Nama : Evlin Patresia
Nim : 11140110092
Kelas : E1
(Kebersamaan di Gunung Kawi) |
( Lokasi sekitar gunung kawi, dengan diriingi
para pedagang bunga disamping)
Dengan wilayah sekitar yang asri dan
menyejukkan hati, dengan sedikit hiburan kecil dari kiri kanan yang berteriak
menawarkan orang-orang yang berlalu lalang termaksud saya dan rekan-rekan saya,
untuk membeli bunga untuk dapat dibawa sembayang diatas, kami terus berjalan
disekitar Gunung Kawi , namun perjalanan terasa mengasyikkan sehingga rasa
keingintahuan kami pun mengalahkan rasa lelah kami dalam menelusuri tempat demi
tempat. dan perlahan menghilangkan rasa takut karena asumsi banyak orang yang
cukup berlebihan tentang Gunung Kawi ini. Kami berjalan dengan salah 1 orang
yang mendampingi kami untuk dengan leluasa melihat-lihat daerah sekitar dan
sebagai petunjuk arah kemana kami akan melangkah selanjutnya karena konon
katanya disana tidak boleh sembarangan dalam berkata-kata maupun bertingkah
laku. Kami terus menyelusuri tempat demi tempat, namun disinilah “worldview”
dalam Komunikasi Antar Budaya yang cukup
terlihat adalah bahwa di Gunung kawi ini, bukan hanya etnis tertentu yang
mengunjungi, namun semua etnis, dari kalangan manapun, dan terlihat disana ada
mesjid, namun juga tempat ibadah lain seperti wihara yang berarti tidak terfokus
hanya kepada etnis tertentu, sudut pandang nya meluas tidak berpatokan hanya
kepada 1 budaya dan menggambarkan akulturasi budaya.
Setelah kami terus berjalan dan
sehabis menelusuri berbagai tempat dan pemandangan indah, juga tempat-tempat
ibadah yang telah terlihat, seketika itu juga perlahan tapi pasti kami telah
memasuki daerah yang tidak boleh sembarangan untuk dapat difoto, dan diambil
dokumentasi. Juru Kunci nomor 1 di Gunung Kawi sekarang ialah H.R Soepodojono
Ayah dari H.R.Tjandra Jana yang juga menjadi Juru Kunci setelah ayahnya, Namun
ketika anak sang Juru Kunci Gunung Kawi H.R.Tjandra Jana datang untuk memonitor
serta menjadi orang nomor 1 disana, kami mulai mendekat dan pembawa jalan
kamipun membantu kami untuk dapat melakukan wawancara dengannya, suatu hal yang
luar biasa, kami disetujui untuk dapat melakukan wawancara dengan beliau,
padahal pembawa jalan kami mengatakan sangat sulit untuk dapat berwawancara
langsung dengan beliau, namun karena alasan pendidikan, Kami diizinkan untuk
bertemu dan mencari tahu lebih luas tentang Gunung kawi dan sekitarnya.
(HR.Soepodojono Juru Kunci Pesarean Gunung Kawi )
(yang ditengah adalah HR.Tjandran Jana Juru Kunci Pesarean Gunung kawi ) |
Langkah demi langkah kami telusuri
dengan rasa yang berbeda dari biasanya, serasa merinding juga cemas dan gelisah
karena kami akan menaiki tingkat yang cukup extreme
yaitu tempat dimana semua orang yang datang untuk menyembah dan melakukan
sembayang atau semacam ritual ( Gedung Utama ) di Gunung Kawi, dilokasi ini
sudah terasa dingin dan sepi meliputi. Ketakutan pun mulai bertambah, namun
begitu kami naik kelokasi dimana banyak orang yang sedang menunggu sambil
membawa persembahan didepan kain hordeng yang menutupi, salah satu diantara
kami mulai bertanya-tanya tempat apakan ini sampai semua orang yang datang
serasa hening didepan kain hodeng yang menutupi sambil bersujud dan duduk
menghormati tampat ini, pembawa jalan kamipun memberitahu dan kami menemukan
jawabannya, yang tertutup oleh hordeng itu adalah 2 makam yang selama ini
disembah oleh kebanyakan orang pada umumnya dan telah terbukti berhasil seperti
Bentoel, Gudang Garam, yaitu makam RM Imam
Soedjono [wafat 8 Februari 1876] dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego
[wafat 22 Januari 1871].
(makam Eyang Djugo & Eyang RM Iman Soedjono) |
Ya, inilah makam keramat yang
dipercaya mampu memberikan apapun yang diinginkan, asal kita percaya. Jadi, konon kedua tokoh ini
orang Islam, yang dimakamkan secara Islam dengan adat kraton. Namun Makam
keduanya berdampingan di lokasi gedung utama. Dan disinilah terdapat larangan
keras untuk memotret atau mengambil foto saat kita masuk kompleks ziarah utama
ini, Para pekerja, juga mencerminkan Komunikasi Nonverbal dalam hal “Penampilan”
yang semua berbusana adat Jawa lengkap dan rapih, yang membantu mengawasi semua
pengunjung dengan keramahan yang cukup khas. Setelah 5 menit kami duduk melihat-lihat dan menunggu Sang Juru Kunci,
hordeng pun mulai terbuka dan terlihat jelas 2 makam itu dengan asap kemenyan
yang terlihat, lalu dengan sigap semua bangkit dan mulai mempersembahkan
persembahan kecil yang sudah dipegang masing-masing oleh orang-orang yang sudah
dari tadi menunggu. Kemudian kamipun ditawari untuk ikut melakukan sembayang
ini, namun dengan syarat membeli kembang untuk dibawa masuk, juga kami ditawari
untuk mendapatkan air yang konon katanya bisa menyembuhkan penyakit apapun. Tetapi bagi yang ingin melakukan sembayang
atau ritual di
dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik
atau dianggap buruk serta disarankan untuk terlebih dahulu mandi dengan keramas
sebelum berdoa di depan kedua makam. Hal ini menunjukkan suatu simbol bahwa
pengunjung harus secara suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Langkah kamipun tak berhenti
sampai disitu , sedikit kami melangkah, atau mengambil air, dll jangan heran dan kaget apabila kita disuruh
banyak menyumbang walaupun secara sukarela, apalagi untuk orang asing yang
belum pernah datang dan mengunjungi Gunung kawi, nampaknya sudah harus menyiapkan
uang kecil terlebih dahulu.Dan bisa
dipastikan, hampir tidak ada kaum Tionghoa yang beragama Islam. Namun mereka
sangat dan begitu menghormati, menghargai sembahyangan di depan makam ‘Imam
Soedjono dan Mbah Djoego’. disitu hati kecil saya terus bertanya apakah mereka
tahu siapa yang dimakamkan di tempat ini, Belum lagi kalau membahas secara agama,
umat muslim atau Kristiani yang boleh tidaknya dalam kepercayaannya melakukan
ritual di Gunung Kawi tersebut.
( “penampilan” semua pekerja
berbusana adat Jawa yang rapih dan khas)
|
Akhirnya, dengan perasaan
yang antara iya dan tidak, kami mencoba untuk mengikuti tradisi sembayang
disana, tanpa berfikir lebih panjang dan
jauh mengenai apa yang telah kami lakukan ini sebaiknya harus kami
lakukan atau tidak.Ketika tiba waktunya kami disuruh masuk dan mulai melakukan
wawancara sederhana bersama Sang Juru Kunci, mulanya kami sembayang berlutut
disamping makam ‘Eyang Djugo dan RM Imam Soedjono’, dengan perintah kami boleh
meminta apapun yang diinginkan sembari menaburkan bunga yang kami bawa pada
kedua makam itu, dan sesudah selesai sembayang, diatas makam itu terdapat Air
dalam gentong kecil yang menjadi syarat setiap kali habis sembayang, kita harus
mengambil airnya dan kemudian dioleskan ke jidat sampai 3 kali.Dengan keadaan
tempat yang redup dan sepi, membuat ketakutan terus merasuki tubuh kami,
walaupun sebenarnya tidak ada apa-apa. Dan cerita singkat itupun dimulai oleh
sang Juru Kunci. Dengan pembawaan budaya
dan bahasa Jawa yang masih cukup
kental, beliau bercerita dengan santun dan sopan.
beliau mengatakan
tentang Presepsi Gunung Kawi yang sudah
salah dipresepsikan oleh kebanyakan orang, yang menganggap bahwa Gunung Kawi
adalah tempat “pesugihan” dalam arti dapat memberi kekayaan secara spontan
dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi,padahal sebenarnya adalah tidak
demikian. Gunung kawi hanya tempat berziarah, dan bagi orang yang percaya maka
akan terjadi, namun juga disertai dengan usaha dan niat yang sungguh-sungguh.
Disinilah timbul pemahaman komunikasi Non-Verbal bersifat Kontekstual.
Sedikit cerita mengenai
pemahaman yang salah diartikan dan menimbulkan Komunikasi Nonverbal bersifat Kontekstual. Bukan seperti yang telah
ditayangkan ditelevisi, dan yang banyak orang katakan secara berlebihan, sampai
beliau bercerita bahwa disana pernah ada sepasang suami istri yang datang
dengan anaknya yang masih sangat kecil ( katakan saja berusia 3 tahun) mereka
datang menghadap juru kunci, dan mulai berkeluh kesah tentang kisah hidupnya
yang amat pilu dan sengsara, Sang suamipun berkata bahwa mereka sudah lelah
hidup dalam beban berkepanjangan, hutang dimana-mana, selalu direndahkan dan
dihina oleh teman, kerabat dan lingkungan sekitar, awalnya sang Juru kunci
belum mengetahui jelas apa maksudnya. Tetapi setelah itu, suami istri ini
berkata “ saya sudah pasrah pak, saya ingin cepat kaya dan saya membawa anak
saya untuk menjadi tumbalnya, saya sudah rela” keluh sang suami. Dan sekejap
Sang Juru kunci pun shock dan berkata bahwa dia tidak mengerti apa yang ada
dalam pikiran sepasang suami istri itu tentang Gunung kawi ini, dan dia juga
berkata , bahwa anak adalah pemberian terindah dari Allah yang harus dijaga dan
dirawat sebaik mungkin, bukan untuk pesugihan. Dan disini bukan tempat untuk
melakukan pesugihan seperti yang ada dibenak sepasang suami istri tersebut.
Bahkan sang juru kunci menjelaskan bahwa gunung kawi hanyalah tempat berziarah
makam kedua mbah yang semasa
hidupnya selalu ramah, baik, dan menjadi
orang pintar yang dipercaya dapat membantu banyak orang, kalau percaya dan
berdoa tetap kepada Tuhan, namun caranya bisa melalui kedua mbah ini
disampaikannya dan sering yang terjadi adalah hal positif yang mendatangkan
keberuntungan. Mendengar perkataan Sang Juru kunci,Lalu dengan spontan mereka
merasa malu dan timbul rasa kecewa. Juga hal lain yang menunjukkan salah presepsi dalam menilai gunung kawi
adalah ketika ada seseorang yang datang dan meminta tuyul sebagai pelaris toko dan usahanya.
Lalu mengenai satu pohon yang
konon dipercayai akan membawa keberuntungan yaitu Pohon Dewandaru , pohon kesabaran. Pohon yang berjenis cereme dari Belanda. yang
oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau juga pohon dewa. Konon
katanya untuk mendapat hoki dari pohon ini, para peziarah menunggu dibawah
pohon, sampai buah jatuh dari pohon. Dan Begitu ada yang jatuh, mereka langsung
berebut untuk mendapatkannya. Buah yang dipercayai kemudian disimpan dan
diambil bijinya dan dibawa pulang bisa untuk jimat, dll.
Namun, untuk mendapatkannya tidak mudah, diperlukan kesabaran
extra, karena sulit sekali agar buah nya bisa terjatuh, hanya jika buah sudah
mulai terlihat tua dan matang dan warna nya kehitam-hitaman bisa ada
kemungkinan untuk terjatuh, namun butuh waktu yang cukup lama bisa berhari-hari
bahkan berbulan-bulan. Dan biasanya bila harapan sudah terkabul, para peziarah
akan datang lagi kesini ini untuk melakukan syukuran karena telah
berhasil.
(Pohon Dewandaru/pohon yang dianggap pembawa keberuntungan) |
Kemudian, adapun peninggalan Kyai Zakaria berupa 2 buah Guci yang
dipergunakan Eyang Djugo untuk menyimpan Air yang dianggap suci untuk
menyembuhkan segala penyakit dan dapat membuang sial serta awet muda ( seperti
yang saya cerita tadi, kami mengambil airnya tadi untuk dapat menyembuhkan
segala penyakit dan bila dipakai untuk mandi, konon katanya bisa untuk membuang
kesialan) air ini sering disebut “JamJam”. Kami bukan hanya membawa pulang air
tersebut, namun kami juga diberi petunjuk untuk
meminumnya disana, kami mengambil gelas berwarna pink yang ada difoto
itu kemudian berbalik badan dan sembayang kearah tembok, meminumnya serta
membasuh muka sampai 3 kali menggunakan air itu.
( 2 Guci kuno peninggalan Mbah Djugo ) |
Adapun, Masjid RM Iman soedjono yang telah dibangun
dan dibuat pada waktu beliau masih hidup, Masjid ini terletak 500 meter antara Pesarean dan Padepokan Raden Mas Iman
Soedjono. Masjid ini dibangun cukup memadai dan seimbang dengan derapnya era
pembangunan yang pesat dan modern. Masjid Agung Iman Soedjono ini dibangun
untuk menampung para jemaah yang menjalankan ibadah sholat, mengingat Masjid
Kyai Zakaria di Pesarean sudah tidak dapat menampung lagi. juga padepokan tempat kedua Eyang tinggal pada
waktu mereka masih hidup di Gunung Kawi
yang sampai sekarang ada dan terus dirawat, yakni :
(Masjid peninggalan RM Iman Soedjono disebelah Pasarean GK) |
Yang tidak kalah uniknya, di Gunung Kawi ini juga
terdapat yang disebut dengan Ciamsi dan tempat
peribadatan ini khusus disediakan untuk menampung pengunjung yang beragama
Budha atau Tri Dharma dalam menjalankan ibadahnya. Namun disana ada sarana lain
yang menarik yang tentunya mengundang perhatian umum para pengunjung untuk
mengetahui peruntungan nasib seseorang, yaitu Ciamsi. Ugom atau surat
peruntungan nasib yang ada di Ciamsi itu klasifikasinya sama dengan astrologi,
yaitu ilmu pengetahuan tentang tabiat dan peruntungan nasib seseorang
berdasarkan perhitungan perbintangan secara umum. Maka di dalam ruangan ini
banyak pula pengunjung yang dalam beragam agama dan budaya yang ikut serta
memanfaatkan kesempatan untuk ikut mengambil kartu peruntungan nasib atau
Ciamsi tersebut.
(Ciamsi dan tempat peradaban dewi Kuam Im ) |
tidak
hanya itu, Acara tahunan yang diperingati di Gunung kawi pada lalu adalah
Perayaan khol RM Iman Soedjono 12 suro, yang dipandang sebagai hari yang
Sakral, dimana 1 suro menjadi Tahun baru dikalender Jawa, dimana mendapatkan
kehidupan baru, maka dari itu 1 Suro dijalankan secara Khusuk, orang-orang
membersihkan diri lahir dan batin, perayaan Suro acara khol RM Iman Soedjono 12
suro di Gunung Kawi terlihat sangat ramai, jutaan orang memadati lokasi itu dan
acara dijalankan dengan sesaji 12 Suro seperti yang terlihat dibawah ini.
(Acara Khol RM Iman Soedjono 12 Suro) |
( Sesaji yang dibawa untuk dipersembahkan dalam perayaan suro |
a. Selamatan Pertama pada jam 10.00 pagi
b. Selamatan Kedua pada jam 15.00 siang
c. Selamatan Ketiga pada jam 21.00 malam.
(Daftar Jadwal selamatan, juga Harga selamatan dan Harga bahan Nadzar) |
Unik apabila kita menguak latar belakang kehidupan
budaya juga Komunikasi nonverbal serta
keberagaman agama yang terdapat didalam Gunung kawi ini, dimana semua berbaur
tanpa membedakan satu dengan yang lainnya. Dan dari sini saya dan rekan-rekan saya sungguh mengetahui betapa perjalanan dan kebersamaan kami dalam mencari tahu bahwa perbedaan suatu
kebudayaan Sangat penting untuk dipahami lebih mendalam sehingga keberagaman itu tercipta, untuk membina
kehidupan bersama yang lebih baik dan terstruktur dan mengandung banyak arti
dan makna tersirat didalamnya yang dapat menjadi buah bibir bagi banyak orang
untuk diperbincangkan dan ditelaah sedemikian rupa. :)
( Semangat kebersamaan , thankyouu :D ) |
jadi pengen ke sono,,,,,,,,,,,,,,,
ReplyDelete