NAMA : JESSICA
NIM : 111-4011-0168
KELAS : F-1
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pernikahan adalah hal atau perbuatan nikah. Kata nikah itu sendiri
berarti ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan
ajaran agama. Pernikahan akan dilaksanakan apabila sepasang manusia telah
berkomitmen untuk menjalani kehidupan bersama. Tentu saja untuk melaksanakan
pernikahan tidak sederhana. Ada ketentuan yang wajib dijalankan sesuai dengan
adat, tradisi, maupun agama dari dua orang tersebut.
Merupakan sebuah kesempatan yang
sangat berharga ketika saya diperbolehkan untuk mengobservasi bagaimana tradisi
pernikahan yang dijalankan oleh orang India yang ada di Indonesia. Jujur saja,
saya sama sekali tidak menyangka bahwa kesempatan ini datang di waktu yang
sangat tepat. Waktu itu, saya mengontak teman saya, Kelvin, yang memang keturunan India Punjabi, untuk menanyakan
apakah kira-kira ia mempunyai kenalan yang dapat berkontribusi untuk tugas
ujian saya. Alangkah senangnya saya ketika ia mengatakan bahwa saudaranya akan
menikah besok. Dan saya diperbolehkan untuk ikut terlibat dalam upacara
pernikahan mereka, setelah sebelumnya meminta ijin untuk mendokumentasikan dan
mempublikasikan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan.
Minggu, 16 Desember 2012 merupakan
hari yang bahagia untuk Jefri,
pemain timnas futsal Indonesia. Ia akan menempuh hidup baru bersama
pasangannya, Lady. Ketika kami (saya
dan keluarga Kelvin) sampai di rumahnya, tamu-tamu yang merupakan keluarga
besar sudah berkumpul dengan pakaian khas India-nya. Sebuah atmosfir baru bagi
diri saya karena selama ini belum pernah melihat secara langsung sekumpulan
orang India dengan pakaian khas mereka yang sangat menawan. Ruang tamu telah
dihiasi dengan papan gabus yang bertuliskan Jefri <3 Lady ketika saya baru
menapaki kaki di rumah tersebut. Tali pita hiasan, karangan bunga, dan gorden
minimalis dengan warna dominasi merah membuat ruangan itu tampak bahagia,
seperti sang mempelai. Tentu saja warna gorden ini berupa bahasa nonverbal dari kebudayaan, dimana warna merah dianggap sebagai sesuatu yang baik, gembira, perayaan. Kemudian saya menemukan Jefri sedang duduk dan
dipakaikan sorban berwarna merah. Sorban
adalah penutup kepala kaum laki-laki bagi suku bangsa Punjabi. Punjabi itu
sendiri merupakan sebuah identitas etnis yang ditemukan di regional Punjab,
yaitu antara Pakistan dan India.
Awalnya, saya sempat meng-overgeneralisasi bahwa pernikahan ini
akan dijalankan dengan tradisi agama Hindu. Ternyata keluarga besar Jefri, yang
merupakan sepupu dari Kelvin itu sendiri memeluk agama Sikh. Agama Sikh yang diajarkan oleh sepuluh guru besar itu
didirikan oleh guru pertama yang bernama Nanak.
Agama yang merupakan salah satu agama terbesar di dunia ini mengandung ajaran
dari agama Hindu dan Islam, namun ia berdiri sendiri. Agama Sikh tidak mempunyai
patung seperti halnya agama Hindu. Para Sikh yang berarti murid atau pelajar
berpedoman pada buku suci Granth Sahib.
Setelah Jefri selesai dipakaikan sorban, lanjut giliran Kelvin. Kelvin waktu itu berperan sebagai pendamping mempelai pria. Oleh karena itu, ia juga dipakaikan sorban merah, lengkap dengan setelannya yang rapi. Menurut tradisi yang ada, sebenarnya setiap laki-laki dari keluarga besar wajib memakai sorban. Tetapi seiring dengan berkembangnya jaman, segala tradisi yang ada kemudian diminimaliskan. Sorban yang dipakaikan baik kepada Jefri maupun Kelvin adalah secara manual, yaitu meliliti kepala dengan kain. Namun ada juga sorban yang berbentuk seperti topi, sehingga kita dapat langsung memakainya. Selain sorban yang sebenarnya wajib dipakai, para pria juga wajib menyematkan bunga di dadanya. Hal ini mencerminkan identitas kelompok, bahwa yang memakai bunga adalah keluarga dari sang mempelai pria. Sedangkan untuk wanita, mereka memakai mehndi di telapak tangannya. Mehndi merupakan gambaran yang dibuat dengan menggunakan pasta henna, seperti yang sering kita lihat di film. Hal ini tidak wajib dipakai oleh pihak keluarga, dan tidak memiliki arti khusus, melainkan sebatas untuk cantik saja. Tetapi bagi mempelai wanita, ini merupakan kewajiban untuk menandakan bahwa ia akan menikah.
Setelah Jefri selesai dipakaikan sorban, lanjut giliran Kelvin. Kelvin waktu itu berperan sebagai pendamping mempelai pria. Oleh karena itu, ia juga dipakaikan sorban merah, lengkap dengan setelannya yang rapi. Menurut tradisi yang ada, sebenarnya setiap laki-laki dari keluarga besar wajib memakai sorban. Tetapi seiring dengan berkembangnya jaman, segala tradisi yang ada kemudian diminimaliskan. Sorban yang dipakaikan baik kepada Jefri maupun Kelvin adalah secara manual, yaitu meliliti kepala dengan kain. Namun ada juga sorban yang berbentuk seperti topi, sehingga kita dapat langsung memakainya. Selain sorban yang sebenarnya wajib dipakai, para pria juga wajib menyematkan bunga di dadanya. Hal ini mencerminkan identitas kelompok, bahwa yang memakai bunga adalah keluarga dari sang mempelai pria. Sedangkan untuk wanita, mereka memakai mehndi di telapak tangannya. Mehndi merupakan gambaran yang dibuat dengan menggunakan pasta henna, seperti yang sering kita lihat di film. Hal ini tidak wajib dipakai oleh pihak keluarga, dan tidak memiliki arti khusus, melainkan sebatas untuk cantik saja. Tetapi bagi mempelai wanita, ini merupakan kewajiban untuk menandakan bahwa ia akan menikah.
Mehndi
Acara pun kemudian dimulai. Jefri
dan Kelvin memasuki ruang tamu dan duduk di sofa dengan kain merah bening di
pangkuannya. Para dokumenter segera mengabadikan momen ini, termasuk saya.
Tamu-tamu yang tadinya masih duduk di luar kemudian masuk menghampiri kedua
orang tersebut. Mereka mulai memberikan perhiasan maupun amplop kepada Jefri
setelah sebelumnya mendoakan pria tersebut. Awalnya saya sempat bingung melihat
lembaran uang yang ada di pangkuan Kelvin. Mengapa uang tersebut diberikan
begitu saja? Bahkan saya sempat berpikir bahwa amplop yang ada di pangkuan
Jefri adalah surat yang berisi doa-doa dari keluarga. Ternyata dugaan saya
salah. Amplop yang ada di pangkuan Jefri merupakan angpau. Begitu juga dengan
uang yang ada di pangkuan Kelvin, yang nantinya akan menjadi milik pendamping
mempelai pria tersebut.
Setelah itu, Jefri dipakaikan tutup muka. Dan yang berhak memakaikannya adalah saudari perempuannya yang telah menikah. Tutup muka ini disebut sher’e, yang dipakai untuk menyembunyikan wajah sang mempelai. Konon katanya pada jaman dahulu, orang-orang India Punjabi yang akan menikah tidak mengetahui bagaimana rupa dari pasangannya. Bahkan ketika hari pernikahan pun sang mempelai pria masih ditutupi wajahnya dengan sher’e sehingga hal ini seperti jackpot! Kemudian setelah pemakaian sher’e, Jefri juga dipakaikan celak oleh saudari perempuannya. Mereka percaya bahwa celak akan menjauhkan bala dari orang yang memakainya. Biasanya, balita juga dipakaikan celak ketika berpergian. Karena seperti yang kita ketahui, balita cenderung rewel dan cepat nangis ketika bertemu dan dipegang oleh orang asing. Dengan memakai celak, balita diharapkan dapat lebih kalem dan terhindar dari segala marabahaya. Bahkan kakak Kelvin, Ronald, sempat bercanda bahwa memakai celak ini untuk mencegah mempelai pria melihat perempuan lain selain istrinya.
pemakaian Sher'e
pemakaian celak
Waktu sudah hampir menunjukkan
pukul sepuluh ketika Jefri dan keluarga siap berangkat ke rumah ibadah untuk
menjalankan upacara pernikahan keagamaan. Dengan dituntun oleh sang Ayah, Jefri
masuk ke mobil beserta pendampingnya, Kelvin. Para adik-adik perempuan yang
belum menikah segera mengepang tali yang diikatkan pada bagian depan mobil. Ini
merupakan tradisi turun temurun dari keluarga besar mereka. Setelah itu, Ayah
Jefri melemparkan uang koin secara acak sebelum masuk ke dalam mobil. Dan
untungnya (bukan sialnya), koin tersebut tepat mengenai jidat saya! Hal ini
dipercayai untuk berbagi rejeki dengan orang sekitar ketika keluarga sedang berbahagia.
Uang yang dilemparkan itu harus koin, tidak boleh uang kertas, dan koin-koin
tersebut diambil oleh warga sekitar. Meskipun rasanya sakit disambit koin,
tetapi saya meng-amini saja, semoga ketiban banyak rejeki.
Ketika di perjalanan menuju rumah ibadah, saya banyak berbincang dan menanyakan soal tradisi mereka dengan keluarga Kelvin. Ibunda Kelvin, yang sering dipanggil dengan Miss Baby mengatakan bahwa sebenarnya adat upacara pernikahan mereka terdiri dari tiga tahapan. Yang pertama adalah Chuara (acara tukar cincin), kemudian Telchera (upacara adat khusus sebelum pernikahan atau siraman), dan Upacara Pernikahan di kuil yang dilanjutkan dengan pesta pernikahan. Acara yang saya ikuti ini adalah tahap terakhir, yaitu upacara pernikahannya. Sayang sekali saya tidak sempat mengikuti dua upacara pertama. Namun sebagai gantinya, saya diperlihatkan bagaimana keseluruhan proses pernikahan tersebut berjalan. Berhubung keluarga Kelvin adalah saudara dari Jefri, maka observasi yang saya lakukan adalah berdasarkan sudut pandang keluarga laki-laki.
Ketika saya selesai merekam bagaimana tamu telah berkumpul di aula, saya dipanggil oleh Ayah Kelvin, yaitu Sir Dave. Beliau mengingatkan untuk tidak membelakangi kitab suci yang ada di bagian tengah depan aula, karena pantang. Saya merasa sangat tidak enak dan malu waktu itu. Saya yakin, tamu-tamu yang sedang duduk di sana juga pasti menatap heran ke arah saya yang dengan pede-nya mengabadikan momen sambil membelakangi buku suci Granth Sahib. Kejadian ini adalah sebuah culture shock bagi saya, dimana menurut Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Intercultural Communication, culture shock atau kejutan budaya adalah keadaan mental yang datang dari transisi yang terjadi ketika Anda pergi dari lingkungan yang Anda kenal ke lingkungan yang tidak Anda kenal, dan menemukan bahwa pola perilaku Anda yang dulu tidak efektif. Alhasil, sampai upacara selesai, saya beradaptasi untuk mengingat tidak membelakangi kitab tersebut.
Ketika di perjalanan menuju rumah ibadah, saya banyak berbincang dan menanyakan soal tradisi mereka dengan keluarga Kelvin. Ibunda Kelvin, yang sering dipanggil dengan Miss Baby mengatakan bahwa sebenarnya adat upacara pernikahan mereka terdiri dari tiga tahapan. Yang pertama adalah Chuara (acara tukar cincin), kemudian Telchera (upacara adat khusus sebelum pernikahan atau siraman), dan Upacara Pernikahan di kuil yang dilanjutkan dengan pesta pernikahan. Acara yang saya ikuti ini adalah tahap terakhir, yaitu upacara pernikahannya. Sayang sekali saya tidak sempat mengikuti dua upacara pertama. Namun sebagai gantinya, saya diperlihatkan bagaimana keseluruhan proses pernikahan tersebut berjalan. Berhubung keluarga Kelvin adalah saudara dari Jefri, maka observasi yang saya lakukan adalah berdasarkan sudut pandang keluarga laki-laki.
Sesampainya di rumah ibadah, yaitu Gurudwara Sikh Temple yang terletak di
Jl. Pasar Baru Timur No.10, pihak perempuan telah menunggu dan siap menyambut
pihak keluarga pria. Kedua pihak berdiri saling berhadapan. Namun waktu itu,
mempelai perempuan masih belum terlihat. Yang ada hanyalah Ayah dari perempuan
beserta keluarga besarnya. Pendeta pun kemudian datang dan membacakan doa. Setelah
itu, pihak wanita menyerahkan bingkisan kepada pihak pria, dan kemudian
dilanjutkan dengan makan-makan. Acara sesungguhnya baru akan mulai setelah
sarapan.
Gurudwara Sikh Temple
Aula untuk upacara pernikahannya
ini terletak di lantai dua Gurudwara Sikh temple. Para tamu dan keluarga telah
duduk dengan rapi ketika saya memasuki aula tersebut. Oh iya, satu hal yang
wajib dilakukan adalah baik pria maupun wanita, harus menutupi kepalanya dengan
kain sebelum memasuki tempat suci tersebut. Apabila kita tidak membawanya, Sikh
temple menyediakannya. Selain menutupi kepala, pakaian yang dikenakan juga
harus sopan. Di mana-mana, semua agama memiliki cara pandang yang sama dalam
mengunjungi rumah ibadah, yaitu diwajibkan untuk tidak berpakaian minim. Lalu,
tempat duduk antara pria dan wanita juga dipisah, dimana pria duduk di sebelah
kanan, dan wanita di sebelah kiri. Hal ini untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan.
Ketika saya selesai merekam bagaimana tamu telah berkumpul di aula, saya dipanggil oleh Ayah Kelvin, yaitu Sir Dave. Beliau mengingatkan untuk tidak membelakangi kitab suci yang ada di bagian tengah depan aula, karena pantang. Saya merasa sangat tidak enak dan malu waktu itu. Saya yakin, tamu-tamu yang sedang duduk di sana juga pasti menatap heran ke arah saya yang dengan pede-nya mengabadikan momen sambil membelakangi buku suci Granth Sahib. Kejadian ini adalah sebuah culture shock bagi saya, dimana menurut Larry A. Samovar dalam bukunya yang berjudul Intercultural Communication, culture shock atau kejutan budaya adalah keadaan mental yang datang dari transisi yang terjadi ketika Anda pergi dari lingkungan yang Anda kenal ke lingkungan yang tidak Anda kenal, dan menemukan bahwa pola perilaku Anda yang dulu tidak efektif. Alhasil, sampai upacara selesai, saya beradaptasi untuk mengingat tidak membelakangi kitab tersebut.
tempat kitab suci Granth Sahib
Pengantin wanita akhirnya memasuki
ruangan. Pakaiannya yang berwarna merah cerah tersebut membuat dirinya menjadi
sorotan ketika berjalan di tengah-tengah aula bersama dengan keluarganya. Jefri
yang memang sudah ada sejak awal di dalam aula mengambil posisi duduk di
tengah-tengah aula, bersama Lady. Upacara pernikahan yang dinamakan Anand Karaj pun kemudian dimulai, dimana kedua mempelai berdiri dan dibacakan doa
oleh pendeta. Para pendeta juga terbagi atas beberapa keahlian, bukan kasta.
Pendeta yang satu mengerti tentang segala pengetahuan yang ada di kitab suci.
Pendeta yang kedua ahli dalam bernyanyi dan bersyair. Dan pendeta yang ketiga
ahli dalam berbicara. Sehingga mereka bertiga saling melengkapi dalam memimpin
sebuah upacara.
Jefri & Lady
Kemudian, Jefri dan Lady diberikan
sebuah kain panjang, dimana Jefri melangkah di depan dan diikuti oleh Lady di
belakangnya untuk mengitari altar tempat kitab suci itu berada sebanyak empat
kali. Inilah yang dinamakan dengan Laava
atau The Four Rounds yang
merupakan puncak dari upacara pernikahan tersebut. Masing-masing putaran
mengandung bait bacaan dengan makna tersendiri, dimana putaran ini memberikan
bimbingan spiritual terhadap kehidupan bersama mereka nantinya. Ketika mereka
berjalan mengelilingi altar tersebut, sudah ada saudara laki-laki dari mempelai
perempuan, berdiri di samping jalan yang akan dilalui oleh pengantin tersebut. Sang
kakak akan memegangi adiknya berjalan sebagai petanda kasih sayang bahwa mereka
telah menyerahkannya kepada suaminya untuk menempuh kehidupan baru.
the brothers on position
Di putaran pertama, bait yang
dinyanyikan mengandung arti bahwa keduanya harus berpegang teguh pada
kebenaran, melepaskan segala perbuatan dosa dan kepalsuan, mediasi, percaya
pada Waheguru (sebutan Tuhan bagi
Sikh), dengan ini keduanya memulai tahapan pertama dalam perkawinan. Pada
putaran kedua, Guru menghimbau agar keduanya lebih mendalami dunia spiritual
mereka, dengan hanya takut kepada Tuhan. Dengan begitu, segala ego pribadi akan
hilang dari pikiran dan mereka akan merasakan kebahagiaan pribadi. Putaran
ketiga mempunyai arti dimana keadaan seimbang antara mental dan spiritual telah
tercapai. Dalam kebahagiaan ini, takdir unik mereka akan tertulis ‘pada dahi
Anda’. Dengan mengetahui takdir masa depan, cinta ilahi akan hadir bersama
mereka. Di putaran keempat dimana merupakan putaran sah, orang-orang yang
merupakan pihak keluarga akan melemparkan bunga kepada pengantin yang berjalan
tersebut. Adapun arti dari putaran terakhir memiliki arti dimana pikiran mereka
akan menjadi damai dan menemukan Tuhan, kehidupan keduanya juga akan puas dan
bahagia.
Setelah itu, keduanya memegang piring yang berisi gelas api dengan didampingi oleh orang tua dari keduanya, dan dilanjutkan dengan saudara-saudara secara bergantian. Piring tersebut diputar searah jarum jam di depan kitab Granth Sahib. Kemudian pendeta kembali mendoakan mereka, dan disahkan dengan pemberian kain berwarna oren dan bingkai gambar Guru Nanak. Keduanya pun langsung sujud sembah. Upacara dilanjutkan dengan pemberian sepatah dua patah kata tentang mempelai pria, Jefri, tentang bagaimana pria itu sudah sering berpartisipasi di pertandingan futsal internasional. Dan tidak lupa juga ucapan selamat berbahagia dan doa-doa diberikan.
Upacara telah usai. Dan sebagai penutupnya, panitia dari Sikh Temple ini memberikan parshad kepada seluruh pengunjung yang ada di aula, termasuk saya. Parshad merupakan makanan diberkati yang dibuat dari tepung gandum, mentega dan gula, dan tidak boleh ditolak. Sebagai tanda hormat dan kerendahan hati, saya diajarkan oleh Sir Dave untuk menerima parshad dengan mengangkat dan menangkup kedua telapak tangan saya. Rasanya sangat lembut dan manis, sehingga kurang cocok apabila dikonsumsi dalam porsi yang banyak.
Setelah itu, keduanya memegang piring yang berisi gelas api dengan didampingi oleh orang tua dari keduanya, dan dilanjutkan dengan saudara-saudara secara bergantian. Piring tersebut diputar searah jarum jam di depan kitab Granth Sahib. Kemudian pendeta kembali mendoakan mereka, dan disahkan dengan pemberian kain berwarna oren dan bingkai gambar Guru Nanak. Keduanya pun langsung sujud sembah. Upacara dilanjutkan dengan pemberian sepatah dua patah kata tentang mempelai pria, Jefri, tentang bagaimana pria itu sudah sering berpartisipasi di pertandingan futsal internasional. Dan tidak lupa juga ucapan selamat berbahagia dan doa-doa diberikan.
Upacara telah usai. Dan sebagai penutupnya, panitia dari Sikh Temple ini memberikan parshad kepada seluruh pengunjung yang ada di aula, termasuk saya. Parshad merupakan makanan diberkati yang dibuat dari tepung gandum, mentega dan gula, dan tidak boleh ditolak. Sebagai tanda hormat dan kerendahan hati, saya diajarkan oleh Sir Dave untuk menerima parshad dengan mengangkat dan menangkup kedua telapak tangan saya. Rasanya sangat lembut dan manis, sehingga kurang cocok apabila dikonsumsi dalam porsi yang banyak.
Parshad (salah fokus >,<)
Jefri dan
Lady kemudian menuju ke dinding yang telah didesain sedemikian rupa, yang biasa
disebut dengan wall of fame dimana
keduanya disalami dan diajak untuk foto bareng. Bagi pengunjung yang sudah
foto, mereka langsung dapat menyantap makan siang yang sudah disediakan oleh
temple itu sendiri. Dengan piring kaleng empat bagian (khas India), pengunjung
dapat menikmati roti cane, nasi, kari kacang polong, kacang hijau, kacang
merah, dan hidangan lainnya dengan bumbu yang sangat khas!
yummy!
Menurut
Parkes, Laungani, dan Young dalam buku Larry A. Samovar, semua budaya memiliki
agama yang dominan dan terorganisasi dimana aktivitas dan kepercayaan mencolok
seperti upacara, ritual, hal-hal tabu, dan perayaan, dapat berarti dan
berkuasa. Begitu juga dengan upacara pernikahan yang dijalankan oleh Jefri dan
Lady. Keluarga besar mereka berpegang teguh pada ajaran agama Sikh sehingga
perayaan yang dilakukan juga berarti dan sesuai dengan apa yang sudah menjadi
tradisi turun temurun agama tersebut. Cara pandang agama Sikh itu sendiri
berorientasi kepada kewajiban sosial setiap umatnya. Para Guru menolak adanya
sistem kasta yang berlaku dan menekankan persamaan derajat bagi setiap orang. Selain
itu, agama ini juga tidak memiliki patung-patung sehingga hal ini lah yang
menjadi ciri khas dari agama Sikh itu sendiri. Cara pandang perkawinan ajaran
ini juga mengutamakan monogami, yaitu satu pasangan untuk hidup. Dan konon
katanya, masyarakat Punjabi lebih menyukai hari-hari ganjil, seperti senin,
rabu, jumat, minggu, sehingga upacara pernikahan yang dijalankan juga menurut
hari ganjil. Seperti Chuara pada hari rabu, Telchera pada hari jumat, dan
upacara Anand Karaj serta pesta pada hari minggu.
Samovar juga menyebutkan bahwa salah satu karakteristik dari budaya adalah bahwa budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Karena ikatan antara generasi di masa lalu dan masa depan sangat perlu, salah satu tokoh yang bernama Kessing berkata, “satu ikatan yang putus akan mengarah pada musnahnya suatu budaya.” Dengan adanya penurunan budaya dari generasi ke generasi, maka tradisi pernikahan Punjabi ini dapat terus dilaksanakan. Meskipun seiring dengan bertambah modernnya zaman, bukan tidak mungkin hal-hal yang sangat kuno itu juga kemudian di-modern-kan. Tetapi biar bagaimanapun juga, peranan keluarga yang mengajarkan nilai dasar dan pola pikir akan dapat membantu mewariskan budaya yang ada. Jefri dan Lady sendiri belum tentu dapat menjalankan upacara ini tanpa bantuan dan bimbingan keluarga besar. Gudykunst menuliskan bahwa pada dasarnya, anak-anak mempelajari budaya dari orang tua mereka. Selain itu, keluarga juga berperan sebagai perkembangan identitas. Melihat bagaimana ramainya keluarga besar dengan hidung mancung, mata belo, dan memakai pakaian khas India itu menunjukkan identitas etnis mereka sebagai keturunan Punjabi.
Hal yang dapat saya ambil dari observasi yang dilakukan pada pernikahan tradisi Punjabi ini adalah bahwa setiap etnis memiliki ciri khas budaya dan identitas tersendiri yang dapat dilihat melalui upacara, ritual, pernikahan, dsb. Untuk menjaga agar tradisi budaya tetap ada dan dijalankan, budaya tersebut harus diturunkan dari generasi ke generasi, jangan dibiarkan termakan oleh budaya modern saat ini. Semoga hasil observasi ini bermanfaat bagi Anda semua! :D
Samovar juga menyebutkan bahwa salah satu karakteristik dari budaya adalah bahwa budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Karena ikatan antara generasi di masa lalu dan masa depan sangat perlu, salah satu tokoh yang bernama Kessing berkata, “satu ikatan yang putus akan mengarah pada musnahnya suatu budaya.” Dengan adanya penurunan budaya dari generasi ke generasi, maka tradisi pernikahan Punjabi ini dapat terus dilaksanakan. Meskipun seiring dengan bertambah modernnya zaman, bukan tidak mungkin hal-hal yang sangat kuno itu juga kemudian di-modern-kan. Tetapi biar bagaimanapun juga, peranan keluarga yang mengajarkan nilai dasar dan pola pikir akan dapat membantu mewariskan budaya yang ada. Jefri dan Lady sendiri belum tentu dapat menjalankan upacara ini tanpa bantuan dan bimbingan keluarga besar. Gudykunst menuliskan bahwa pada dasarnya, anak-anak mempelajari budaya dari orang tua mereka. Selain itu, keluarga juga berperan sebagai perkembangan identitas. Melihat bagaimana ramainya keluarga besar dengan hidung mancung, mata belo, dan memakai pakaian khas India itu menunjukkan identitas etnis mereka sebagai keturunan Punjabi.
Hal yang dapat saya ambil dari observasi yang dilakukan pada pernikahan tradisi Punjabi ini adalah bahwa setiap etnis memiliki ciri khas budaya dan identitas tersendiri yang dapat dilihat melalui upacara, ritual, pernikahan, dsb. Untuk menjaga agar tradisi budaya tetap ada dan dijalankan, budaya tersebut harus diturunkan dari generasi ke generasi, jangan dibiarkan termakan oleh budaya modern saat ini. Semoga hasil observasi ini bermanfaat bagi Anda semua! :D
No comments:
Post a Comment