Pages

Tuesday, January 8, 2013

Ceritaku di Sindang Barang


CERITAKU DI SINDANG BARANG

NAMA : APRI CELIA
NIM       : 11140110156
KELAS : F-1








Senin, 24 Desember 2012. Aku melakukan perjalanan ke sebuah kampung budaya yang berlokasi di kota Bogor. Kampung budaya itu bernama Sindang Barang. Setelah menempuh 4 jam perjalanan dengan melewati liku-liku jalan kota Bogor akhirnya aku sampai di Desa Pasir Eurih dimana kampung budaya itu berada. Suasana asri perkampungan dengan jalan kecil beraspal beserta hamparan sawah yang terbentang di area perkampungan, membuat aku dapat merasakan ketenangan dan keheningan yang jauh berbeda dari kota kediamanku. Jalan menanjak berbatu pun tak menghalangiku untuk memasuki pintu utama Kampung Budaya Sindang Barang.

Pemandangan pertama yang dapat kulihat ialah jejeran bangunan adat yang menambah rasa penasaranku akan kampung budaya itu. Kebetulan sekali, kedatanganku bertepatan dengan kegiatan kunjungan oleh sebuah sekolah dimana murid-murid TK dan SD sedang mengikuti serangkaian kegiatan wisata budaya di sana. Aku pun tak sabar untuk ikut merasakan perjalanan wisata budaya bersama mereka dan mengenal lebih jauh tentang kampung itu.
Jejeran bangunan adat
hamparan sawah di dalam kampung adar


Sekilas tentang Sindang Barang…


Kampung Sindangbarang menjadi kampung tertua di kawasan Bogor, Jawa Barat. Di sinilah lahirnya kebudayan Sunda Bogor yang masih bertahan hingga sekarang. Konon dikatakan Sindang Barang sudah ada sejak jaman Kerajaan Sunda dan diperkuat dengan adanya cerita rakyat mengenai Kerajaan Pajajaran yang diturunkan dari generasi ke generasi dan terdapat pula naskah pantun bogor yang merupakan warisan dari alm Bp. Anis Djatisunda.

Kampung budaya Sindang Barang dibangun sebagai bentuk upaya melestarikan kebudayaan sunda agar orang-orang Sunda dapat mempertahankan jati dirinya apalagi perkembangan budaya luar yang sudah semakin pesat sejak era globalisasi seperti saat ini. Budaya barat cenderung merajalela dan mengancam kelestarian budaya daerah di Indonesia.

Kampung budaya Sindang Barang memiliki 27 bangunan adat dimana enam bangunan diantaranya adalah Leuit atau lumbung padi yang dibangun berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang subur. Hamparan petak-petak sawah juga melengkapi kampung budaya. Selain itu, kampung budaya Sindang Barang juga memiliki situs-situs purbakala sebagai bukti peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berupa hamparan bukit berundak.

Ada pula bangunan adat lainnya, dan tentunya sebagai sebuah kawasan wisata budaya, kampung budaya Sindang Barang menyediakan berbagai fasilitas bagi para pengunjung yang hendak mengalami perjalanan wisata budaya sunda. Fasilitas berupa tempat penginapan berbentuk rumah adat sunda beserta kegiatan-kegiatan yang sudah disiapkan dalam upaya mengenalkan budaya sunda.

Pengunjung dapat mengalami langsung kehidupan perkampungan dengan kultur sunda di dalamnya. Situs-situs peninggalan sejarah purbakala, kesenian sunda seperti alat musik gamelan, tarian sunda, jamuan makanan sunda, hingga kegiatan menanam padi di sawah, menumbuk bijih padi, maupun memandikan kerbau pun melengkapi perjalanan wisata budaya di Sindang Barang.

Setiap satu tahun sekali masyarakat Sindang Bbarang mengadakan upacara adat, yakni upacara adat Seren Taun. Upacara tersebut merupakan upacara pesta panen raya yang secara rutin dilaksanakan masyarakat adat Sunda Wiwitan, yang konon pada jaman dahulu upacara tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada yang empunya atas hasil panen yang mereka peroleh. Sejak berjayanya Kerajaan Pajajaran , upacara ini sudah berlangsung dan terus dilestarikan hingga kini. Upacara Seren Taun diadakan setiap tahun saat bulan Muharam dimana melibatkan seluruh masyarakat Desa Pasir Eurih, tanpa terkecuali, bahkan para wisatawan maupun masyarakat Jawa Barat pun bebas untuk hadir menyaksikan. Upacara ini dilengkapi dengan upacara ritual oleh para masyarakat adat dan diperindah dengan penampilan kesenian tradisional.

Leuit (Lumbung Padi)

anak-anak belajar menumbuk padi dengan alat penumbuk tradisional

alat penumbuk padi tradisional

Perjalanan wisata budaya di kampung budaya Sindang Barang tidak hanya menyuguhkanku sebuah panorama perkampungan maupun berbagai kegiatan orang jaman dahulu. Tetapi sebuah pengetahuan menarik yang kudapat mengenai sebuah budaya menjadi pengalaman yang berharga.

Saat aku berkunjung ke sana, seorang bapak bernama Pak Ukad, memanduku dan membagikan kisah hidupnya padaku. Seharian penuh kuberbincang dengan beliau. Beliau adalah salah satu masyarakat adat yang berperan penting dalam melestarikan kampung wisata budaya Sindang Barang tersebut. sebagai seorang warga asli Sunda Bogor, ia mengabdikan hidupnya untuk berpegang teguh mempertahankan budayanya yang sudah ia kenal sejak kecil. Desa Sindang Barang telah menjadi kota kelahirannya dan disanalah ia mengabdi. Ia menjabat sebagai pengurus keamanan kampung wisata sekaligus yang menyebarkan pengetahuan akan budaya sunda itu sendiri. Dalam berkomunikasi dengan para pengunjung ia sudah fasih berbahasa Indonesia. Dengan rekan ia masih menggunakan bahasa sunda.

Menurut Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, bahasa mengizinkan orang-orang membentuk kelompok dan terlibat dalam usaha yang kooperatif baik dalam skala besar maupun kecil. Kosakata yang digunakan bersama memungkinkan untuk merekam dan memelihara kejadian masa lalu, sekalipun hanya dengan interpretasi selektif. Rekaman ini menjadi catatan sejarah suatu komunitas yang disampaikan ke generasi berikutnya dan menjadi faktor penyatu. Kebaikan dari generasi sebelumnya menjadi cara penting untuk menyosialisasikan dan mengajarkan budaya pada anak-anak mengenai nilai dan perilaku normatif yang tetap dipertahankan. Dengan kata lain, bahasa dapat mempertahankan catatan sejarah yang mempersatukan kita.

Tentu saja bahasa sunda muncul setelah adanya sejarah yang membentuknya dan telah menjadi pemersatu para warga Sindang Barang dan menjadi bahasa yang sudah melekat dalam diri masyarakat Desa Pasir Eurih hingga ke anak-cucu mereka. Itu pun yang dialami oleh Pak Ukad.


Kisah Pak Ukad…

Kisah Pak Ukad bermula ketika ia sadar bahwa ada dorongan dalam dirinya untuk mempertahankan budayanya.

Budaya sunda melekat dalam diri Pak Ukad sebagai hasil turunan dari keluarganya terdahulu. Ia seperti sudah diramalkan saat itu tahun 1976 bahwa ia akan meneruskan kampung adat pada umur 40 tahun. Karena ketika itu bapak masih muda, ia menghiraukan dan pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah. Ia berpikir jika mengurusi “adat”, hidupnya akan statis dan miskin. Ntah kuasa mana, betul saja tahun 2000 ia pulang ke kampung Sindang Barang dan mengabdikan hidupnya menerusan adat. Secara ekonomi memang pas-pasan tetapi baginya selama kita manusia menghargai alam, alam akan memberikan yang terbaik pula bagi manusia itu. Ia diberkahi kebun pala yang ia rawat untuk menambah penghasilan hidupnya. Selain itu, pekerjaan sebagai pengrajin sol sepatu pun ia geluti agar kebutuhan keluarga dapat terpenuhi, anak-anak bisa lulus SMA, budaya juga tetap dapat diurus.

Pak Ukad kini menjadi ketua keamanan di kampung wisata budaya Sindang Barang, kampung budaya itu dibentuk juga demi mempertahankan budaya Sunda. Era globalisasi yang membuat mudahnya budaya luar masuk ke Indonesia dan sedikit orang Indonesia yang tau akan budaya sunda. Dekatnya kota Bogor dengan kota Jakarta juga menjadi salah satu potensi tergusurnya budaya sunda dengan budaya lain yang lebih dominan. Itulah yang mendorong Pak Ukad dan rekannya gigih mempertahankan budaya sunda dimana gubernur bogor turut mendukung pembangunan kampung budaya Sindang Barang.

Sebuah wisata budaya tak akan bermakna apabila hanya penampilan kegiatan yang ditonjolkan, justru baginya pengetahuan akan budaya itu sendiri menjadi buah pokok utama dalam sebuah perjalanan wisata budaya. dalam misinya, ia berusaha membagikan budaya sunda pada semua orang agar banyak yang kenal dan paham. Hal itu sama dengan yang diungkapkan Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, dimana budaya itu dibagikan. Budaya dapat disebarkan melalui banyak cara seperti melalui dongeng, mitos, legenda, karya seni, maupun media massa. Selain itu, budaya dapat dibagikan oleh berbagai “penyebar”, seperti keluarga, teman, media, sekolah, gereja, maupun insitusi lainnya. Melalui kampung wisata budaya Sindang Barang beserta tangan-tangan para pengurus dari masyarakat adat inilah, budaya sunda diharapkan dapat terus dilestarikan dan dikenal oleh semua orang.

Sebagai orang sunda, Pak Ukad sangat menghargai alam. Baginya alam memiliki energi positif jika kita memperlakukan alam sebagaimana mestinya. Semua yang ada pada kita ialah berasal dari alam. Sejak kecil ia dididik dengan budayanya, budaya sunda. Layaknya sistem pemerintahan maupun sistem kerajaan yang bersifat turun temurun, sistem jaman dulu masih menempel dalam warga kampung budaya dimana sejak abad 16 Sindang Barang terbakar dan masih tersisa peninggalan, diteruskan  oleh keturunan selanjutnya hingga sekarang Bapak Maki yang mengepalai kampung budaya dan oleh hasil kesepakatan kokolot. Sistem kesepuhan berjalan sebagaimana mestinya. Jika nanti Pak Maki tiada, kekuasaan akan jatuh ke tangan keluarganya seperti anaknya, kakak, maupun adik kandung Pak Maki. Pak Ukad sendiri akan menurunkan struktur adatnya ke anaknya. Hal ini sesuai dengan teori komunikasi antarbudaya sebagaimana ditulis Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Suatu budaya tentu ingin dipertahankan oleh pemilik budaya tesebut. Dengan mempertahankan budaya, budaya tersebut otomatis harus dibagikan dan tidak hanya sebatas dibagikan, tetapi juga dipastikan pesan-pesan dan elemen penting yang terkandung dalam budaya tersebut dapat diturunkan pada generasi yang akan datang. Dengan demikian, masa lalu akan terus berlanjut di masa kini.

Menurut L.A. Samovar, budaya merupakan pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita lahir. Sebelum adanya kehidupan baru, pasti ada sejarah yang membentuk atau melatarbelakangi adanya kehidupan tersebut. Ikatan generasi menyatakan hubungan yang jelas antara budaya dan komunikasi. Dengan adanya komunikasi, maka budaya dapat berkelanjutan. Suatu kebiasaan, prinsip, nilai, maupun tingkah laku, serta elemen-elemen budaya lainnya diformulasikan, kemudian dikomunikasikan kepada anggota lainnya hingga ke generasi selanjutnya, sehingga suatu kebudayaan tidak akan pernah mati.

Sebagai orang kelahiran jaman dulu, Pak Ukad juga mempercayai adanya kekuatan mistis atau kekuatan yang di luar akal sehat. Hal itu seringkali dianggap tabuh di jaman sekarang, padahal sebenarnya hal itu justru perlu dikaji dan dipandang positif. Orang jaman dahulu dan masyaraat adat sunda wiwitan khususnya, mempercayai bahwa kita manusia adalah bagian dari alam. Kita diciptakan dari 4 unsur , yaitu tanah, air, angin, dan api. Jika kita merusak alam, maka 4 unsur itu akan menghancurkan kita. Seperti api bisa membakar, tanah bisa gempa, angin bisa menjadi tornado, maupun air bisa menenggelamkan. Kalau kita merusak alam artinya kita bunuh diri.   

Bapak sendiri menghargai paham tentang semua unsur alam walau ia beragama Islam. Baginya ayat yang diturunkan bukan hanya ayat yang tertulis saja, tetapi ada hal di luar yang perlu dikaji. Adat yang dianut Sunda Wiwitan kalau hendak membuka kampung baru, rumah baru, atau tempat-tempat baru lainnya, sebelum bangun tanah harus digali sedalam 2 jengkal, kemudian memasukan pasir sekitar 10 cm, baru terakhir ditanami batu yang sudah diyakini. Batu itu dipercayai akan melindungi bangunan. Kalau ada gempa, ada pasir halus untuk memgempalkan agar bangunan tidak langsung goyang dan rubuh, batu untuk memberi kekokohan bagi bangunan tersebut.

Tanah melambangkan dunia bawah , yang diyakini layaknya seorang ibu. Sedangkan langit adalah dunia atas yang dilambangkan layaknya seorang bapak. Antara dunia atas dan dunia bawah, diibaratkan ketika bapak dan seorang ibu melangsungkan pernikahan akan membawa kesuburan. Sunda Wiwitan mempercayai hal tersebut. Jadi, ritual yang dilaksanakan ketika masyarakat adat ingin membangun sawah misalnya, harus ada pernikahan antara dunia atas dan dunia bawah, sebagai bentuk penyatuan.
Masyarakat  adat juga meyakini bahwa ketika sudah larut malam tidak boleh makan, makan sambil jalan juga pamali, dan saat makan tidak boleh berbicara sembarangan. Hal itu sebagai bentuk penghargaan terhadap makanan.

Saat makan juga dipercayai dengan makan menggunakan tangan akan memanfaatkan energi tangan. Kalau makan dengan menggunakan tangan, makanan bisa mudah busuk sehingga kerja lambung menjadi tidak berat. Diibaratkan sebuah buku yang sering dibaca berarti sering dipegang, lama kelamaan akan mudah lapuk. Berdasarkan hal itu, bisa kita lihat bahwa pemahaman orang dahulu sungguh luar biasa, walau terkadang tidak masuk akal dan dipandang orang jaman sekarang adalah tahayul atau bahkan tabuh. Jika kita dapat bersikap bijak dan berpikiran terbuka terhadap ajaran mereka, justru terkandung pengetahuan positif yang bisa diadaptasi oleh siapa saja.


Budaya versus Agama…

Masih ada sebagian orang yang menyamakan paham budaya dengan agama, atau mendahulukan agama sehingga budaya itu hilang, atau bahkan menyesatkan budaya atas nama agama. Budaya sesungguhnya merupakan warisan turun temurun dari leluhur yang tidak bisa kita pilih atau dapat dikatakan sebagai sebuah anugerah yang patut dilestarikan oleh tiap-tiap pribadi.

Seperti halnya Pak Ukad, walaupun ia beragama Islam, ia tetap mempertahankan budaya sunda. Ada lebih dari satu agama di dunia ini, hanya soal cara mengemas budaya yang berbeda. Ada kasus dimana sekelompok organisasi yang mengatakan membakar kemenyan itu dilarang, padahal jika kita paham akan budaya dan agama , seharusnya sikap kita cenderung sangat menghargai budaya. Orang jaman dahulu belum memiliki pengetahuan sehingga mereka lebih menggunakan pengetahuan batin dan alam. Perihal alat wewangian kemenyan sebenarnya berasal dari kayu, yang berarti dari alam. Sehingga pernyataan bahwa membakar kemenyan itu dilarang, patut dibantah. Shio bagi kaum etnis Tiong Hua, itu sebenarnya juga berasal dari kayu yang kemudian dibakar. Jadi, ritual maupun kepercayaan budaya manapun, yang biasanya cenderung menghargai alam dan kembali ke alam, tidak patut dipertentangkan atas nama ajaran agama. Semua tergantung pribadi masing-masing. Budaya yang baik perlu dipertahankan, perihal agama adalah urusan masing-masing. Oleh sebab itu, kita hendaknya memahami dan memisahkan mana budaya mana agama.

Budaya justru dapat menjadi pemersatu agama. Bagaimana mungkin? Coba kita lihat lagi mengenai upacara Seren Taun yang diadakan tiap tahunnya oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan, Sindang Barang. Upacara itu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pasir Eurih yang meyakini budaya sunda dan dipertahankan secara turun temurun, serta dapat diikuti oleh siapa saja. Saat Seren Taun berlangsung, tidak adanya status agama mana pun yang dibawa oleh tiap-tiap individu. Tidak peduli apa agamanya, yang ada hanyalah kebersamaan melaksanakan upacara adat sebagai ucapan syukur bagi yang Maha Kuasa. Saat perayaan Cap Gho Me juga kita tidak mempedulikan agama mana, yang dipercayai hanya budaya yang satu. Luar biasa bukan? Budaya bisa mempersatukan suku, agama, maupun ras. Orang adat dengan sesama orang adat akan akrab saat berkomunikasi, jika ada perbedaan pun dapat disatukan dengan bahasa Indonesia. 





Thank you :)

No comments:

Post a Comment