Pages

Thursday, January 10, 2013

Cerita Dibalik Taman Lawang


Nama  : Yolanda Tanu Wandira

NIM   : 11140110052

Kelas  : E1







Cerita Dibalik Taman Lawang

Menjadi pribadi seutuhnya sesuai dengan kodrat yang telah Tuhan berikan menjadi suatu keharusan bagi setiap insan manusia. Dasar pemikiran mengenai peranan gender ini kemudian memunculkan budaya maskulin dan feminin sesuai pribadi diri. Negara Indonesia memasuki peringkat 30 sebagai negara yang lebih menyukai budaya feminin.
Pada dasarnya, baik maskulin maupun feminin sama-sama memiliki penekanan pada suatu kualitas hidup. Dalam budaya maskulin, pria lebih kompetitif dalam kesuksesan materi dan kompetitif, lain halnya dengan wanita yang menekankan perilaku mengemong dan bersosialisasi. Contohnya jika terjadi konflik diantara kaum maskulin, mereka akan menghadapinya secara langsung, berbeda dengan kaum feminim yang akan melakukan kompromi dalam penyelesaian konflik.
 Pengaruh maskulin dan feminin ini juga berdampak pada kesenjangan gender yang berpengaruh pada aspek kekuasaan dan kesempatan perempuan. Misalnya aspek ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraaan. Nyatanya kesenjangan ini masih dapat ditemukan, salah satunya di negara Irlandia yang kekuasaan politiknya hanya diisi 35 kursi perempuan di DPR dan MPR dari 226 kursi yang tersedia. Perbedaan yang signifikan ini jelas menunjukkan kesenjangan gender dianatara dua budaya tersebut.
Kesadaran akan peranan gender pertama kali diajarkan melalui interaksi keluarga pada anak-anaknya melalui aktivitas maskulin dan feminin saat mereka kecil. Ini yang kemudian menjelaskan perbedaan anatara kedua gender tersebut. Selain itu, penafsiran mendalam akan gender ditemukan dalam budaya. Contohnya dalam budaya China, laki-laki cenderung bermain dan belajar, sedangkan perempuan terbatas pada kegiatan di rumah.
Menurut Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Value, Behaviors, Insititutions and Organizations Across Nation terdapat peringkat yang menunjukkan nilai maskulin dari sebuah negara. Jepang, Austria, Venzuela, dan Italia menduduki peringkat atas sebagai negara yang menyukai budaya maskulin, sedangkan Indonesia, Belanda, Norwegia, dan Swedia sebagai negara yang cenderung memiliki pandangan feminin. Indonesia setara dengan Afrika Barat yang menduduki peringkat 30 sebagai negara yang dominan dengan nilai feminin.
Dalam budaya maskulin dan feminin terdapat perbedaan yang jelas, diantaranya baik dalam penyelesain masalah, kualitas hidup, maupun cara bersosialisasi. Kejelasan ini yang kemudian dapat dipelajari untuk memahami setiap gender manusia. Lalu, bagaimana dengan mereka yang terlahir secara maskulin namun memiliki naluri feminin? Ya… sebut saja waria. Mereka yang menghabiskan hampir setiap malamnya untuk bekerja di Taman Lawang.


Taman Lawang
Taman Lawang ialah daerah yang selama ini dikenal sebagai tempat mangkal para waria. Taman ini sebenarnya adalah taman biasa yang pada sore hari didominasi oleh pedagang makanan, tetapi terlihat berbeda ketika malam menjelang. Berlokasi di Jalan Latuharhary, daerah Sumenep, Jakarta Selatan taman ini berada dikisaran pasar ikan. Jika sudah memasuki daerah Sumenep, taman ini sudah tak sulit ditemukan. Warga sekitar sudah banyak mengetahui tempat tersebut.
Paper kali ini akan membahas keseharian dari waria Taman Lawang, cara mereka bersosialisasi, kehidupan mereka, sampai dengan budaya yang dapat dikaitkan dengan matakuliah komunikasi antar budaya.


Waria Taman Lawang

Bercerita tentang daerah Taman Lawang, yang juga berada di daerah Menteng. Dahulu lokasi ini ingin dibangun proyek kota kecil yang disebut Niew Gondangdia (Menteng) oleh Belanda di Batavia. Pola rancangan telah disiapkan oleh arsitek Belanda, P.A.J Moojen yang telah disetujui Gemeente (Kota Praja) pada 1910. Pada 1912 pembangunan Niew Gondangdia mulai berjalan dan disempurnakan oleh F.J Kubatz pada 1918.
Dirancang oleh dua arsitek menyebabkan perbedaan yang terletak pada peniadaan lapangan bundar yang kemudian diganti dengan Taman Suropati. Taman ini juga yang dilewati oleh kelompok kami ketika mencari lokasi pasti dari Taman Lawang.
Taman Lawang pada awalnya merupakan tempat bagi para waria untuk berbagi pengalaman hidup. Sebelum dikenal dengan sebutan waria, tahun 1970 waria lebih populer dengan sebutan wadam. Awalnya Taman Lawang bukanlah tempat seperti yang kita kenal saat ini. Saat itu, tidak ada waria yang menjajakan dirinya, disana masih dijadikan tempat berkumpul saja. Hingga pada 1973, beberapa lelaki mulai menggoda waria untuk melakukan apa yang diinginkannya. Meski demikian tidak semua waria melakukanya.
Sebenarnya keberadaan waria di Taman Lawang tidak terlepas dari peran mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Ali memperbolehkan Taman Lawang dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para waria. Menurutnya, waria harus diarahkan untuk melakukan kegiatan seperti olahraga dan hiburan yang dapat memberi nilai positif. Tidak hanya itu, Ali mengusulkan untuk membentuk perkumpulan waria, hingga pada 1973 terbentuklah Persatuan Waria Jakarta (PWJ). Sumbangsih Ali Sadikin jelas membawa perubahan bagi keberadaan waria saat ini.
Pertengahan bulan Desember, tepatnya tanggal 15 saya bersama teman saya, Dita dan Sere pergi mengunjungi Taman Lawang untuk melakukan observasi terkait pengajuan nilai UAS mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Belum mengetahui secara pasti letak Taman Lawang membuat kami beberapa kali harus tersasar.
Memutuskan untuk mewawancarai waria bukan perkara mudah, kebanyakan orang berpendapat mereka sangat iri dengan perempuan. Ya… ntah karena stereotip atau memang kenyataannya demikian. Namun, itulah yang ada dipikiran kami bertiga sebelum tiba di Taman Lawang.
Dari Gading Serpong, kami berangkat sekitar pukul 03:00 tepatnya setelah mengikuti mata kuliah foto jurnalistik. Perjalanan kami tempuh sekitar 4 jam lamanya karena saat kami berangkat, di depan kantor DPR sedang ada demo. Kemungkinan karena demo ini perjalanan menjadi macet, bukan hanya macetnya yang luar biasa tapi menemukan daerah Taman Lawang ternyata juga sulit. Kami tiba di Taman Lawang sekitar pukul 19:00 dan belum ada satu wariapun yang berjejer di daerah tersebut, terlihat sepi dan hanya ada beberapa mobil yang lalu lalang.
Tiba terlalu awal mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa jalanan dan daerah tersebut masih nampak sepi. Hanya terdapat beberapa orang yang berlalu-lalang disekitar jalan Taman Lawang dan beberapa taksi yang terlihat melintas di daerah tersebut. Warga yang tinggal di daerah sana juga tidak banyak melakukan kegiatan.
Sebelum berhasil mewawancarai waria, kami terlebih dulu harus ditipu oleh warga sekitar yang mengaku sebagai bagian keamanan di daerah tersebut, namanya Opay. Buta akan waria Taman Lawang, maka kami memercayai Opay sebagai orang yang dirasa mampu membantu kita menemukan waria yang bayarannya sesuai dengan keuangan kita. Setelah bernegosiasi dengan Opay dan waria yang akan kita wawancara, akhirnya kita memutuskan untuk membayar Rp300.000 termasuk di dalamnya uang yang akan diberikan ke bunda melalui perantara Opay.
Singkat cerita, uang Rp300.000 tersebut nyatanya tidak diberikan ke bunda dan hanya dibayarkan ke Ajeng sebesar Rp100.000. Akhirnya, kami memutuskan untuk langsung menyambangi kost Ajeng, disana kami berkomunikasi langsung dengan bunda di kost tersebut. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya kita harus kembali harus membayar Rp200.000 agar liputan ini tetap berlangsung. Sedikit merasa kesal tapi inilah yang saya rasakan ketika meliput sisi lain Kota Jakarta.
Taman Lawang menjadi objek yang menarik untuk ditelusuri, bukan karena tempatnya yang memiliki keindahan alam melainkan cerita waria dibalik Taman Lawang itu sendiri. Kali ini, kami mewawancarai waria Taman Lawang yang kesehariannya bekerja di taman tersebut. Dia mencoba berbagi pengalaman hidupnya sebagai seorang waria.
Memasuki pukul 24.00 kesibukan kota Jakarta mulai berhenti. Namun, pemandangan yang berbeda terlihat di kawasan Taman Lawang. Beberapa waria  tengah menggoda pengguna motor maupun mobil yang melaju secara perlahan. Waria tersebut tak enggan untuk menyapa setiap kendaraan yang lewat di lokasi pinggiran jalan. Pekerjaan yang tak asing lagi bagi Ajeng, waria yang menghabiskan malamnya di Taman tersebut.

Ajeng
Omma, begitu dia dipanggil oleh teman-teman satu kostnya. Panggilan akrab yang menunjukkan mereka sangat berbaur, termasuk dalam panggilan nama. Penjelasaan mengenai panggilan ini, menurut salah satu teman kostnya karena Ajeng sudah tak muda lagi. Bertubuh tinggi, memiliki suara yang lembut layaknya perempuan asli, senyum bersahabat dan menanggapi kehadiran kami dengan hangat, tidak menunjukkan sisi omma yang ada dipikiran kami.
Pengalaman pertama berhadapan dengan waria dan langsung menanyakan seluk beluk kehidupannya, membuat perasaan antusias dan takut menjadi satu. Ya… itu yang saya rasakan, apalagi sebelum bertemu langsung dengan waria tersebut stereotip orang tentang waria seakan terpanggil ulang di otak. Namun, setelah berkomunikasi dengan tante Ajeng, stereotip tentang waria seakan runtuh, dia tak seburuk yang ada dipikiran saya.
Seorang waria menjatuhkan pilihannya untuk menjadi perempuan karena merasa naluri perempuanya lebih besar sejak dia dilahirkan. Meskipun secara fisik memiliki bentuk tubuk layaknya pria, tapi tidak bisa dipungkiri jika sifat dan tingkahnya mirip perempuan. Hal ini jelas menjadi beban berat yang harus mereka tanggung dalam menjalani kehidupan.
Meskipun telah memutuskan untuk menjadi waria, tak ada rasa malu terpancar dari Ajeng, waria asal Medan tersebut. Baginya perasaan ingin menjadi perempuan sudah dia rasakan sejak dulu. Menyukai sesama pria dan berpenampilan perempuan kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak ada rasa menyesal dari raut wajah saat saya melakukan wawancara di kost-annya. Mengambil pilihan untuk menjadi waria merupakan langkah awal Ajeng untuk memulai kehidupan baru.
Sejak usia 6 tahun, Ajeng sudah merasa dirinya berbeda dengan teman sepermainanya. Dia lebih suka bermain dengan anak perempuan dan merasa sifat wanitanya sudah ada sejak kecil. Hingga pada 2005 Ajeng memutuskan untuk beradu nasib di ibu kota Jakarta, disini dia mulai memperluas pergaulan dengan waria lainnya. Merantau di kota Jakarta sesungguhnya dia lakukan karena merasa terkekang dengan kondisi keluarganya, Ajeng tidak bisa mengekspos nalurinya sebagai perempuan.
Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjalani kehidupannya secara mandiri. Kini dia tinggal di sebuah kost kecil yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mangkalnya sehari-hari. Kost-annya berada di gang kecil dan masyarakat sekitar juga sudah mengetahui tempat tersebut
Segala aktivitasnya berlangsung di kost yang terbilang kecil dan terlihat kumuh ini. Ajeng harus membayar uang kost Rp400.000 setiap bulannya dan itu dia serahkan kepada Bunda Joice. Bunda yang dipercaya sebagai bunda dari waria yang berada di kost tersebut. Perlu diketahui juga bahwa setiap wilayah memiliki bundanya masing-masing, khusus daerah Jakarta Pusat dipegang oleh Bunda Joice. Segala kegiatan yang dilakukan anak kostnya, seperti diwawancara, diliput kegiatannya, atau sebagainya harus melapor kepada bunda. Setidaknya baik bunda maupun waria yang hendak diwawancara mendapat “uang rokok”. Istilah yang bunda katakan ketika berbincang dengan kita sebelum meliput tante Ajeng.
Di kost inilah, Ajeng mulai mengenal waria-waria lain yang berasal dari daerah berbeda. Waria yang paling kecil berusia 17 dan 18 tahun. Mereka berbaur tanpa mengenal perbedaan usia. Becanda dan saling mengobrol, mungkin telah menjadi bagian dari keseharian Ajeng dengan waria lainnya.
Dalam komunikasi antar pribadi yang terbentuk dalam lingkungan waria ini, terdapat argot yang mereka gunakan dalam berkomunikasi. Bahasa yang mereka gunakan tentu berbeda dari tatanan Bahasa Indonesia pada umumnya. Argot sendiri adalah kosakata khusus yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk mengidentifikasikan keberadaan mereka. Dalam observasi kali ini, saya menemukan sebutan “Nek” yang terjadi ketika Ajeng berkomunikasi dengan teman warianya. Sebutan tersebut mengarah pada panggilan untuk teman.
Waria yang bernama asli Irwansyah ini mulai akrab dengan kehidupan malam. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk dandan, Ajeng harus menunggu orang yang mau menggunakan jasanya. Berdiri di kawasan Taman Lawang sambil menggoda genit, semata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar tetap bertahan.
Biasanya Ajeng mulai bekerja sekitar pukul 22.00 sampai dengan subuh. Bayaran yang dia dapatkan juga tidak menentu, itu tergantung dengan orang yang mau menggunakan jasanya. Biasanya dia bisa mendapat Rp50.000 sampai ratusan ribu, tak jarang justru tidak mendapatkan apapun. Menurut Ajeng, hari Sabtu adalah hari yang paling ramai, karena daerah tersebut banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mau menggunakan jasanya.


Ajeng dan salah satu pelanggannya

Tarifpun dipasang beragam. Jika orang yang mau menggunakan jasanya mengendarai mobil, tarif yang Ajeng pasang terbilang lumayan, yaitu Rp100.000. Lain halnya jika orang tersebut mengendarai motor atau bahkan jalan kaki. Biasanya untuk pelanggan yang membawa motor dipasang tarif Rp50.000, sedangkan pejalan kaki berkisar Rp30.000. Hargapun dapat dinego dan diputuskan sesuai Ajeng dan pelanggannya. Tarif menjadi lebih tinggi lagi jika pelanggan mengajak Ajeng untuk menemaninya ke hotel. Biasanya dalam semalam Ajeng bisa memperoleh Rp300.000 sampai Rp500.000.
Uang yang diperoleh selama “mangkal” di taman tersebut digunakan untuk keperluannya sehari-hari, sisanya digunakan untuk membayar kost dan membeli perlengkapan make-up. Bukan sembarang hiasan make-up yang Ajeng gunakan, dia mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh LSM waria terutama soal dandan. Tak heran jika selesai bersolek, wajah tampan Irwansyah seakan berubah menjadi wanita cantik bernama Ajeng.
Masih dengan keahlian tangan Ajeng dalam memoles wajahnya dengan make-up, kami melanjutkan wawancara dengan Ajeng. Ternyata tak semudah yang saya bayangkan, bekerja seperti wariapun terkadang harus mengalami suka duka. Seringkali Ajeng harus mendapat perlakuan buruk dari orang yang terkadang memandangnya sebelah mata. Apalagi di Indonesia ini, keberadaan waria masih dipandang rendah. Ini mengarah pada identitas sosial yang merujuk pada susunan kelompok dimana kita tergabung berdasarkan ras, etnisitas, pekerjaan, umur, dan lain-lain.
Selama bekerja di Taman Lawang terkadang Ajeng harus ditalak preman, diganggu oleh para tamunya, bahkan banyak juga yang hanya menjailinya. Tapi, tidak semua pelanggan Ajeng demikian, kadang ada saja pelanggan yang memperlakukanya dengan baik.
Seperti yang kita ketahui, daerah Taman Lawang terbagi menjadi dua jalur. Menurut warga sekitar dan Ajeng, daerah sebelah kanan yang berhadapan dengan taman biasa didominasi oleh waria asal Bandung, sedangkan jalur satunya didominasi oleh waria asal Palembang. Warga mengatakan jika waria yang berasal dari Palembang biasanya mereka suka mencuri dan memasang tarif tinggi sehingga harus lebih berhati-hati jika mau menggunakan jasa mereka.  Perbedaan ini yang mungkin menjadi salah satu bagian duka dari Ajeng dan waria lainnya. Mereka pernah berselisih dengan waria asal Palembang tersebut.
Bicara soal waria tak harus selalu sisi kelamnya. Di dalam komunitas waria sendiri ada pemilihan Miss. Waria. Dalam pemilihan ini, mereka akan ditanya pertanyaan terkait dengan HIV/AIDS dan soal lainnya yang tak jauh dari sisi kehidupannya. Skill yang ditonjolkan dalam pemilihan ini biasanya meliputi pengetahuan tentang hukum, transgender, dan HIV/AIDS. Jika mereka mampu memberikan jawaban yang memuaskan tak dipungkiri jika mereka pantas menyabet gelar Miss.Waria. Sayangnya acara tersebut berlangsung beberapa minggu sebelum kami melakukan liputan.
Jika ditanya pada relung hatinya yang paling dalam, mungkin Ajeng juga tidak mau terlahir dengan sisi wanita yang lebih dominan. Yang keluarganya tahu, anak pertama dari 4 bersaudara ini tengah merantau di Jakarta. Mungkin tidak akan terpikirkan oleh keluarganya jika Ajeng adalah seorang waria. Baginya hidup normal merupakan pilihan yang menyenangkan, tapi apa daya naluri wanitanya lebih kental dan mendominasi. Saat ini, dia merasa nyaman dengan kehidupan yang dijalaninya dan dia juga merasa yakin bahwa ini adalah pilihan hidupnya.
Malam semakin larut, kami memutuskan untuk mengakhiri perbincangan kami. Memintanya untuk berpose dan mengucapkan terimakasih. Selesailah observasi kami dengan pria yang meyakini dirinya sebagai wanita, ya… mereka dikenal waria. [THE END]

No comments:

Post a Comment