NIM : 11140110127
NAMA : MEIDITA KEMALA AUDIARY
KELAS : E-1
Negara beragam budaya.. ya, itu merupakan
sebutan yang tepat untuk negara Indonesia. Tidak bisa dipungkiri
lagi bahwa negara Indonesia memang memiliki tingkat keanekagaraman budaya yang
tinggi, terdiri dari kebudayaan kelompok sukubangsa dan kebudayaan daerah yang
bersifat kewilayahan (yaitu pertemuan beragam kebudayaan kelompok sukubangsa di
suatu daerah). Selain itu, kebudayaan Indonesia semakin bertambah ragamnya
dengan adanya pertemuan budaya Indonesia dengan budaya luar, sehingga
mempengaruhi proses asimilasi budaya di Indonesia.
Jika
dibandingkan dengan negara lain, tingginya tingkat keanekaragaman budaya di
Indonesia merupakan nilai tambah (keunggulan) untuk Indonesia, dan menjadi bukti
bahwasannya Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Budaya itu sendiri merupakan
suatu kekayaan yang amat bernilai karena budaya adalah ciri khas suatu daerah
dan juga sebagai lambang kepribadian suatu daerah atau bangsa. Karena itulah
kebudayaan Indonesia harus dijaga dan dilestarikan supaya tidak pudar seiring
dengan terjadinya modernisasi.
Contoh
budaya-budaya yang terkenal di Indonesia ialah budaya Bali, Jawa, Betawi,
Sunda, Batak, dan masih banyak lagi. Budaya-budaya tersebut memiliki ciri khas tersendiri
yang bisa dilihat melalui beragam aspek, seperti tarian daerah, rumah dan
pakaian adat, makanan, bahasa sehari-hari, dan lain-lain. Indonesia mempunyai
potret kebudayaan yang bervariasi dan lengkap. Contohnya saja kebudayaan Sunda
dengan tarian adatnya yaitu Tari Topeng, Jaipong, Reog, dan makanan khasnya
yaitu sayur lodeh, sayur asem, pepes, dan lalapan. Lalu kebudayaan Jawa dengan
rumah adatnya yang bernama Joglo, alat musiknya yang bernama Gamelan, dan
bahasa keseharian yaitu bahasa Jawa dengan dialek yang cenderung medok.
Tetapi
kali ini saya hanya akan memfokuskan pada kebudayaan Betawi saja. Kebudayaan
Betawi ini cukup menarik perhatian saya karena budaya ini adalah budaya yang
sudah sering saya dengar dan lihat sejak kecil. Masih ingatkah kalian dengan
sinetron “Keluarga Cemara”? Dulu saya sering menonton sinetron keluarga itu dimana
ada nyanyian dengan bunyi “Selamat pagi, Emak. Selamat pagi, Abah.” yang
menjadi soundtrack sinetron tersebut.
Emak dan Abah adalah sebutan untuk Ibu dan Ayah dalam bahasa Betawi. Lalu ada
sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari
masyarakat Betawi yang mengangkat unsur kearifan lokal budaya Betawi. Bahkan
sekarang pun masih ada beberapa sinetron Betawi yang ditayangkan di televisi,
antara lain “Si Biang Kerok”, “Si Mamat Anak Metropolitan”, dan lain-lain.
Kebudayaan
Betawi ialah salah satu kebudayaan asli Jakarta yang sudah cukup lama berdiri
di Indonesia, yakni sejak 1930. Kebudayaan suku Betawi ini merupakan hasil perpaduan
dari berbagai kelompok etnis, yaitu etnis
Sunda, Jawa, Bali, Arab, Sumbawa, Bugis, Melayu, dan Ambon yang didatangkan
oleh Belanda ke Batavia (nama Jakarta dulu). Dengan kata lain kebudayaan suku
betawi ialah hasil percampuran dari berbagai macam kebudayaan yang sudah ada
sebelumnya, baik kebudayaan Nusantara maupun kebudayaan asing. Hal ini
terjadi karena Jakarta yang menjadi tempat tinggal suku betawi, sejak dulu
merupakan daerah pesisir yang menjadi pusat perdagangan.
Meskipun sudah ada sejak 1930, kebudayaan suku Betawi masih
ada hingga sekarang. Kebudayaan ini dapat ditemukan di Perkampungan Setu Babakan,
terletak di Jakarta Selatan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa. Setu
Babakan adalah sebuah perkampungan yang dijadikan kawasan untuk mengembangkan
dan melestarikan kebudayaan Betawi. Luas wilayah Kampung Setu Babakan
ini sekitar 165 hektar. Pada tahun 2004, kampung Betawi diresmikan sebagai
kawasan cagar budaya, dibarengi dengan HUT DKI Jakarta yang ke- 474. Di kampung Betawi kita bisa merasakan
betapa hidupnya suasana Betawi. Mulai dari gapura sampai dengan rumah penduduk
khas Betawi. Kita bisa merasakan langsung suasana pedesaan serta, kita bisa
melihat langsung berbagai kesenian, tradisi, budaya, kehidupan sehari-hari, dan
ciri khas asli Betawi. Selain itu di kampung Betawi dijual banyak mainan jaman
dulu dan makanan-makanan yang murah meriah (tentunya khas Betawi). Pakaian para
petugas yang berjaga di kampung Betawi pun juga ala Betawi (memakai peci, baju
koko/sadariah, dan kain pelekat). Di perkampungan ini, masyarakat Betawi masih
tetap mempertahankan cara hidup khas Betawi serta mempertahankan budaya
tersebut, seperti memancing, berdagang, membudidayakan ikan dalam keramba,
membuat kerajinan tangan, berdagang, dan membuat makanan khas Betawi. Dengan cara
hidup inilah, mereka meningkatkan taraf hidup dan aktif menjaga lingkungan.
Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan selama dua hari berkunjung
ke kampung Betawi. Hari pertama saya kesana, suasana di kampung betawi agak sepi,
tidak terlalu ramai. Tapi tetap saja banyak jajanan khas Betawi di pinggir
jalan (di luar gapura kampung Betawi). Mulai dari kerak telor, dodol,
gado-gado, ketoprak, sampai dengan es puter. Ketika sampai di kampung Betawi
saya melihat gapura khas Betawi, lalu saya masuk ke dalam. Di dalamnya terdapat
rumah-rumah khas Betawi juga jajanan-jajanan. Hanya saja jajanan di dalam
gapura tidak sebanyak jajanan-jajanan di pinggir jalan. Jajanan di dalam gapura
lumayan bervariasi (tidak hanya khas Betawi saja), ada bakso, soto, es, toge goreng,
dsb. Harga-harga jajanan yang di jual disana pun beragam, berkisar dari harga
dua ribu rupiah sampai dengan lima belas ribu rupiah saja. Berikut ini adalah
foto-foto yang berhasil saya ambil ketika sampai disana.
Gapura Kampung Betawi |
Begitu masuk kampung Betawi saya menyadari bahwa daritadi
saya sudah melihat beberapa bentuk komunikasi non-verbal di dalam kampung Betawi.
Mengkutip dari buku Komunikasi Lintas Budaya edisi 7, disini tertulis bahwa komunikasi non-verbal meliputi semua
stimulus non-verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh
sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan
yang potensial untuk menjadi seumber atau penerima. Inilah beberapa bentuk
komunikasi non-verbal pun yang saya temui di kampung Betawi, antara lain ketika
saya memasuki kampung Betawi, saya melihat rumah-rumah penduduk dan gapura dengan
atap yang dibuat dari ukiran kayu dan dibentuk runcing seperti gerigi gergaji. Hal
ini memberi pesan non-verbal bahwa rumah atau gapura dengan atap seperti itu
adalah milik budaya Betawi saja (mengkomunikasikan bahwa atap tersebut
merupakan ciri khas kepunyaan budaya Betawi).Selain itu, banyak Rumah khas Betawi
yang tidak memasang pagar dan biasanya di bagian luar terdapat ruang tamu (seperti yang sering kita lihat di
sinetron-sinetron Betawi). Hal ini memberi pesan non-verbal bahwa pemilik rumah
tersebut welcome dalam menerima tamu.
Kemudian saya juga melihat bentuk komunikasi non-verbal lainnya melalui baju
koko/sadariah, celana batik atau boim, dan peci yang dikenakan oleh para
petugas kampung Betawi yang berjaga di depan gapura kampung Betawi dan di
sekitar danau, mereka juga mengenakan sabuk dan mengalungkan cukin (selendang
motif batik). Sebagaimana dikutip dari buku Komunikasi Lintas Budaya edisi 7,
disini tertulis bahwa pakaian dapat
digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar
moral, kemampuan atletik dan/atau ketertarikan, sistem kepercayaan (politik,
filosofi, agama), dan tingkat kepuasan. Hal ini memberi pesan beberapa non-verbal.
Dari semua setelan baju yang dikenakan oleh para petugas tersebut menggambarkan
bahwa mayoritas penduduk Betawi beragama Islam. Dimana dengan setelan baju
tersebut, mereka bisa salat dimana pun mereka berada, tanpa harus pulang dulu
ke rumah. Selain itu, setelan baju tersebut mengingatkan saya akan tokoh terkemuka
dari masyarakat Betawi, yaitu “Si Pitung”. Kemudian pakaian perempuan
sehari-hari disini adalah baju kurung (pakaian longgar yang tidak memiliki
bentuk dan tidak menunjukkan lekuk tubuh), serta memakai kerudung. Pesan non-verbal
disini masih berhubungan dengan agama. Hal ini menunjukan sistem kepercayaan
mereka, yaitu agama Islam yang memberi larangan untuk menunjukkan aurat.
Setelah melihat-lihat makanan, saya masuk menjelajahi seisi
kampung Betawi. Saya melihat ada panggung besar yang biasa dipakai untuk
melakukan pertunjukkan. Di samping kanan dan kiri panggung ada boneka Ondel-ondel
yang berukuran cukup besar untuk menunjukkan ciri khas suku Betawi. Menurut
penduduk setempat, setiap hari Minggu kampung Betawi biasa mengadakan pertunjukkan
kebudayaan, seperti Lenong, permainan musik Gambang Kromong, Ondel-ondel, maupun tari
Betawi. Nah, Ondel-ondel ini juga merupakan bentuk komunikasi non-verbal budaya
Betawi. Konon katanya Ondel-ondel ini berfungsi sebagai penolak bala yang
tujuannya adalah untuk mengusir roh-roh halus yang bergentayangan di sekitar
manusia. Tidak heran kalau wujud Ondel-ondel ini menyeramkan. Setelah
melihat-lihat penggung, saya kembali melihat rumah-rumah khas Betawi. Disini sebagian
rumah sudah banyak yang setengah modern, tapi tetap tidak meninggalkan khas
Betawi pada bagian atapnya. Selain itu, di kampung Betawi terdapat beberapa
fasilitas umum seperti musholla (karena hampir semua penduduk Betawi beragama
Islam), selain itu juga terdapat kamar mandi, aula, dan lain-lain. Lalu danau
Setu Babakan juga dimanfaatkan untuk membuat fasilitas air sebagai sarana
hiburan. Ada perahu perahu naga, sepeda air dengan bentuk bebek, dan danau
tersebut juga bisa digunakan untuk memancing. Hanya dengan membayar lima ribu
rupiah saja, kita bisa mendapatkan salah satu dari tiga hiburan tersebut.
Panggung Kesenian Kampung Betawi |
Fasilitas umum dalam kampung Betawi:
No comments:
Post a Comment