11140110188
Kelas B1
Keraton Kasepuhan
merupakan keraton tertua di kota Cirebon. Berdirinya keraton ini diawali dengan
kisah keluarnya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran dikarenakan adanya
perbedaan keyakinan. Kala itu Prabu Siliwangi adalah seorang mualaf sementara Kerjaan
Padjajaran sangat kental dengan ajaran agama Hindu.
Setelah keluar dari
Padjajaran, Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi mendirikan sebuah Keraton di
Cirebon dalam rangka ingin lebih leluasa dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Walangsungsang,
kemudian diangkat menjadi seorang kuwu yang dalam bahasa Cirebon berarti lurah
atau kepala desa dengan gelar Pangeran Cakrabuana, yang akhirnya lebih akrab
dikenal di masyarakat dengan nama Pangeran Cakrabuana. Keraton tersebut
kemudian diberikan kepada putrinya yang bernama Ratu Ayu Pakungwati yang
kemudian menjadi nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati.
Ratu Ayu Pakungwati
kemudian menikah dengan Syach Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian dinobatkan menjadi
Pimpinan Negara di Cirebon dan menetap di Keraton Pakungwati. Dibawah pimpinan
Sunan Gunung Jati, Cirebon kemudian menjadi pusat pengembangan Islam di Jawa
dengan adanya Wali Sanga yang dipimpin oleh beliau.
Dalam masa jabatannya sebagai
Pimpinan di Cirebon, Sunan Gunung Jati melakukan perluasan Keraton sehingga
berdirilah bangunan Keraton Kasepuhan di kompleks yang sama dengan Keraton
Pakungwati. Dinamakan Kasepuhan karena Keraton ini dianggap sebagai sepuh dari
keraton-keraton lain yang ada di Cirebon atau yang dalam bahasa Jawa berarti
‘yang dituakan’. Hingga sekarang, sultan dari Keraton Kasepuhan diberi gelar
Sultan Sepuh.
Jika ditelaah sepintas
dari sejarahnya, Keraton Kasepuhan seolah-olah terdengar begitu didominasi oleh
budaya dan ajaran-ajaran dari agama Islam. Namun demikian, rupanya Keraton ini
mampu menceritakan lebih banyak dari sekadar budaya dan ajaran agama Islam. Begitu
banyak percampuran budaya yang secara non-verbal ingin memberikan pesan
tersendiri bagi kita dari fisik bangunan Keraton ini serta benda–benda peninggalannya.
Seperti yang tertulis di buku Komunikasi
Lintas Budaya karangan Larry A. Samovar, tubuh merupakan sumber utama pesan
nonverbal. Pesan-pesan nonverbal dikomunikasikan dengan penampilan umum, warna
kulit, pakaian, gerakan tubuh, postur, gerakan, ekspresi wajah, kontak mata,
parabahasa dan sentuhan. Ibarat tubuh manusia, fisik bangunan Keraton ini
seolah-olah ingin mengkomunikasikan sesuatu dari generasi Sunan Gunung Jati
kala itu pada generasi kita di zaman sekarang bahwa perbedaan bukanlah sesuatu
yang negatif melainkan bisa berubah menjadi sesuatu yang positif jika kita
mampu melihat perbedaan tersebut dengan pikiran terbuka.
Perbedaan itu indah. Dibuktikan
dengan keindahan bangunan fisik keraton yang dapat kita nikmati hingga sekarang
yang penuh dengan cerita-cerita menarik dan pesan-pesan bijak, yang mengajak
kita untuk lebih meningkatkan rasa toleransi dan nilai solidaritas kepada
budaya-budaya diluar budaya kita. Ingin tahu lebih lanjut? Mari kita bahas satu
persatu pesan-pesan apa yang ingin disampaikan para sesepuh kita kala itu
melalui akulturasi budaya yang bisa kita temukan di Keraton Kasepuhan.
Pertama kali sampai di lokasi
Keraton, kita bisa langsung melihat suatu bangunan tanpa atap yang mana pagar
dan gapuranya disusun dari tumpukan bata merah. Bangunan tersebut dinamakan
Siti Inggil yang berasal dari bahasa Cirebon, Siti yang berarti tanah dan
Inggil berarti tinggi. Jika diperhatikan dari arsitektur bangunan dan desain
gapuranya, sekilasan bangunan tersebut mirip dengan bangunan-bangunan khas Bali
yang didominasi aliran agama Hindu.
Di dalam Siti Inggil
seharusnya ada lima bangunan lagi yang tiap bangunannya melambangkan
ajaran-ajaran Islam. Unik bukan? Walaupun berbeda aliran dan ajaran, keterpaduan
dan keindahan itu rupanya tidak harus selalu datang dari persamaan. Perbedaan
pun rupanya mampu membuat sesuatu jadi lebih indah bahkan unik. Sayang, ketika
kita singgah disana, bangunan ini sedang dalam tahap renovasi sehingga kami tidak
mendapat informasi lebih jauh mengenai bangunan ini.
Bangunan Siti Inggil |
Sebelum benar-benar
masuk untuk melihat bangunan keraton, terlebih dahulu kita harus mendaftarkan
diri di buku tamu dan membeil tiket di tempat yang berada persis di depan pintu
gerbang keraton. Disana, kita bisa langsung melihat para pemandu lengkap dengan beskap dan
blangkon seperti para abdi
dalem di keraton-keraton
dengan senyumannya yang ramah menyapa, siap bercerita tentang Keraton Kasepuhan.
Melangkahkan kaki
melewati suatu gerbang besar langsung terlihat halaman yang luas dan ditumbuhi
rumput hijau yang dinamakan halaman Kemandungan yang dahulu digunakan untuk
menyimpan alat-alat perang. Pada bagian kanan halaman Kemandungan, terdapat
suatu bangunan yang dianamakan Langgar Agung.
Langgar Agung ialah
sebuah mushola yang digunakan untuk sholat para warga sekitar yang sebagian
besar diantaranya ialah keluarga atau keturunan anggota Keraton. Hingga
sekarang, Langgar Agung masih digunakan untuk mengadakan upacara-upacara keagamaan
bagi warga sekitar Keraton. Menurut Parkes, Laungani dan Young, dari buku
Komunikasi Lintas Budaya, semua budaya memiliki agama yang dominan dan
terorganisasi yang mana mempengaruhi aktivitas dan kepercayaan mencolok seperti
upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan. Disini, Langgar Agung menjadi
simbol yang sangat jelas menggambarkan bahwa Keraton Kasepuhan dahulu dan
sekarang didominasi agama dan ajaran Muslim, namun demikian tetap terbuka
terhadap budaya dan ajaran agama lain.
Setelah melewati halaman
Kemandungan, terlihat sekali lagi gerbang besar yang dinamai Pintu Gledegan.
Dahulu, setiap ada tamu yang ingin masuk, terlebih dahulu harus diperiksa oleh
para prajurit di gerbang ini. Dinamakan Gledegan karena dahulu ketika melakukan
pemeriksaan, suaranya terdengar sangat kencang seperti petir yang menggeledeg.
Setelah melewati Pintu Geledegan, kita akan melihat sebuah taman yang sangat
cantik dan terawat yang dinamai Taman Bunderan Dewan Daru yang melambangkan
bundar yang artinya sepakat, Dewan yang artinya Dewa sementara Daru artinya
ialah cahaya. Sehingga pesannya ialah ‘Jadilah orang yang menerangi sesama
mereka yang masih hidup dalam rasa kegelapan’. Bijak sekali bukan?
Taman Bunderan Dewan Daru |
Dari Bunderan Dewan Daru
terlihat jelas tiga bangunan besar yaitu Museum Benda Kuno, Museum Singa Barong
dan bangunan Keraton Kasepuhan. Pertama-tama, pemandu kami, Bapak Ferry
mengajak kami untuk melihat-lihat Museum Benda Kuno. Sayangnya, sama seperti
bangunan Siti Inggil, Museum ini sedang direnovasi sehingga benda-bendanya
terlihat kurang beraturan tata letaknya sehingga sulit bagi Bapak Ferry untuk
menjelaskan arti dan sejarah benda-benda peninggalan tersebut dikarenakan
urutannya yang tidak keruan dan sulit untuk dijangkau.
Namun demikian, Bapak Ferry mengatakan bahwa
benda-benda di Museum tersebut banyak yang merupakan pemberian-pemberian dari negara-negara
lain seperti Mesir, Cina, Portugis, Prancis Arab, India dan Eropa dan sebagian
lainnya merupakan peninggalan Keraton. Hal ini melambangkan adanya hubungan persahabatan
yang baik antara Keraton Kasepuhan dengan negara-negara tersebut. Pak Ferry
bercerita bahwa hubungan yang baik tersebut merupakan hasil dari keramahan
Sunan Gunung Jati yang sangat pandai bergaul dan tidak fanatik.
“Sebagai seorang
pimpinan kala itu, beliau merupakan seseorang yang sangat bijaksana dan terbuka
dalam bergaul dengan siapapun” cerita Pak Ferry dengan sangat bangga. Masih
jelas terlihat, bahwa ajaran Sunan Gunung Jati sangat membekas di hati masyarakat
Cirebon. Hal tersebut kami buktikan dengan keramahan warga sekitar dalam
menerima pengunjung. Mulai dari tukang parkir, pegawai restoran di kota Cirebon
hingga warga sekitar Keraton. Tidak sedikitpun terlihat adanya sikap-sikap
nonverbal yang menunjukkan prasangka terhadap pengunjung dari etnis yang
berbeda sekalipun. Seolah keramahan itu berlaku untuk siapapun dan dengan penuh
semangat mereka siap bercerita panjang lebar serta tetap menanggapi setiap
pertanyaan yang kami lontarkan.
Disamping Museum Benda
Kuno, terlihat suatu bangunan tanpa dinding yang dahulu digunakan untuk tempat
operasional staf harian keraton yang bertugas melayani tamu yang datang untuk
menghadap Sultan. Bangunan ini dinamakan Lunjuk yang artinya petunjuk. Di seberangnya,
terdapat bangunan Museum lain yaitu Museum Singa Barong. Bangunan ini masih
juga masih dalam tahap renovasi dan digunakan untuk menyimpan Kereta Pusaka
yang dinamai Kereta Singa Barong.
Kereta Singa Barong ini konon
katanya merupakan kendaraan sehari-hari Sunan Gunung Jati. Kereta ini sangat
cantik dan memiliki pesan-pesan yang sangat baik yang menjunjung tinggi nilai
toleransi dan solidaritas, sangat menggambarkan kepribadian Sunan Gunung Jati. Kereta
Singa Barong ini merupakan perwujudan dari 3 binatang jadi satu yaitu: 1)
Belalai Gajah yang melambangkan persahabatan dengan India yang beragama Hindu,
2) Kepala Naga yang melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama Buddha
dan 3) Sayap dan Badan yang diambil dari Buroq yang melambangkan persahabatan dengan
Mesir yang beragama Islam.
Kereta Singa Barong Asli Peninggalan Sunan Gunung Jati |
Pada belalai Kereta
Singa Barong terlihat adanya Trisula yang melambangkan tiga kebudayaan yang
menjadi satu (Hindu, Buddha, Islam). Selain melambangkan adanya akulturasi budaya,
Trisula disini juga ingin melambangkan tri yang artinya tiga dan sula artinya
tajam sehingga pesannya bagi kita ialah sebagai manusia yang pikirannya tajam, terdiri
dari cipta, rasa dan karsa diharapkan ketajaman alam pikirannya tersebut digunakan
untuk hal-hal yang baik dan peduli serta bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan
lain diluar diri kita sendiri. Menarik sekali ya?
Setelah terkesima mendengar
cerita Pak Ferry akan pesan indah yang ingin disampaikan oleh Sunan Gunung Jati
dari Kereta Singa Barong ini, Pak Ferry mengajak kami untuk kembali berkeliling
Keraton. Target selanjutnya ialah bangunan Keraton Kasepuhan. Sekilas dari
depan Taman Bunderan Dewan Daru, terlihat gapura besar putih di depan bangunan
Keraton. Desain gapuranya dihiasi dengan bentuk awan-awan yang menarik
perhatian kami. Rupanya desain bentuk awan tersebut merupakan ikon kebanggan
khas kota Cirebon. Awan tersebut bernama Mega Mendung yang artinya ingin
mengingatkan para Raja bahwa sebagai seorang pimpinan harus mampu mengayomi
bawahannya atau rakyatnya.
Di belakang gapura Mega
Mendung terdapat serambi keraton yang dinamakan Jinem Pangrawit. Jinem
Pangrawit, seperti peninggalan lainnya memiliki pesan tersendiri dari tata
penamaannya. “Jinem artinya kejineman atau tempat tugas sementara Pangrawit
diambil dari kata rawit yang melambangkan kecil yang maksudnya ialah bagus atau
baik sehingga pesannya ialah diharapkan para tamu-tamu yang ingin menghadap
Sultan memiliki niat yang baik” cerita Pak Ferry.
Serambi Jinem Pangrawit
tidak dibuka untuk pengunjung, sehingga kami harus berputar melalui pintu
samping Keraton melalui pintu Buk Bacem untuk melihat ke dalam keraton. Pintu
gerbang ini sekilasan mirip Gapura, bertembok dan atasnya melengkung yang
disebut buk dan ada daun pintunya. Kayu pintu terlebih dahulu dibacem atau
direndam dengan ramuan sehingga dinamakan Buk Bacem.
Kami pun masuk ke dalam
keraton. Langsung terbayang di benak saya, bangunan ini pasti sangat megah
ketika masih fungsional dahulu. Keraton Kasepuhan secara garis besar masih
terlihat keindahan serta keramahannya, namun demikian harus diakui ada beberapa
bagian yang memang kurang terawat.
Dari Jinem Pangrawit, terdapat
bangunan tanpa dinding bertiang putih yang disebut Loos Gajah Nguling. Gajah
yang sedang nguling akan membengkokkan belalainya. Mengapa dinamakan demikian? Kebengkokan
itu melambangkan bentuk bangunan ini yang memang bengkok atau miring seperti
belalai gajah yang sedang nguling.
Ketika kami bertanya
lebih lanjut kepada Pak Ferry mengenai asal usul arstitektur bangunan ini, Pak Ferry bercerita bahwa arsitektur
bangunan ini dipengaruhi oleh fengshui dari Cina yang pintu depan dan
belakangnya tidak boleh segaris agar tidak boros. Sebelum menjelaskan lebih
lanjut, Pak Ferry mengajak kami untuk menyadari bahwa rupanya ada begitu banyak
peninggalan-peninggalan dari Cina yang menghiasi Keraton Kasepuhan.
“Piring-piringan hiasan yang tertanam di sekeliling tembok Keraton itu juga
pemberian dari Cina. Penasaran kenapa bisa begitu banyak pengaruh dari Cina?”
kata Pak Ferry.
Pak Ferry menceritakan
bahwa hal tersebut terjadi karena adanya pernikahan antara Sunan Gunung Jati
dengan seorang putri dari Cina. Kala itu, Sunan Gunung Jati yang memiliki kemampuan
dalam menyembuhkan orang sakit sangat terkenal hingga ke negeri Cina. Penasaran
akan kesaktian beliau seorang Raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati untuk
menebak apakah putrinya, Putri Ong Tien sedang mengandung atau tidak.
Sunan Gunung Jati
mengatakan bahwa Putri Ong Tien sedang mengandung padahal, kala itu Putri Ong
Tien masih perawan. Namun demikian, setelah mendengar perkataan Sunan Gunung
Jati, perut Putri Ong Tien benar-benar membusung dan akhirnya mengandung. Dari
sini, Putri Ong Tien terpikat dengan Sunan Gunung Jati dan akhirnya menikah dan
ikut menetap di Keraton Kasepuhan. Keberadaan Putri Ong Tien inilah alasan banyaknya
sentuhan-sentuhan budaya Cina pada Keraton Kasepuhan.
Kembali ke masa kini,
kami kembali menyusuri Gajah Nguling memasuki sebuah ruangan yang disebut Bangsal
Pringgadani yang masih dihiasi dengan piring-piringan Cina yang bermacam-macam
gambarnya. Pada ruangan ini terpampang lukisan Macan Ali yang ternyata
merupakan lambang atau bendera Keraton Kasepuhan yang diilhami dari negara
Arab.
Gambar Macan Ali |
Setelah Bangsal
Pringgadani, kami memasuki ruangan lain yang dinamakan Bangsal Prabayaksa,
masih dihiasi piring-piringan dari Cina. Pada Bangsal Prabayaksa, terdapat
porselen-porselen yang merupakan pemberian Belanda. Porselen bertinta biru
menggambarkan kisah kehidupan masyarakat di Eropa sementara porselen bertinta
merah menggambarkan kisah-kisah dari Alkitab.
Di tengah-tengah
porselen Eropa terdapat piringan dari Cina yang ukurannya lebih besar daripada
piringan yang menghiasi dinding. Piringan di tengah porselen ini memiliki
keunikan tersendiri. Sama-sama merupakan handmade,
namun piringan ini dibuat dengan tema yang sama. Sekilasan, lukisan pada
piringan-piringan tersebut terlihat serupa, namun setelah diajak Pak Ferry
untuk lebih lanjut memperhatikan detailnya, rupanya terdapat
perbedaan-perbedaan walaupun tidak terlalu signifikan. Cantik sekali.
Piring-piringan dari Cina dan Porselen dari Belanda
|
Selain kisah menarik
dari Putri Ong Tien tentang sentuhan-sentuhan budaya Cina di Keraton, masuknya
porselen-porselen Belanda pada bangunan Keraton juga memiliki cerita unik
tersendiri. Konon, Keraton Kasepuhan dibangun pada masa penjajahan Belanda.
Seperti yang diceritakan dalam sejarah, banyak keraton-keraton yang diserang
dan dihancurkan Belanda. Namun demikian, hal ini tidak terjadi pada Keraton
Kasepuhan dikarenakan adanya hubungan baik antara Keraton Kasepuhan dengan
negara Belanda yang dilambangkan dengan adanya porselen-porselen pemberian
Belanda tersebut. Wah, rupanya, teknik memenejemen hubungan seperti yang
diajarkan pada mata kuliah Public
Relations sudah dipraktikan sejak
dahulu ya…
Dari Bangsal Prabayaksa,
kita bisa melihat Bangsal Agung Panembahan yang konon merupakan singgasana
Sunan Gunung Jati. Ruangan Bangsal Prabayaksa sudah tidak terlalu terawat.
Terdapat beberapa buah meja dan kursi peninggalan masa lalu ditambah warna
warni kelambu 9 warna yang melambangkan Wali Sanga menurut Pak Ferry.
Bangsal Agung Panembahan
Singgasana Sunan Sultan Sepuh |
Setelah selesai menikmati
keindahan bangunan Keraton Kasepuhan, kami diajak untuk melihat bagian lain
dari Keraton yaitu bagian reruntuhan Keraton Pakungwati. Reruntuhan disini
bukan berarti Keraton Pakungwati pernah hancur diserang atau apa, hanya saja
ini merupakan bagian-bagian Keraton yang tidak ikut di renovasi pada saat
pembangunan Keraton Kasepuhan pada zaman Sunan Gunung Jati. Sayang sekali,
bagian ini sudah tidak terlalu terawat.
Pada reruntuhan Keraton
Pakungwati kita melihat tempat permandian para putri zaman dahulu, tempat
berkumpulnya para Wali Sanga yang tidak boleh dimasuki wanita, sumber air yang
konon katanya bisa mengabulkan doa-doa orang yang baik serta Sumur Upas yang memiliki unsur mistis. Terakhir, kami melihat SMK Pakungwati yang masih
beroperasi hingga sekarang memberikan pendidikan kesenian pada murid-murid
disana.
SMK Pakungwati merupakan
akhir dari jalan-jalan kami di Keraton Kasepuhan. Begitu banyak pelajaran dan
pesan-pesan moral secara verbal maupun non verbal yang saya dapatkan dari dua
hari kunjungan saya ke Keraton Kasepuhan yang disampaikan melalui Bapak Ferry.
Memang, menerima perbedaan menuntut adanya jiwa besar dari tiap-tiap orang dan
Sunan Gunung Jati telah memberikan teladan baik dalam membangun perbedaan yang
indah dan nilai toleransi.
Cerita-cerita dari
Keraton Kasepuhan, menyadarkan saya pada keadaan masyarakat Indonesia zaman
sekarang yang sudah sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia dahulu, yang rupanya
sangat mampu menjunjung tinggi rasa toleransi dan terbuka terhadap perbedaan. Indah
sekali bukan kalau kita bisa kembali menghayati pesan bijak dari Sunan Gunung
Jati, menjadi masyarakat yang tinggi akan toleransi dan nilai solidaritas?
No comments:
Post a Comment