Pages

Saturday, January 12, 2013

Kampung Sindang Barang


Nama : Triani Hanifa
NIM   : 11140110217
Kelas  : G1 


Kampung Budaya Sunda, Kampung Sindang Barang



Indonesia adalah Negara yang memiliki kebudayaan yang beragam. Memiliki kekayaan akan bahasa, adat, suku, makanan khas dan kekayaan alam yang melimpah dengan keindahan seisinya.  Kita patut bangga dan menjaga Negara Indonesia ini dengan segenap hati. Menurut hasil sensus BPS tahun 2010 tercatat 1.340 suku yang ada di Indonesia. Sungguh banyak bukan? Dan harus di ketahui, meskipun kita memilki suku, etnis, ras maupun agama yang berbeda, tapi kita tetap bersatu di dalam satu kesatuan yaitu bersatu sebagai warga Negara Indonesia. Belajarlah menjaga dan menghargai kebudayaan kita di mulai dari diri kita sendiri.
Dari sekian banyak suku di Indonesia saya tertarik untuk membahas mengenai Suku Sunda. Suku sunda adalah Suku yang memiliki populasi terbanyak kedua setelah Suku Madura di Indonesia. Suku Sunda memiliki 31,765 juta jiwa yang mana kawasan utama terletak di Jawa Barat. Saya berkunjung ke kampung sunda yaitu Kampung Budaya Sindang Barang. Kampung Budaya Sunda Sindang Barang ini adalah kampung yang di huni oleh warga yang semua berasal dari suku sunda. Kampung Budaya Sindang barang terletak di Kampung Sindang Barang, desa Pasir Eurih, kecamatan Taman Sari, kabupaten Bogor Barat. Berjarak 5 KM dari Kota Bogor atau 60 km dari Kota Jakarta. Akses menuju Kampung Sindang Barang sangat mudah tinggal menaiki angkot yang bertuliskan “SBR” dari sebrang jalan Mall BTM lalu turun di pertigaan kampung budaya membayar 2000 rupiah dan naik ojek satu kali dengan mebayar  5000 rupiah, jalan ke atas lalu sampailah kita di sana. Jalanan nya cukup menanjak dan berliku, tetapi ketika sampai kita akan melihat rumah-rumah panggung yang ada disana. Jumlah penduduk di kampung Sunda ini sekitar 12.000 jiwa. Dimana kampung ini terdiri dari 14 RW dan 54 RT. Di kampung ini  memiliki kepala Suku yang bernama Bapak Achmad Mikami Sumawijaya. Di kampung ini saya bertemu dengan beliau. Beliau dengan ramah menyambut kedatangan saya dan teman-teman. Beliau sehari-hari tinggal di rumah nya yang masih di dalam daerah kampung sindang Barang ini, ungkin seminggu dua kali Pak Achmad tinggal di rumah ini. Di sana saya mendapatkan banyak sekali informasi mengenai Kampung Sunda Sindang Barang, di sana juga saya mengikuti aktivitas warga yang ada. Sayang nya ketika saya ke sana upacara adat baru saja di langsungkan, namun saya dan teman-teman tidak patah semangat untuk mencari informasi mengenai Kampung Sindang Barang . 

Lumbung Padi

Peresmian Kampung Sindang Barang

Bagaimana sih awal nya Kampung Sindang Barang ini berdiri? 
Begini cerita nya Kampung Sindang Barang sudah ada sejak jaman kerajaan sunda sebelum Pajajaran. Menurut naskah kuno pantun Bogor, Kampung Sindang Barang ini terdiri dari 33 Punden Berundak yang merupakan tempat beribadah orang sunda zaman dahulu yaitu warga kota Pakuan yang berjumlah 50.000 jiwa.Pada masa Pemerintahan Rakean Darmasiksa, Beliau  memerintahkan  untuk membuat Undakan-undakan suci di Sindang Barang. Kutipan Pantun Ki Kamal mengatakan  :
Ulah Sindangbarang geusan tata pangkat diganti deui, Sang Pamanah Sang Darmajati, tanah lemah tutup bumi , tutup buana dat mulusna” 
Kata-kata dalam raja tersebut menjelaskan  bahwa Sindang Barang dikategorikan sebagai “Tempat Suci” bahkan dianggap Penaung Dunia dan pengayom dari segala kesempurnaan. Dan hingga saat ini Kampung Sindang Barang telah mengalami perubahan yaitu letak nya berpindah setelah adanya rekontruksi ulang kampung adat, karna lokasi di sana telah penuh. Jadi setelah pajajaran hancur 4 windu menurut cerita poplor, di sini sudah berdiri kampung adat dan upacara adat setiap tahun yang dinamakan  "Seren Taun" yang merupakan  upacara ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen dan hasil bumi yang diperoleh pada tahun ini dan berharap hasil panen tahun depan akan lebih baik lagi. Hingga tahun 70 an upacara adat nya terhenti dan rumah adat satu persau hilang dan khirnya pada tahun 2006 di revitalisasi dan di rekontruksi ulang yang bersumber dari naskah pantun Bogor yang menuliskan cerita mengenai letak dan tata kampung. Dan jadilah yang sekarang ini.

 Rumah Kepala Suku "Imah Gede"

Rumah Sekertaris "Girang Serat"

Berikut tadi adalah rumah kepala suku yang biasa di sebut “Imah Gede” dimana rumah Kepala Adat biasanya terletak di paling tinggi. Dan di samping rumah kepala adat, ada rumah sekertaris yang di sebut “Girang Serat” selain itu terdapat juga “Saung Talu” yang digunakan untuk pertunjukan kesenian yang ada di Kampung Sindang Barang. Di depan rumah Kepala Adat biasa nya terdapat Alun-alun untuk melakukan upacara adat yang di lakukan 1 tahun sekali, namun setiap sebulan sekali mereka selalu mengadakan selametan di malam ke 14 pertengahan bulan Hijriah yang di tujukan untuk mengirim doa kepada para leluhur. Di malam itu mereka menyediakan kue tujuh rupa yang merupakan lambang tujuh lapis bumi, bunga tujuh rupa melambangkan tujuh lapis langit, parukuyan, kopi pahit merupakan lambang dunia atas (langit), kopi manis melambangkan dunia bawah (bumi). Itu adalah semua sebagai perlambang sebagaimana orang sunda zaman dahulu menggabungkan unsur-unsur alam, menurut mereka ketika unsur langit dan bumi dapat di gabungkan dalam suatu doa maka akan terjadi kesempurnaan dan kesuburan.  Berbicara mengenai rumah panggung yang ada di sini, rumah ini memiliki arti, yang pertama disebut “Buana Panca Tengah” terletak pada bagian teras memilki arti yaitu dunia untuk manusia, kedua “Buana Handap” yaitu dunia tempatnya siluman, setan dan mahluk halus lainnya, ketiga “Buana Luhur”  yaitu tempat tinggal atau bersemayam nya para leluhur. Mengapa orang zaman dahulu memilih rumah panggung? Karna mereka bersahabat dengan alam. Dan mengapa mereka menggunakan ijuk sebagai atap rumah? Karena konon pada zaman dulu di percaya bahwa Tuhan yang Maha Esa sering menurunkan wahyu di pohon aren, maka di anggaplah pohon aren sebagai pohon suci, maka ketika seseorang memakai ijuk yang berasal dari pohon aren untuk atap rumah, di percayalah bahwa Tuhan akan menaungi rumah tersebut. 


Waroge


Waroge disebutkan sebagai simbol mantra sunda kuno yang berbentuk hiasan yang memilki arti untuk tolak bala agar terhindar dari gangguan gaib dalam kehidupan manusia.Berdasarkan etimologi kata Waroge berasal dari kata Daruga atau Darugi yaitu metatesis kata Durga atau Durgi. Dalam kisah Hinduistis tokoh Durga adalah Dewi istri Batara Sywa yang bernama Uma, yang melakukan keslaahan pada dirinya sendiri akhirnya ditenung oleh suaminya menjadi sosok Raksesi serta dibuang dan kemudian menjadi ratu para siluman di Setra Ganda Mahayu. . Konon katanya pada zaman dulu Nini Daruga masi di percaya sebagai siluman yang suka mengganggu manusiaWaroge bisanya di gambar di sembilah bambu di tancapkan ke tanah dan di pasang di sudut-sudut rumah. Waroge sudah masuk sejak zaman Hindu memasuki Nusantara, Namun di dalam pemaknaan serta wujud dalam simbol reka hias masyarakat sunda merupakan percampuran kisah Hinduistis dgn kepercayaan lokal masyarakat sunda arkais. Maka masyarakat mempercayakan Waroge sebagai pengusir petaka atau mara bahaya. Berikut ini aadalah penjelasan dari maasing-masing gambar Waroge yang saya dapatkan di depan pintu masuk rumah Kepala Suku. 

Haranghasuan (Waroge symbol api) berfungsi  menggelapkan mata gaib jahat agar tidak mengganggu perkampungan, perumahan dan lahan garapan,  Ratuning tutulak (Waroge simbol tanah) penolak segala gangguan dari kedengkian, kebencian, kejahilan baik dari manusia ataupun gaib jahat, Watu Panggilang (Waroge simbol batu) penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu, Wangapah (Waroge simbol air) penolak gangguan gaib jahat yang ada di air, Wawayangan (Waroge simbol angin) menjaga keselamatan dan kesentosaan manusia agar terhindar dari malapetaka gangguan gaib jahat. 
                                                     
    Penduduk di Kampung Sindang Barang rata-rata memeluk agama Islam dan masih memengan prinsip kekeluargaan yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan mereka sehari-hari yaitu sebagai pengerajin sepatu, pengerajin batik, kantoran walaupun sedikit dan berladang. Ini adalah foto pengerajin sepatu 

Pengrajin Sepatu


     Sepatu-sepatu ini tidak bisa di perjual belikan eceran, mereka hanya menjual ke pemasok perkodi. Harga terjangkau dan berkualitas. Sepatu-sepatu ini di sebarkan ke daerah  ke Pasar Anyar Bogor, Pasar Pagi dan sampai ke daerah Jati Negara Jakarta. Dulu pengerajin sepatu sangat banyak sekali di kampung ini, tapi karna mereka sudah mendapatkan ilmu nya maka mereka membuka usaha sendiri di luar perkampungan.   Selain itu pekerjaan mereka mebuat batik yang sama sekali tidak menggunakan bahan kimia, melainkan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Batik ini di perjual belikan jika ada pengunjung yang ingin membeli dengan harga 150.000 rupiah. 


Batik Kampung Sindang Barang


     Pekerjaan selanjutnya yaitu bercocok tanam atau berladang, para penduduk biasa menanam padi, jagung, dan ubi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.




   

    Begitulah kegiatan mereka dalam segi pekerjaan. Terlihat suasana di desa ini sangatlah sejuk dan damai. Bahasa yang di gunakan sehai-hari yaitu bahasa Sunda dan Indonesia. Mereka semua sangat ramah dan terbuka mengenai sejarah kampung mereka kepada saya dan teman-teman. Cuaca di Kampung Sindang Barang berkisar antara 23 derajat C  pada malam hari dan 30 derajat C pada diang hari. Untuk melestarikan kesenian tradisional di Kampung Sindang Barang di adakan pelatihan gamelan bagi anak-anak yang menyukai kesenian secara gratis. Setiap malam minggu bapak-bapak mengadakan latihan gamelan, dan pada hari rabu ada sebagian anak-anak yang berlatih tarian daerah.  
     Salah satu keunikan yang ada di Kampung Sindang Barang mengenai adat ketika akan melamar seseorang, atau biasa di sebut “Perebut Seeng” adalah jika ada seseorang yang ingin melamar salah satu warga sini, syarat nya harus dapat merebut seeng dari lawannya atau biasa yang lebih di kenal semacam silat. Apabila seeng tersebut berhasil di dapatkan maka dia boleh melamar pilihannya tersebut apabila tidak maka dia tidak berhak melamar pilihannya. Sampai saat ini kebiasaan seperti itu memang masi di lestarikan hingga saat ini, namun berbeda dengan zaman dulu, bahwa zaman sekarang semua sudah di buat agar seeng tersebut harus dapat terambil dari sang pelamar. Karna pada zaman dulu pernah terjadi keributan karna seeng tersebut tidak terambil. Di kampung Sindang Barang ini memiliki 8 kesenian yang telah di revitalisasikan oleh para penduduknya.  Pada saat tradisi ini di lakukan semua nya berbusana Adat. Ada yang mempimpin jalan nya upacara Adat, dan apabila memungkinkan biasanya di adakan tarian-tarian. 


Ungkal Biang




Berikut di atas adalah foto Ungkal Biang. Apa sih yang di sebut dengan Ungkal Biang? Ungkal biang secara etimologi Ungkal = Batu, Biang = Ibu jadi bisa di katakana bahwa ungkal biang adalah Batu Induk. Ternyata warga sunda sejak zaman megalitikum memilki kebiasaan menanam batu di saat mendirikan suatu kampung. Namun karna di anggap tidak terlalu penting maka banyak yang tidak terpedulikan oleh sejarahwan. Tetapi tanpa di sadari kebiasaan tersebut masih ada loh sampai sekarang, biasa nya warga sebelum membangun rumah pasti memakai tradisi “Peletakan Batu Pertama”. Fungsi Ungkal Biang di harapkan lama kelamaan akan menjadi pakuan kota pusat Negara. Batu yang di pilih pun harus yang padat berisi dan kuat. Biasa nya sekeliling nya di Tanami tanaman yang mengandung aura mistis seperti bamboo lengka, wera lampu dll. Kebetulan ungkal biang ini di letakan di sebelah rumah Kepala Suku. Upacara menanam batu Ungkal Biang disebut “Makukeun”, waktu nya mengikuti perhitungan bulan purnimanta, yaitu menghitung bulan yang di awali dari purnama penuh dan berakhir menjelang purnama lagi. 
Rentetan upacara Ngunduh Watu yaitu memilih batu yang akan digunakan. Jika telah di temukan lalu membakar kemenyan meminta izin memindahkan dan mengalihfungsikan batu menjadi oaku lembur. Ngundug Matur yaitu mencari tanaman untuk di tanam di sekeliling batu. Tanaman di tanam setelah membakar kemenyan dan di bawa ke tempat yang  telah disediakan. Makukeun yaitu menanam batu yang di awali dengan membakar kemenyan oleh sesepuh, yang di lengkapi dengan Tujuh rujak Dawegan, Bonteng, Curuluk, Peuyeum, Honje, Pisang Mas, Cuing,Tujuh Puspa dan Seupaheun , Tujuh puspa Bunga Campaka, Kananga, kacapiring, tanjung, melati, kemuning dan mawar , Seupaheun sirih pinang, Murak Tumpeng makanan nasi tumpeng yang sebelumnya telah di doakan.


Selanjutnya ada upacara memandikan Ungkal Biang yang biasa di sebut dengan Ngukuluan, upacara ini di adakan setiap 1 tahun sekali. Tata cara dari upacara nya sama seperti upacara Makukeun. Upacara ini dapat di adakan secara sederhana atau besar-besaran, tergantung dengan kondisi masarakat sendiri.
Selanjutnya saya ingin memberikan sebagian kegiatan saya ketika di sana, yaitu berrmain bakiak bersama anak-anak kecil yang sedang bermain bola disana. Mereka sangat lucu dan menggemaskan. Mereka ramah meskipun malu-malu, permainan ini tidak akan saya lupakan. 

Bermain Bakiak

Saya-Shinta-Dinda


Nah begitu banyak kan pengetahuan dan informasi mengenai Suku Sunda yang ada di Kampung Sindangbarang ini, kita dapat mengintip, mempelajari dan menjaga kelestarian adat yang ada di sana, karna bagaimana pun itu termasuk ke dalam keberagaman yang ada di Negri Inonesia . Pengalaman yang saya dapat disana saya banyak mengetahui mengenai kebudayaan yang ada di sana, melihat langsung kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari, dan tentu nya menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman. Segitu aja cerita saya mengenai Kampung Sindang Barang, semoga bermanfaat :D 



No comments:

Post a Comment