Nama : Ivana Natasha
NIM : 11140110093
Kelas : E1
Pernah mendengar Kampung Hagas sebelumnya? Atau mungkin,
kamu pernah berkunjung ke kampung Hagas? Mungkin nama ‘hagas’ saja begitu asing
di telinga kalian, begitu juga dengan saya sebelum mengunjungi kampung tersebut.
Untuk clue pertama saja, Kampung
Hagas terletak di salah satu kota kecil yang terdapat di Indonesia. Masih bingung dengan kampung hagas? Yuk, saya
akan membawa kamu semua ‘mengunjungi’ kampung Hagas.
Kampung Hagas merupakan salah satu komunitas menarik yang
terdapat di kota Batam, Kepulauan Riau. Jika kota Batam hanya terkenal sebagai
kota dengan barang elektronik murah dan kota yang dekat dengan Singapura, Kota
Batam juga memiliki keunikan budaya yang terdapat di kampung Hagas. Mayoritas
penduduk dari kampung Hagas ialah suku Melayu. Namun, masih banyak suku lainnya
yang tinggal di kampung tersebut, seperti suku Banjar, suku Flores, dan Jawa. Mereka
hidup akur satu sama lain dan memiliki semangat kekeluargaan yang kuat. Waktu
saya pertama kali datang kesana, Saya terpukau dengan kehidupan mereka yang
bisa dibilang jauh dari keglamoran, namun senyum tetap terpancar di wajah
mereka.
Lokasi kampung Hagas cukup sulit untuk dijangkau. Mobil
tidak dapat masuk ke kawasan karena kampung mereka hanya memiliki jalan beton
kecil yang hanya mampu dilewati oleh motor. Lokasi kampung ini terletak di
dekat pantai sehingga jauh dari kehidupan kota. Ketika saya bertanya mengenai
lokasi kampung Hagas kepada penduduk di sekitar, Mereka bila, “ Oh, yang
tinggal di pelantar itu kan? Yang rumah- rumah panggung?” Saya pun langsung
diarahkan ke kampung Hagas ini.
Bicara soal “pelantar”,
mungkin sebagian dari kita akan beranggapan bahwa pelantar merupakan rumah-
rumah yang berdiri di atas laut layaknya rumah panggung. Namun, setelah saya
tanya kepada salah satu penduduk setempat, kata pelantar sendiri berasal dari
bahasa Melayu, yang sebenarnya
memiliki arti daerah kamar mandi.
Bermukim di atas laut bukanlah hal yang mudah. Terkadang
rumah penduduk di kampung Hagas terendam air
karena air laut yang pasang. Tidak hanya itu sampah – sampah yang
dibuang di laut pun akhirnya ikut mencemari lingkungan kampung Hagas. Namun,
banyak hal positif yang penduduk kampung Hagas dapatkan dari lokasi mereka yang
berada di atas laut. Penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan sangat
diuntungkan. Meskipun tidak semua penduduk bekerja sebagai nelayan, namun
mereka mengerti cara menjala ikan, menambak udang dan berlayar.
Sekarang, yuk kita telusuri elemen budaya yang ada di kampung Hagas!
Perantau Pencari
Kerja
Kota Batam merupakan salah satu kota ‘sibuk’ di Indonesia, Oleh
karena itu banyak sekali perantau maupun investor yang tinggal menetap di
Batam. Sebagai salah satu kota yang menjadi tujuan untuk mencari nafkah, tentunya
begitu banyak pendatang dari daerah- daerah lain di kota Batam. Begitu juga
dengan yang ada di kampung Hagas. Kampung Hagas sudah terbentuk berpuluh- puluh
tahun yang lalu. Sewaktu saya mengunjungi kampung Hagas, saya sempat
berbincang- bincang dengan ketua RT setempat, yakni Bapak Baharuddin. Beliau
mengatakan bahwa Ia sudah bermukim di kampung Hagas lebih dari 22 tahun. Bapak
Baharuddin merupakan salah satu perantau dari Selat Panjang yang hijrah ke kota
Batam untuk mencari pekerjaan. Alhasil kampung Hagas memang diisi oleh
perantau- perantau dari daerah- daerah lain seperti Kalimantan, Flores, Medan
dan daerah lainnya. Mengenai beragamnya suku yang terdapat di kampung Hagas, saya
sedikit penasaran dengan konflik antarsuku yaitu suku Batak dan suku Flores
yang terjadi di kota Batam. Ketua RT, Bapak Baharuddin mengatakan bahwa
beberapa tahun yang lalu memang terjadi konflik antar suku Batak dan suku
Flores, tapi Bapak Baharuddin menyatakan dengan jelas bahwa konflik tersebut
tidak memengaruhi keutuhan kampung Hagas. “Diluar kampung Hagas memang ada perang suku
tapi di kampung Hagas sendiri, walaupun ada suku Batak dan Flores, tidak ada
tuh.”
Mayoritas Beragama Muslim
Penduduk di kampung Hagas umumnya beragama Muslim. Sewaktu
saya berkunjung memang saya tidak bertemu warga yang merupakan keturunan
Tionghoa, yang saya lihat hanya warga asli Indonesia atau pribumi. Ketika saya
bertanya perihal agama, Bapak Baharuddin memang menjelaskan bahwa warga kampung
Hagas tidak semuanya beragama Muslim, ada juga yang beragama Kristen. Namun,
untuk ritual- ritual keagamaan yang dijalankan memang biasanya memakai ritual
agama Islam. Meskipun kampung Hagas memiliki elemen budaya yakni agama yang
berbeda, Namun hal itu sama sekali tidak menimbulkan konflik. Saya sempat
bertanya apakah pernah terjadi konflik perihal agama di kampung Hagas. Pak RT
pun menggeleng tegas. Menurutnya, selama Ia memimpin sebagai ketua RT di
kampung Hagas, belum pernah ada konflik atau percekcokan seputar agama. Bahkan
selama 22 tahun Ia tinggal di kampung Hagas pun, belum ada konflik parah yang
terjadi antarwarga. Intinya , menurut Bapak Baharuddin, toleransi dan sikap
saling menghormati sangat dijunjung di kampung Hagas sehingga antarwarga mampu
menghargai satu sama lain.
Pak RT, Bapak Baharuddin
Berbeda Suku, Bahasa
Satu
Terdiri dari beragam suku dan latar belakang yang berbeda satu sama lain, mungkin
kita akan berpendapat bahwa warga kampung Hagas akan mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi. Namun, itu tidak benar. Kampung Hagas memang terdiri banyak suku
bahkan suku- suku yang ada termasuk dalam suku dominan di Indonesia. Tetapi,
baik suku yang satu maupun suku yang lain sangat menghargai satu sama lain. Oleh
sebab itu, bahasa yang mereka gunakan pun tidak menggunakan bahasa suku mereka
masing- masing, namun menggunakan bahasa
Indonesia-Melayu. Saya katakan bahasa Indonesia- Melayu karena ada kata-
kata yang diserap langsung dari bahasa Melayu dan bahasa tersebut merupakan
bahasa sehari- hari warga Batam. Bahasa Indonesia – Melayu seperti kata dilemparkan, jika dalam bahasa Melayu
menjadi dicampakkan.
Pernikahan ala
Kampung Hagas
Selanjutnya ialah tradisi pernikahan yang khas di kampung
Hagas. Tradisi pernikahan di kampung Hagas mengikuti kebudayaan Melayu yang
diawali dengan merisik. Apa itu
merisik? Merisik itu seperti pendekatan atau PDKT dalam bahasa sehari- hari. Jadi
disaat kita menyukai seseorang, kita cari tahu dan pelajari orang yang kita
suka terlebih dahulu. Kemudian langkah selanjutnya ialah meminang. Pada tahap ini, keluarga pria mendatangi keluarga wanita
dengan maksud untuk melamar. Pada tahap ini juga ada yang namanya tanda jadi,
seperti cincin dan juga mas kawin yaitu seperangkat alat sholat. Setelah
keluarga pria meminang calon mempelai wanita, ada yang namanya kasih antaran. Kasih antaran ialah calon
mempelai pria memberikan uang belanja kepada keluarga wanita untuk
mempersiapkan pesta pernikahan, dan semua dana pernikahan berasal dari calon
mempelai pria. Tahap yang lebih tinggi lagi ialah berzanji. Berzanji ialah acara pernikahan yang akan diawali dengan
arak-arakan, dimana mempelai pria mendatangi kediaman mempelai wanita, dibawa
ke pelaminan, disandingkan bersama. Pada acara berzanji ini, karena warga kampung
Hagas mayoritas beragama Muslim maka pada acara pernikahan akan ada pembacaan
doa- doa untuk kedua mempelai.
Hal yang sangat unik dari kampung Hagas ialah rasa
kekeluargaan mereka yang kuat. Ternyata pada saat ada salah satu warga yang
akan menikah, maka warga yang lain akan turut membantu. Dengan apa mereka
membantu? Biasanya tetangga- tetangga yang lain akan datang membantu memasak,
menyumbangkan bahan makanan seperti telur, beras, dan bahan makanan lainnya. Bagi
warga kampung Hagas, mereka sudah layaknya keluarga besar dan kepeduliaan
antarsesama sangat tinggi di kampung Hagas.
Sudah membantu pada sebelum acara, tetangga- tetangga juga
tetap datang ke acara pernikahan dengan membawa kado untuk kedua mempelai. Kado
– kado yang dibawa dapat berupa perlengkapan rumah tangga, uang dan keperluan
rumah tangga lainnya.
Proses Kelahiran dan
Khitanan
Karena warga kampung Hagas hanya berjumlah 114 kepala
keluarga, tentu berita kehamilan dari salah satu warga sangat cepat menyebar. Biasanya
para tetangga akan sering mengunjungi warga wanita yang hamil untuk menjenguk. Mendekati
hari kelahiran, para tetangga akan lebih sering menjenguk. Tidak hanya itu,
mereka juga membantu mempersiapkan hari kedatangan si bayi. Kampung yang cukup
jauh dari kota dan keuangan yang tidak besar mengharuskan warga kampung Hagas
yang hamil melahirkan dengan bidan. Tapi jangan khawatir, ada bidan yang
tinggal di kampung Hagas. Pada hari kelahiran si bayi, biasanya ibu- ibu
tetangga akan sangat repot membantu persalinan. Sungguh erat tali persaudaraan
yang dibangun!
40 hari setelah proses kelahiran, kita mengenal adanya aqiqah dan potong rambut bayi. Dengan background agama Muslim, tentunya
tradisi yang dilakukan berdasarkan ritual agama Islam. Pada acara potong rambut
bayi, lagi- lagi tetangga yang lain akan membantu gotong royong memasak untuk
acara, dan ada juga tetangga yang menyumbangkan makanan jadi untuk acara aqiqah
tersebut. Pada acara aqiqah, tamu yang
datang biasanya membawa hadiah seperti perlengkapan bayi.
Lain lagi dengan acara khitanan yang dilakukan untuk anak
laki- laki yang berusia 10 tahun. Pada acara khitanan ini, para tetangga yang
lain juga ikut turut serta mempersiapkan serta memeriahkan acara. Selain itu
tetangga dan tamu- tamu yang datang biasanya membawa hadiah, dapat berupa uang
maupun barang.
Upacara Kematian
Pada prosesi upacara kematian , warga kampung Hagas tidak
memiliki ritual yang banyak. Biasanya jika salah satu warga kampung Hagas ada
yang meninggal, maka layaknya acara- acara yang lain, warga kampung Hagas akan
turut membantu. Untuk upacara kematian, warga kampung Hagas yang pria akan turut
“nyangkul”. Maksud dari nyangkul ini
ialah warga lain lah yang akan menyangkul lubang kubur untuk jenazah warga yang
meninggal tersebut. Penguburan biasanya dilakukan di Tanjung Uma Atas, tidak
jauh dari kawasan kampung Hagas.
Selain ritual nyangkul, ritual selanjutnya ialah tahlilan. Sesuai dengan agama Islam,
kita harus mendoakan roh yang sudah meninggal. Biasanya tahlilan dilakukan sesuai
dengan kurun waktu tertentu, seperti 7 hari setelah kematian, 40 hari dan
sebagainya.
Nelayan sebagai Mata
Pencaharian
Hal terakhir nan unik dari kampung Hagas ialah mata
pencaharian penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Meskipun sudah banyak yang
tidak menjadi nelayan (bekerja di kota) namun, jika ada waktu senggang, warga
kampung Hagas akan berlayar untuk sekadar mengisi waktu luang.
Saya ingin menceritakan sedikit tentang pekerjaan nelayan di
kampung Hagas. Warga kampung Hagas yang bekerja sebagai nelayan biasanya
berangkat dari rumah pukul 3 sore dan pulang keesokan harinya pukul 10. Namun,
untuk waktu disesuaikan dengan cuaca. Nelayan yang berangkat biasanya membawa
es boks untuk ikan- ikan hasil tangkapan mereka. Tidak ketinggalan jaring untuk
menangkap ikan. Untuk sekadar pengetahuan saja, jaring ikan yang digunakan
kira- kira ukurannya sekitar 20 meter untuk panjangnya dan lebarnya sekitar 3
meter. Cukup panjang bukan?
Dengan jaring yang panjang tersebut, nelayan mampu menangkap
banyak ikan, terutama ikan- ikan sedang yang badannya atau siripnya tersangkut
di lubang jaring. Jaring yang panjang tersebut sulit untuk dipasang ternhyata. Butuh
waktu sekitar 3 jam untuk memasang jaring. Jaring terpasang layaknya tembok
atau pagar. Jadi jaring yang berbentuk persegi panjang, dicampakkan secara datar membentuk pagar sehingga ikan manapun yang
lewat akan tersangkut di jaring dan mereka tidak mungkin dapat menghindar. “Sejak kapan ikan bisa berenang mundur?”
Pada saat saya diceritakan mengenai pekerjaan nelayan, saya
cukup takjub dengan para nelayan yang hanya menggunakan boat kecil tanpa
pengaman dan harus tidur sepanjang malam ditengah laut. Untuk pekerjaan nelayan
sendiri merupakan pekerjaan turunan. Kalau ayahnya merupakan nelayan, anaknya
kemungkinan besar juga akan menjadi nelayan, begitu seterusnya hingga ke anak
cucu lain, karena sejak kecil anak- anak sudah diajarkan untuk ‘menjaring’.
Jika nelayan tidak ingin pergi ke laut lepas, biasanya
mereka akan memasang jaring di pinggir laut, dimana air nya tidak dalam. Jenis-
jenis ikan kecil, udang, cumi yang biasanya ditangkap di laut yang dangkal. Berbeda
dengan laut lepas. Hasil tangkapan dapat ebrupa ikan tenggiri, ikan pari,
bahkan ikan hiu kecil.
Nelayan yang hanya menjaring di laut dangkal biasanya hanya menggunakan
sampan. Berbeda dengan nelayan yang menjala di laut lepas. Mereka biasanya
menggunakan boat. Saya sempat bertanya mengenai boat yang digunakan nelayan. Nelayan,
dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, biasanya menyewa boat orang lain. Namun,
jika mereka merasa yakin bahwa minat mereka sebagai nelayan, maka mereka akan
menabung untuk membeli boat. Jika belum mampu membeli baot yang baru, mereka
membeli boat yang bekas.
Untuk pembagian hasil, mereka menyebutnya dengan bagi 3. Berapapun
hasil tangkapan nelayan pada saat itu, maka dua bagian untuk pemilik boat dan
satu bagian untuk nelayan.
Batam sangat dekat dengan negara Singapura dan Malaysia,
oleh sebab itu nelayan yang menjala akan berlayar ke perbatasan antara Malaysia
dan Singapura untuk menjaring ikan. Waktu yang ditempuh sangat cepat, kurang lebih
hanya setengah jam. Sesampai di lokasi yang menurut mereka tepat, maka nelayan
akan mulai memasang jaring. Setelah itu nelayan hanya perlu menunggu. Selama
masa penantian tersebut, biasanya para nelayan tertidur dan jaring pun terus
berjalan mengikuti arus air, sehingga terkadang disaat nelayan sadar, lokasi
mereka sudah berubah.
Karena lokasi penjaringan yang dekat dengan perbatasan,
seringkali nelayan ditegur oleh pasukan Malaysia yang menyadari bahwa nelayan
telah melewati garis perbatasan. Jika demikian, para nelayan harus segera
membongkar jaring, yangmana membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika nelayan
tidak mau membongkar jaring, maka pasukan Malaysia akan memotong jaring
tersebut sebagai punishment.
Pengalaman yang cukup menarik untuk saya menelusuri kampung
Hagas di kota Batam. Banyak hal yang saya dapatkan dan pelajari dari pengalaman
observasi kali ini. Mulai dari lingkungan dengan suasana kekeluargaan yang
erat, tradisi- tradisi khas serta pekerjaan nelayan yang sungguh hebat. Sungguh
menyenangkan dan berkesan. So, tunggu apalagi guys, kalian juga bisa berkunjung
ke kampung Hagas!
sudah dikumpul! :D
ReplyDelete