Pages

Saturday, January 12, 2013

Pengalaman di Kampung Hagas, Kehidupan di "Pelantar"


Nama : Ivana Natasha
NIM : 11140110093
Kelas : E1



Pernah mendengar Kampung Hagas sebelumnya? Atau mungkin, kamu pernah berkunjung ke kampung Hagas? Mungkin nama ‘hagas’ saja begitu asing di telinga kalian, begitu juga dengan saya sebelum mengunjungi kampung tersebut. Untuk clue pertama saja, Kampung Hagas terletak di salah satu kota kecil yang terdapat di Indonesia.  Masih bingung dengan kampung hagas? Yuk, saya akan membawa kamu semua ‘mengunjungi’ kampung Hagas.

Kampung Hagas merupakan salah satu komunitas menarik yang terdapat di kota Batam, Kepulauan Riau. Jika kota Batam hanya terkenal sebagai kota dengan barang elektronik murah dan kota yang dekat dengan Singapura, Kota Batam juga memiliki keunikan budaya yang terdapat di kampung Hagas. Mayoritas penduduk dari kampung Hagas ialah suku Melayu. Namun, masih banyak suku lainnya yang tinggal di kampung tersebut, seperti suku Banjar, suku Flores, dan Jawa. Mereka hidup akur satu sama lain dan memiliki semangat kekeluargaan yang kuat. Waktu saya pertama kali datang kesana, Saya terpukau dengan kehidupan mereka yang bisa dibilang jauh dari keglamoran, namun senyum tetap terpancar di wajah mereka.
 

Lokasi kampung Hagas cukup sulit untuk dijangkau. Mobil tidak dapat masuk ke kawasan karena kampung mereka hanya memiliki jalan beton kecil yang hanya mampu dilewati oleh motor. Lokasi kampung ini terletak di dekat pantai sehingga jauh dari kehidupan kota. Ketika saya bertanya mengenai lokasi kampung Hagas kepada penduduk di sekitar, Mereka bila, “ Oh, yang tinggal di pelantar itu kan? Yang rumah- rumah panggung?” Saya pun langsung diarahkan ke kampung Hagas ini.

Bicara soal “pelantar”, mungkin sebagian dari kita akan beranggapan bahwa pelantar merupakan rumah- rumah yang berdiri di atas laut layaknya rumah panggung. Namun, setelah saya tanya kepada salah satu penduduk setempat, kata pelantar sendiri berasal dari bahasa Melayu, yang sebenarnya memiliki arti daerah kamar mandi.


Bermukim di atas laut bukanlah hal yang mudah. Terkadang rumah penduduk di kampung Hagas terendam air  karena air laut yang pasang. Tidak hanya itu sampah – sampah yang dibuang di laut pun akhirnya ikut mencemari lingkungan kampung Hagas. Namun, banyak hal positif yang penduduk kampung Hagas dapatkan dari lokasi mereka yang berada di atas laut. Penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan sangat diuntungkan. Meskipun tidak semua penduduk bekerja sebagai nelayan, namun mereka mengerti cara menjala ikan, menambak udang dan berlayar. 

Sekarang, yuk kita telusuri elemen budaya yang ada di kampung Hagas!

Perantau Pencari Kerja

Kota Batam merupakan salah satu kota ‘sibuk’ di Indonesia, Oleh karena itu banyak sekali perantau maupun investor yang tinggal menetap di Batam. Sebagai salah satu kota yang menjadi tujuan untuk mencari nafkah, tentunya begitu banyak pendatang dari daerah- daerah lain di kota Batam. Begitu juga dengan yang ada di kampung Hagas. Kampung Hagas sudah terbentuk berpuluh- puluh tahun yang lalu. Sewaktu saya mengunjungi kampung Hagas, saya sempat berbincang- bincang dengan ketua RT setempat, yakni Bapak Baharuddin. Beliau mengatakan bahwa Ia sudah bermukim di kampung Hagas lebih dari 22 tahun. Bapak Baharuddin merupakan salah satu perantau dari Selat Panjang yang hijrah ke kota Batam untuk mencari pekerjaan. Alhasil kampung Hagas memang diisi oleh perantau- perantau dari daerah- daerah lain seperti Kalimantan, Flores, Medan dan daerah lainnya. Mengenai beragamnya suku yang terdapat di kampung Hagas, saya sedikit penasaran dengan konflik antarsuku yaitu suku Batak dan suku Flores yang terjadi di kota Batam. Ketua RT, Bapak Baharuddin mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu memang terjadi konflik antar suku Batak dan suku Flores, tapi Bapak Baharuddin menyatakan dengan jelas bahwa konflik tersebut tidak memengaruhi keutuhan kampung Hagas. “Diluar kampung Hagas memang ada perang suku tapi di kampung Hagas sendiri, walaupun ada suku Batak dan Flores, tidak ada tuh.”

Mayoritas Beragama Muslim

Penduduk di kampung Hagas umumnya beragama Muslim. Sewaktu saya berkunjung memang saya tidak bertemu warga yang merupakan keturunan Tionghoa, yang saya lihat hanya warga asli Indonesia atau pribumi. Ketika saya bertanya perihal agama, Bapak Baharuddin memang menjelaskan bahwa warga kampung Hagas tidak semuanya beragama Muslim, ada juga yang beragama Kristen. Namun, untuk ritual- ritual keagamaan yang dijalankan memang biasanya memakai ritual agama Islam. Meskipun kampung Hagas memiliki elemen budaya yakni agama yang berbeda, Namun hal itu sama sekali tidak menimbulkan konflik. Saya sempat bertanya apakah pernah terjadi konflik perihal agama di kampung Hagas. Pak RT pun menggeleng tegas. Menurutnya, selama Ia memimpin sebagai ketua RT di kampung Hagas, belum pernah ada konflik atau percekcokan seputar agama. Bahkan selama 22 tahun Ia tinggal di kampung Hagas pun, belum ada konflik parah yang terjadi antarwarga. Intinya , menurut Bapak Baharuddin, toleransi dan sikap saling menghormati sangat dijunjung di kampung Hagas sehingga antarwarga mampu menghargai satu sama lain.

Pak RT, Bapak Baharuddin

Berbeda Suku, Bahasa Satu

Terdiri dari beragam suku dan  latar belakang yang berbeda satu sama lain, mungkin kita akan berpendapat bahwa warga kampung Hagas akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Namun, itu tidak benar. Kampung Hagas memang terdiri banyak suku bahkan suku- suku yang ada termasuk dalam suku dominan di Indonesia. Tetapi, baik suku yang satu maupun suku yang lain sangat menghargai satu sama lain. Oleh sebab itu, bahasa yang mereka gunakan pun tidak menggunakan bahasa suku mereka masing- masing, namun menggunakan bahasa Indonesia-Melayu. Saya katakan bahasa Indonesia- Melayu karena ada kata- kata yang diserap langsung dari bahasa Melayu dan bahasa tersebut merupakan bahasa sehari- hari warga Batam. Bahasa Indonesia – Melayu seperti kata dilemparkan, jika dalam bahasa Melayu menjadi dicampakkan.

Pernikahan ala Kampung Hagas

Selanjutnya ialah tradisi pernikahan yang khas di kampung Hagas. Tradisi pernikahan di kampung Hagas mengikuti kebudayaan Melayu yang diawali dengan merisik. Apa itu merisik? Merisik itu seperti pendekatan atau PDKT dalam bahasa sehari- hari. Jadi disaat kita menyukai seseorang, kita cari tahu dan pelajari orang yang kita suka terlebih dahulu. Kemudian langkah selanjutnya ialah meminang. Pada tahap ini, keluarga pria mendatangi keluarga wanita dengan maksud untuk melamar. Pada tahap ini juga ada yang namanya tanda jadi, seperti cincin dan juga mas kawin yaitu seperangkat alat sholat. Setelah keluarga pria meminang calon mempelai wanita, ada yang namanya kasih antaran. Kasih antaran ialah calon mempelai pria memberikan uang belanja kepada keluarga wanita untuk mempersiapkan pesta pernikahan, dan semua dana pernikahan berasal dari calon mempelai pria. Tahap yang lebih tinggi lagi ialah berzanji. Berzanji ialah acara pernikahan yang akan diawali dengan arak-arakan, dimana mempelai pria mendatangi kediaman mempelai wanita, dibawa ke pelaminan, disandingkan bersama. Pada acara berzanji ini, karena warga kampung Hagas mayoritas beragama Muslim maka pada acara pernikahan akan ada pembacaan doa- doa untuk kedua mempelai.

Hal yang sangat unik dari kampung Hagas ialah rasa kekeluargaan mereka yang kuat. Ternyata pada saat ada salah satu warga yang akan menikah, maka warga yang lain akan turut membantu. Dengan apa mereka membantu? Biasanya tetangga- tetangga yang lain akan datang membantu memasak, menyumbangkan bahan makanan seperti telur, beras, dan bahan makanan lainnya. Bagi warga kampung Hagas, mereka sudah layaknya keluarga besar dan kepeduliaan antarsesama sangat tinggi di kampung Hagas.

Sudah membantu pada sebelum acara, tetangga- tetangga juga tetap datang ke acara pernikahan dengan membawa kado untuk kedua mempelai. Kado – kado yang dibawa dapat berupa perlengkapan rumah tangga, uang dan keperluan rumah tangga lainnya.

Proses Kelahiran dan Khitanan

Karena warga kampung Hagas hanya berjumlah 114 kepala keluarga, tentu berita kehamilan dari salah satu warga sangat cepat menyebar. Biasanya para tetangga akan sering mengunjungi warga wanita yang hamil untuk menjenguk. Mendekati hari kelahiran, para tetangga akan lebih sering menjenguk. Tidak hanya itu, mereka juga membantu mempersiapkan hari kedatangan si bayi. Kampung yang cukup jauh dari kota dan keuangan yang tidak besar mengharuskan warga kampung Hagas yang hamil melahirkan dengan bidan. Tapi jangan khawatir, ada bidan yang tinggal di kampung Hagas. Pada hari kelahiran si bayi, biasanya ibu- ibu tetangga akan sangat repot membantu persalinan. Sungguh erat tali persaudaraan yang dibangun!

40 hari setelah proses kelahiran, kita mengenal adanya aqiqah dan potong rambut bayi. Dengan background agama Muslim, tentunya tradisi yang dilakukan berdasarkan ritual agama Islam. Pada acara potong rambut bayi, lagi- lagi tetangga yang lain akan membantu gotong royong memasak untuk acara, dan ada juga tetangga yang menyumbangkan makanan jadi untuk acara aqiqah tersebut.  Pada acara aqiqah, tamu yang datang biasanya membawa hadiah seperti perlengkapan bayi.

Lain lagi dengan acara khitanan yang dilakukan untuk anak laki- laki yang berusia 10 tahun. Pada acara khitanan ini, para tetangga yang lain juga ikut turut serta mempersiapkan serta memeriahkan acara. Selain itu tetangga dan tamu- tamu yang datang biasanya membawa hadiah, dapat berupa uang maupun barang.

Upacara Kematian

Pada prosesi upacara kematian , warga kampung Hagas tidak memiliki ritual yang banyak. Biasanya jika salah satu warga kampung Hagas ada yang meninggal, maka layaknya acara- acara yang lain, warga kampung Hagas akan turut membantu. Untuk upacara kematian, warga kampung Hagas yang pria akan turut “nyangkul”. Maksud dari nyangkul ini ialah warga lain lah yang akan menyangkul lubang kubur untuk jenazah warga yang meninggal tersebut. Penguburan biasanya dilakukan di Tanjung Uma Atas, tidak jauh dari kawasan kampung Hagas.

Selain ritual nyangkul, ritual selanjutnya ialah tahlilan. Sesuai dengan agama Islam, kita harus mendoakan roh yang sudah meninggal. Biasanya tahlilan dilakukan sesuai dengan kurun waktu tertentu, seperti 7 hari setelah kematian, 40 hari dan sebagainya.

Nelayan sebagai Mata Pencaharian

Hal terakhir nan unik dari kampung Hagas ialah mata pencaharian penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Meskipun sudah banyak yang tidak menjadi nelayan (bekerja di kota) namun, jika ada waktu senggang, warga kampung Hagas akan berlayar untuk sekadar mengisi waktu luang.


Saya ingin menceritakan sedikit tentang pekerjaan nelayan di kampung Hagas. Warga kampung Hagas yang bekerja sebagai nelayan biasanya berangkat dari rumah pukul 3 sore dan pulang keesokan harinya pukul 10. Namun, untuk waktu disesuaikan dengan cuaca. Nelayan yang berangkat biasanya membawa es boks untuk ikan- ikan hasil tangkapan mereka. Tidak ketinggalan jaring untuk menangkap ikan. Untuk sekadar pengetahuan saja, jaring ikan yang digunakan kira- kira ukurannya sekitar 20 meter untuk panjangnya dan lebarnya sekitar 3 meter. Cukup panjang bukan?

Dengan jaring yang panjang tersebut, nelayan mampu menangkap banyak ikan, terutama ikan- ikan sedang yang badannya atau siripnya tersangkut di lubang jaring. Jaring yang panjang tersebut sulit untuk dipasang ternhyata. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk memasang jaring. Jaring terpasang layaknya tembok atau pagar. Jadi jaring yang berbentuk persegi panjang, dicampakkan secara datar membentuk pagar sehingga ikan manapun yang lewat akan tersangkut di jaring dan mereka tidak mungkin dapat menghindar. “Sejak kapan ikan bisa berenang mundur?”

Pada saat saya diceritakan mengenai pekerjaan nelayan, saya cukup takjub dengan para nelayan yang hanya menggunakan boat kecil tanpa pengaman dan harus tidur sepanjang malam ditengah laut. Untuk pekerjaan nelayan sendiri merupakan pekerjaan turunan. Kalau ayahnya merupakan nelayan, anaknya kemungkinan besar juga akan menjadi nelayan, begitu seterusnya hingga ke anak cucu lain, karena sejak kecil anak- anak sudah diajarkan untuk ‘menjaring’.


Jika nelayan tidak ingin pergi ke laut lepas, biasanya mereka akan memasang jaring di pinggir laut, dimana air nya tidak dalam. Jenis- jenis ikan kecil, udang, cumi yang biasanya ditangkap di laut yang dangkal. Berbeda dengan laut lepas. Hasil tangkapan dapat ebrupa ikan tenggiri, ikan pari, bahkan ikan hiu kecil.

Nelayan yang hanya menjaring di  laut dangkal biasanya hanya menggunakan sampan. Berbeda dengan nelayan yang menjala di laut lepas. Mereka biasanya menggunakan boat. Saya sempat bertanya mengenai boat yang digunakan nelayan. Nelayan, dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, biasanya menyewa boat orang lain. Namun, jika mereka merasa yakin bahwa minat mereka sebagai nelayan, maka mereka akan menabung untuk membeli boat. Jika belum mampu membeli baot yang baru, mereka membeli boat yang bekas.

Untuk pembagian hasil, mereka menyebutnya dengan bagi 3. Berapapun hasil tangkapan nelayan pada saat itu, maka dua bagian untuk pemilik boat dan satu bagian untuk nelayan.

Batam sangat dekat dengan negara Singapura dan Malaysia, oleh sebab itu nelayan yang menjala akan berlayar ke perbatasan antara Malaysia dan Singapura untuk menjaring ikan. Waktu yang ditempuh sangat cepat, kurang lebih hanya setengah jam. Sesampai di lokasi yang menurut mereka tepat, maka nelayan akan mulai memasang jaring. Setelah itu nelayan hanya perlu menunggu. Selama masa penantian tersebut, biasanya para nelayan tertidur dan jaring pun terus berjalan mengikuti arus air, sehingga terkadang disaat nelayan sadar, lokasi mereka sudah berubah.

Karena lokasi penjaringan yang dekat dengan perbatasan, seringkali nelayan ditegur oleh pasukan Malaysia yang menyadari bahwa nelayan telah melewati garis perbatasan. Jika demikian, para nelayan harus segera membongkar jaring, yangmana membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika nelayan tidak mau membongkar jaring, maka pasukan Malaysia akan memotong jaring tersebut sebagai punishment.  


Pengalaman yang cukup menarik untuk saya menelusuri kampung Hagas di kota Batam. Banyak hal yang saya dapatkan dan pelajari dari pengalaman observasi kali ini. Mulai dari lingkungan dengan suasana kekeluargaan yang erat, tradisi- tradisi khas serta pekerjaan nelayan yang sungguh hebat. Sungguh menyenangkan dan berkesan. So, tunggu apalagi guys, kalian juga bisa berkunjung ke kampung Hagas!

1 comment: