Pages

Saturday, January 12, 2013

Sebuah Pengalaman di Kampung Budaya Sindang Barang


Nama : Daniel Eliezer
NIM     : 11140110124
Kelas  : E1



Kampung Sindang Barang, untuk pertama kalinya saya dengar nama kampung ini selama saya berada di Indonesia. Ya, saya secara tidak sengaja saya dikenalkan kampung ini sama teman saya. Dia bilang tempatnya itu “mantep bro”. Langsung waktu denger dia bilang itu, saya penasaran kayak apa mantapnya. Dan pada tanggal 24 Desember, saya melakukan perjalanan menuju ke kampung Sindang Barang yang berada di kota Bogor. Cukup sulit melakukan perjalanan ke sana. Karena saya masih buta akan tempat-tempat di Bogor. Ya, fyi buat yang buta dengan kota hujan seperti saya tapi mau ke kampung Sindang Barang, karena nama Sindang Barang itu ada banyak lho disana. Beberapa kali saya bertanya kampung budaya Sindang Barang, warga-warga Bogor luar masih ada yang enggak tahu sama kampung ini. Jadi, harus sedikit bersabar, dan tekankan kalau kampung Budaya ini ada di Pasir Eurih!

Setelah sudah mendapat pencerahan dari beberapa orang Bogor, akhirnya mulai muncul tanda-tanda kalau perjalanan saya sudah benar. Rumit, adalah kata yang bisa ngewakilin kondisi jalannya untuk menuju kampung ini. Jalan kecil, padat, naik-turun, semua dirasakan. Dan benar saja untuk memasuki kawasan kampungnya sendiri, harus menanjak cukup curam dan bukan beraspal tetapi berbatu kali yang tidak kecil-kecil.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa kampung budaya Sindang Barang ini terletak di kota Bogor. Tepatnya di Jalan E. Sumawijaya Sindangbarang Desa Pasir Eurih. Dan ternyata hanya berjarak 5 km dari kota Bogor. Dan daerah sini banyak angkutan umum yang lalu lalang. Hanya saja saat mau masuk ke dalam mungkin harus naik ojek. Karena angkutan umum tidak masuk kedalam.

Lebih kurang jam 9.15 pagi, saya berada di kampung budaya tersebut. Ternyata saya kalah pagi sama rombongan anak-anak SD yang juga sedang studytour untuk mendalami budaya yang ada di Sindang Barang. Kampung ini benar – benar dikelilingi dengan warna hijau. Asri dan lapang sekali.
Suasana Kampung Budaya Sindang Barang

Pertama kali menginjak pintu masuk kampung budaya ini, selain ramai oleh anak sekolah dasar, saya juga cukup terbawa imajinasi saya ke sinetron – sinetron tradisional, dimana orang – orang asli sindang barang mengenakan baju hitam tradisional lengkap dengan kain penutup kepala. Terasa bedanya. Dan saat itu segera saya mendekati orang berbaju hitam tersebut, untuk meminta izin dan bertanya-tanya dahulu.


Saat itu, saya masih memanggil mereka dengan sebutan pak, siapapun itu. Namun ternyata di kampung ini ada perbedaan yang baru saya sadari saat bertanya-tanya kepada salah satu orang Sindang Barang, ternyata ada panggilan-panggilan seperti akang atau abah. Dan saya baru menyadarinya ketika melihat salah satu dari mereka sedang menunjukkan kepada saya orang-orang yang dapat menemani saya untuk mengetahui lebih dalam tentang kampung Sindang Barang. Mereka memanggil kepada yang muda, dengan sebutan akang. Dan pada yang lebih tua dipanggil abah, yang tiba-tiba pikiran saya tertuju pada sinetron keluarga cemara, si abah penarik becak. Sesuai dengan buku Komunikasi Lintas Budaya terdapat teori Tinggi rendahnya Pengaruh Kekuasaan. Menurut teori ini, panggilan kepada seseorang dapat dipengaruhi oleh kekuasaan seseorang maupun urutan kelahiran seseorang atau usia. Di kampung budaya ini, warga Sindang Barang memanggil warga lainnya kepada yang lebih muda dengan Akang, dan kepada yang lebih tua yaitu Abah.

Panggilannya adalah Abah Ukat. Beliau adalah sebagai pemandu atau orang yang dapat menemani juga menjelaskan lebih dalam mengenai budaya – budaya yang ada di kampung Sindang Barang ini. Abah Ukat ini dikenal sebagai pengelola budaya di kampung Sindang Barang. Beliau juga memakai pakaian adat kampung Sindang Barang yakni baju kain hitam dan kain penutup kepala.

Sejarah…

Untuk sejarahnya, Abah Ukat bercerita cukup lama dan tak jarang ia mengatakan kosakata – kosakata Sunda, yang berarti saya harus berfikir “apa artinya ya?”

Jadi, kampung Sindang Barang sebenarnya sudah ada pada zaman kerajaan – kerajaan. Nama kerajaannya yaitu Kerajaan Sunda. Di Sindang Barang merupakan kampung adat. Namun pada tahun lebih kurang 70, rumah – rumah yang ada disana mulai satu per satu menjadi rumah modern. Yang dimaksud dengan rumahnya sudah mulai berubah menjadi modern yaitu seperti rumah biasanya yang sudah dinding memakai tembok dan atapnya yang mulai memakai genteng. Berbeda dengan masa lampau yang rumahnya masih memakai bambu dan bahan – bahan dari alam yang lainnya seperti ijuk. Walau begitu, kampung Sindang Barang merupakan awal kebudayaan Sunda di kota Bogor dan upacara adatnya yaitu Seren Taun masih dilakukan sampai sekarang.

Sayangnya, untuk upacara Seren Taun sudah ada jadwal – jadwalnya setiap tahunnya yaitu tanggal 2 Desember. Seren Taun sendiri adalah pesta panen sebagai bentuk syukur keberhasilan panen, kadang juga disebut dengan Seren Taun Buru Bumi. Biasanya dalam acara tahunan tersebut, warga membawa hasil – hasil panen mereka seperti padi, buah – buahan, dan hasil pertanian lainnya. Hasilnya panen yang dibawa khususnya padi, biasanya langsung ditaruh di lumbung padi atau yang dikenal dengan leuit. Dan berhubung saya datang ke kampung ini pada tanggal 24 Desember, saya tidak bisa mengikuti acara tahunan mereka. Padahal, kampung budaya Sindang Barang ini merupakan pusat untuk mengadakan acara Seren Taun kabupaten Bogor yang telah ditetapkan oleh bapak Gubernur pada tahun 2006 silam.

Lanjut lagi ke cerita sejarah Sindang Barang, waktu demi waktu berlalu sampai ada gerakan untuk mengadakan acara Seren Taun pertama kalinya sejak beberapa abad silam pada tahun 2000. Oleh Abah Maki dan juga Abah Ukat serta beberapa kokolot lainnya merencanakan acara tersebut di lapangan bola tidak jauh dari lokasi kampung budaya yang sekarang ini. Dan tidak disangka masyarakat menerima acara tersebut sehingga acara Seren Taun Buru Bumi ini ramai di datangi bahkan diliput oleh wartawan. Berawal dari adanya liputan dari wartawan sehingga setiap ada seminar yang membahas kebudayaan Sunda, kampung adat Sindang Barang sering disebut.

Dan memang ternyata ada buku pantun Bogor tentang zaman Padjajaran yang menceritakan Sindang Barang dan Rancamaya. Buku tersebut ditemukan oleh Budayawan Jawa Barat. Dan pada tahun 2006, akhirnya bangunan – bangunan adat khas Sindang Barang itu dibangun kembali untuk melestarikan budaya Sunda Sindang Barang sebagai bentuk pengetahuan bagi anak - anak di Indonesia. Walaupun untuk masalah perawatan rumah – rumah adat ini cukup sulit. Karena kondisi cuaca dan lain – lainnya yang semakin buruk sehingga mempunyai banyak resiko. Tetapi setelah saya melihat rumah – rumah disana, unik sekali rumah – rumahnya. Dan memang terasa seperti berada pada zaman lampau. Dan ketika berbincang dengan abah Ukat di Imah Gede, terasa sangat hangat perbincangannya karena bukan duduk di bangku atau yang lainnya, tetapi dengan lesehan. Ya, lesehan diatas alas kayu, dan dengan dinding memakai anyaman bambu.

Oh iya, tahukah kalian kalau Sindang Barang ini mempunyai hubungan dengan suku Badui? Pak Ukat membeberkan kepada saya kalau memang benar Sindang Barang ini mempunyai hubungan terhadap Suku badui. Ya, pada abad ke-16, saat Padjajaran sedang perang saudara dengan Demak, Banten, Cirebon. Adanya pergeseran terhadap masalah kekuasaan, kepercayaan, dan lain – lain. Sehingga Sindang Barang juga ikut terbakar kampungnya oleh tentara Banten karena posisi Sindang Barang yang berada di antara Padjajaran dan Banten. Dan warga Sindang Barang pun sampai mengucapkan sakit hati, bahasa sundanya Pasir Eurih. Pasir itu tinggi Eurih itu Sakit. Sehingga ada nama kampung Pasir Eurih yang dijadikan sejarah dan tidak boleh hilang.

Seperti yang kita ketahui tentang suku Badui yang sangat kuat dalam adatnya sehingga mereka juga mempunyai kepercayaan sendiri yaitu Suna Wiwitan. Yaitu agama perpecahan dari Muslim yang dimana agama ini lebih merujuk pada alam. Tetapi berbeda dengan Sindang Barang. Kalau Sindang Barang sudah lebih berbaur dengan yang ada saat ini. Salah satunya adalah masalah keyakinan atau agama. Penduduk asli Sindang Barang mayoritas beragama Muslim. Tetapi ada juga yang mengkaji dengan masalah alam seperti Abah Ukat ini yang juga mempercayai bahwa bukan hanya ayat yang terdapat di Al-quran saja yang diturunkan dari yang Maha Kuasa, tetapi ada hal yang belum tersirat yaitu alam. Beliau mempercayai kalau kita baik terhadap alam, maka alam juga akan baik kepada kita. Karena itu, kembali lagi kepada teori yang dituliskan oleh Larry A. Samovar, dkk bahwa Orientasi manusia terhadap alam dan adanya kerja sama dengan alam seharusnya manusia, dalam setiap cara, hidup secara harmonis dengan alam. Dan beberapa penduduk adat telah melakukannya walaupun ada yang tidak sependapat dengan hal tersebut. Walaupun menurut Abah Ukat ini perintah untuk menghormati alam, mengkaji bahwa alam mempunyai energi itu sudah diperintahkan oleh yang Maha Kuasa.

Cerita Lainnya....

Banyak perbincangan yang terjadi saat itu, hingga mengenal akan budaya orang yang memakan makanan memakai tangan bukan sendok. Beliau memberikan pengetahuan kepada saya kalau di setiap jari kita mempunyai energi. Menurut analisis orang – orang zaman dulu, setiap jari kita mempunyai kekuatan, dimana dapat dicoba seperti mengambil dari masing – masing jari kita. Dan dapat dibandingkan dengan memakai sendok. Makanan lebih cepat busuk jika dimakan dengan tangan. Berbeda dengan sendok yang dipercaya lebih lama busuknya. Efeknya? Kinerja lambung kita akan lebih enteng dalam memproses makanannya.

Lebih lanjut, Abah Ukat yang mempunyai kedudukan sebagai pengelola adat, karena beliau mempunyai cerita budaya yang diturunkan dari zaman Padjajaran terus sampai hadirnya Abah Ukat di kampung budaya tersebut, dan cerita yang terjadi sebelumnya pun di turunkan kepada beliau dari neneknya yang bercerita sampai – sampai pernah ada seseorang yang meminta untuk beliau membuatkan buku tentang sejarah kampung Sindang Barang.

Terkait dengan adanya hubungan dengan alam, Pak Ukat sempat bercerita tentang anaknya yang percaya atau tidak percaya pernah dikasih tahu oleh alam bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Sayangnya, beliau tidak menjelaskan detil apa yang akan terjadi pada saat itu. Oke, menurutnya, kalau kita sebagai manusia baik terhadap alam, maka alam pun akan baik terhadap kita, seperti yang dialami oleh keluarga Abah Ukat ini, alam memberi tahu sesuatu kepada anak beliau yang paling tua. Kok bisa? Ya, karena menurut beliau karena beliau sudah berbuat baik kepada alam, menghormati alam, dan 
lain – lain.

Setelah berbincang dengan Abah Ukat, saya sempat mengambil beberapa gambar lagi untuk dokumentasi tugas komunikasi antar budaya ini. Dan ada yang menarik di sebelah Imah Gede, apa itu? Ya, saya melihat di bangunan yang dinamakan Saung talu. Disana ada seorang perempuan remaja yang sedang memegang kain. Tepatnya perempuan itu sedang membatik.


Saung Talu

Tepat dibelakang 2 pria gambar diatas, disana ada alat musik tradisional yang mungkin bagi banyak orang sudah tak asing lagi. Alat musik yang tidak begitu terlihat adalah angklung. Saung Talu merupakan bangunan yang difungsikan untuk menggelar pementasan seni dan juga tempat menyimpan alat – alat musik, seperti yang dapat di lihat di gambar atas, angklung – angklung di taruh di bangunan ini.

Disekitar saung talu, kita dapat melihat panorama yang sudah sangat jarang dapat kita lihat di kota, yaitu hamparan sawah. Menyegarkan sekali. Lebih jauh lagi sebetulnya saya melihat ada bayang – bayang gunung di ujung sana. Walaupun matahari pada saat itu cukup terik, namun tidak sepanas dari biasanya. Cukup adem. Mungkin karena lingkungan yang asri dan hijau di kampung budaya membuat udara menjadi lebih bersahabat.


Hamparan Sawah di Kampung Sindang Barang

Nah, setelah berbincang, mendengarkan cerita – cerita yang disampaikan oleh Abah Ukat tadi, untuk beberapa kasus yang terjadi di kampung Sindang Barang, juga ada hubungannya dengan penjelasan teori yang dikemukakan oleh sang penulis buku tersebut Larry A. Samovar dkk: “bahwa kebudayaan itu dibagikan; anggota dari suatu budaya dapat juga membagikan identitas budaya mereka yang umum. Identitas budaya ini menghasilkan situasi dimana anggota dari setiap budaya mengenal mereka sendiri & tradisi budayanya adalah berbeda dari orang lain dan tradisi orang lain. Selain kebudayaan itu dibagikan, budaya juga diturunkan dari generasi ke generasi. Seperti yang disampaikan oleh Abah Ukat tentang cerita sejarah yang diturunkan oleh nenek beliau. Dan bapak beranak 4 ini pun juga membagikan kepada orang-orang seperti saya, sehingga saya mengenal budaya kampung Sindang Barang ini yang dikenal dengan budaya sunda Bogor.

Selain dua teori diatas, masih ada lagi teori yang berkaitan, yaitu belajar budaya melalui karya seni. Seperti yang sudah saya ceritakan ketika saya melihat saung talu. Disana ada perempuan yang sedang membatik. Hal tersebut mencerminkan kalau kita pun dapat belajar budaya dari karya seni seperti membatik atau pun melalui bermain angklung. Karena “karya seni mencerminkan suatu masyarakat.” Juga “melalui pembelajaran karya seni dan kreativitas antarbudaya, kita menemukan banyak perbedaan pola pikir, kepercayaan, aliran politik, nilai – nilai sosial, struktur kekerabatan, hubungan ekonomi, dan juga sejarah” oleh karena itu seni menurut saya harus ada di dalam suatu budaya. Mengapa? Karena seni mempunyai bahasa sendiri yang dapat menerjemahkan suatu budaya masyarakat tertentu. Baik batik ataupun musik tradisional, mempunyai terjemahan sendiri yang dapat memikat orang – orang tertentu. Dan bagian lainnya ialah dengan bahasa verbal. Ketika saya berbincang, membuat saya belajar untuk berfikir bahwa masih banyak di dunia ini atau bahkan di Indonesia ini yang belum saya ketahui. Sehingga saya merasa bersyukur telah mengetahui satu budaya yang sangat besar di Indonesia, yaitu budaya Sunda dari Kampung budaya Sindang Barang.

  

The End :)
Observasi Kampung Budaya Sindang Barang

No comments:

Post a Comment