Frederick
11140110148
kelas G1
Kampung Betawi Setu
Babakan
Kampung Betawi
yang terletak di Lenteng Agung, Jakarta Selatan ini, berupa layaknya
sebuah komplek/ perumahan. Yang membedakannya dengan komplek-komplek
lain, tentu saja bentuk-bentuk rumahnya yang sebagian besar khas
Betawi. Meskipun sebagian besar rumah juga terhitung sederhana,
tetapi semuanya terlihat bagus dan serasi.
Luasnya yang
ternyata seluas 289 hektar lebih jelas membuat linglung ketika awal
masuk ke kampung ini. Saya dan kru ( teman-teman) sempat tersasar dan
akhirnya menemukan jalan. Tapi, ternyata kami sampai di pesisir
sebuah setu. Betapa panik yang saya rasakan waktu itu. Ternyata,
Kampung Betawi memang berada di dekat Setu Babakan yang juga menjadi
wilayahnya.
Kampung ini telah
dilindungi oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta. Perkampungan
yang dibangun pada Oktober 2000 ini diresmikan tanggal 20 Januari
2001 oleh mantan Gubernur DKI jakarta, Bapak Sutiyoso.
Daerah kampung Betawi berpusat pada RW 08, selain RW itu, pembangunan
belum banyak dilakukan.
Di daerah ini,
banyak sekali rumah yang bagi saya hanya berbeda dari pagar dan
catnya, Namun, setelah banyak bertanya pada berbagai orang yang
lewat, ada kantor pengelola dan juga rumah yang dikhususkan untuk
pengunjung yang berniat untuk menginap atau disebut home stay.
Totalnya ada 67 rumah.
Ini dia kantor pengelolanya |
Tanpa Basa-Basi,
saya langsung menghampiri rumah yang ternyata kantor pengelolanya.
Meskipun disebut kampung, akan tetapi cukup banyak motor yang ada di
parkiran. Awalnya, kepanikan melanda saya karena lupa membuat surat
izin. Tetapi, Ibu Irma, salah seorang pengelola yang baik mengizinkan
saya untuk masuk.
Lingkungan yang
asri, indah, serta hawa angin sepoi-sepoi yang cukup membuat mager
(males gerak) ini membuat Kampung Betawi sangat nyaman untuk
dikunjungi. Belum lagi tiket yang ternyata GRATIS (hari gini gratis
loh). Meskipun begitu, tetap ada tarif untuk keamanan parkir. Tarif
yang ada tidak ditentukan alias seikhlasnya. Yang menjadi penjaga
kendaraan juga warga sekitar.
malah ada yang jual ketoprak :9 mantaap |
Banyak sekali hal
unik yang ada di Kampung Betawi ini, diantaranya adanya aktifitas
sehari-hari penduduk sekitar seperti Pencak Silat, serta pertunjukan
tari-tarian dan musik seperti gambang kromong. Makanan yang ada di
tempat ini juga semuanya bernuansa Betawi. Tentu saja yang paling
banyak muncul dimana-mana adalah Soto Betawi, Laksa, dan Kerak Telor.
Saking banyaknya,
kepala saya agak pusing untuk membedakan satu pedagang Kerak Telor
satu dan lainnya. Tapi, ada juga Soto Mie dan batagor yang bukan
berasal dari daerah Betawi. Petugas yang mengatur parkir dan mengatur
arah masuk kendaraan semuanya memakai baju adat betawi.
Ternyata tidak
semua penduduk dari sini asli suku Betawi. Menurut kesaksian
narasumber, Ibu Irma, RW 06. 07. 08, yang merupakan wilayah kampung
betawi ini terdiri dari banyak suku, mulai dari Suku Padang, Batak,
Jawa, hingga Papua. Perbedaan yang ada ternyata tidak memunculkan
konflik. Mereka semua hidup berdampingan dengan damai. Bahkan,
beberapa penduduk non betawi yang ada rela untuk mengubah desain
rumahnya menjadi khas ala betawi untuk menghormati kebudayaan yang
ada disana. Prosentasenya. 60 persen orang Betawi atau penduduk asli,
dan 40 persen lainnya pendatang.
Proses akulturasi
yang ada, membuat suku-suku yang ada disini sanggup mengerti
istilah-istilah Betawi, dan bercanda layaknya suku Betawi, tanpa
melihat latar belakang ataupun ciri fisik. Saya sendiri cukup
tertegun ketika melihat ada orang papua dengan logatnya bercanda
layaknya orang Betawi.
Bicara soal
fasilitas yang ada, semuanya benar-benar terawat dan didesain
layaknya sebuah kampung. Sayang, sanitasi yang ada kurang terawat
sehingga merepotkan untuk yang suka beser-beser dan kebelet. Belum
lagi ternyata saat ramai ada uang kebersihan untuk sarana sanitasi
itu. Untungnya, sarana kamar mandi itu masih dapat digunakan.
Meskipun kenyamanannya kurang.
Rumah-rumah yang
ada ternyata menjadi tempat untuk duduk bagi para pengunjung yang
datang pada hari Minggu. Kampung Betawi yang tidak terlalu ramai
ternyata berbanding terbalik ketika hari Minggu. Kepadatan dan
keramaiannya tidak kalah dengan PRJ yang selalu “banjir” manusia.
Rumah-rumah khas
Betawi sendiri ternyata memiliki makna tersendiri yang mendalam.
Pagar yang ada, berbentuk orang, menandakan untuk permisi dan rumah
itu memiliki penghuni. Warna hijau dan kuning yang mendominasi
bangunan yang ada menandakan kesejukan serta keceriaan yang menghiasi
rumah yang ada.
Hal yang selaras
muncul karena penduduk yang teramat ramah. Budaya asal nyeblak mereka
juga menunjukkan bahwa mereka rata-rata low-context. Mereka jujur
pada perkataan mereka dan sangat asik untuk diajak mengbrol. Ketika
mereka bersenda gurau, meskipun kata-kata yang diucap terbilang
kasar, tetapi lawan bicara mereka biasanya membalas dengan tersenyum.
Dari apa yang saya lihat dan amati, sama sekali tidak ada rasa kesal,
yang ada, mereka menganggap itu hanya sebuah bercandaan dan justru
memperkuat tali persaudaraan mereka.
Acara yang ada,
diadakan tiap Sabtu-Minggu. Uniknya , acara tidak akan sama karena
ada sanggar-sanggar berbeda yang bersedia untuk tampil.
Sanggar-sanggar kesenian ini sebelumnya harus terdaftar dulu di Dinas
wilayah Jakarta Selatan. Tentunya, semua acara yang ada bernuansa
khas Betawi. Salah satu yang terkenal adalah Gambang Kromong.
Gambang Kromong,
penuh dengan pantun-pantun bernuasa jenaka serta musik yang nikmat
didengar telinga. Kesenian yang terbentuk karena pencampuran budaya
Arab, Melayu, dan China ini terkenal memang karena sifatnya yang
jenaka. Para pemainnya juga menggunakan baju khas Betawi dan
menggunakan bahasa yang lumrah didengar masyarakat Betawi. Sekali
lagi, meskipun mereka terdengar saling menghina tetapi tidak tercipta
suasana konflik. Yang ada adalah suasana tertawa dan bahagia.
Kesenian ini, dapat dipadukan dengan musik modern.
Kawasan yang
berdekatan dengan Setu Babakan ini teramat ramai ketika ada sebuah
acara kesenian yang berlangsung. Orang berbondong-bondong datang
untuk melihat kesenian Betawi yang ada, serta jajanan khas dan juga
wahana-wahana yang ada. Seperti Perahu Naga dan Delman/Andong.
Sayangnya, suasana yang asri dan bersih ini diusik oleh pengunjung
yang datang dengan membuang sampah
sembarangan sehingga membuat sekeliling perkampungan menjadi kumuh
dan kotor. Bahkan, air di Setu babakan tidak lagi jernih melainkan
Hijau karena tercampur berbagai sampah yang dibuang oleh pengunjung.
Hal yang sangat disayangkan, tentunya. Padahal wisata ini merupakan
buatan alam dan bukan buatan manusia.
Numpang Eksis dikit, jas Demang/abang, dan Kebaya None |
Seusai
berkeliling sejenak, saya dan teman-teman diajak untuk melihat busana
asli betawi. Ternyata busana khas dibagi sesuai usia. Yang masih
pekat dalam ingatan saya adalah Kebaya Ncim, Kebaya None dan juga Jas
Abangnya. Pada Kebaya perempuannya, 6 kancing yang ada menandakan
rukun Islam.
Sedangkan
pada Jas Abangnya, yang saya rasakan adalah terlalu besar, lalu
banyak aksesorisnya, salah satunya ialah kuku macan. Disebut kuku
macan karena kuku macan melambangkan kejantanan. Tetapi, ini tentu
bukan kuku macan aslinya karena jelas sulit untuk dicari. Untuk
perempuan, banyak sekali perhiasan dari kalung dan gelang. Pada
awalnya, semua perhiasan perempuan adalah emas asli namun seiring
perkembangan jaman digunakanlah kuningan.
Tidak
ada perbedaan yang cukup signifikan diantara Jas Abang dan Jas untuk
pria yang tua . Perbedaan yang signifikan dapat dilihat dari pakaian
untuk prosesi pernikahan. Ada yang terinspirasi dari Budaya Arab, ada
juga yang terinspirasi dari Budaya China. Satu hal yang cukup menarik
menurut saya, Pakaian Kebaya Ncim dapat digunakan untuk acara formal
maupun aktivitas sehari-hari.
Selain
itu, pakaian adat betawi untuk pria yang lain, Baju Sadariah,
memiliki semacam “Sarung” di pundaknya. Baju yang terdiri dari
baju koko dan celana boim (dapat berupa batik maupun bahan) ini
teramat sering muncul dalam film-film. Awalnya saya pikir itu sarung
kecil. Ternyata itu digunakan untuk mengusap keringat dan alat untuk
perlindungan diri. Ikat pinggang yang besar digunakan untuk menyimpan
uang di ujung sisinya.
Menurut
pernyataan Ibu Letong, Saking terkenalnya Jas Abang ini, bahkan
beberapa orang menggunakannya untuk sidang skripsi. Sedangkan
kebayanya, ternyata cukup panas ketika dipakai, menurut kesaksian
pacar saya.
Esok
harinya, saya dan kru kembali ke Kampung Betawi melanjutkan
observasi. Betapa terkejutnya saya dan mereka ketika melihat
keramaian manusia yang teramat banyak. Saking banyaknya, saya sampai
sukar melihat jalan. Belum lagi teman saya mulai menyebar, kalau saya
anak kecil, pasti saya sudah menangis dan berakhir di bagian
informasi.
Ternyata,
keramaian ini disebabkan oleh adanya pertunjukkan kesenian mingguan.
Dan kata orang-orang, kesenian Gambang Kromong yang ada sudah
terkenal hingga masuk ke acara di Trans 7. “Wah keren “, itu yang
terucap dalam benak saya. Menuju Setu Babakan, pedagang makanan dan
mainan yang ada bertambah sepuluh kali lipat. Dari loket perahu naga
sampai pintu ke Kampung Betawi semuanya ramai oleh makanan. Dan tentu
saja, pasangan-pasangan mojok.
Bau Cabenya?? GREGET |
Lelah
menunggu acara mulai, saya memutuskan untuk makan bersama
teman-teman. Kami membeli beberapa kuliner khas betawi, terutama bir
pletok. Ternyata, minuman ini disebut Bir karena fungsi yang sama
yakni menghangatkan. Meski disebut bir, tetapi minuman ini tidak
mengandung alkohol. Melainkan cabe dan lada.
APA??
Cabe diminum? Ya begitulah, bau cabe nan pedas dipadu lada sanggup
membuat orang yang meminumnya megap-megap layaknya ikan yang
dikagetkan dengan petasan. Oke ini lebai, tapi memang pedasnya
greget. Buktinya saja saya minum sampe tumpeh-tumpeh.
Es Selendang Mayang, Bir Pletok, Soto Betawi, Kerak Telor |
Beruntung,
si ayang perhatian dan memberikan saya minuman lain *ceileeeeh. Nama
minuman ini Es Selendang Mayang. Nama yang indah kan? Tapi ternyata
isinya semacam agar-agar santen yang dipotong dalam skala tak muat
untuk sekali ditelan. Airnya pun santen yang diberikan gula aren,
mirip-mirip dengan Dawet Ayu/cendol dari Jawa. Bedanya Dawet ayu tidak perlu
repot memotong “cacing hijau”nya, tinggal diminum saja.
I Want You...I Need You...I Love You..~ |
Salah
satu teman saya membeli Kerak Telor (Batavian’s Traditional
Omelette). Baunya yang menggiurkan menggugah selera saya untuk
mencicipinya. Bagi saya rasanya seperti telur yang ditaburi daging
sarden dan dicampur ketan. Yaa, semacam itulah rasanya di lidah saya
ini. Ketika Menu lain nampak di hadapan saya yakni Soto Betawi
(Batavian’s Beef Soup) nafsu makan saya meningkat ribuan persen.
Bau santen yang merebak dipadu dengan daging sapi yang ada membuat
tanggul dalam mulut saya lepas. Tanpa basa basi saya langsung
melahapnya.
Seusai
makan, kami beranjak untuk melihat kesenian yang ada. Ternyata
sekumpulan ibu-ibu yang hendak menyanyi. (bayangkan saja SNSD atau
JKT48 di hari tuanya nanti). Entah kenyang atau mengapa, tapi saya
terus terang mengantuk mendengar alunan dari para ibu-ibu di depan.
Kesenian ini disebut qasidahan. Satu2nya alat music selain kecrekan
yang dipakai adalah rebana.
Usai
mendengar alunan lagu indah dari para ibu-ibu yang kadang menggunakan
bahasa Arab kadang-kadang hanya “lalalallaa” *entah lupa lirik
atau backsound. Tapi, setelah itu muncul sebuah alunan indah yang memanjakkan kuping.
Semacam keroncong tetapi agak lebih bersemangat menurut saya
pribadi.
Orang-orang
yang tadinya keluar mendadak masuk dan berkumpul. Saya agak kesulitan
untuk mengambil gambar dari dekat karena ukuran tubuh saya yang besar
menghalangi pandangan penonton. Dengan berbagai trik dan tipu
muslihat, pada akhirnya saya dapat mendapatkan spot nikmat untuk
melihat acara Gambang Kromong sembari merekam.
Sesaat
muncul dua orang host. Mereka saling berbalas pantun yang bagi saya
lucu dan sangat menghibur. Meskipun bahasa yang digunakan terkesan
kasar, selalu saja meledek dengan “muke lo kayak…” akan tetapi
semua tertawa terbahak-bahak termasuk para pemain alat musiknya. Hal
ini juga yang membuat saya harus take beberapa kali karena perut saya
berguncang menahan tawa.
Kesenian
ini tak jauh berbeda dengan Lenong, menurut saya. Hanya saja Gambang
Kromong dipenuhi lagu-lagu layaknya Opera Van Java, dan kesenian ini
dapat dipadukan dengan lagu modern. Saya melirik ke arah beberapa
orang yang berlalu lalang, kemudian memutuskan untuk pergi sebentar
untuk melihat apa yang mereka bawa.
Entah kenapa saya jadi inget si Apriyani dengan Xenia mautnya hehehe *peace Nyak |
Sesampainya
disana, ternyata pembuat dodolnya perempuan semua. Kelihatannya
memang mudah sekali untuk mengaduk adonan dodol. Tapi ternyata saat
dicoba sungguh berat rasanya.Meskipun terlihat seperti ibu-ibu biasa,
tetapi mereka kuat sekali. Pembuat resep asli dodolnya sendiri telah
meninggal, dan usahanya diteruskan turun temurun.
Ternyata
proses untuk pengadukan dodol ini memakan waktu 7-9 jam. Sungguh
waktu yang lama, makanya mereka menggunakan sistem shift alias
ganti-gantian. Konon kata mereka, dodol itu enak ketika dibiarkan
selama 4 hari sampai seminggu. Entah terjadi fermentasi di dalamnya
atau dodol menjadi manis layaknya wine yang menua, saya pun tidak
mengerti.
Kembali
ke Gambang Kromong, saya yang hendak merekam terpaksa mengurungkan
niat karena kepungan pengunjung yang membuat saya terhalang dan tidak
dapat mengambil spot yang baik untuk mulai merekam. Kemudian, saya
dan kru memutuskan untuk pulang. Dari kejauhan, alunan musik Gambang
Kromong masih terngiang di kuping saya.
Begitulah
petualangan saya selama tiga hari di Kampung Betawi bersama
teman-teman saya. Masyarakatnya yang ramah tamah, serta budayanya
yang menarik untuk dikaji membuat saya tak akan menolak untuk
berkunjung lagi kedua kalinya. Pergi ke wisata seperti ini yang
melestarikan budaya dan menunjukkan identitas budayanya bagi saya
jauh lebih menarik dibanding sekedar ke mall ataupun tempat rekreasi
lain.
Keindahan
alam serta berbagai informasi yang menambah pengetahuan saya disana
membuat saya merasa observasi yang saya lakukan sebenarnya dapat
lebih mendalam lagi. Meskipun luasnya yang lebih dari dua ratus
hektar membuat saya trauma karena nyasar masuk ke gang-gang kecil.
Bagi saya, harus ada lebih banyak lagi tempat-tempat seperti Kampung
betawi ini, agar generasi ini tidak lupa akan budayanya sendiri dan
terseret arus globalisasi dan westernisasi.
No comments:
Post a Comment