Pages

Saturday, January 12, 2013

Welcome to Kampung Budaya Sindang Barang


Nama : Fellycia Stevie Sugiarto
NIM : 11140110037
Kelas : E1


Selamat Datang di Kampung Budaya Sindang Barang Bogor

      
“Bhinneka Tunggal Ika” adalah motto atau semboyan kita yang berasal dari Jawa Kuno. Seringkali diterjemahkan sebagai “Berbeda-beda namun tetap satu” .  Dari sabang sampai merauke terbentang luas keaneka ragaman baik budaya, etnis, suku, ras, dan agama di Indonesia. Sebagai bangsa yang pluralis, seharusnya kita bangga akan kekayaan yang tidak hanya dari alam namun juga dari segi budaya.
      Kali ini saya melakukan observasi ke Kampung Budaya Sindang Barang yang terletak di Bogor , Jawa Barat. Nama daerahnya adalah Kampung Budaya Sindangbarang terletak di kampung Sindangbarang, desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor - Jawa Barat. Jarak dari kota Bogor ke kampung budaya ini sekitar 5KM terdiri dari 14 RW dan 54 RT, dengan jumlah penduduk mencapai 12.000 jiwa. Curah hujannya sedang. Suhunya berkisar 23 derajat celcius di malam hari dan 30 derajat celcius di siang hari. Masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam.
      Saya pergi ke sana bersama ketiga teman saya menggunakan mobil. Dengan bermodal GPS, kami nekat pergi ke sana. Karena sebelumnya kami ingin pergi ke Jogjakarta, sayangnya kedua teman kami mengalami kecelakaan sehari sebelum keberangkatan. Akhirnya kami memutuskan untuk mengurungkan niat kami pergi ke Jogjakarta.
      Akhirnya Sindang Baranglah tempat yang saya dan teman-teman pilih untuk observasi. Kami berangkat sekitar pukul 14.00 dini hari, karena sesampainya di sana hari sudah gelap akhirnya kami memutuskan untuk menginap disana.
      Sebelum saya berangkat ke Sindang Barang, saya sudah berkomunikasi by phone  dengan kepala adat Sindang Barang. Kepala Adatnya bernama Achmad Mikami Sumawijaya. Namun beliau sedang pergi ke Jogjakarta sehingga beliau meminta pengurus kampung Sindang Barang bernama Kang Oman menyambut kami dan menyediakan imah untuk kami bermalam.
      Sesampainya di Sindang Barang, langit sudah senja. Sebentar lagi bulan mau naik tepat di atas kepala. Beruntung saya masih bisa melihat ke sekitar walaupun samar-samar. Track menuju Sindang Barang cukup terjal dan menanjak. Sempat ngeri di dalam mobil, karena agak gerimis sehingga jalan yang berlapis tanah merah dan bebatuan licin, saat menanjak mobil sempat hampir tergelincir mundur ke bawah.
      Karena hari sudah malam di sana, saya dan teman-teman tidak bisa langsung meliput  kegiatan disana dan melakukan observasi. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari makan dan berkeliling kota bogor sejenak. Menikmati bubur ayam di tengah dinginnya malam dan rintik hujan, segelas teh panas, nasi goreng kambing, dan martabak sekedar untuk mengisi perut .
      Sebelumnya saya akan menceritakan sedikit sejarah mengenai Kampung Budaya Sindang Barang ini. Sebetulnya Kampung Budaya ini masih berkaitan erat dengan suku Baduy. Di awali dengan hancurnya kerajaan Padjajaran yang menyebabkan keluarga kerajaan terpisah. Putra Mahkota Padjajaran yang terpisah akhirnya mendirikan desa di Sukabumi. Disanalah mereka tinggal dan memiliki keturunan. Namun keluarga mereka harus bersumpah untuk tidak boleh mengaku bahwa mereka keturunan dari Kerajaan Padjajaran. Beginilah sejarah singkat yang disampaikan oleh Kang Ukad yang adalah penanggung jawab di saat kepala suku / pupuhu sedang tidak berada di tempat.

    Kami tinggal di Imah Panengeun 1.  Imah ini bisa diisi 6 orang sampai dengan 8 orang. Kasurnya pun besar ada 2 lapis, bisa ditiduri 4 orang. Di dalamnya sudah terdapat TV, air minum, tempat duduk dari keraton, dan gelas seperti kendi. Dindingnya pun bukan berupa tembok melainkan bilik-bilik. Sehingga saat tidur suka banyak nyamuk yang ganggu. Hehe.. Kebanyakan rumah orang sunda berbentuk panggung. Ini disebabkan karena pada jaman dulu dipercaya orang Sunda dekat dengan alam, jadi mereka menggunakan rotan ,pohon aren, dan bambu yang merupakan bahan baku dari alam untuk membangun rumah mereka .
      




Imah Gede adalah susunan rumah panggung yang berada di Kampung Budaya ini. Kepala suku yang tinggal di tempat ini. Konon katanya kepala suku harus tinggal di atas bukit yang tinggi yang disebut dengan Imah Gede ini.  Layaknya seorang bos, kepala suku juga punya sekretaris atau asisten yang bertugas membantunya. Sebutan untuk sekretaris di kampung ini adalah Gilang Serat yang tinggal bersebelahan dengan Imah Gede tempat kepala suku berada. Tujuannya agar kepala suku dapat lebih mudah berkomunikasi dengan gilang serat apabila ada keperluan.
      Kami datang bertepatan dengan kedatangan para guru bimbel yang mengajar di bogor untuk beraktivitas di Kampung Budaya ini. Nah, ada tempat yang dinamakan Saung Talu. Disinilah kegiatan seperti pertunjukkan kesenian diadakan dan tempat untuk berkumpul para pendatang dan warga setempat. Bentuk Saung Talu sendiri seperti panggung besar yang di atasnya ada alat musik angklung dan gamelan.

      
Kepercayaan akan kekuatan gaib di kampung ini masih cukup terasa. Terbukti dengan simbol-simbol yang mereka gunakan yang dipercaya untuk menangkal setan atau roh halus. Contohnya seperti daun pohon rotan yang berada di setiap rumah mereka. Itu disebut sebagai kelenting angin yang dipercaya untuk menangkal makhluk halus atau roh jahat. Contoh lainnya yaitu “Waroge”. Waroge adalah lukisan yang diletakkan di depan pintu di depan Imah Gede. Waroge memiliki beberapa simbol. Yang pertama adalah simbol tanah atau Ratuning tutulak yang dipercaya sebagai penolak dari gangguan seperti kedengkian, kebencian, maupun gangguan dari manusia maupun makhluk gaib. Simbol lainnya yautu simbol api yang disebut dengan Haranghasuan , dipercaya berfungsi untuk membutakan mata gaib yang jahat yang hendak mengganggu kampung. Simbol air atau Wangapah yaitu penolak gangguan gaib yang jahat yang ada di air. Simbol angin atau wawayangan berfungsi untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan manusia/warga kampung dari malapetaka. Yang terakhir simbol batu atau Watu Panggilang yaitu penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu. Kurang lebih dari tradisi semacam ini kita masih bisa merasakan kekuatan gaib yang masih erat sekali dengan kehidupan warga Kampung Budaya Sindang Barang.










Ini adalah Pak Ukad. Kain yang dikenakan di kepalanya adalah kain hasil buatan Kampung Budaya asli loh. Kain yang dipakai Pak Ukad ini adalah simbol atau identitas sebagai kepala suku. Cara menggunakannya juga beragam.



        Kampung budaya Sindang Barang memiliki 27 bangunan adat. Enam bangunan diantaranya adalah Leuit atau lumbung padi yang dibangun berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang subur. Hamparan petak-petak sawah juga melengkapi kampung budaya. Selain itu, kampung budaya Sindang Barang juga memiliki situs-situs purbakala sebagai bukti peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berupa hamparan bukit berundak. Saya sendiri menyempatkan diri untuk menumbuk padi.



Di sana saya dan teman-teman juga menyempatkan diri bermain enggrang dan juga bakiak.Sayangnya saya tidak sempat memfoto saat saya dan teman-teman bermain bakiak.
















Nah, sekarang waktunya menjelaskan kesenian yang ada di Kampung Budaya. Ada 8 kesenian. Kesenian yang pertama adalah kesenian Angklung Gubrak.
 Pagi-pagi benar saya disuguhkan dengan permainan angklung gubrak dari sekompulan nenek yang sudah berusia paruh baya bahkan lebih. Tapi mereka nampak sangat sehat dan lincah menggendong angklung berukuran besar di badannya. Bahkan mereka memainkan angklung sambil berjoget. Ada seorang nenek yang bisa dibilang pentolan dari kelompok angklung gubrak. Nenek ini berasal dari betawi. Beliau menceritakan sedikit soal pengalamannya sampai bisa tercemplung ke budaya pasundan/sunda.
      Berawal dari suami yang pensiun dan pindah  dari jakarta ke kota Bogor. Sampai akhirnya nenek ikut bergaul dengan warga sekitar dan bergabung dalam kelompok angklung gubrak. Dari sanalah beliau mendapat komunitas warga sindang barang yang berbahasa Sunda.
      Ada hal yang menarik disini. Terjadi pertukaran budaya. Akulturasi budaya antara betawi dengan sunda. Nenek ini menceritakan bagaimana sulitnya beliau belajar bahasa sunda pertama kali sampai akhirnya beliau bisa fasih berbahasa sunda. Nenek ini mengaku bahwa ia sudah sangat mencintai kebudayaan angklung gubrak dan tidak akan meninggalkan angklung gubrak walaupun ia asli orang betawi. Biasanya angklung gubrak digunakan sebagai pengiring saat acara serenan taun. Upacara ucapan syukur atas rejeki selama satu tahun dan berdoa agar rejeki di tahun depan dilancarkan.


       Kesenian lainnya yaitu Perebut Se’eng. Ini merupakan adat tradisi kawin. Jadi Perebut Se’eng ini dilakukan pada saat acara lamaran. Dilakukan dengan cara besan pria dan wanita berkumpul bersama dengan membawa masing-masing jago silat mereka. Para jago silat itu yang nantinya harus berebut se’eng, berbalas pantun. Maksudnya adalah  mengutarakan niat untuk melamar.
      Apabila se’eng tidak dapat diperebutkan oleh pihak pria, artinya pihak pria harus pupus harapan karena gagal mempersunting sang gadis. Tradisi ini masih ada sampai sekarang,bedanya sekarang sudah pakai skenario. Jadi, sang gadis sudah pasti jadi dipersunting.
      Saya juga diajak melihat peralatan memasak yang masih sangat tradisional.dengan alat-alatnya. Dan juga diajak untuk melihat aktivitas nandur atau menanam padi, menumbuk padi,dan juga menangkap ikan.  








Ini Syikrul.Saiful-Irul anak Kampung Budaya Sindang Barang


foto foto :
























VIDEO :


No comments:

Post a Comment