih untuk meneliti atau observasi langsung ke dalam sebuah
perkampungan yang berada di Tasikmalaya yang bernama Kampung Naga itu. Mengapa
saya memilih Kampung Naga sebagai tugas pengganti UAS mata kuliah Komunikasi
Antar Budaya ini? Karena saya melihat Kampung Naga merupakan tempat yang patut
untuk di observasi oleh saya, di Kampung Naga ini masih memegang teguh budaya
nya selain itu lingkungan nya masih dikelilingi oleh hutan belantara, sungai
dan pesawahan, kebudayaan di Kampung
Naga ini masih sangat tradisional, semua nya masih menggunakan alat
tradisional, dan Kampung ini juga tidak menggunakan listrik, maka dari itu saya
mencoba untuk menginap semalam dan melakukan observasi selama dua hari di rumah
warga Kampung Naga agar lebih mendalami observasi ini dan mengetahui semua
kegiatan yang dilakukan warga dari pagi hingga malam. Perjalanan menuju Kampung
Naga normal nya memakan waktu kurang lebih lima-enam jam. Saya dan teman-teman
saya berangkat dari kampus pukul tiga pagi dan sampai di Kampung Naga sekitar
pukul 11 siang itu dikarenakan kami banyak berhenti di rest area untuk sekedar istirahat.
Kampung Naga
merupakan sebuah perkampungan yang masih di huni oleh masyarakat yang masih
memegang teguh adat istiadat nya, Kampung ini diberi nama Kampung Naga karena
jika ada turis atau masyarakat yang datang kesini dapat dengan mudah mengatakan
kalau ini adalah Kampung Naga, selain itu nama Naga juga diambil dari kata
Nagawir, jadi Wir nya dihilangkan sehingga menjadi Naga saja, selain itu juga
karena kampung ini berada di bawah lembah gunung dan tebing maka dari itu disebut dengan
kampung Naga. Kampung ini berada di desa
Neglasari, berada di kecamatan Salawu, dan kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kampung Naga ini memiliki area satu setengah hektar batas nya sebelah Timur yang
dibatasi oleh Ci Wulan yang artinya kali Wulan, yang airnya bersumber dari
Gunung Cikuray yang ada di Garut. Di sebelah Barat merupakan tepi atau pasir
yang terdapat hutan terlarang yang diyakini warga sana sebagai hutan kramat dan
tidak boleh ada yang menginjak hutan tersebut kecuali pada perayaan-perayaan
dan keturunan dari leluhurnya, karena di dalam hutan tersebut terdapat
pemakaman leluhur warga Kampung Naga. Di sebelah selatan dan utara itu terdapat
sawah-sawah, karena disana terdapat batasan dari kali kecil yang airnya
mengalir ke sungai Ci Wulan.
Rumah di Kampung Naga |
Di dalam
Kampung Naga ini terdapat 113 bangunan yang kokoh dibangun di Kampung Naga.
Terdapat 108 kepala keluarga, dan jumlah warga disini terdapat 314 jiwa. Di
kampung Naga ini memiliki dua pimpinan, yaitu formal dan non-formal, formal nya
di pimpin oleh kepala dusun yaitu RT dan lain-ain yang sistem nya demokrasi,
yaitu dipilih oleh masyarakat kampung Naga, jabatannya lima atau enam tahun tugasnya
menyampaikan pemerintahan dari atasan sampai ke masyarakat dan yang kedua (non
formal) ada yang namanya Kuncen yang
bertugas memimpin ziarah ke pemakaman, selain itu ada yang bertugas untuk
mengayomi warga, dan yang ketiga ada yang bertugas untuk mengawas dan mengurusi
jenazah jika ada warga yang meninggal dunia, ia yang mengurusi nya dari awal
hingga proses penguburan. Di kampung
Naga ini juga terdapat jabatan yang masa jabatannya seumur hidup (bila ia masih
mampu) ia tidak dipilih melainkan karena keturunan, dari turun temurun dari Kuncen disana. Semua yang menjadi
pemimpin tersebut berasal dari keturunan kuncen sana, kecuali pimpinan yang
formal seperti RT dan sebagainya itu sistem nya demokrasi, kalau kuncen, sistem
nya keturunan. Itu dari gaya kepemimpinan budaya kampung Naga.
Menebang Kayu (salah satu kegiatan sehari-hari warga Kampung Naga) |
Kalau dari segi Pendidikan pada
budaya Kampung Naga ini, semua anak-anak memang wajib bersekolah selama enam
tahun sampai dengan ke tahap perkuliahan, namun jarang sekali yang sampai bisa
melanjutkan ke perkuliahan, dikarenakan biaya yang tidak mampu dan mahal. Untuk
bangunan Sekolah Dasar (SD) memang tidak ada di Kampung Naga ini, mereka setiap
hari nya pagi-pagi harus ke atas atau keluar terlebih dahulu jaraknya sekitar
550 meter.
Selain itu, jika kita lihat dari
budaya dan konteks peraturan nya, di Kampung Naga ini juga terdapat bebagai
larangan dan aturan yang tidak boleh dilakukan masyarakat kampung ini diantaranya
satu minggu terdapat tiga hari (Selasa, Rabu dan Sabtu), dalam setahun ada dua
bulan, yaitu Safar dan Syiam. Larangan-larangan nya diantaranya tidak boleh
berziarah ke makam, dan tidak boleh menceritakan sislsilah atau sejarah Kampung
Naga, pada saat saya kesana itu bulan Safar jadi menurut narasumber dan warga
disana tidak boleh menceritakan sejarah Kampung Naga, maka dari itu saya tidak
dapat informasi mengenai sejarah Kampung Naga. Setiap hari sabtu tidak boleh
menceritakan tentang sejarah Kampung Naga karena ini bersifat pamali, yang
berujuk ke amanat, wasiat dan akibat. Tetapi kegiatan yang lain boleh
dilakukan, seperti Pernikahan, Khitanan dan lain sebagainya tidak apa-apa untuk
dilaksanakan. Selain itu larangan yang
lain ialah, jika kita beristirahat , posisi badan kita jangan menghadap ke
kiblat (Barat), dikarenakan kiblat itu dipakai untuk sebuah arahan untuk melaksanakan
salat, jadi itu merupakan posisi yang suci dan patut untuk dihargai, dihormati
bagi warga sana. Maka dari itu jika posisi kaki kita menghadap ke kiblat, kita
akan mendapatkan akibatnya sendiri, dan apabila kita melanggar semua larangan
tersebut, kita akan mendapatkan akibat dari perbuatan kita. Larangan yang lain,
di Kampung Naga itu setiap pukul 9 malam harus sudah masuk rumah dan istirahat
tidak ada yang boleh berkeluyuran atau di luar rumah, dikarenakan itu sudah
turun temurun warga sana dan memang sudah peraturannya, selain itu di Kampung
Naga terdapat ular yang berbahaya, dikarenakan letak Kampung ini bersebelahan
dengan sungai dan hutan kramat, makanya semua warga harus sudah masuk kerumah
pada pukul 9 malam, jika melanggar akan kena akibat nya sendiri.
Perayaan-perayaan yang dilakukan
di budaya Kampung Naga memang tidak sering seperti sabtu atau minggu, perayaan
atau upacara yang dilakukan juga ada aturannya seperti pada bulan Muharam
(merupakan tahun baru islam), kedua bulan Maulud ( kelahiran Nabi Muhammad
SAW), ketiga pada bulan Jumadil Akhir (pertengahan tahun), keempat bulan
Sya’ban (menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan), kelima pada bulan Idul
Fitri (sudah melaksanakan puasa) dan keenam pada idul Adha juga dikatakan bulan
Haji. Keenam bulan tersebut merupakan perayaan khas tersendiri dari
Kampung Naga, mereka mengikuti perayaan
besar Islam dan tidak boleh ditinggalkan dalam satu tahun ada enam kali. Namun
perayaan dan upacara yang dilakukan berbeda dengan Islam pada umumnya, mereka melakukan
upacara adat terlebih dahulu, kemudian meraka pergi ke masjid atau mushola yang
ada di kampung naga, setalah itu meraka bersih-bersih semua pekarangan dan
halaman mereka, lalu mereka bersama-sama mengunjungi makam para leluhur yang
sudah tiada dan yang di makam kan ke hutan. Di dalam Kampung Naga juga terdapat
rumah yang tidak boleh untuk di foto ataupun di video kan karena rumah itu
sangat suci dan hanya kuncen dan keturunannya sajalah yang bisa masuk ke dalam
tersebut, rumah itu ditandai dengan menggunakan pagar. Disana kita tidak boleh
foto rumah itu ataupun mengambil video. Disana juga terdapat air terjun kramat
yang terkenal angker oleh penduduk sana, tidak boleh ada yang mandi ataupun
berkunjung ke air terjun tersebut, letak nya ada di sekitar pesawahan yang
membentang dan di depan sungai Ci Wulan.
Warga Kampung Naga tidak menggunakan listrik
dikarenakan mereka masih sangat cinta dengan alam, kebudayaan mereka masih
sangat berpegang teguh oleh alam sekitar mereka, jika memakai listrik pun tidak
akan kuat, dikarenakan bangunan rumah Kampung Naga mudah untuk konslet dan
memicu kebakaran. Malam hari nya saya pun menginap di rumah salah satu warga Kampung Naga yang bernama Ibu Asih, saya melihat kesederhanaan yang ada di dalam rumah tersebut, masak menggunakan tungku dan kayu yang kemudian dibakar, tidak menggunakan kompor dan alat-alat untuk memasak yang sudah modern lainnya. Mengapa tidak menggunakan listrik, tidak terdapat alat elektronik seperti televisi, radio dan lainnya? Karena masyarakat kampung ini menjaga adanya kesenjangan sosial, menjaga akhlak mereka dan, karena jika terdapat televisi atau radio, warga sana takut jika
terpengaruh oleh kebudayaan luar dan mereka takut kehilangan kebudayaan asli
mereka, mereka takut berpengaruh ke arah yang negatif dan disini mereka
mengambil hidup yang sederhana.
Masyarakat kampung Naga masih tunduk dengan alam sekitarnya. Selain itu
juga di dalam rumah nya tidak ada kursi dan kasur, karena jika ada tamu yang
datang tidak berpencar-pencarr duduk nya (diatas atau dibawah) makanya tidak
ada kursi atau kasur agar semua sama duduk dibawah atau tidur pun dibawah.
Suasana di dalam rumah (tanpa listrik) |
Masyarakat yang tinggal di sana memang awal
nya turun temurun dari nenek moyang nya, jika di buku Samovar (Komunikasi
Lintas Budaya) pernah membahas yang namanya masyarakat multikultural, namun sekarang ini sudah campur dan sudah
multikultural dan ada pertukaran budaya nya, mengapa? Karena terus bertambah
nya warga disana menyebabkan warga menikah dengan orang luar kampung naga
seperti menikah dengan orang Bandung, Cirebon, Bogor. Sekarang ini sudah campur
dengan orang dari luar kampung Naga, namun orang luar yang masuk ke Kampung
Naga ini tetap harus mengikuti kebudayaan Kampung Naga. Pernikahan dengan orang
luar tidak jadi masalah bagi warga Kampung Naga. Terkait dengan ledakan
penduduk di Kampung Naga, tentunya orang luar yang harus mengikuti adat
istiadat dari Kampung Naga ini, seperti dilarang mengecet atau memberi warna dinding
rumah kecuali dengan kapur yang bewarna putih, tidak boleh mengubah bentuk asli
rumah dari Kampung Naga jadi dinding rumah harus tetap dari bilik atau anyaman
bambu, dan berbentuk panggung tidak boleh dari tembok, dan rumah nya juga harus seragam yaitu atap rumah berasal dari daun nipah, jika ada
yang ingin bangun rumah atap yang berasal dari daun nipah itu harus sudah
dipersiapkan 4 tahun sebelum membangun rumah karena proses pencarian nya lama
dan sulit. Atap rumah juga harus berasal dari ijuk atau alang-alang, lantai
rumah terbuat dari papan kayu atau bambu. Rumah juga harus menghadap ke utara
atau selatan. Selain itu hal yang harus diperhatikan juga, pada saat saya
memasuki rumah tersebut, rumah tidak dilengkapi dengan ranjang, kursi ataupun
perabotan rumah lainnya, masak nya pun masih menggunakan tungku yang terbuat
dari kayu lalu di bakar, tidak ada kompor, gas atau sebagainya.
Atap rumah yang berasal dari daun nipah, ijuk ataupun alang-alang |
Alat kesenian yang khas dari
Kampung Naga itu sendiri ada Angklung, Suling bambu, dan Karinding. Kalau
angklung dan suling kita sudah sering melihatnya, tetapi Karinding merupakan
alat musik yang terbuat dari bambu, proses membuat nya pun tidak mudah, bambu
nya harus yang benar-benar pilihan sekitar tiga atau sampai empat tahun proses
mencari bambu yang diingingkan, cara memainkannya dengan menggunakan tangan dan
alat pernapasan. Karinding merupakan alat musik tambahan dari Kampung Naga ini
dan harus dilestarikan kedepannya.
Salah satu alat musik tradisional Kampung Naga |
Yang menjadi
ciri khas lainnya, kampung Naga sangat membudidayakan kesenian mereka, dan
kesenian mereka dibuat oleh tangan mereka sendiri, kerajinannya pun juga
berasal dari buatan mereka, yang kemudian dijual untuk mayarakat yang datang
ataupun para turis yang datang. Kerajinan tangan yang dibuat oleh waga kampung
ini diantara nya tas, dompet, gelang, kalung, sendok, topi, dan lain
sebagainya.
Menjual kerajinan tangan asli buatan masyarakat Kampung Naga |
Kerajinan tangan yang berbentuk teko, sendok, garpu, dll. (asli buatan masyarakat Kampung Naga) |
Kalau membahas mengenai Peranan Sosial Budaya Bahasa, masyarakat
Kampung Naga juga sudah mengalami yang namanya pertukaran komunikasi, menurut
teori yang ada di buku Komunikasi Lintas
Budaya, Larry A. Samovar, bahasa berperan penting dalam komunikasi secara
langsung menyatakan atau bertukar pemikiran atau pandangan mengenai orang lain.
Masyarakat asli kampung Naga menggunakan bahasa Sunda namun hal ini terlihat
dengan sudah mengerti nya mereka dengan bahasa orang Jakarta atau bahasa selain
bahasa sunda disini masyarakat kampung Naga terjadi pertukaran informasi atau
komunikasi dengan para pengunjung yang datang. Menurut masyarakat kampung ini, pertukaran
komunikasi mereka terjadi dengan sendirinya, dimulai dengan banyak nya
pengunjung yang datang untuk melihat dan mempelajari kebudayaan kampung ini,
dengan banyaknya pengunjung yang datang, tentunya masyarakat ini harus bisa
mengerti bahasa selain bahasa Sunda namun tidak menghilangkan bahasa asli nya.
Hal ini terjadi bukan dari pengunjung nya saja yang dapat informasi mengenai
kampung Naga, melainkan masyarakat asli Kampung Naga juga sedikit demi sedikit
mengerti bahasa selain bahasa Sunda jadi istilahnya mereka saling tukar bahasa dan
komunikasi. Awal nya mereka (warga asli Kaampung Naga) benar-benar tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia seperti bahasa orang Jakarta yang dipakai
sehari-hari untuk berkomunikasi, namun karena banyaknya pengunjung atau turis
yang datang, menekankan kepada masyarakat kampung Naga untuk bisa mengenal
bahasa mereka (pengunjung) dan lama kelamaan mereka jadi mengerti bahasa selain
bahasa Sunda. Pertukaran Komunikasi khusunya dalam konteks bahasa juga di
terapkan oleh masyarakat kampung ini, seperti setiap seminggu sekali atau dua
kali warga kampung ini diajari bahasa Inggris, jadi jika ada para sukarelawan
yang mengerti dan memahami bahasa Inggris, mereka selalu berbagi ilmu mereka
kepada anak-anak bahkan orang dewasa yang ingin belajar banyak tentang bahasa
Inggris.
Berbicara mengenai komunikasi Non
Verbal, kalau dari buku Samovar (KAB) komunikasi non verbal mengekspresikan
emosi demikian juga informasi yang spesifik. Jika dilihat-lihat rumah yang ada
di Kampung Naga ini semuanya seragam, ini merupakan salah satu bentuk
non-verbal yaitu bewarna putih (dinding) dan atap berasal dari daun nipah atau
ijuk yang ada unsur warna hitam, dan bagian dapur (dindingnya) bewarma
coklat, semua rumah saling berhadapan.
Kalau yang saya dapat dari hasil pendekatan saya dengan salah satu warga
Kampung Naga ini melihat kepada nenek moyang mereka, jadi mereka melestarikan
dan melanjutkan semua yang pernah dilakukan oleh keturunan mereka. Menurut
masyarakat sana, dinding diberi warna putih karena itu merupakan simbol hati mereka
yang suci, dan unsur warna coklat terlihat dibagian dapur kampung Naga itu
menandakan warna tanah, masyarakart Kampung Naga memang masih sangat mencintai
bumi dan alam, jadi mereka pun memberi warna rumah mereka seperti itu. Tour guide yang ada di Kampung Naga juga
rata-rata berpakaian baju bewarna putih atau hitam dan coklat atau celana hitam
atau putih, pokoknya tidak jauh-jauh dengan warna rumah mereka.
Bapak Nok dengan pakaian khas nya (salah satu warga Kampung Naga sekaligus menjadi tour guide kami di sana) |
Berbicara
dengan konteks agama, menurut dari buku Samovar Komunikasi Lintas Budaya, agama merupakan salah satu dari institusi
tersebut, hal ini telah mengikat orang bersama-sama memelihara cara pandang
budaya mereka. Agama yang dipercayai
oleh masyarakat kampung Naga ini adalah agama Islam, mereka semua mayoritas Islam
bahkan hampir semua masyarakat kampung ini beragama Islam. Jika ada warga yang
meninggal pun semua dikubur sesuai dengan ajaran Islam namun bedanya, Islam di
kampung ini masih agak menyimpang dengan Islam yang sebenarnya, contoh nya
saja, di kampung ini masih menggunakan dukun untuk ngelahirin anak mereka,
sedangkan di Islam yang saya tahu dukun itu dilarang keras dan upacara adat nya
pun masih agak menyimpang dengan ajaran Islam. Tetapi intinya masyarakat
kampung ini beragama Islam dan di kampung ini terdapat masjid, jika adzan tiba
seperti magrib, semua anak-anak berkumpul di mushola untuk melaksanakan salat
dan mengaji bersama.
Jika
dikaitkan dengan pembelajaran KAB di buku Samovar, ada yang namanya konflik
antar budaya dan di kampung ini jarang terjadi konflik antar budaya nya, ketika
saya bertanya dengan salah satu warga kampung ini, mereka selalu menjawab kalau
di kampung Naga ini semua nya harus hidup rukun, semua harus saling mengenal
satu sama lain dan mengenal semua nama kepala keluarga di kampung ini sebanyak 300
lebih jiwa yang tinggal di kampung ini dan mereka harus mengenal satu sama
lain. Jika ada konflik pun cara mereka menyelesaikan konfliknya selalu menerapkan
kata istilah di benak mereka masing-masing yang sudah ada di hati mereka yaitu
: Sili Asah (Menyayangi), Sili Asih (Memberi), Sili Asuh (Menghargai), dan Sili Payungan
(Merangkul sesama). Oleh sebab itu mereka tidak pernah terjadi konflik budaya
yang mendalam antar satu sama lain. Dan satu lagi, mereka harus menaati semua
peraturan yang ada di dalam budaya mereka karena ini semua menyangkut Amanat,
Wasiat dan Akibat.
Berkunjung
ke kampung Naga dan terlibat langsung didalamnya dan merasakan tinggal bersama
masyarakat sana memang mengasyikan dan saya jadi dapat banyak informasi
mengenai Kampung Naga terutama yang berkaitan dengan Komunikasi Antar Budaya
nya, dan budaya-budaya yang diterapkan di dalam kampung Naga ini, saya juga
jadi sadar ternyata masih ada komunitas yang seperti masyarakat Kampung Naga
yang masih tradisional sekali dan masih sangat kental dengan budaya adat sunda nya.
No comments:
Post a Comment