Pages

Saturday, January 12, 2013

Menguak Keberagaman budaya di Gunung Kawi

Menguak Keberagaman Budaya di Gunung Kawi :)

Nama         : Evlin Patresia
Nim            : 11140110092
Kelas          : E1
(Kebersamaan di Gunung Kawi)

Sungguh mengesankan rasanya, apabila kita berkunjung ketempat yang sudah menjadi trending topic bagi banyak orang untuk diperbincangkan, dan uniknya ketika kita berhasil pergi ketempat yang cukup ekstrim, namun juga menantang untuk lebih diselidiki lebih lanjut. Perjalanan pun dimulai pada tanggal 13 desember 2012 bersama ke 4 rekan yang juga bersama-sama untuk mengobservasi dan menguak keunikan budaya yang terdapat di “ Gunung Kawi” di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Meskipun perjalanan dimulai pada saat hujan, keindahan Gunung Kawi pun kian terpancar dan mendorong kami untuk terus menguak semua tentang apa yang telah menjadi pembicaraan banyak orang.
   
( Lokasi sekitar gunung kawi, dengan diriingi para pedagang bunga disamping)
Dengan wilayah sekitar yang asri dan menyejukkan hati, dengan sedikit hiburan kecil dari kiri kanan yang berteriak menawarkan orang-orang yang berlalu lalang termaksud saya dan rekan-rekan saya, untuk membeli bunga untuk dapat dibawa sembayang diatas, kami terus berjalan disekitar Gunung Kawi , namun perjalanan terasa mengasyikkan sehingga rasa keingintahuan kami pun mengalahkan rasa lelah kami dalam menelusuri tempat demi tempat. dan perlahan menghilangkan rasa takut karena asumsi banyak orang yang cukup berlebihan tentang Gunung Kawi ini. Kami berjalan dengan salah 1 orang yang mendampingi kami untuk dengan leluasa melihat-lihat daerah sekitar dan sebagai petunjuk arah kemana kami akan melangkah selanjutnya karena konon katanya disana tidak boleh sembarangan dalam berkata-kata maupun bertingkah laku. Kami terus menyelusuri tempat demi tempat, namun disinilah “worldview”  dalam Komunikasi Antar Budaya yang cukup terlihat adalah bahwa di Gunung kawi ini, bukan hanya etnis tertentu yang mengunjungi, namun semua etnis, dari kalangan manapun, dan terlihat disana ada mesjid, namun juga tempat ibadah lain seperti wihara yang berarti tidak terfokus hanya kepada etnis tertentu, sudut pandang nya meluas tidak berpatokan hanya kepada 1 budaya dan menggambarkan akulturasi budaya.

(keragamanyang Budaya  yang terlihat di Gunung Kawi)
            Setelah kami terus berjalan dan sehabis menelusuri berbagai tempat dan pemandangan indah, juga tempat-tempat ibadah yang telah terlihat, seketika itu juga perlahan tapi pasti kami telah memasuki daerah yang tidak boleh sembarangan untuk dapat difoto, dan diambil dokumentasi. Juru Kunci nomor 1 di Gunung Kawi sekarang ialah H.R Soepodojono Ayah dari H.R.Tjandra Jana yang juga menjadi Juru Kunci setelah ayahnya, Namun ketika anak sang Juru Kunci Gunung Kawi H.R.Tjandra Jana datang untuk memonitor serta menjadi orang nomor 1 disana, kami mulai mendekat dan pembawa jalan kamipun membantu kami untuk dapat melakukan wawancara dengannya, suatu hal yang luar biasa, kami disetujui untuk dapat melakukan wawancara dengan beliau, padahal pembawa jalan kami mengatakan sangat sulit untuk dapat berwawancara langsung dengan beliau, namun karena alasan pendidikan, Kami diizinkan untuk bertemu dan mencari tahu lebih luas tentang Gunung kawi dan sekitarnya.
      (HR.Soepodojono Juru Kunci Pesarean Gunung Kawi  )        
(yang ditengah adalah HR.Tjandran Jana Juru Kunci Pesarean Gunung kawi )
            Langkah demi langkah kami telusuri dengan rasa yang berbeda dari biasanya, serasa merinding juga cemas dan gelisah karena kami akan menaiki tingkat yang cukup extreme yaitu tempat dimana semua orang yang datang untuk menyembah dan melakukan sembayang atau semacam ritual ( Gedung Utama ) di Gunung Kawi, dilokasi ini sudah terasa dingin dan sepi meliputi. Ketakutan pun mulai bertambah, namun begitu kami naik kelokasi dimana banyak orang yang sedang menunggu sambil membawa persembahan didepan kain hordeng yang menutupi, salah satu diantara kami mulai bertanya-tanya tempat apakan ini sampai semua orang yang datang serasa hening didepan kain hodeng yang menutupi sambil bersujud dan duduk menghormati tampat ini, pembawa jalan kamipun memberitahu dan kami menemukan jawabannya, yang tertutup oleh hordeng itu adalah 2 makam yang selama ini disembah oleh kebanyakan orang pada umumnya dan telah terbukti berhasil seperti Bentoel, Gudang Garam, yaitu makam RM Imam Soedjono [wafat 8 Februari 1876] dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego [wafat 22 Januari 1871].
(makam Eyang Djugo & Eyang RM Iman Soedjono)
Ya, inilah makam keramat yang dipercaya mampu memberikan apapun yang diinginkan, asal kita percaya. Jadi, konon kedua tokoh ini orang Islam, yang dimakamkan secara Islam dengan adat kraton. Namun Makam keduanya berdampingan di lokasi gedung utama. Dan disinilah terdapat larangan keras untuk memotret atau mengambil foto saat kita masuk kompleks ziarah utama ini, Para pekerja, juga mencerminkan Komunikasi Nonverbal dalam hal “Penampilan” yang semua berbusana adat Jawa lengkap dan rapih, yang membantu mengawasi semua pengunjung dengan keramahan yang cukup khas.  Setelah 5 menit kami duduk melihat-lihat dan menunggu Sang Juru Kunci, hordeng pun mulai terbuka dan terlihat jelas 2 makam itu dengan asap kemenyan yang terlihat, lalu dengan sigap semua bangkit dan mulai mempersembahkan persembahan kecil yang sudah dipegang masing-masing oleh orang-orang yang sudah dari tadi menunggu. Kemudian kamipun ditawari untuk ikut melakukan sembayang ini, namun dengan syarat membeli kembang untuk dibawa masuk, juga kami ditawari untuk mendapatkan air yang konon katanya bisa menyembuhkan penyakit apapun. Tetapi bagi yang ingin melakukan sembayang atau ritual di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik atau dianggap buruk serta disarankan untuk terlebih dahulu mandi dengan keramas sebelum berdoa di depan kedua makam. Hal ini menunjukkan suatu simbol bahwa pengunjung harus secara suci lahir dan batin sebelum berdoa. 
( “penampilan” semua pekerja berbusana adat Jawa yang rapih dan khas)
Langkah kamipun tak berhenti sampai disitu , sedikit kami melangkah, atau mengambil air, dll  jangan heran dan kaget apabila kita disuruh banyak menyumbang walaupun secara sukarela, apalagi untuk orang asing yang belum pernah datang dan mengunjungi Gunung kawi, nampaknya sudah harus menyiapkan uang kecil terlebih dahulu.Dan  bisa dipastikan, hampir tidak ada kaum Tionghoa yang beragama Islam. Namun mereka sangat dan begitu menghormati, menghargai sembahyangan di depan makam ‘Imam Soedjono dan Mbah Djoego’. disitu hati kecil saya terus bertanya apakah mereka tahu siapa yang dimakamkan di tempat ini, Belum lagi kalau membahas secara agama, umat muslim atau Kristiani yang boleh tidaknya dalam kepercayaannya melakukan ritual di Gunung Kawi tersebut.
Akhirnya, dengan perasaan yang antara iya dan tidak, kami mencoba untuk mengikuti tradisi sembayang disana, tanpa berfikir lebih panjang dan  jauh mengenai apa yang telah kami lakukan ini sebaiknya harus kami lakukan atau tidak.Ketika tiba waktunya kami disuruh masuk dan mulai melakukan wawancara sederhana bersama Sang Juru Kunci, mulanya kami sembayang berlutut disamping makam ‘Eyang Djugo dan RM Imam Soedjono’, dengan perintah kami boleh meminta apapun yang diinginkan sembari menaburkan bunga yang kami bawa pada kedua makam itu, dan sesudah selesai sembayang, diatas makam itu terdapat Air dalam gentong kecil yang menjadi syarat setiap kali habis sembayang, kita harus mengambil airnya dan kemudian dioleskan ke jidat sampai 3 kali.Dengan keadaan tempat yang redup dan sepi, membuat ketakutan terus merasuki tubuh kami, walaupun sebenarnya tidak ada apa-apa. Dan cerita singkat itupun dimulai oleh sang Juru Kunci. Dengan pembawaan budaya dan bahasa Jawa yang masih cukup kental, beliau bercerita dengan santun dan sopan.
beliau mengatakan tentang  Presepsi Gunung Kawi yang sudah salah dipresepsikan oleh kebanyakan orang, yang menganggap bahwa Gunung Kawi adalah tempat “pesugihan” dalam arti dapat memberi kekayaan secara spontan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi,padahal sebenarnya adalah tidak demikian. Gunung kawi hanya tempat berziarah, dan bagi orang yang percaya maka akan terjadi, namun juga disertai dengan usaha dan niat yang sungguh-sungguh. Disinilah timbul pemahaman komunikasi Non-Verbal bersifat Kontekstual.
Sedikit cerita mengenai pemahaman yang salah diartikan dan menimbulkan Komunikasi Nonverbal bersifat Kontekstual. Bukan seperti yang telah ditayangkan ditelevisi, dan yang banyak orang katakan secara berlebihan, sampai beliau bercerita bahwa disana pernah ada sepasang suami istri yang datang dengan anaknya yang masih sangat kecil ( katakan saja berusia 3 tahun) mereka datang menghadap juru kunci, dan mulai berkeluh kesah tentang kisah hidupnya yang amat pilu dan sengsara, Sang suamipun berkata bahwa mereka sudah lelah hidup dalam beban berkepanjangan, hutang dimana-mana, selalu direndahkan dan dihina oleh teman, kerabat dan lingkungan sekitar, awalnya sang Juru kunci belum mengetahui jelas apa maksudnya. Tetapi setelah itu, suami istri ini berkata “ saya sudah pasrah pak, saya ingin cepat kaya dan saya membawa anak saya untuk menjadi tumbalnya, saya sudah rela” keluh sang suami. Dan sekejap Sang Juru kunci pun shock dan berkata bahwa dia tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran sepasang suami istri itu tentang Gunung kawi ini, dan dia juga berkata , bahwa anak adalah pemberian terindah dari Allah yang harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin, bukan untuk pesugihan. Dan disini bukan tempat untuk melakukan pesugihan seperti yang ada dibenak sepasang suami istri tersebut. Bahkan sang juru kunci menjelaskan bahwa gunung kawi hanyalah tempat berziarah makam kedua  mbah yang semasa hidupnya  selalu ramah, baik, dan menjadi orang pintar yang dipercaya dapat membantu banyak orang, kalau percaya dan berdoa tetap kepada Tuhan, namun caranya bisa melalui kedua mbah ini disampaikannya dan sering yang terjadi adalah hal positif yang mendatangkan keberuntungan. Mendengar perkataan Sang Juru kunci,Lalu dengan spontan mereka merasa malu dan timbul rasa kecewa. Juga hal lain yang menunjukkan salah presepsi dalam menilai gunung kawi adalah ketika ada seseorang yang datang dan meminta tuyul sebagai pelaris toko dan usahanya.
Lalu mengenai satu pohon yang konon dipercayai akan membawa keberuntungan yaitu Pohon Dewandaru , pohon kesabaran. Pohon yang berjenis cereme dari Belanda. yang oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau juga pohon dewa. Konon katanya untuk mendapat hoki dari pohon ini, para peziarah menunggu dibawah pohon, sampai buah jatuh dari pohon. Dan Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut untuk mendapatkannya. Buah yang dipercayai kemudian disimpan dan diambil bijinya dan dibawa pulang bisa untuk jimat, dll.
Namun, untuk mendapatkannya tidak mudah, diperlukan kesabaran extra, karena sulit sekali agar buah nya bisa terjatuh, hanya jika buah sudah mulai terlihat tua dan matang dan warna nya kehitam-hitaman bisa ada kemungkinan untuk terjatuh, namun butuh waktu yang cukup lama bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Dan biasanya bila harapan sudah terkabul, para peziarah akan datang lagi kesini ini untuk melakukan syukuran karena telah berhasil. 
(Pohon Dewandaru/pohon yang dianggap pembawa keberuntungan)
Kemudian, adapun peninggalan Kyai Zakaria berupa 2 buah Guci yang dipergunakan Eyang Djugo untuk menyimpan Air yang dianggap suci untuk menyembuhkan segala penyakit dan dapat membuang sial serta awet muda ( seperti yang saya cerita tadi, kami mengambil airnya tadi untuk dapat menyembuhkan segala penyakit dan bila dipakai untuk mandi, konon katanya bisa untuk membuang kesialan) air ini sering disebut “JamJam”. Kami bukan hanya membawa pulang air tersebut, namun kami juga diberi petunjuk untuk  meminumnya disana, kami mengambil gelas berwarna pink yang ada difoto itu kemudian berbalik badan dan sembayang kearah tembok, meminumnya serta membasuh muka sampai 3 kali menggunakan air itu.
( 2 Guci kuno peninggalan Mbah Djugo )

Adapun, Masjid RM Iman soedjono yang telah dibangun dan dibuat pada waktu beliau masih hidup, Masjid ini terletak 500 meter antara Pesarean dan Padepokan Raden Mas Iman Soedjono. Masjid ini dibangun cukup memadai dan seimbang dengan derapnya era pembangunan yang pesat dan modern. Masjid Agung Iman Soedjono ini dibangun untuk menampung para jemaah yang menjalankan ibadah sholat, mengingat Masjid Kyai Zakaria di Pesarean sudah tidak dapat menampung lagi. juga padepokan tempat kedua Eyang tinggal pada waktu mereka masih hidup  di Gunung Kawi yang sampai sekarang ada dan terus dirawat, yakni :
(Masjid peninggalan RM Iman Soedjono disebelah Pasarean GK)  

 Yang tidak kalah uniknya, di Gunung Kawi ini juga terdapat  yang disebut dengan Ciamsi dan tempat peribadatan ini khusus disediakan untuk menampung pengunjung yang beragama Budha atau Tri Dharma dalam menjalankan ibadahnya. Namun disana ada sarana lain yang menarik yang tentunya mengundang perhatian umum para pengunjung untuk mengetahui peruntungan nasib seseorang, yaitu Ciamsi. Ugom atau surat peruntungan nasib yang ada di Ciamsi itu klasifikasinya sama dengan astrologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tabiat dan peruntungan nasib seseorang berdasarkan perhitungan perbintangan secara umum. Maka di dalam ruangan ini banyak pula pengunjung yang dalam beragam agama dan budaya yang ikut serta memanfaatkan kesempatan untuk ikut mengambil kartu peruntungan nasib atau Ciamsi tersebut.
        (Ciamsi dan tempat peradaban dewi Kuam Im )
            tidak hanya itu, Acara tahunan yang diperingati di Gunung kawi pada lalu adalah Perayaan khol RM Iman Soedjono 12 suro, yang dipandang sebagai hari yang Sakral, dimana 1 suro menjadi Tahun baru dikalender Jawa, dimana mendapatkan kehidupan baru, maka dari itu 1 Suro dijalankan secara Khusuk, orang-orang membersihkan diri lahir dan batin, perayaan Suro acara khol RM Iman Soedjono 12 suro di Gunung Kawi terlihat sangat ramai, jutaan orang memadati lokasi itu dan acara dijalankan dengan sesaji 12 Suro seperti yang terlihat dibawah ini.

   (Acara Khol RM Iman Soedjono 12 Suro)  
dalam perayaan 1 suro inipun terdapat sesaji yang dipersiapkan untuk menjadi persembahan yang akan diberikan kepada MBah Djugo dan Mbah RM Iman Soedjono.
 ( Sesaji yang dibawa untuk dipersembahkan dalam perayaan suro
 Lalu yang tidak kalah menariknya, adapun upacara selamatan diadakan tiga kali setiap harinya yaitu:
a. Selamatan Pertama pada jam 10.00 pagi
b. Selamatan Kedua pada jam 15.00 siang
c. Selamatan Ketiga pada jam 21.00 malam.
(Daftar Jadwal selamatan, juga Harga selamatan dan Harga bahan Nadzar)
Kecuali pada hari malam Jum’at Legi serta hari – hari Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, mengingat banyaknya pesanan – pesanan selamatan, maka upacara selamatan diselenggarakan satu kali saja dalam sehari semalam, yaitu kira – kira pada jam : 24.00 malam, kemudian khusus kepada para pengunjung / peziarah yang mempunyai niat nanggap wayang kulit, karena terkait dengan adanya prosedur ijin keramaian dari pihak yang berwajib maka dimohon untuk mendaftarkan hajadnya tersebut minimal satu minggu sebelumnya.

Unik apabila kita menguak latar belakang kehidupan budaya juga Komunikasi nonverbal  serta keberagaman agama yang terdapat didalam Gunung kawi ini, dimana semua berbaur tanpa membedakan satu dengan yang lainnya. Dan dari sini saya dan rekan-rekan saya sungguh mengetahui  betapa perjalanan dan kebersamaan kami dalam mencari tahu bahwa perbedaan suatu  kebudayaan Sangat penting untuk dipahami lebih mendalam sehingga keberagaman itu tercipta, untuk membina kehidupan bersama yang lebih baik dan terstruktur dan mengandung banyak arti dan makna tersirat didalamnya yang dapat menjadi buah bibir bagi banyak orang untuk diperbincangkan dan ditelaah sedemikian rupa. :)

( Semangat kebersamaan , thankyouu :D )

1 comment: