NIM : 11140110234
Kelas : G1
Berbagi pengalaman di Kampung Sindang Barang
Kampung
Budaya Sindang
Barang, ada yang pernah mendengar tempat ini? Jujur saja, saya
sebelumnya juga tidak tahu tempat ini sebelumnya. Dari rekomendasi seorang
teman, saya pun mencoba pergi ke tempat ini yang terletak di Kota Bogor.
Kampung Budaya Sindang
Barang terletak di kampung Sindang Barang,
desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor – Jawa Barat.
Seperti
yang tertulis dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry A.Samovar dkk, bahwa dalam
suatu budaya memiliki beberapa elemen penting salah satunya sejarah. Sejarah
menyoroti asal suatu budaya, “memberitahukan” anggotanya apa yang dianggap
penting, dan mengidentifikasi prestasi suatu budaya yang pantas untuk
dibanggakan. Kampung Budaya Sindang Barang juga memiliki sejarah yang mereka
anggap penting dan patut untuk dilestarikan terus dari generasi ke generasi
lainnya.
Abah
Ukad yang menjadi narasumber saya pun bercerita panjang lebar dengan logat
Sunda yang khas mengenai asal mula Kampung Budaya Sindang Barang ini. Beliau yang
sejak 2003 aktif dalam budaya pastinya paham betul mengenai sejarah
terbentuknya Kampung Budaya ini. Berdasarkan dari Naskah Kuno Pantun Bogor,
Kampung Sindang
Barang ini memiliki kaitan yang erat dengan Kerajaan Pajajaran.
Konon katanya, salah satu perempuan dari Kampung Sindang Barang yang bernama Klenting Manik Mayang Sunda diperistri
oleh pemuda Pajajaran sehingga turunan dari Klenting
Manik Mayang Sunda pun meneruskan budaya mereka agar tidak pudar. Sindang Barang
merupakan punden berundak- undak,
yakni bukit berundak yang dindingnya terbuat dari batu. Punden berundak
merupakan tempat beribadah orang –
orang Kerajaan Sunda jaman dulu, yakni
tempat beribadahnya keluarga Kota Pakuan sekitar tahun 1175-1579. Upacara Seren
Taun merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi tradisi turun temurun dari
Kampung Sindang
Barang ini. Apakah kalian tahu apa itu upacara Seren Taun??? Iya
benar sekali, upacara ini merupakan upacara untuk memperingati panen yang
diadakan setiap setahun sekali.
Kampung
Budaya yang saya lihat ini ternyata bukan didirikan pada zaman dahulu loh, teman-teman . Bangunan yang saya
lihat ini, ternyata sudah direvitalisasi dan dikonstruksi ulang sejak tahun
2006. Awalnya, Abah Ukad ingin membudidayakan kampung mereka yang terletak di
desa Pasar Eurih. Maka terlintas dari benak Abah Ukad bersama dengan rekannya,
Abah Maki, untuk meneruskan budaya Kampung Adat Sindang Barang yang merupakan
Kampung Adat Sunda. Mereka mencoba menyatukan warga-warga di sekitar desa ini
untuk berpartisipasi dalam kegiatan Kampung Budaya ini dan di luar dugaan
masyarakat desa pun sangat tertarik. Saat mengadakan Upacara Seren Taun pada
akhir 2006, Gubernur Bogor, Pak Danis pun mengundang kedua budayawan dari Sindang Barang,
Abah Ukad dan Abah Maki karena tertarik dengan Upacara Seren Taun yang mereka
adakan. Setelah menjelaskan seluk beluk Kampung Adat Sindang Barang, dapat disimpulkan
bahwa Sindang
Barang memiliki kaitan dengan Kerajaan Pajajaran, sang Gubernur pun
meminta kedua budayawan tersebut yaitu Abah Ukad dan Abah Maki membangun cagar
budaya dari Kerajaan Pajajaran dan Sindang Barang ini. Tidak semudah itu membangun
cagar budaya, kendala yang biasa terjadi adalah masalah dana. Setelah
mengajukan proposal dengan Gubernur Jawa Barat, beberapa bulan kemudian dana
sebesar tujuh ratus lima puluh juta rupiah pun siap dicairkan hingga dibangun
Kampung Budaya Sindang
Barang yang dapat memperkenalkan kepada generasi kita sekarang ini
mengenai adat sunda.
Setelah
mengetahui seluk beluk sejarah Sindang Barang, pastinya kalian juga penasaran
agama yang dianut oleh suku ini, bukan? Karena agama juga menjadi elemen budaya
yang penting juga, maka perlu bagi kita mengetahui apa agama yang dianut oleh
mereka. Sebanyak 90% agama yang dianut oleh Kampung Sindang Barang adalah islam. Menurut
Woodward dalam yang tertulis dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry
A.Samovar dkk, asal islam dapat dijelaskan dari kedatangan Muhammad (570-632),
sejak kecil, Muhammad merupakan sosok berwawasan luas. Ketika dewasa, ia
mengasingkan diri ke dalam gua yang dekat dengan rumahnya dan bermeditasi.
Dalam salah satu meditasinya tersebutlah dikatakan bahwa malaikat Jibril
menampakkan diri dan berkat kepadanya bahwa Tuhan telah memilihnya menjadi
utusanNya bagi semua umat manusia. Muhammad menyampaikan pesan agama tersebut
dan membentuk tatanan sosial yang disebut Islam. Setelah mengetahui sedikit
gambaran mengenai asal mula agama Islam,
perlu diketahui juga bahwa bukan berarti tidak ada yang non muslim loh di Kampung ini. Walaupun berbeda
agama, mereka tetap saling menghargai dan saling ikut berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan yang diadakan dari Kampung Sindang Barang.
Dari
agama mari kita beralih ke bahasa yang biasa dipakai daam keseharian Kampung Sindang Barang
ini. Menurut yang tertulis dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry
A.Samovar dkk, bahasa merupakan sejumlah simbol dan tanda yang disetujui untuk
digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti. Bahasa mengizinkan
orang-orang membentuk kelompok dan terlibat dalam usaha kooperatif baik dalam
skala besar maupun kecil. Dengan kata lain, bahasa menolong kita mempertahankan
catatan sejarah yang mempersatukan kita. Begitu juga dengan bahasa sunda yang
menjadi bahasa keseharian di kampung budaya ini. Bahasa Sunda sudah menjadi
bahasa yang disepakati oleh seluruh masyarakat di kampung ini. Bahasa Sunda
juga menjadi bahasa kelompok mereka yang
secara kooperatif membentuk skala yang besar dalam Sindang Barang ini. Ketika mereka
bertegur sapa maupun dalam melakukan percakapan dengan sesamanya, bahasa Sunda
yang mereka gunakan terdengar sangat halus dan
begitu sopan. Sesekali mereka menunduk ketika melewati kumpulan ibu-ibu
yang sedang berbicara di depan pemukiman mereka.
Komunikasi
non verbal dari setiap budaya tentu berbeda- beda karena setiap budaya memiliki
keunikan sendiri. Seperti yang dikutip dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between Cutures oleh Larry
A.Samovar dkk, komunikasi non verbal
meliputi semua stimulus non- verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang
dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang
memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima.
Begitu
juga dengan komunikasi non verbal dalam warga Kampung Budaya Sindang Barang,
mereka memiliki keunikan tersendiri dan tidak dimiliki oleh budaya lain. Dilihat
dari klasifikasi komunikasi non verbal, yang pertama saya akan menjelaskan dari
perilaku tubuh, yang terdiri dari pesan warna kulit. Warna kulit dari warga Sindang Barang
kebanyakan berwarna sawo matang. Menurut Knapp dan Hall yang ditulis pada buku
Komunikasi Lintas Budaya, warna kulit menjadi stimulus tubuh yang paling kuat
dalam menentukan respons interpersonal dalam budaya kita. Warna kulit juga
merupakan dasar untuk menentukan keadaan ekonomi dan psikologis seseorang. Suku
Sindang Barang
kebanyakan memiliki kulit berwarna sawo matang, dapat dilihat dari pekerjaan
mereka, yaitu pengrajin sepatu dan bertani.
Yang
kedua, pesan dari pakaian. Pakaian yang sering dikenakan oleh suku Sindang Barang
berupa baju yang berwarna hitam dengan ikat kepala. Ikat kepala dapat membedakan
strata atau kedudukan, seperti ikat kepala yang dikenakan oleh Kepala Suku Sindang Barang
tentunya berbeda dengan ikat kepala yang dikenakan oleh bawahannya. Ada juga
kontak mata, seperti yang saya jelaskan di bagian atas bahwa Sindang Barang
merupakan suku Sunda maka saat berbicara dengan sesamanya, sangatlah tabu jika
menatap mata lawan bicara secara langsung karena dianggap tidak sopan.
Yang
terakhir ada parabahasa,dilihat dari kualitas vokal, perbedaan budaya kelihatan
jelas dari volume suara. Suku Sindang Barang berbicara dengan sangat halus
dengan lawan bicaranya. Dalam memberi perintah pun, Kepala Suku tetap memberi
perintah dengan nada yang halus dan pelan. Bicara dengan nada yang halus
dipercayai oleh suku Sindang Barang sebagai kesopanan. Saat saya
mewawancarai Abah Ukad, saya pun berhati- hati dan tidak sembarangan dalam mengeluarkan
pendapat karena takut menyinggung atau menyakiti perasaan lawan bicara saya.
Saat
masuk ke Kampung Sindang Barang, saya melihat ada beberapa rumah panggung. Rumah
panggung itu merupakan rumah tradisional adat Sunda yang terbuat dari kayu dan
atapnya terbuat dari ijuk. Rumah panggung tersebut juga punya nama-namanya
tersendiri juga loh. Penasaran dengan
apa saja nama rumah panggung Sindang Barang beserta fungsinya? Mari saya
perkenalkan satu persatu rumah panggung Sindang Barang J
Rumah
panggung yang pertama dinamakan Imah Gede
atau Rumah Gede. Rumah Gede ini merupakan rumah kepala suku Sindang Barang. Apakah kalian ada yang tahu mengapa disebut Imah Gede? Rumah ini disebut Imah Gede karena rumah panggung ini merupakan
rumah panggung tertinggi dari rumah panggung yang lain di Sindang Barang. Imah
Gede ini menjadi tempat tinggal sementara Kepala Suku Sindang Barang
ini. Ketika saya masuk ke dalam Imah Gede,
saya terkejut karena perlengkapan rumah ini bisa dikatakan sudah modern karena
sudah dilengkapi dengan LCD, kulkas, tempat tidur dan kamar mandi yang sangat
nyaman. Walaupun rumahnya terbuat dari kayu, namun isi dari rumah ini sudah
sangat jauh dari kata tradisional.
Saya
tertarik dengan ukiran tepat di atas pintu masuk Imah Gede, sang Kepala Suku
yang bernama Abah Maki menjelaskan bahwa ukiran tersebut bernama Waroge. Waroge
merupakan simbol mantra sunda kuno untuk mengusir roh jahat. Waroge terdiri
dari lima macam ukiran yang memiliki fungsi yang berbeda.
Gambar
pertama bernama Haranghasuan yang fungsinya
untuk menggelapkan mata gaib jahat agar tidk mengganggu kampung. Tepat
disebelah Haranghasuan ada Ratuning Tutulak
yang dipercayai untuk penolak segala gangguan dari kedengkian, kebencian,
kejahatan dari manusia ataupun gaib jahat. Yang ketiga ada Watu Panggilang sebagai penolak segala gangguan gaib jahat yang ada
di batu. Wangapah berfungsi untuk penolak gangguan gaib yang ada di air dan
yang terakhir ada Wawayangan yang
dipercaya oleh suku Sindang Barang untuk menjaga keselamatan dan
kesentosan manusia agar terhindar dari malapetaka gangguan gaib jahat.
Selain menjelaskan mengenai Waroge, saya pun mendapat pengetahuan baru, mengapa kebanyakan rumah panggung menggunakan ijuk sebagai atap. Konon katanya, ijuk yang terbuat dari pohon aren, disebut dengan pohon suci. Tuhan akan menurunkan wahyu Nya dan melindungi kehidupan dalam rumah tersebut, sama halnya dengan ijuk yang ada di atas atap rumah panggung tersebut.
Tidak
jauh dari Imah Gede, ada saung yang
disebut dengan Saung
Talu. Nah, untuk kalian pecinta angklung, Saung Talu ini cocok untuk
kalian, karena saung menjadi tempat pertunjukkan permainan alat musik angklung.
Tidak hanya warga Sindang Barang saja loh yang boleh bermain angklung disini, namun orang luar Kampung
Budaya ini juga boleh bermain angklung disini. Ada berbagai macam angklung
ditaruh di saung ini lengkap dari ukuran besar hingga yang kecil. Biasanya para
remaja yang berpartisipasi bermain angklung saat ada upacara adat. Namun, saat
saya berkunjung kesana, Saung Talu juga menjadi tempat membatik oleh
Kang Dewa, salah seorang pemuda Sindang Barang.
Halaman
luas di depan Imah Gede dinamakan alun-alun. Alun-alun yang luas ini di jadikan
suku Sindang
Barang sebagai tempat upacara adat, salah satunya Upacara Seren
Taun.
Di
seberang Imah Gede, terdapat lima tempat untuk menyimpan lumbung padi. Saat
panen tiba, padi- padi yang telah disimpan di dalam lumbung padi akan ditumbuk
di tempat tumbukan tepat sebelah lumbung padi oleh para ibu-ibu warga sekitar
kampung ini.
Di
sebelah lumbung padi,ada rumah khusus tamu yang datang berkunjung ke kampung
budaya ini dan ingin bermalam disana rumah ini disebut Imah
Pasanggrahan. Sindang Barang menyiapkan enam Imah Pasanggrahan lengkap dengan tiga
kamar tidur, ruang tamu yang telah dilengkapi kursi dan televisi dan kamar
mandi. Untuk semalam para tamu perlu merogoh kocek sebesar enam ratus ribu
rupiah. Tempat ini sangat nyaman dengan udara yang segar dari alam.
Ada
Imah Cenderamata
yang bertepatan di sebelah Imah
Pasanggrahan yaitu tempat aneka macam cinderamata yang dibuat tangan
oleh para remaja dari Sindang Barang dan akan dijual untuk tamu yang tertarik
dengan hasil mereka. Barang-barang yang diperjualbelikan ada batik yang terbuat
dari bahan- bahan alami yang dijual seharga seratus lima puluh ribu rupiah, ada
kalung, gelang dan masih banyak lagi.
karyawan PT Astra yang bersantai di Bale Riungan |
Tepat
saat saya berkunjung di sana, kebetulan ada pengunjung dari PT Astra untuk mempelajari dan melihat
bagaimana Suku Sindang
Barang dan melakukan beberapa aktivitas keseharian yang dilakukan
oleh warga Sindang
Barang seperti membatik. Para
pengunjung dituntun bagaimana cara membatik dengan gambar dan kain yang
telah disiapkan oleh Sindang Barang. Untuk membatik ini, bahanny terbuat dari
batang pohon mahoni yang dipanaskan kemudian para pengunjung tinggal mengikuti
sesuai dengan gambar yang disiapkan. Kebanyakan dari mereka yang mencoba membatik
adalah ibu-ibu PT Astra yang ingin
mencoba bagaimana cara membatik. Banyak dari mereka pun puas dengan hasil batik
mereka namun juga ada yang mengeluh karena kesulitan untuk membatik.
Karyawan PT Astra yang belajar membatik |
Warga
Sindang Barang
sebagian besar berprofesi sebagai pengrajin sepatu. Hasil produksi sepatu ini akan
dijual ke luar pulau jawa seperti Jambi, Lampung dan juga sekitar Pulau Jawa
seperti Pasar Anyar. Mereka membagi
tugas, ada yang memahat sepatu, mengelem, dan memasukkan nya ke dalam kardus.
Untuk sehari mereka bisa memproduksi 2 hingga 3 kodi sepatu, dan perhari nya
mereka di upah sebesar tujuh puluh lima ribu rupiah.
Setelah
melihat-lihat cara pembuatan sepatu, saya pun kembali ke alun alun dan melihat
sekumpulan anak kecil bermain bakiak. Kebersamaan dan kehangatan akan ikatan
tali persaudaraan sangat kuat dalam kampung ini, walaupun sengatnya matahari
yang luar biasa anak-anak ini menikmati permainan tanpa lelah, mereka pun
mengajak saya untuk bergabung. Menyenangkan sekali bisa bermain bersama mereka dan
menambah pengalaman baru.
Terima
kasih Sindang Barang, banyak sekali yang dapat saya bawa dari sini, selain ilmu
dan arti hidup, kebersamaan juga menjadi salah satu hal untuk menyongsong hidup
yang bahagia.
No comments:
Post a Comment