Meilysan Nutri
11140110210
B1
BAGAN SIAPI-API,
Kota Kecil Kaya Budaya
“Perbedaan budaya selayaknya tidak membuat
kita berseteru namun menyatukan kita dalam rangkaian harmoni”
Kota Bagan
Siapi-api mungkin bagi sebagian tidaklah familiar atau bahkan belum pernah
mendengar kota ini sebelumnya. Kota Bagan Siapi-api merupakan kota kecil di
Riau tepatnya di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, Indonesia. Bagan Siapi-api atau
biasa disebut dengan BAA sebagian besar penduduknya merupakan orang dari etnis
melayu namun kota ini sangat kental dengan nuansa Cina karena etnis Tionghua
yang menetap di Bagan juga cukup banyak sekitar 35% dari jumlah total 167.000
jiwa.
Untuk menuju
kota Bagan, kita dapat menempuh jalur laut, darat dan udara. Untuk jalur laut
dapat ditempuh sekitar 3hari 2malam, sedangkan darat lebih variatif tergantung
jalur mana yang ditempuh tapi saran saya adalah menempuh jalur udara. Dengan
menggunakan pesawat kita akan mendarat terlebih dahulu di Bandar Udara
Internasional Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru lalu dilanjutkan dengan
menggunakan mobil selama kurang lebih 6-7jam (kurang lebih 320km). Biasanya ada
rental mobil khusus yang melayani perjalanan dari Bagan ke Pekanbaru maupun
sebalikanya. Jauh memang, tapi disepanjang perjalanan kita akan dimanjakan
pemandangan bukit yang berkelok-kelok dan tangki-tangki besar minyak bumi milik
Chevron. Sebelum mencapai Bagan kita akan melewati kota-kota kecil seperti Duri
dan Dumai dikedua kota inilah biasanya kita akan singgah sejenak untuk mengisi
perut. Memasuki daerah Batu 6 (disebut batu 6 karena letaknya 6 kilometer dari
Bagan) kita akan disuguhi bangunan-bangunan megah berwarna putih yang kental
dengan nuansa melayu. Sayang gedung-gedung ini dibangun namun tidak digunakan
secara maksimal. Di bukit 6 terdapat alun-alun kota yang biasanya dijadikan
tempat berpelesir sambil menikmati pemandangan laut. Melanjutkan perjalanan
kita akan melwati batu 2, disana terdapat satu-satunya pom bensin yang ada di
sekitar Bagan hingga Duri-Dumai. Sesampainya di kota Bagan, nuansa Melayu
seolah hilang digantikan bangunan rumah-rumah kayu dan kicauan burung walet,
ramainya masyarakat yang berlalu lalang dengan motor atau berjalan kaki.
Batu 6 |
Mengupas rekaman
sejarah Bagan Siapi-api tidak terlepas dari lokasinya yang strategis yakni
didekat Selat Malaka, menjadikan kota ini sebagai salah satu pelabuhan utama
pada zaman penjajahan Belanda terdahulu dan sisa-sisa bangunan peninggalan
Belanda seperti Gereja dan makam masih tetap ada hingga saat ini. Sebelumnya,
Bagan Siapi-api tidaklah diperhitungkan namun karena Bagan terus berkembang
pesat dengan hasil lautnya maka Belanda mulai melirik Bagan dan juga melakukan
berbagai pembangunan disana. Bagan Siapi-api dulu juga dikenal sebagai kota
penghasil ikan nomor 1 di Indonesia dan juga termasuk daerah penghasil ikan
terbesar yang diakui dunia. Selain prestasi Bagan Siapi-api sebagai penghasil
ikan, di zaman Belanda, Bagan Siapi-api juga dikenal sebagai penghasil karet
terbesar. Pada masa perang, karet sangat dibutuhkan untuk membuat senjata atau
ban sehingga Bagan juga sangat dikenal tidak hanya di Indonesia tapi juga
hingga ke Asia. Kini, Bagan dikenal sebagai salah satu kota penghasil sarang
burung walet, banyak sekali rumah penduduk yang di alih fungsikan sebagai
rumah sarang burung.
Senja di pelabuhan |
Sejarah nama Bagan
Siapi-api dimulai kira-kira pada tahun 1878. Berdasarkan cerita turun-temurun,
dahulu kala para perantau dari Cina datang dengan menaiki tongkang (kapal
kayu). Para perantau ini tadinya berjumlah 3 kapal namun karena satu dan lain
sebab akhirnya hanya ada satu tongkang yang tersisa, yaitu tongkang keluarga
Ang. Mereka berkelana sambil membawa Patung Dewa Kie Ong Ya dan ketika mereka
mulai merasa putus asa mereka berdoa pada Dewa agar diberikan petunjuk lantas
diperolehlah petunjuk bahwa bila mereka melihat api maka mereka boleh mendarat
disitu. Tidak lama kemudian, mereka melihat kerlipan api dan segeralah mereka
menuju tempat tersebut. Ternyata kerlipan itu berasal dari kunang-kunang (siapi-api)
yang hidup di hutan bakau sekitar pantai dan kata Bagan berarti alat atau
tempat menangkap ikan. Para penggelana sangat bahagia karena ditempat mereka
mendarat terdapat banyak sekali ikan dan mereka pun menetapkan untuk tinggal
disana. Mereka hidup berkecukupan dengan hasil laut yang berlimpah, karena itu
mereka mengajak sanak saudara mereka dari Cina untuk bermukim juga di Bagan.
Sebagai wujud
syukur dan penghargaan kepada Dewa Kie Ong Ya, pada tahun 1920 dibuatlah sebuah
klenteng yaitu klenteng Ying Hock King. Klenteng ini masih digunakan hingga
saat ini, meski sempat dipugar beberapa kali namun bentuknya masih seperti saat
pertama kali dibangun dan Patung Dewa Kie Ong Ya yang pertama kali dibawa oleh
para perantau dari Cina masih disimpan di klenteng ini.
Selain itu,
terdapat tradisi atau perayaan khusus yang dilaksanakan setiap tahunnya sebagai
wujud penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya. Perayaan ini dikenal dengan
Perayaan Bakar Tongkang yang jatuh pada tanggal 16 bulan 5 (kalender Imlek)
atau bahasa Hokkiannya adalah go gwe cap lak sehingga sering disebut go cap
lak. Oh iya, go cap lak pada masa orde baru tidak diladakan karena dilarang
oleh Presiden Soeharto barulah semenjak masa pemerintahan Gus Dur sekitar tahun
2000-2001 perayaan go cap lak kembali diadakan.
Perayaan ini merupakan
serangkaian prosesi yang berujung pada pembakaran kapal kayu/tongkang. Sebelum
merayakan go cap lak biasanya akan diadakan pesta rakyat dengan mengundang
sejumlah artis dari Taiwan atau Malaysia untuk menghibur masyarakat,
selanjutnya masyarakat akan berbondong-bondong sembayang di klenteng. Selain
Ying Hock King, masyarakat juga dapat sembayang di klenteng lainnya hal ini
dikarenakan mendekati hari perayaan go cap lak banyak sekali keturunan Bagan
baik yang masih menetap dan tinggal disana maupun yang ada diluar kota akan
pulang kampung sehingga tidak mungkin jumlah masyarakat membludak dan tidak
mungkin ditampung di satu klenteng. Prosesi perayaan akan berlangsung selama 3
hari 2 malam. Selain mengadakan panggung untuk menghibur aka nada juga
pertunjukan barongsai. Pertunjukan barongsai selain untuk memeriahkan acara
juga dipercaya dapat mengusir hal-hal buruk. Oh iya, selain sembayang
masayarakat akan berbondong-bondong mengaraka ornamen-ornamen yang akan dibakar
biasanya dilaksanakan pada hari ke 2. Arak-arakan ini akan dimulai dari
klenteng Ying Hock King menuju pelabuhan. Selama perarakan sejumlah orang akan
membawa tandu, tandu ini dipercaya dihuni oleh Dewa tertentu sehingga cukup
berat dan dapat bergoyang ke kiri-kanan. Bukan hanya tandu saja, saat perayaan
go cap lak kita dapat melihat orang-orang yang dirasuki oleh dewa atau dewi.
Orang yang dirasuki akan memukul tubuh mereka dengan benda tajam seperti bola
duri atau golok dan mereka akan mengiris lidah sehingga keluarlah darah yang
digunakan untuk menandai jimat/hu (pengusir bala, setan atau hal buruk).
Tradisi ini tetap dipertahankan keasliannya secara turun temurun. Selanjutnya
pada hari ketiga, yaitu hari dimana kapal tongkang akan dibakar, tongkang
tersebut akan digotong secara beramai-ramai menuju pelabuhan atau tempat
pembakaran setelah sebelumnya tongkang dibawa terlebih dahulu ke klenteng Ying
Hock King untuk disembayangi dan diberi tanda berupa cat merah. Sesampainya di
pelabuhan dan pidato singkat dari anggota pemerintahan Rokan Hilir, tongkang
pun segera dipersiapkan untuk dibakar. Tongkang diletakkan diatas kertas
sembayang yang bertumpuk-tumpuk, diisi dengan barang-barang yang akan dibakar,
lalu layar tongkang pun dikibarkan. Tongkang benar-benar gagah dan terlihat
layaknya kapal sungguhan namun demi efisiensi material tongkang dimodifikasi
dari kayu menjadi kertas minyak. Hari semakin terik namun tidak menyurutkan
antusiasme masyarakat, lalu api pun disulut dan tidak lama kobaran api semakin
besar dan melahap tongkang hingga ludes. Setelah seluruh bagian kapal terbakar,
masyarakat dipenuhi rasa penasaran. Ya, terdapat kepercayaan yang mengatakan
apabila tiang layar tongkang yang dibakar jatuh ke arah laut maka peruntungan
ditahun tersebut akan lebih banyak di laut sedangkan apabila jatuh di darat
maka peruntungan akan lebih banyak di darat. Saat ini, perayaan bakar tongkang
sudah menjadi agenda wisata nasional loh, karena selain menyedot massa yang
cukup banyak, tradisi unik ini juga menarik perhatian wisatawan juga.
Bagan Siapi-api,
kota kecil yang kental akan kebudayaan dan tradisinya yang masih sangat
terjaga. Tidak hanya tradisi bakar tongkang yang tetap dipertahankan tapi
elemen-elemen dari nenek moyang pun masih tetap ada dan mudah kita temukan. Salah
satu contohnya adalah bagunan rumah masyarakat kebanyakan masih merupakan rumah
zaman dulu seperti rumah kayu. Gereja peninggalan Belanda terdahulu juga masih
ada, lokasinya di dalam komplek Pemakaman Orang Katolik. Gereja berbentuk segi
delapan ini sangat unik, dulu Pastur Belanda menyebarkan ajaran Agama Katolik
hingga ke pelosok kota dan di komplek ini juga terdapat tempat tinggal untuk
orang kusta. Karena minimnya pengetahuan akan pengobatan, orang yang terinfeksi
kusta akan langsung diasingkan sehingga tidak menulari orang lain nah ditempat
inilah orang kusta akan dikumpulkan dan diobati oleh perawat dan Pastur dari
Belanda. Di Bagan, air merupakan barang langka karena lokasinya yang berdekatan
dengan laut dan konstruksi tanah di Sumatra
sehingga sangat sulit untuk mendapatkan air tanah, kalaupun ada airnya
juga tidak bagus tidak seperti di Jawa. Karena itu, masyarakat biasanya
memiliki tempat penampungan air berupa bak yang terbuat dari aluminium yang
berguna untuk menampung air ketika hujan. Bagi keluarga yang cukup berada biasa
membuat instalasi air dan bak besar dibawah rumahnya untuk menampung air.
Sulitnya air di Bagan membuat masyarakat biasa mengkonsumsi air hujan atau air
payau (air sulingan dari air laut) tidak hanya untuk mandi tapi juga untuk
minum.
Rumah Kapitan Ng Cong Bun |
Salah satu
peninggalan yang hingga kini masih ada
dan membuat saya sangat kagum adalah rumah Kapitan Ng Cong Bun. Kapitan
merupakan gelar bergengsi yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada
orang-orang yang berpengaruh, penting atau kaya. Gelar ini difungsikan
pemerintah Belanda sebagai ketua atau jabatan untuk mengepalai etnis Tionghua
yang tinggal di Bagan. Rumah ini sudah berusia ratusan tahun, diperkirakan
dibangun selang beberapa tahun dari klenteng Ying Hock Kiong. Dari depan, masih
terlihat bekas-bekas kemegahan rumah ini dulu, terdapat jalan setapak selebar
kurang lebih 2 meter sepanjang 20 meter yang memisahkan rumah dengan jalan,
jalan setapak berakhir di anak tangga batu, sebagian besar konstruksi rumah
berbahan dasar kayu. Di depan rumah terdapat plat dari lempengan besi yang
menunjukan alamat dan kepemilikan rumah tersebut yaitu RT04/RT02 No. 40B
Kelurahan Bagan Timur, Kabupaten Rokan Hilir. Hingga kini, rumah tersebut masih
dihuni oleh generasi Ng yang ketiga berusia 80 tahun.
Ketika berkunjung kesana,
saya sempat ragu kalau rumah tersebut masih dihuni karena sudah reot dan tidak
terawat, banyak bagian rumah sudah rusak disana sini karena termakan usia. Saya terkejut karena dari pintu samping rumah
keluarlah seorang nenek renta yang menyambut dengan hangat, ternyata beliau
adalah keturunan ketiga dari Ng Cong Bun, dengan langkah yang terseok beliau
mengantarkan saya berkeliling rumah dan tidak lupa memperlihatkan saya piano
kesayangan Kapitan Ng. Meski sudah tidak dapat digunakan lagi, namun jelas sang
pemilik rumah tetap mempertahankan benda bersejarah tersebut karena dari yang
saya tahu beliau engga untuk menjualnya. Sangat disayangkan, rumah yang kaya
akan nilai kebudayaan dan sejarah luput dari kepedulian pemerintah setempat. Meski
rumah tersebut sudah sangat reot namun nenek Ng enggan pindah karena beliau
ingin agar rumah tersebut tetap ada sebagai bukti sejarah. Jika anda berkunjung
ke Bagan, tidak ada salahnya untuk berkunjung ke rumah Kapita Ng Cong Bun
karena anda akan disambut dengan hangat oleh nenek Ng dan dijamin anda akan
terkagum-kagum dengan arsitektur rumah kuno yang masih dipertahankan. Satu lagi
pengalaman menarik, pada saat saya berkunjung dan diajak berkeliling rumahnya,
setelah selesai saya hendak memberikan angpao (amplop merah berisi uang)
sebagai wujud tanda terima kasih namun nenek Ng mati-matian menolak, lantas
setelah dibujuk bahwa angpao tersebut dimaksudkan agar beliau mendapat rejeki
(kepercayaan etnis Tionghua pemberian angpao bertujuan agar si penerima
diberikan keberuntungan) barulah beliau mau menerima dengan syarat hanya angpao
kosong. Menarik bukan? Satu hal yang saya pelajari disini adalah kearifan orang
tua yang ingin membagikan sejarah tanpa pamrih sedikitpun.
Piano Peninggalan Kapitan Ng Cong Bun |
Komunikasi antar
budaya di Bagan menurut saya terjalin sangat baik. Sebagai ibu kota kabupaten
Rokan Hilir sekaligus kecamatan Bengkalis, tidak heran banyak orang yang datang
ke Bagan baik hanya untuk sekadar berpelesir, mencari nafkah ataupun hidup di
Bagan. Selama di Bagan, saya melihat sedikitnya terdapat 4 etnis disana etnis Melayu,
Tionghua, Batak dan Padang. Untuk agama terdapat Gereja Katolik, Gereja
Kristen, Masjid dan banyak klenteng karena kota Bagan merupakan kota kecil
letak tempat ibadah tersebut juga berdekatan dan tidak pernah terjadi konflik
diantara pemeluk agama maupun etnis disana.
Gereja Katolik Santo Petrus & Paulus |
Dari sisi bahasa sendiri, ada
banyak bahasa yang digunakan seperti Bahasa Hokkian, Bahasa Batak, Bahasa
Padang bahkan Bahasa Melayu dan tentunya bahasa Indonesia. Ketika saya
berkeliling kota, saya menaikki becak motor yang memang menjadi moda
transportasi favorit warga Bagan, bapak becaknya mengajak saya berkomunikasi
dengan bahasa Hokkian padahal beliau merupakan orang asli Minangkabau, lucu
memang namun setiap warga disana saling menghargai satu sama lain dengan cara
berbaur menurut saya. Saat perayaan bakar Tongkang pun, warga non etnis
Tionghua juga turut datang dan meramaikan suasana, selain itu pemerintah kota
Riau juga memberikan apresiasi terhadap kebudayaan Tionghua disana satu hal
yang perlu kita contoh di Jakarta yakni dengan menghargai minoritas dan
sebaliknya minoritas menghormati mayoritas.
Ne artikel ditulis dengan amat tergesa-gesa. Coba check ulang pembuka kata, dari mana ke Bagansiapiapi itu melintasi Dumai dan Duri? Dan masih banyak lagi pemaksaan data spt SPBU satu-satunya antara Bagansiapiapi - Duri, padahal ada enam SPBU antara BAA- Duri. Tuangkan keadaan sebenarnya, dan lakukan observasi secara komprehensif. Baru dirilis sbg rujukan atau literatur budaya yg anda gambarkan!
ReplyDeleteJangan terlalu mendalam
Deleteiy bener,,, menurut saya harus di ubah sedikit,,,, karena yang membaca artikel ini bukan cuman orang bagan, bisa jadi orang yang membaca artikel ini salah paham
Deletecoba lakukan penelitian yang objektif, karna saya yang tinggal di bagansiapiapi merasa artikel ini bnyak gk benernya, sejak kapan ada jalur udara di bagansiapiapi..
ReplyDeleteSudahlah...jangan di persoalkan terlalu yg mendalam...sudah syukur kami yg muda ini dapat tau bahwa bagansiapiapi punya sejarah
ReplyDeletejangan mau bodoh,,,
Deleteseharusnya klo ada salah itu di perbaiki,,, bukan didiamin
jangan mau bodoh,,,
Deleteseharusnya klo ada salah itu di perbaiki,,, bukan didiamin
Entah iya entah tidak
ReplyDeleteYg buat blog cewe, btw rumahnya dimana???
ReplyDelete