CERITAKU
DI SINDANG BARANG
NAMA : APRI
CELIA
NIM :
11140110156
KELAS : F-1
Senin, 24
Desember 2012. Aku melakukan perjalanan ke sebuah kampung budaya yang berlokasi
di kota Bogor. Kampung budaya itu bernama Sindang Barang. Setelah menempuh 4
jam perjalanan dengan melewati liku-liku jalan kota Bogor akhirnya aku sampai
di Desa Pasir Eurih dimana kampung budaya itu berada. Suasana asri perkampungan
dengan jalan kecil beraspal beserta hamparan sawah yang terbentang di area
perkampungan, membuat aku dapat merasakan ketenangan dan keheningan yang jauh
berbeda dari kota kediamanku. Jalan menanjak berbatu pun tak menghalangiku
untuk memasuki pintu utama Kampung Budaya Sindang Barang.
Pemandangan
pertama yang dapat kulihat ialah jejeran bangunan adat yang menambah rasa penasaranku
akan kampung budaya itu. Kebetulan sekali, kedatanganku bertepatan dengan
kegiatan kunjungan oleh sebuah sekolah dimana murid-murid TK dan SD sedang
mengikuti serangkaian kegiatan wisata budaya di sana. Aku pun tak sabar untuk
ikut merasakan perjalanan wisata budaya bersama mereka dan mengenal lebih jauh
tentang kampung itu.
Sekilas tentang Sindang Barang…
Kampung
Sindangbarang menjadi kampung tertua di kawasan Bogor, Jawa Barat. Di sinilah
lahirnya kebudayan Sunda Bogor yang masih bertahan hingga sekarang. Konon
dikatakan Sindang Barang sudah ada sejak jaman Kerajaan Sunda dan diperkuat
dengan adanya cerita rakyat mengenai Kerajaan Pajajaran yang diturunkan dari
generasi ke generasi dan terdapat pula naskah pantun bogor yang merupakan
warisan dari alm Bp. Anis Djatisunda.
Kampung
budaya Sindang Barang dibangun sebagai bentuk upaya melestarikan kebudayaan
sunda agar orang-orang Sunda dapat mempertahankan jati dirinya apalagi
perkembangan budaya luar yang sudah semakin pesat sejak era globalisasi seperti
saat ini. Budaya barat cenderung merajalela dan mengancam kelestarian budaya
daerah di Indonesia.
Kampung
budaya Sindang Barang memiliki 27 bangunan adat dimana enam bangunan
diantaranya adalah Leuit atau lumbung
padi yang dibangun berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang subur. Hamparan
petak-petak sawah juga melengkapi kampung budaya. Selain itu, kampung budaya Sindang
Barang juga memiliki situs-situs purbakala sebagai bukti peninggalan Kerajaan Pajajaran
yang berupa hamparan bukit berundak.
Ada
pula bangunan adat lainnya, dan tentunya sebagai sebuah kawasan wisata budaya,
kampung budaya Sindang Barang menyediakan berbagai fasilitas bagi para
pengunjung yang hendak mengalami perjalanan wisata budaya sunda. Fasilitas
berupa tempat penginapan berbentuk rumah adat sunda beserta kegiatan-kegiatan
yang sudah disiapkan dalam upaya mengenalkan budaya sunda.
Pengunjung
dapat mengalami langsung kehidupan perkampungan dengan kultur sunda di
dalamnya. Situs-situs peninggalan sejarah purbakala, kesenian sunda seperti
alat musik gamelan, tarian sunda, jamuan makanan sunda, hingga kegiatan menanam
padi di sawah, menumbuk bijih padi, maupun memandikan kerbau pun melengkapi perjalanan wisata budaya
di Sindang Barang.
Setiap
satu tahun sekali masyarakat Sindang Bbarang mengadakan upacara adat, yakni upacara
adat Seren
Taun. Upacara tersebut merupakan upacara pesta panen raya yang secara
rutin dilaksanakan masyarakat adat Sunda Wiwitan, yang konon pada jaman dahulu
upacara tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada yang empunya
atas hasil panen yang mereka peroleh. Sejak berjayanya Kerajaan Pajajaran ,
upacara ini sudah berlangsung dan terus dilestarikan hingga kini. Upacara Seren
Taun diadakan setiap tahun saat
bulan Muharam dimana melibatkan seluruh masyarakat Desa Pasir Eurih, tanpa
terkecuali, bahkan para wisatawan maupun masyarakat Jawa Barat pun bebas untuk
hadir menyaksikan. Upacara ini dilengkapi dengan upacara ritual oleh para
masyarakat adat dan diperindah dengan penampilan kesenian tradisional.
Leuit (Lumbung Padi) |
anak-anak belajar menumbuk padi dengan alat penumbuk tradisional |
alat penumbuk padi tradisional |
Perjalanan
wisata budaya di kampung budaya Sindang Barang tidak hanya menyuguhkanku sebuah
panorama perkampungan maupun berbagai kegiatan orang jaman dahulu. Tetapi
sebuah pengetahuan menarik yang kudapat mengenai sebuah budaya menjadi
pengalaman yang berharga.
Saat
aku berkunjung ke sana, seorang bapak bernama Pak Ukad, memanduku dan
membagikan kisah hidupnya padaku. Seharian penuh kuberbincang dengan beliau. Beliau
adalah salah satu masyarakat adat yang berperan penting dalam melestarikan kampung
wisata budaya Sindang Barang tersebut. sebagai seorang warga asli Sunda Bogor,
ia mengabdikan hidupnya untuk berpegang teguh mempertahankan budayanya yang
sudah ia kenal sejak kecil. Desa Sindang Barang telah menjadi kota kelahirannya
dan disanalah ia mengabdi. Ia menjabat sebagai pengurus keamanan kampung wisata
sekaligus yang menyebarkan pengetahuan akan budaya sunda itu sendiri. Dalam
berkomunikasi dengan para pengunjung ia sudah fasih berbahasa Indonesia. Dengan
rekan ia masih menggunakan bahasa sunda.
Menurut
Larry A.
Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, bahasa mengizinkan orang-orang membentuk
kelompok dan terlibat dalam usaha yang kooperatif baik dalam skala besar maupun
kecil. Kosakata yang digunakan bersama memungkinkan untuk merekam dan
memelihara kejadian masa lalu, sekalipun hanya dengan interpretasi selektif.
Rekaman ini menjadi catatan sejarah suatu komunitas yang disampaikan ke
generasi berikutnya dan menjadi faktor penyatu. Kebaikan dari generasi
sebelumnya menjadi cara penting untuk menyosialisasikan dan mengajarkan budaya
pada anak-anak mengenai nilai dan perilaku normatif yang tetap dipertahankan.
Dengan kata lain, bahasa dapat
mempertahankan catatan sejarah yang mempersatukan kita.
Tentu
saja bahasa sunda muncul setelah adanya sejarah yang membentuknya dan telah
menjadi pemersatu para warga Sindang Barang dan menjadi bahasa yang sudah
melekat dalam diri masyarakat Desa Pasir Eurih hingga ke anak-cucu mereka. Itu pun
yang dialami oleh Pak Ukad.
Kisah Pak Ukad…
Kisah Pak
Ukad bermula ketika ia sadar bahwa ada dorongan dalam dirinya untuk
mempertahankan budayanya.
Budaya
sunda melekat dalam diri Pak Ukad sebagai hasil turunan dari keluarganya
terdahulu. Ia seperti sudah diramalkan saat itu tahun 1976 bahwa ia akan
meneruskan kampung adat pada umur 40 tahun. Karena ketika itu bapak masih muda,
ia menghiraukan dan pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah. Ia berpikir jika
mengurusi “adat”, hidupnya akan statis dan miskin. Ntah kuasa mana, betul saja tahun 2000 ia pulang ke kampung Sindang
Barang dan mengabdikan hidupnya menerusan adat. Secara ekonomi memang pas-pasan
tetapi baginya selama kita manusia menghargai alam, alam akan memberikan yang
terbaik pula bagi manusia itu. Ia diberkahi kebun pala yang ia rawat untuk
menambah penghasilan hidupnya. Selain itu, pekerjaan sebagai pengrajin sol
sepatu pun ia geluti agar kebutuhan keluarga dapat terpenuhi, anak-anak bisa
lulus SMA, budaya juga tetap dapat diurus.
Pak
Ukad kini menjadi ketua keamanan di kampung wisata budaya Sindang Barang,
kampung budaya itu dibentuk juga demi mempertahankan budaya Sunda. Era
globalisasi yang membuat mudahnya budaya luar masuk ke Indonesia dan sedikit
orang Indonesia yang tau akan budaya sunda. Dekatnya kota Bogor dengan kota
Jakarta juga menjadi salah satu potensi tergusurnya budaya sunda dengan budaya
lain yang lebih dominan. Itulah yang mendorong Pak Ukad dan rekannya gigih
mempertahankan budaya sunda dimana gubernur bogor turut mendukung pembangunan
kampung budaya Sindang Barang.
Sebuah
wisata budaya tak akan bermakna apabila hanya penampilan kegiatan yang
ditonjolkan, justru baginya pengetahuan akan budaya itu sendiri menjadi buah
pokok utama dalam sebuah perjalanan wisata budaya. dalam misinya, ia berusaha
membagikan budaya sunda pada semua orang agar banyak yang kenal dan paham. Hal
itu sama dengan yang diungkapkan Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, dimana budaya itu dibagikan. Budaya dapat disebarkan melalui banyak cara
seperti melalui dongeng, mitos, legenda, karya seni, maupun media massa. Selain
itu, budaya dapat dibagikan oleh berbagai “penyebar”, seperti keluarga, teman,
media, sekolah, gereja, maupun insitusi lainnya. Melalui kampung wisata budaya
Sindang Barang beserta tangan-tangan para pengurus dari masyarakat adat inilah,
budaya sunda diharapkan dapat terus dilestarikan dan dikenal oleh semua orang.
Sebagai
orang sunda, Pak Ukad sangat menghargai alam. Baginya alam memiliki energi
positif jika kita memperlakukan alam sebagaimana mestinya. Semua yang ada pada
kita ialah berasal dari alam. Sejak kecil ia dididik dengan budayanya, budaya
sunda. Layaknya sistem pemerintahan maupun sistem kerajaan yang bersifat turun
temurun, sistem jaman dulu masih menempel dalam warga kampung budaya dimana
sejak abad 16 Sindang Barang terbakar dan masih tersisa peninggalan,
diteruskan oleh keturunan selanjutnya hingga
sekarang Bapak Maki yang mengepalai kampung budaya dan oleh hasil kesepakatan
kokolot. Sistem kesepuhan berjalan sebagaimana mestinya. Jika nanti Pak Maki
tiada, kekuasaan akan jatuh ke tangan keluarganya seperti anaknya, kakak,
maupun adik kandung Pak Maki. Pak Ukad sendiri akan menurunkan struktur adatnya
ke anaknya. Hal ini sesuai dengan teori komunikasi antarbudaya sebagaimana ditulis
Larry A.
Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, budaya
itu diturunkan dari generasi ke generasi. Suatu budaya tentu ingin dipertahankan
oleh pemilik budaya tesebut. Dengan mempertahankan budaya, budaya tersebut
otomatis harus dibagikan dan tidak hanya sebatas dibagikan, tetapi juga
dipastikan pesan-pesan dan elemen penting yang terkandung dalam budaya tersebut
dapat diturunkan pada generasi yang akan datang. Dengan demikian, masa lalu
akan terus berlanjut di masa kini.
Menurut
L.A. Samovar, budaya merupakan pewarisan
sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita
lahir. Sebelum adanya kehidupan baru, pasti ada sejarah yang membentuk atau
melatarbelakangi adanya kehidupan tersebut. Ikatan generasi menyatakan hubungan
yang jelas antara budaya dan komunikasi. Dengan adanya komunikasi, maka budaya
dapat berkelanjutan. Suatu kebiasaan, prinsip, nilai, maupun tingkah laku,
serta elemen-elemen budaya lainnya diformulasikan, kemudian dikomunikasikan
kepada anggota lainnya hingga ke generasi selanjutnya, sehingga suatu
kebudayaan tidak akan pernah mati.
Sebagai
orang kelahiran jaman dulu, Pak Ukad juga mempercayai adanya kekuatan mistis
atau kekuatan yang di luar akal sehat. Hal itu seringkali dianggap tabuh di
jaman sekarang, padahal sebenarnya hal itu justru perlu dikaji dan dipandang
positif. Orang jaman dahulu dan masyaraat adat sunda wiwitan khususnya, mempercayai
bahwa kita manusia adalah bagian dari alam. Kita diciptakan dari 4 unsur ,
yaitu tanah, air, angin, dan api. Jika kita merusak alam, maka 4 unsur itu akan
menghancurkan kita. Seperti api bisa membakar, tanah bisa gempa, angin bisa
menjadi tornado, maupun air bisa menenggelamkan. Kalau kita merusak alam
artinya kita bunuh diri.
Bapak
sendiri menghargai paham tentang semua unsur alam walau ia beragama Islam. Baginya
ayat yang diturunkan bukan hanya ayat yang tertulis saja, tetapi ada hal di
luar yang perlu dikaji. Adat yang dianut Sunda Wiwitan kalau hendak membuka
kampung baru, rumah baru, atau tempat-tempat baru lainnya, sebelum bangun tanah
harus digali sedalam 2 jengkal, kemudian memasukan pasir sekitar 10 cm, baru
terakhir ditanami batu yang sudah diyakini. Batu itu dipercayai akan melindungi
bangunan. Kalau ada gempa, ada pasir halus untuk memgempalkan agar bangunan
tidak langsung goyang dan rubuh, batu untuk memberi kekokohan bagi bangunan
tersebut.
Tanah
melambangkan dunia bawah , yang diyakini layaknya seorang ibu. Sedangkan langit
adalah dunia atas yang dilambangkan layaknya seorang bapak. Antara dunia atas
dan dunia bawah, diibaratkan ketika bapak dan seorang ibu melangsungkan
pernikahan akan membawa kesuburan. Sunda Wiwitan mempercayai hal tersebut. Jadi,
ritual yang dilaksanakan ketika masyarakat adat ingin membangun sawah misalnya,
harus ada pernikahan antara dunia atas dan dunia bawah, sebagai bentuk
penyatuan.
Masyarakat
adat juga meyakini bahwa ketika sudah
larut malam tidak boleh makan, makan sambil jalan juga pamali, dan saat makan
tidak boleh berbicara sembarangan. Hal itu sebagai bentuk penghargaan terhadap
makanan.
Saat
makan juga dipercayai dengan makan menggunakan tangan akan memanfaatkan energi
tangan. Kalau makan dengan menggunakan tangan, makanan bisa mudah busuk
sehingga kerja lambung menjadi tidak berat. Diibaratkan sebuah buku yang sering
dibaca berarti sering dipegang, lama kelamaan akan mudah lapuk. Berdasarkan hal
itu, bisa kita lihat bahwa pemahaman orang dahulu sungguh luar biasa, walau
terkadang tidak masuk akal dan dipandang orang jaman sekarang adalah tahayul
atau bahkan tabuh. Jika kita dapat bersikap bijak dan berpikiran terbuka
terhadap ajaran mereka, justru terkandung pengetahuan positif yang bisa
diadaptasi oleh siapa saja.
Budaya versus Agama…
Masih ada
sebagian orang yang menyamakan paham budaya dengan agama, atau mendahulukan
agama sehingga budaya itu hilang, atau bahkan menyesatkan budaya atas nama
agama. Budaya sesungguhnya merupakan warisan turun temurun dari leluhur yang
tidak bisa kita pilih atau dapat dikatakan sebagai sebuah anugerah yang patut
dilestarikan oleh tiap-tiap pribadi.
Seperti
halnya Pak Ukad, walaupun ia beragama Islam, ia tetap mempertahankan budaya
sunda. Ada lebih dari satu agama di dunia ini, hanya soal cara mengemas budaya
yang berbeda. Ada kasus dimana sekelompok organisasi yang mengatakan membakar
kemenyan itu dilarang, padahal jika kita paham akan budaya dan agama , seharusnya
sikap kita cenderung sangat menghargai budaya. Orang jaman dahulu belum memiliki
pengetahuan sehingga mereka lebih menggunakan pengetahuan batin dan alam.
Perihal alat wewangian kemenyan sebenarnya berasal dari kayu, yang berarti dari
alam. Sehingga pernyataan bahwa membakar kemenyan itu dilarang, patut dibantah. Shio bagi kaum etnis Tiong Hua, itu
sebenarnya juga berasal dari kayu yang kemudian dibakar. Jadi, ritual maupun
kepercayaan budaya manapun, yang biasanya cenderung menghargai alam dan kembali
ke alam, tidak patut dipertentangkan atas nama ajaran agama. Semua tergantung
pribadi masing-masing. Budaya yang baik perlu dipertahankan, perihal agama adalah
urusan masing-masing. Oleh sebab itu, kita hendaknya memahami dan memisahkan mana
budaya mana agama.
Budaya
justru dapat menjadi pemersatu agama. Bagaimana mungkin? Coba kita lihat lagi
mengenai upacara Seren Taun yang diadakan tiap tahunnya oleh masyarakat adat Sunda
Wiwitan, Sindang Barang. Upacara itu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pasir
Eurih yang meyakini budaya sunda dan dipertahankan secara turun temurun, serta
dapat diikuti oleh siapa saja. Saat Seren
Taun berlangsung, tidak adanya status agama mana pun yang dibawa oleh
tiap-tiap individu. Tidak peduli apa agamanya, yang ada hanyalah kebersamaan
melaksanakan upacara adat sebagai ucapan syukur bagi yang Maha Kuasa. Saat
perayaan Cap Gho Me juga kita tidak
mempedulikan agama mana, yang dipercayai hanya budaya yang satu. Luar biasa
bukan? Budaya bisa mempersatukan suku, agama, maupun ras. Orang adat dengan sesama
orang adat akan akrab saat berkomunikasi, jika ada perbedaan pun dapat disatukan
dengan bahasa Indonesia.
Thank you :)
No comments:
Post a Comment