Nim : 11140110209
Kelas : B1
Keraton Kasepuhan berada di Cirebon, sebuah kota di Jawa
barat, dengan populasi 298 juta jiwa. Sebelum membahas Keraton Kasepuhan lebih
lanjut, mari kita lihat terlebih dahulu kota pelabuhan di jalur pantura ini.
Cirebon dijuluki kota udang karena wilayahnya yang berada di dekat laut dan
kaya akan hasil lautnya. Udang ebi, kerupuk udang, terasi, rengginang, manisan
mangga merupakan makanan khas dari Cirebon yang menjadi oleh - oleh yang selalu
diincar wisatawan saat berkunjung ke Cirebon. Saat melintasi Cirebon kita bisa
melihat Becak, yang jadi sarana transportasi khas di sini.
Cirebon merupakan wilayah pelabuhan penting di Jawa Barat,
karena itulah interaksi dengan berbagai
budaya lain tidak terelakkan, Cirebon merupakan tempat bertemunya berbagai
budaya, agama dan antar bangsa. Hasil interaksi tersebut dapat terlihat nyata
dari keseniannya, penduduknya bahkan arsitektur kota Cirebon. Dari kesenian
Topeng Cirebon misalnya, terlihat dari bentuk – bentuk visualnya sangat
terpengaruh dengan budaya China. Bentuk hiasan rambut dan topeng yang digunakan
Topeng Cirebon mirip dengan yang digunakan pada Opera Peking. Penduduk yang
tinggal di Cirebon terdiri dari etnis Sunda, Jawa, Cina, Arab, India dll. Dalam
penggunaan bahasa, karena konsekuensi letaknya sebagai perbatasan Jawa Barat
dan Jawa Tengah, warga Cirebon menggunakan bahasa Jawa dan mahir berbahasa Sunda.
Hibriditas Cirebon merupakan konsekuensi nyata dari peristiwa
historis nya. Perpaduan dengan budaya leluhur asli Cirebon membentuk identitas
budaya Cirebon sekarang ini. Karena itulah berbeda dengan budaya daerah lain,
budaya Cirebon bagaikan pelangi dengan sentuhan berbagai warna. Untuk melihat
pengaruh akulturalisme berbagai budaya di Cirebon, saya memilih untuk
mengunjungi Keraton Kasepuhan Cirebon.
Keraton Kasepuhan yang dibangun
sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon,
Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445.
Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan. Pangeran Cakrabuwana merupakan putra
mahkota Pajajaran yang akhirnya memisahkan diri karena memeluk agama Islam.
Beliau memiliki keponakan yang bernama Sunan Gunung Jati atau Syarief
Hidayattulah, yang akhirnya menjadi Penguasa pertama Keraton Kasepuhan (dulunya
Dalem Agung Pakungwati). Sunan Gunung Jati merupakan salah satu dari Wali
Songo. Sunan Gunung Jati bertugas menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan sekitarnya.
Keraton kasepuhan terletak di Jalan Lemahwungkuk dekat dengan
Pelabuhan Cirebon. Pertama kali masuk kawasan keraton kita akan melihat pasar
yang diisi dengan lapak barang dagangan. Saat sampai di depan Keraton
Kasepuhan, kita dapat langsung melihat pendopo dengan bata merah yang merupakan
khas majapahit. Kawasan pendopo tersebut bernama Siti Inggil. Sayang sekali
pada saat kami kesana area ini sedang direnovasi sehingga saya tidak bisa masuk
kesana, tapi saya berhasil mendapatkan foto dari jarak dekat.
Siti Inggil |
Siti Inggil berasal dari kata Siti = tanah, Inggil = tinggi
(dari bahasa Cirebon). Siti inggil dikelilingi tembok bata merah yang disusun
menggunakan kuning telur. Dinding bata merah juga mendominasi arsitektur
keraton yang lain. Di dalam Siti Inggil terdapat 5 buah bangunan tanpa dinding
(seperti pondok lesehan) beratap sirap. Setiap bangunan tersebut memiliki ciri
dan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Setiap orang yang berkunjung ke
Keraton Kasepuhan harus mendaftar terlebih dahulu dan membayar Rp 5000 sebagai
tiket masuk, apabila kita membawa kamera
maka akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 2000. Setiap kelompok wisatawan
yang datang akan ditemani oleh seorang pemandu, yang nantinya kita beri uang tips
terpisah. Saya mendapat pemandu bernama
Pak Ferry, orangnya ramah dan sabar menjawab setiap pertanyaan saya.
Nah akhirnya mulailah perjalanan saya
menjelajahi Keraton Kasepuhan. Cuaca siang itu cukup terik walaupun lingkungan
Keraton termasuk kawasan yang hijau dan banyak tumbuh pepohonan. Melewati
gapura utama, disisi kiri saya terbentang sebuah lapangan berumput yang
sekarang dijadikan tempat parkir bagi keluarga dan tamu Sultan. Lapangan ini disebut
Kemandungan. Di lapangan ini terdapat sebuah sumur, yang bernama sumur
Kemandungan, dulu sumur ini digunakan untuk mencuci senjata alat perang setiap
tanggal 1- 10 Muharam.
Kemudian saya berjalan masuk dan melewati sebuah pintu dengan
teralis besi, dulunya pintu ini dijaga oleh 2 orang prajurit bertombak. Konon
katanya jika ada yang masuk akan diperiksa dengan suara menggeledeg seperti
petir karena itulah pintu ini dinamai pintu geledegan.
Melewati pintu Geledegan di hadapan
saya terdapat sebuah taman yang apik. Dan terdapat petunjuk di tengah taman
tersebut. Pak Ferry mengajak saya pergi ke arah kanan untuk memasuki Musium
Barang Kuno. Sayang sekali tempat ini juga sedang direnovasi, sehingga barang-
barang peninggalan Keraton tidak dapat saya lihat semuanya. Suasana di ruangan
itu cukup berantakan dan berdebu. Karena selama renovasi seluruh barang- barang
kuno tersebut disatukan ke pojok ruangan.
Beberapa hal yang bisa
saya lihat merupakan etalase kaca yang didalamnya adalah peninggalan dari Putri
Ong Tien Nio, yang merupakan istri ketiga dari Sunan Gunung Jati dan berasal
dari China. Mereka bertemu pada saat Sunan Gunung Jati melakukan perjalanan ke
China untuk menyebarkan agama Islam. Putri Ong Tien Nio jatuh hati pada Sunan
Gunung Jati. Kaisar Hong Gie yang adalah
ayah dari putri Ong Tien menguji kesaktian Sunan Gunung Jati dengan bertanya
siapakah yang hamil antara putri Ong Tien dan kakaknya. Sunan Gunung Jati menebak putri Ong Tien hamil
dan ditertawakan oleh pembesar kerajaan, karena perut Ong Tien hanya dilapis
dengan tempayan beras dari Kuningan. Tapi seketika keajaiban terjadi dan putri
Ong Tien saat itu berteriak karena tiba- tiba tempayan yang ada di perutnya
hilang dan ia benar- benar hamil. Untuk menghindari malu Kaisar akhirnya merelakan
putri Ong Tien yang tengah hamil untuk menyusul pujaan hatinya ke cirebon. Putri Ong Tien melewati perjalanan
laut yang panjang dengan melewati laut Cina Selatan dan Laut Jawa dengan
membawa keramik, porselen, piring, dan barang-barang khas Cina lainnya.
Akhirnya putri Ong Tien menjadi istri Sunan Gunung Jati dan menorehkan
sejarah sebagai perempuan asing yang berhasil melebur kedalam lingkungan
Kesultanan Cirebon. Karena
itu budaya China sangat terlihat pada arsitektur Keraton Kasepuhan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Samovar dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya bahwa identitas dipertahankan
dan dimodifikasi melalui interaksi sosial. Walaupun Keraton Kasepuhan yang
dulunya bernama Dalem Agung Pakungwati bercorak Hindu, tapi lewat hubungan yang
terjalin antara Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien Nio, identitas tersebut
termodifikasi dan menjadi identitas yang baru.
Dalam etalase kaca peninggalan putri Ong Tien terdapat tiga
benda yaitu Graken untuk menyimpan Jamu, cermin, dan Peti Kandaga Suasa untuk
menyimpan perhiasan. Di samping etalase tersebut terdapat Gamelan Sekaten persembahan dari
Sultan Demak ke 3 (Sultan Trenggono) pada waktu pernikahan adik Sultan Trenggono dengan putra Sunan Gunung Jati pada
tahun 1495. Gamelan ini juga digunakan sebagai alat propaganda untuk memikat
orang Hindu agar masuk Islam. Sampai sekarang gamelan ini masih dimainkan
setiap Idul fitri dan Idul Adha di Siti Inggil.
Tidak jauh dari Gamelan Sekaten terdapat etalase kaca lain
yang isinya Pagoda Graken, mangkok besar dan kendi keramik dari Mongolia
dinasti Ming, cangkir dari Cina , semua berasal dari tahun 1424. Dari sini kita
dapat lihat hubungan baik yang dijalin oleh Keraton dengan China.
Tidak banyak memang yang bisa dilihat di musium Benda kuno
kali ini. Akhirnya saya berpindah menuju bangsal keraton. Di depan Bangsal
Keraton terdapat bangunan depan yang bernama Jinem Pangrawit dan teras yang
disebut “kuncung (poni)”. Teras ini bergaya Eropa dan terdapat corak Awan Mega
Mendung ,yang merupakan khas Cirebon dan merupakan pola batik Cirebon. Seperti yang diungkapkan Samovar dalam
bukunya Komunikasi Lintas Budaya, bahwa
simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang lain.
Awan Mega Mendung memiliki arti bahwa jika sudah menjadi pimpinan harus bisa
mengayomi rakyatnya. Ada yang unik dari dinding Jinem Pangrawit, terdapat
keramik yang disusun belah ketupat dengan lukisan yang dibuat dengan tangan.
Keramik ini merupakan pemberian dari Belanda.
Corak Awan Mega Mendung dan sentuhan Eropa |
Untuk memasuki Bangsal Keraton kita melewati pintu unik yg
penuh dengan hiasan piring yang bernama Buk Bacem. Diberi nama Buk Bacem karena
atapnya berbentuk dinding lengkung (buk), dan pintunya yang direndam ramuan
terlebih dahulu(dibacem). Piring- piring yang menempel di Buk Bacem sangat
spesial karena dibawa dari Tiongkok oleh putri Ong Tien. Pintu Buk Bacem
merupakan bukti bahwa Keraton Kasepuhan melakukan akulturasi dengan memasukkan
budaya China di dalamnya tanpa melupakan kebudayaan asli Cirebon.
Melewati Buk Bacem, terdapat Langgar Alit, yang merupakan
tempat belajar mengaji dan Tadarus. Memasuki bangunan, akhirnya mulai terasa
suasana Keraton sesungguhnya. Saya gembira karena saya berada di tempat
historis yang sudah berdiri selama kurang lebih 600 tahun. Ruangan yang saya
masuki semuanya memiliki nama masing- masing. Ada lukisan besar yang menangkap
perhatian saya, pak Ferry pun membimbing saya untuk melihat lebih dekat. Ternyata
lukisan tersebut adalah sosok Prabu Siliwangi yang merupakan kakek dari Sunan
Gunung Jati. Beliau dulu merupakan seorang Hindu tapi kemudian menjadi mualaf
dan memisahkan diri dari kerajaannya, Pajajaran. Lukisan ini dibuat dengan
tehnik tinggi dan terlihat nyata, bahkan mata dan kaki Prabu seakan mengikuti
dimanapun kita berpindah. Di sebelahnya terdapat partisi yang berisi foto –
foto keraton dan peta Cirebon. Ada juga foto dari Sultan saat ini, yaitu
Pangeran Arif Natadiningrat, beliau merupakan Sultan Sepuh ke-XIV.
Pak Ferry kemudian memberi tahu saya, kalau ruangan tempat
kami berada ternyata miring. Saya mundur untuk melihat lebih jelas apa yang
dimaksud pak Ferry. Ternyata memang benar, pak Ferry mengatakan ada maksud
dibalik bentuk tersebut. Ternyata hal ini dipengaruhi feng shui bahwa pintu depan tidak boleh lurus dengan
pintu belakang, karena rejeki akan lewat begitu saja. Tapi jika miring maka
rejeki akan berputar dan baru keluar, sehingga tidak boros. Sama seperti Jinem
Pangrawit, di setiap dinding Bangsal Keraton terdapat keramik dengan susunan
sama pemberian Belanda. Terdapat beberapa lukisan, diantaranya adalah lukisan
Macan Ali yang merupakan lambang bendera Cirebon dan mengandung dua kalimat
Syahadat.
Saya kemudian masuk ke ruangan selanjutnya yang merupakan
Bangsal Agung, inilah ruang singgasana Sultan Kasepuhan. Di samping kanan dan
kiri singgasana terdapat bentuk lukisan yang menarik perhatian dengan nuansa merah menyala.
Lukisan Kembang Kanigara |
Lukisan
ini justru mengingatkan saya akan bangunan China yang didominasi warna merah. Lebih dekat lagi Pak Ferry menjelaskan
komponen yang ada di sana. Burung Merpati melambangkan ketua adat, bunga yang
berwarna merah dengan sedikit keemasan bernama Kembang Kanigara. Buah Manggis menggambarkan hukum Islam ke 5. Disamping
lukisan tersebut , terdapat jejeran keramik, yang kali ini sedikit berbeda
karena terdapat dua warna yaitu keramik coklat dan Biru. Keramik biru sama
seperti yang ada di dinding Jinem Pangrawit dan Bangsal Keraton, hanya saja
yang disini disusun rapat dan rapi. Keramik coklat menarik perhatian saya,
keramik ini menggambarkan kisah yang ada di alkitab dan tentang ajaran orang
Kristen, diantaranya adalah kisah Adam dan Hawa, Nuh, Yesus yang memikul salib,
dan masih banyak lagi. Hal ini cukup mengherankan karena Keraton Kasepuhan
merupakan agama Islam. Tapi karena diberikan oleh Belanda yang beragama Kristen,
akhirnya dimasukkan keramik tersebut. Hal ini juga merupakan upaya politik dari
keraton Cirebon, karena pada saat pembangunan Keraton Kasepuhan, Indonesia saat
itu sedang dijajah oleh Belanda. Agar tidak dihancurkan, Keraton mengambil
langkah ber aliansi dengan Belanda yang sebenarnya hanya kedok.
Di bagian
atas dan bawah lukisan ini berjejer 3 buah mangkok dari China yang ditata
sedemikian rupa dengan apik. Masih dengan sentuhan warna merah menyala yang
sama, aksen China masih sangat kental. Tiga keramik tersebut walaupun sekilas
memiliki gambar yang sama, ternyata kalau diperhatikan ada perbedaan di tiap
gambarnya. Pak Ferry memberi tahu saya ini karena dibuat dengan tangan satu persatu
dan mungkin lebih dari 1 pelukis.
Singgasana Raja + Ranjang Kencana |
Nah sampailah kita pada komponen utama disini yaitu
singgasana yang disebut Bangsal Agung. Bangsal Agung tidak bisa kita masuki
dengan tujuan agar tidak merusak. Karena pernah terjadi kerusakan kursi akibat
diduduki oleh wisatawan. Karena memiliki nilai historis dan tidak tergantikan,
ini merupakan keputusan yang tepat. Kursi- kursi yang dipajang di sana berasal
dari Eropa. Di sebelah kanan kiri merupakan kursi permaisuri dan putra mahkota
bila berkenan hadir. Di tengah merupakan kursi Sultan dengan meja berhiaskan
ular, dengan makna ucapan Raja merupakan hukum. Dibelakang kursi Sultan
terdapat Ranjang Kencana untuk istirahat siang. Ranjang ini dihiasi dengan
tirai berwarna – warni, terdiri dari 9 warna tidak termasuk warna putih. Warna
tersebut melambangkan 9 Wali Songo.
Itulah Bangsal Keraton, kami kemudian keluar ke taman untuk
pergi ke sisi kiri, dimana terdapat Musium Kereta Singa Barong. Ini dia
primadona Keraton Kasepuhan. Lagi- lagi tempat ini juga sedang direnovasi,
suasana berantakan dan berdebu. Syukurlah saya tetap bisa mengambil gambarnya.
Pak Ferry bertanya kepada saya, dapatkah saya menyebutkan wujud binatang apa
kereta tersebut. Saya bingung karena tidak menyerupai bintang yang ada di dunia
nyata. Karena itulah pak Ferry berkata kenapa kereta tersebut dinamakan Singa
Barong. Singa dari kata sing ngarani( yang memberi nama) , barong (bareng-
bareng). Singa Barong merupakan produk akulturasi
yang terintergrasi. Kita dapat melihat 3 budaya disini diantaranya:
- Belalai gajah yang melambangkan persahabatan dengan India (Hindu)
- Kepala naga melambangkan persahabatan dengan China (Buddha)
- Sayap dan badan dari buroq melambangkan persahabatan dengan Mesir( Islam)
Kereta Singa Barong |
Memang Keraton Kasepuhan Cirebon tidak fanatik dengan budaya
dan agamanya sendiri. Ia berusaha menjalin persahabatan dan hubungan baik
dengan berbagai pihak. Sunan Gunung Jati dikenal sebagai orang yang toleran
serta demokratis. Sikap demokratis itu bahkan tampak nyata dan
diwujudkan dalam bentuk arsitektur campuran antara Islam, Hindu-Budha, dan
Eropa.
Selanjutnya kami akan memasuki
wilayah Dalem Agung Pakungwati, yang merupakan keraton tertua sebelum dibangun
Keraton Kasepuhan. Nama Pakungwati diambil dari nama Putri Pangeran
Cakrabuwana, yang akhirnya menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ya memang benar, dengan
kata lain Sunan Gunung Jati menikahi sepupunya sendiri.
Dalam kawasan ini terdapat sebuah gapura yang terbuat dari
bata merah seperti pada Siti Inggil. Disini merupakan kawasan puing- puing dari
Pakungwati. Dibalik gapura tersebut terdapat barisan batu – batu pancuran
permandian Sultan. Saya membayangkan ukiran batu yang sangat indah dulu ada
disini. Tapi karena pengaruh alam dan usia, batu karang ini sudah terkikis dan
tidak berbentuk.
Bentuk
dari Dalem Agung Pakungwati ini seperti labirin, jalannya berbelok belok dan
berdindingkan batu bata merah. Disana banyak ditumbuhi rumput liar dan
suasananya sepi, sangat berbeda dengan bangsal keraton.
Ada juga
tempat permandian putra keraton dan putri keraton yang terpisah. Bentuknya
seperti kolam biasa, dilapisi semen. Ini cukup disayangkan saya tidak bisa
melihat wujud aslinya. Pak Ferry menjelaskan kalau permandian tersebut
direnovasi oleh pemerintah, hal ini juga menjadi keprihatinan apabila
pemerintah hanya menjalankan program tahunan tanpa memperhatikan nilai- nilai
sejarah yang tak ternilai.
Akhirnya
selesailah perjalanan saya di Keraton Kasepuhan Cirebon, tempat ini memberikan
saya pengetahuan baru dan mengenal satu lagi budaya Indonesia yang unik. Mari
cintai budaya kita sendiri. Salam hangat
No comments:
Post a Comment