KAMPUNG BUDAYA
SINDANGBARANG
Nama : Dinda Kartika
Nim : 11140110225/ G1
INDONESIA! siapa sih warga
Indonesia yang gak tau kalau negaranya ini memiliki sejuta pesona yang terdapat
dari keanekaragaman ras, etnis, budaya, agama, bahkan bahasa. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sekali kebudayaan yang
tersimpan didalamnya. Kali ini saya akan menguak tentang kebudayaan Indonesia
yang berada di kota Bogor, Jawa Barat.
Nama daerahnya adalah Kampung
Budaya Sindangbarang terletak di kampung Sindangbarang, desa Pasir Eurih,
kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor - Jawa Barat.
Jarak dari kota Bogor ke kampung budaya ini sekitar 5KM terdiri dari 14 RW dan
54 RT, dengan jumlah penduduk mencapai 12.000 jiwa.
Sebelum ke kampung budaya Sindangbarang
ini sebenarnya saya dan teman-teman telah pergi ke suku Baduy yang ada di
wilayah Jawa Barat juga, tapi karena adanya “halangan” jadi kami gagal untuk
memposting ke dalam blog. Baiklah akhirnya kami menemukan kampung budaya
Sindangbarang ini, kami memutuskan untuk pergi ke kampung budaya ini dengan
menggunakan angkutan umum. Berhubung di Bogor adalah kota seribu angkot jadi
saya tidak kesulitan untuk pergi ke kampung budaya, dan saya pun adalah orang
Bogor jadi mempermudah langkah saya dan teman-teman yaa minimal kita tidak
nyasar lah. Perjalanan ini adalah kali pertama saya pergi ke daerah
Sindangbarang yang ditempuh sekitar kurang lebih 1 jam, di perjalanan saya dan
teman-teman banyak bertanya kepada masyarakat tentang lokasi kampung budaya, ternyata
banyak juga orang yang sadar akan kehadiran kampung budaya Sindangbarang di
Bogor ini.
Setelah turun dari angkot, saya
harus menyusuri jalan dengan menggunakan ojeg cukup jauh memakan waktu 5 menit
dengan medan jalanan yang menanjak, setiba di Kampung Budaya saya disuguhkan
dengan pemandangan yang asri, hijau, dan adem yang menyejukan hati dan jiwa.
Baru sampai di depan pintu masuk sudah ada yang menyapa saya dan menawarkan
bantuan untuk observasi ini. Saya dipertemukan dengan bapak Achmad Mikami Sumawijaya,
beliau adalah kepala atau pemimpin di Kampung Budaya Sindangbarang ini bahkan
bisa disebut beliau adalah kepala suku disini.
Sang kepala suku akhirnya menceritakan sedikit kebudayaan
dan kesenian yang ada di Kampung Budaya ini antara lain Serem Taun Guru Bumi,
perebut se’eng, Tutunggulan, dan Kabisa Kaulinan Barudak lembur.
suasana di Kampung Budaya Sindangbarang |
Nah sekarang saya akan sedikit
bercerita tentang sejarah Kampung Budaya Sindangbarang yang konon kabarnya
berhubungan dengan suku Baduy. Jadi begini pada jaman kerajaan Pajajaran hancur
keluarga kerajaan berpisah dan putera mahkota Pajajaran terpisah dari
rombongan. Lalu pada akhirnya sang Putera Mahkota ingin mendirikan sebuah desa
di daerah Sukabumi. Tapi beliau disuruh untuk terus berjalan sampai menemukan
lokasi yang cocok untuk mendirikan sebuah desa, akhirnya beliau menemukan bukit
tanah yang putih dan mendirikan sebuah desa kecil disana, menurunkan keturunan
tapi mereka disumpah untuk tidak boleh mengatakan dan mengaku bahwa mereka
adalah keturunan Pajajaran. Jadi sebenarnya bukit putih itu adalah Baduy, dan
para sespuh di Baduy tidak mau mengaku karena telah disumpah. Menurut naskah kuno “Pantun Bogor” itu
bercerita tentang Sindangbarang ini adalah termasuk punden barudak (bukit) tempat
beribadah orang-orang Sunda. Ada beberapa perbedaan pada bangunan dulu dan
sekarang di Kampung Budaya Sindangbarang, kalau dulu letaknya bukan disini
karena sudah penu maka direkonstruksi ulang dan ditempatkan di lokasi yang
sekarang.
Tadi kan saya sempat menyebut
beberapa kebudayaan di Kampung Budaya Sindangbarang, sekarang saya mau
menceritakan salah satu diantaranya yaitu Perebut Se’eng. Jadi Perebut Se’eng
ini dilakukan ketika acara lamaran (sebelum nikahan) besan pria dan wanita
berkumpul bersama dengan membawa masing-masing jago silat mereka. Para jago
silat itu yang nantinya harus berebut se’eng, berbalas pantun, dengan maksud
mengutarakan niat untuk melamar. Namun bila se’eng tidak dapat direbut oleh
pihak jago silat pria maka keluarga pria gagal untuk mempersunting si gadis
yang ingin dilamar. Acara Perebut Se’eng ini masih dilakukan sampai sekarang di
Kampung Budaya Sindangbarang bedanya adalah kalau dulu tidak ada skenario jadi
kalo gak dapet Se’eng yaudah gagal berarti pulang dengan tangan kosong, tapi
kalau sekarang sih sudah pakai skenario minimal 10 menit saat bertarung se’eng
sudah harus bisa direbut oleh si jago silat. Kebudayaan ini termasuk dalam
komunikasi secara non-verbal menurut saya seperti sang calon suami harus
bertarung untuk merebut sang istri, dengan maksud menunjukan rasa keseriusannya
untuk mempersunting dan menunjukan bahwa kelak ia dapat melindugi sang istri
dari bahaya.
Ternyata ada juga loh susunan
rumah panggung di Kampung Budaya ini, kata kepala suku sih kalau rumah kepala
suku itu letaknya harus diatas bukit di tempat yang tinggi nah nama rumahnya
itu Imah Gede, lalu kepala suku punya seorang sekretaris disebutnya Gilang
Serat yang letak rumahnya ada disebelah Imah Gede. Kenapa harus di dekat Imah
Gede?? Karena bila sang kepala suku tiba-tiba membutuhkan sesuatu agar gampang
minta tolongnya ke Gilang Serat.
Lalu tidak jauh dari Imah Gede
ada suatu saung yang disebut Saung Talu, seperti sebuah panggung besar yang
diatasnya sudah ada alat musik angklung yang lengkap. Saung Talu itu fungsinya
untuk tempat mempertunjukan kesenian, jadi ketika para warga berkumpul untuk
menonton kesenian ya tempatnya di Sung Talu. Di depan rumah kepala suku ada
alun-alun yang fungsinya sebagai tempat untuk melakukan upacara adat, nah
upacara adatnya sendiri diadakan setiap setahun sekali. Tahun ini upacara adat
jatuh pada saat tanggal 2 Desember 2012 lalu, tapi biasanya sebulan sekali itu
ada selametan yang disebut “selametan malam 14” yang dimaksudkan untuk mengirim
doa kepada para leluhur untuk diampuni dosanya.
Di masing-masing rumah terdapat
“kelenting angin” yang fungsinya sebagai penangkal setan, terbuat dari daun
pohon rotan yang dipercaya untuk mengusir mahkluk gaib. Kenapa rumah orang
sunda rata-rata rumah panggung??! Jawabannya adalah karena pada jaman dulu
dipercaya orang Sunda dekat dengan alam, jadi mereka menggunakan bahan baku
yang ada di alam misalnya bambu, rotan, pohon aren. Dalam sebuah rumah
dipercaya ada 3 lapisan, yaitu lapisan atas, tengah, dan bawah. Lapisan atas
dipercaya dihuni oleh para leluhur, sedangkan lapisan tengah untuk dihuni oleh
manusia, dan lapisan bawah itu dihuni oleh para setan, jin, dan makhluk halus.
Di depan Imah Gede juga ada
lukisan yang diletakan di depan pintu gitu, namanya “waroge” Waroge simbol api
disebut Haranghasuan, fungsinya untuk
menggelapkan mata gaib jahat agar tidak mengganggu kampung. Waroge simbol tanah
Ratuning tutulak yaitu penolak segala
gangguan dari kedengkian, kebencian,kejahilam baik dari manusia maupun gaib
jahat. Waroge simbol batu Watu Panggilang
yaitu penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu. Waroge simbol air Wangapah yaitu penolak gangguan gaib
jahat yang ada di air. Waroge simbol angin Wawayangan
untuk menjaga keselamatan dan kesentosaan manusia agar terhindar dari mala
petaka.
Dari susunan-susunan dan letak rumah panggung itu merupakan komunikasi non-verbal karena ingin menunjukan strata kepemimpinan di Kampung Budaya, pemimpin harus ada diatas secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan tersebut dan seperti kelenting angin dan waroge sebagai sebuah simbol untuk menangkal mahluk halus. Worldview sebagai orang sunda maka membangun rumah dari bahan-bahan yang berasal dari alam dan melaksanakan selametan untuk mendapat berkah dari leluhur.
Penasarasn gak sih sama apa yang
ada di atas kepala sang kepala suku?? Itu namanya apa saya juga lupa, tapi itu
semacam seperti topi untuk menutupi kepala yang terbuat dari batik asli Kampung
Budaya Sindangbarang. Semua penduduk juga memakai itu jika ada upacara adat,
kalau gak ada ya gak usah pakai. Beda dengan kepala suku yang memakai terus.
Ternyata itu merupakan simbol loh ada komunikasi non-verbal yang terkandung
dari penutup kepala itu sendiri, karena penutup kepala yang digunakan kepala
suku dengan penduduk itu berbeda model dan cara pemakaiannya, jadi itu seperti
mengkomunikasikan secara tidak langsung ini loh kepala suku, kalau yang itu
penduduk jadi semacam identitas.
Setelah mengobrol panjang lebar
dengan kepala suku, akhirnya kepala suku mengajak saya dan temna-teman untuk
berkeliling Kampung Budaya dan beberapa rumah penduduk. Dari apa yang sudah
diberitahukan oleh kepala suku mayoritas penduduk disana adalah pengerajin
sepatu, sendal dan bekerja di ladang dan sawah. Kami mendapat kesempatan untuk
melihat bagaimana proses pembuatan sepatu dan sendal, pengusaha sepatu dan
sendal ini memproduksi sepatu dan sendal mereka dirumah jadi itu merupakan
“home made” bukan buatan pabrik. Jadi misalnya ada seorang atau sebuah makelar
besar yang memberikan proyek, nah yang menjalankan proyek tersebut adalah penduduk
sekitar. Mereka memproduksi sepatu dengan cara yang masih sederhana dan manual.
Dalam sehari tiap rumah dapat
menghasilkan berbagai sepatu dan sandal tergantung permintaan, misalnya dalam
sehari mereka mampu menghasilkan 3-5 kodi sepatu dan sendal. Masing-masing
orang memiliki tugas yang berbeda-beda, ada yang bertugas ngelem, menjahit,
menghitung ukuran sepatu, dan finishing. Kami mendatangi lebih dari 3 rumah
yang semuanya memproduksi sepatu dan sendal. Mereka mengaku pendapatan yang
diperoleh tergantung dari seberapa banyak mereka menghasilkan sepatu dan sandal
pada hari itu. Sepatu dan sandal yang sudah dibuat lalu akan dikirim sebagian
besar ke Pasar Anyar, yaitu pasar pusat grosir yang ada di kota Bogor. Tapi ada
juga loh yang dikirim ke kota-kota besar/ luar kota seperti Jambi, Medan,
Makassar, dan Bali.
proses pembuatan sepatu&sendal |
Sembari menelusuri jalanan untuk
sampai ke ladang dan sawah, kepala suku mengatakan bahwa di Kampung Budaya ini
juga memiliki kata-kata yang hanya dimengerti oleh komunitas mereka hmm mungkin
bisa dibilang seperti argot. Rata-rata setiap harinya mereka berbicara dengan
menggunakan bahasa Sunda, agama mereka juga mayoritas beragama Islam. Pada saat
kepala suku sedang berinteraksi dengan warga sekitar menggunakan bahasa daerah
mereka yaitu bahasa Sunda tutur kata dan intonasi bahasa Sunda sangat nyaman
didengar karena lembut dan dengan suara yang rendah, sangat bertolak belakan
dengan tutur kata orang Meda misalnya. Mereka pun sangat santun dalam bertutur
kata maupun dalam berprilaku, sebagai contohnya ketika akan menunjuk sesuatu
dengan menggunakan ibu jari sambil tersenyum. Dalam KAB itu merupakan
komunikasi non-verbal yang termasuk dalam konteks parabahasa, yaitu tutur kata
dan bahasa orang Sunda yang kalem dan tenang. Serta perilaku mereka bisa dikaitkan
dengan worldview konsep sifat manusia, kabanyakan orang sunda sangat sopan dan
menghargai juga menghormati orang yang lebih tua. Sebisa mungkin mereka
tersenyum, dan bila ingin marah sepertinya mengarah ke budaya Jawa yaitu
cenderung memendam dan tidak etis untuk marah atau membentak secara
blak-blakan.
Biasanya banyak
anak kecil yang belajar membatik dan bermain angklung di saung Talu, tapi
karena hari ini sedang tidak ada tamu dan kegiatan mereka sudah selesai semua
maka tidak ada yang bermain angklung dan membatik hari itu. Hasil dari membatik
biasanya akan dijual sebagai souvenir para tamu atau pendatang yang datang
berkunjung, kain batik di Kampung Budaya Sindabarang memiliki ciri khas unik
yaitu warnanya yang tidak mencolok atau bahkan terlihat dekil, karena membatik
tidak menggunakan bahan pewarna kimia melainkan dengan pewarna alami yang
terbuat dari tumbuh-tumbuhan.
Kain batik itu dijual seharga 100 ribu sampai 150 ribu rupiah. Angklung dimainkan jika ada tamu yang sedang berkunjung, sebagai kesenian.
Kain batik itu dijual seharga 100 ribu sampai 150 ribu rupiah. Angklung dimainkan jika ada tamu yang sedang berkunjung, sebagai kesenian.
Ohya selain sebagian besar pekerjaan penduduk sekitar pengerajin sepatu dan
sendal, pekerjaan lainnya adalah petani yang bekerja di sawah dan ladang. Saya
mendapat kesempatan melihat proses pak tani menanam padi di sawah, memang ini
bukan kali pertama melihat hal semacam itu tapi tetap saja kegiatan itu keren
dimata saya hehe. Selain sawah mereka menanam jagung, kol, ubi ungu, dan
pepaya. Pak tani sekilas juga mengajarkan kami bagaimana cara menanam padi yang
benar, ada 2 macam padi yang ditanam di sawah itu.
Setelah lelah berkeliling kampung, saya dan teman-teman pun kembali ke Imah
Gede sebagai sedikit informasi saja Imah Gede ini 95% terbuat dari papan kayu,
semua serba kayu dan serba berwarna coklat klasik jadi terlihat apik, enak
dipandang ayem di hati membuat siapapun yang datang kesana ingin berlama-lama
disana apalagi ditunjang dengan cuaca khas Bogor yang adem.
Di Imah Gede kami disuguhi minuman oleh pak kepala suku, istirahat sejenak sambil menikmati indahnya panorama Kampung Budaya Sindangbarang.
Di Imah Gede kami disuguhi minuman oleh pak kepala suku, istirahat sejenak sambil menikmati indahnya panorama Kampung Budaya Sindangbarang.
NAH!! Ada sebuah batu nih tapi bukan batu biasa, batu ini namanya Ungkal
Biang yang berarti Batu Induk, dalam hal ini sebagai induk berdirinya suatu
lembur (perkampungan khas sunda). Beranjak dari makna tersebut, Ungkal Biang
disebut juga Watu Indung atau Paku Lembur. Tradisi semacam ini sampai kini pun
masih tetap diberlakukan, meskipun cara dan bemtuknya sudah mengalami
perubahan, yakni yang disebut “peletakan batu pertama”. Sedangkan upacara
menanamkan batu Ungkal Biang disebutnya “Makukeun”, dilaksanakan sesuai
perhitungan bulan “purnimanta” yaitu menghitung bulan diawali dari purnama
penuh berakhir menjelang puranama lagi. Batu Ungkal Biang ini ditanaman dan
diletakan di sebuah taman di samping Imah Gede, berukuran tidak terlalu besar,
lonjong, dan berwarna hitam.
Saat sedang melihat-lihat suasana, saya terpana pada bangunan yang menarik
hati, saya kira tadinya itu adalah bangunan atau semacam tempat peristirahatan.
Ternyata itu adalah lumbung padi atau tempat penyimpanan padi yang disusun
secara berjajar di pingggir lapangan hijau, terlihat lumbung padi itu terbuat
dari rotan dan bambu.
Saya juga menghambiskan waktu bersama anak-anak disekitar kampung itu, kami
bercerita singkat saling bertegur sapa dan bermain bersama. Tadinya anak-anak
itu sedang bermain bola, tapi saya dan teman-teman mengajak mereka bermain
enggrang dan bakiak, tapi sayang sekali ternyata mereka tidak bisa memainkan
enggrang, sang enggrang pun dapat ditaklukan oleh pegawai yang ada di Kampung
Budaya. Saya dan anak-anak kecil itu hanya bermain bakiak bersama wahhh seruuuu
sekali apalagi ini kali pertama saya memainkan bakiak hehe norak memang, bakiak
dan enggrang adalah mainan asli dari Indonesia, mainan yang sederhana dan
terbuat dari batang kayu dan bambu.
Thankyou! :D
Mbaa kartika, saya boleh minta kontak yang bisa dihubungi tidak? saya mau minta preview tentang kampung sunda ini lebih detail. mohon bantuannya ( fadlirakshadewa@gmail.com )
ReplyDelete