Ervina
11140110152 / F1
Kampung Naga |
Indonesia
merupakan sebuah negara kepulauan yang dikenal terdiri dari berbagai etnis atau suku budaya
serta memiliki bahasa dan agama yang beraneka ragam. Beberapa diantara
suku-suku budaya tersebut tentu masih memegang kuat serta patuh terhadap aturan
adat istiadat peninggalan para leluhurnya. Mereka tentunya juga masih menjalankan
apa yang menjadi tradisi dari para nenek moyangnya dan terus diturunkan pada
generasi penerus disuku mereka agar tetap terjaga tradisinya.
Seperti yang dikatakan oleh Charon, yang
dikutip melalui buku komunikasi lintas budaya milik Samovar, dan kawan-kawan,
mengatakan bahwa budaya adalah pewarisan social yang mengandung pandangan yang
sudah jauh dikembangkan sebelum kita lahir. Masyarakat kita, misalnya, memiliki
sejarah yang meliputi kehidupan seseorang, pandangan yang berkembang sepanjang
waktu yang diajarkan pada setiap generasi dan “kebenaran” dilabuhkan dalam interaksi
manusia jauh sebelum mereka meninggal.
Salah satunya
suku budaya yang masih memegang teguh adat istiadat dari para leluhurnya adalah
tempat yang saya datangi untuk melakukan observasi, yaitu Kampung Naga. Pada
tanggal 21 hingga 23 desember 2012 lalu,saya dan teman-teman saya mengunjungi
salah satu kampung adat di Tasikmalaya. Dari gading serpong kami berangkat
menaiki mobil pribadi yang telah kami sewa, sekitar pukul 03.00 pagi, kami
langsung berangkat menuju Tasikmalaya. Kurang lebih sekitar 6-7,5 jam kami
menempuh perjalanan. Selama perjalanan sempat beberapa kali kami berhenti
sejenak untuk beristirahat sambil menikmati pemandangan sekitar. Akhirnya pada
pukul 10.00 siang, rombongan kami sampai di tempat tujuan, yang ditandai dengan
sebuah tugu dan papan selamat datang yang ditulis dalam bahasa sunda “wilujeung sumping”.
"Wilujeung Sumping di Kampung Naga" |
Tugu Kujang Pusaka |
Ternyata
perjalanan kami belum selesai sampai disana, Ya.. kami memang sudah sampai di
Kampung Naga, kampung naga pada tahap awal bisa dibilang. Kami harus menuruni
kurang lebih 439 anak tangga untuk benar-benar sampai ke daerah pemukiman
penduduk kampung naga karena letak kampung naga berada di bawah tebing. Setelah
menuruni 439 anak tangga, barulah kami sampai di pemukiman penduduk kampung
naga. Selama menuruni anak tangga kami disuguhi pemandangan yang indah serta
udara yang sejuk yang tidak akan kami dapatkan dikota. Sama sekali tidak
terdengar suara kendaraan bila kita berada di kampung naga tersebut, cocok
sekali untuk beristirahat setelah penat dengan keseharian di perkotaan yang
penuh dengan polusi dan kemacetan. Menurut saya terbayar sudah perjalanan yang
kami tempuh selama 6-7,5 jam serta
ditambah menuruni 439 anak tangga untuk dapat sampai ke kampung naga ini.
Seperti
yang kita ketahui, mayoritas penduduk Indonesia pada zaman dahulu bekerja
sebagai petani, menanam padi di sawah. Begitu juga dengan kesederhanaan
masyrakat kampung naga, mereka setiap harinya bekerja diladang, menanam padi di
sawah sebagai pekerjaan tetap mereka. Padi-padi tersebut biasanya ditanam pada
bulan januari dan Juli , sehingga dalam 1 tahun terdapat 2 kali panen. Hasil
panen tersebut akan dikonsumsi untuk sehari-hari selama 6 bulan, jika berlebih
maka akan dijual yang hasil penjualannya digunakan untuk membelikan pupuk. Dalam
mengolah padinya pun masih menggunakan alat-alat tradisional, seperti
menggunakan lumbung padi dan alu, arit, cangkul dan perkakas tradisional
lainnya.
Kampung Naga
merupakan sebuah kampung yang masih kental dengan budaya adat sundanya. Dibangun
ditanah yang subur seluas 1,5 Ha yang masih terjaga serta terasa kelestariannya
hingga saat ini, terletak di daerah Tasikmalaya, tepatnya di Desa Nelgasari,
kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya – Jawa Barat. Kata Naga berasal dari
kata Dinagawir, yang kemudian diambil lah kata “Naga” untuk mempermudah
penyebutan nama kampung tersebut.
Kampung ini terdidiri dari 113
bangunan dan memiliki 108 kepala keluarga dengan total warga secara
keseluruhan, baik anak kecil maupun hingga lanjut usia berjumlah 314 jiwa. Kepemimpinan
di kampung ini dibagi menjadi 2 kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan non
formal. Kepemimpinan formal seperti kepala dusun, Pak RT, Pak RH, dan Pak RW,
kepemimpinannya bersifat demokrasi dengan masa jabatan 5 hingga 6 tahun
lamanya. Tugas mereka adalah menyampaikan pemerintahan dari atasan sampai
diterima ke masyarkat kampung naga guna tersalurkan informasi-informasi yang
sekiranya penting diberitahukan kepada warganya sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman. Sementara bersifat non formal terdiri dari 3 bagain, pertama
Kuncen yang bertugas sebagai pemimpin dalam ziarah makam, kedua Pundu yang
bertugas untuk mengayomi warga dan yang terakhir Lebe yang bertugas untuk
mengurusi jenazah dari awal hingga mengguburkan jenazah serta juga melakuakan
upacara-upacara keaagamaan. Masing-masing masa jabatan non formal dapat berlaku
seumur hidup bila masih mampu menjalankannya, pemilihannya calon pemimpin non
formal berbeda dengan pemilihan calom pemimpin formal, diaman calon pemimpin
non formal dipilih berdasarkan garis keturunan, artinya yang menjadi calon
pemimpin non formal harus memiliki ikatan darah dengan pemimpin yang
sebelumnya.
Sementara
pekerjaan sampingan mereka adalah membuat berbagai kerajinan tangan dari bahan
baku kain batik, kayu, bambu serta rotan dan biji-bijan. Biasanya dari bahan
baku tersebut dapat mereka jadikan berbagai macam tas, gantungan kunci, gelang
dan kalung, topi, alat masak, sandal bakiak, pajangan serta miatur rumah adat
mereka dan alat musik tradisional, seperti angklung dan gerinding. Selain
bertani dan membuat kerajinan, mereka juga membuat gula merah. Menurut salah satu
pembuat gula merah dikampung naga, gula merah yang mereka olah tidak hanya
untuk dimasak atau dicampur kedalam minuman, tetapi dapat dimakan langsung bila
kita sedang dalam keadaan lemah dan letih. Warga kampung naga juga memiliki
beberapa hewan ternak, seperti biri-biri, ayam, kelinci dan ikan. Hampir
disetiap kolam yang terdapat di kampung
naga berisi ikan mas yang ukurannya cukup besar. Warga sekitar juga kreatif
dalam memanfaatkan apa yang mereka punya, kolam yang berisi ikan mas tersebut
disampingnya disediakan makanan ikan dalam bentuk plastic berukuran kecil yang
dapat dibeli oleh para pengunjung kampung naga untuk memberi makanan kepada
ikan-ikan di kolam tersebut.
Ternak Ikan Mas milik warga |
Masyarakat
kampung naga menganut agama Islam. Dikampung ini sebenarnya tidak melarang agama
apapun untuk dapat berkunjung atau mengetahui seluk-beluk tentang kampung naga
tetapi untuk warganya sendiri diwajibkan beragama Islam dan wajib untuk
mengikuti aturan-aturan Islam. Seperti halnya masalah pernikahan, warga kampung
naga tidak melarang warganya untuk menikah dengan warga kampung lain, asalkan
dengan syarat calon mempelai beragama Islam dan akan dinikahkan secara agama
Islam juga. Bilamana mereka ingin tinggal dikampung naga, tentu diperbolehkan
dan tentu lagi-lagi dengan syarat yang tidak sulit, mereka harus mengikuti
semua aturan-aturan yang ada di kampung naga dna ikut melestarikan kampung naga
tersebut. Selanjutnya masalah pemakaman
juga dilakukan secara hukum agama Islam. Pada intinya masyrakat kampung naga
sangat patuh dan tunduk terhadap ajaran agamanya, yaitu agama islam. Sama seperti yang dikatakan oleh Daniel dan
Mahdo dalam menulisakan synopsis mengenai kepercayaan Tunduk dalam agama Islam
yang terdapat dalam buku Komunikasi Lintas Budaya milik Samovar dan kawan-kawan,
mengatakan bahwa Islam sendiri berarti “tunduk” pada Tuhan dan kehendakNya.
Quran menekankan keagungan Tuhan berulang kali, kemurahan hati yang ditunjukannya
kepada manusia secara khusus, ketaatan serta rasa syukur dan upah yang diterima
karena telah setia hingga akhir waktu.
Dalam
keseharianya penduduk kampung warga menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa
utamanya sehingga mereka kurang fasih dalam menggunakan bahasa Indonesia. Ada
beberapa kesulitan yang kami hadapi ketika kami berinteraksi dengan warga
sektar, karena kami kurang mengerti mengenai bahasa sunda sehingga kami mengartikannya
melalui bahasa non verbalnya.
Setelah membahas
sedikit tentang kampung naga, mulai dari lokasi kampung naga, kepemimpinan,
pekerjaan, bahasa yang digunakan serta masalah agama dan pernikahan hingga
pemakaman, selanjutkan akan dibahas mengenai aktivitas sehari-hari yang mereka
lakukan selama saya dan teman-teman menginap di kampung naga serta akan dibahas
juga mengenai larangan yang ada dikampung naga ini.
Pertama akan
dimulai dari rumah tempat dimana saya akan menginap. Rumah-rumah di kampung
naga semuanya memiliki bentuk yang sama dan saling berhadapan dengan tujuan
sesama warga kampung naga harus saling menjaga dan saling membantu, atap rumah
terbuat dari daun pohon aren (ijuk) , dinding rumah terbuat dari anyaman bilik
bambu dan dicat putih menggunakan kapur, jendela dan pintu terbuat dari kayu, lantai rumah terbuat dari
kayu, rumah didesain seperti panggung dengan bentuk persegi dan menghadap ke
arah utara – selatan serta memajang dari barat ke timur. Didalam rumah tidak
terdapat kursi, hal tersebut bukan karna tempatnya sempit tapi hal tersebut
memiliki arti sendiri dalam kampung naga. hal tersebut diartikan bahwa semua
orang tingkatnya sederajat atau sejajar, tidak ada yang merasa diatas maupun
merasa dibawah. Di dalam rumah terdapat 3 ruangan, dapur , tempat tidur, dan
ruang tamu.
Ketika itu saya
menginap di rumah Ibu Cucu. Ibu cucu merupakan seorang ibu rumah tangga yang
juga membantu suaminya menjual kerajinan tangan di atas kampung naga. Oh, ya
perlu diketahui dikampung naga tidak menggunakan listrik dan gas. Bukan karna
mereka tidak mendapat bagian dari PLN setempat tetapi karena mereka takut
terjadi kebakaran bila pemasangan kabel tidak baik sehingga menimbulkan yang
dapat menghanguskan seluruh bangunan dikampung naga tersebut.
Sehingga sehari
– hari mereka bergantung pada penerangan sinar matahari pada siang hari
sementara malam hari mereka menngunakan lampu temple yang menggunakan minyak
tanah sebagai bahan bakarnya. Untuk memasakpun mereka masih mengunakan peralatan
yang sederhana, tidak menggunakan kompor dan memakai gas sebagai bahan bakar
tetapi menggunakan tunggu sebagai tempat memasak dan menggunakan kayu sebagai
bahan bakarnya. Didalam rumah juga tak terlihat adanya tempat untuk mencuci
piring dan kamar mandi. Tempat mencuci piring dan kamar mandi terletak tak jauh
dari luar rumah dan digunkan untuk umum. Menurut keterangan dari Ibu Cucu
biasanya mereka mencuci piring dikali tapi tetap menggunakan air bersih yang
berasal dari pegunungan. Begitu juga dengan kamar mandi terebuat dari
bilik-bilik bambu yang dibangun diatas kali, didalam jamban, sebutan kamar mandi disana, terdapat 2 aliran air, yaitu
air kali dan air bersih dari pegunungan.
Jamban |
tempat cuci piring |
Dikampung naga
ini kami juga diajak berkeliling oleh seorang warga kampung naga sebagai tour
guide kami, Mang Eno. Bersama Mang Eno
kami diajak mengelilingi kampung naga, diperkenalkan dengan alat music
tradisional khas kampung naga, bernama Karinding Alat musik yang berukuran
sekitar 10cm terbuat dari bambu, dimaikan dengan ditaruh di mulut lalu
dipukul-pukul ujungnya menggunakan satu jari, sebagi pemula tentu cukup sulit
untuk memainkannya, malah salah satu teman saya yang mencobanya tidak dapat
mengeluarkan suara sama sekali mungkin memang dibutuhkan kesabaran dalam
memaikannya agar dapat menghasilkan nada yang indah.
Kami juga
dikenalkan dengan pengobatan tradisional di kampung naga ini. Dikampung naga
untuk masalah kesehatan masih diobati dengan tanaman tradisional, tindak lanjut
seperti ke dokter atau puskesmas dilakukan bila keadaan memang sudah tidak
memungkinkan untuk diobati secara tradisinal. Seperti salah satu obat
tradisionalnya adalah Pakokak, tanaman
kesehatan yang mudah ditemui di kampung naga, berfungsi sebagai obat kuat, bila
kita dalam keadaan lemah, lesu serta letih kita dapat memakan langsung Pakokak
sebanyak 7 biji untuk mengembalikan kesegaran tubuh kita. Sementar untuk
mengatasi masalah pernafasan dapat menggunakan biji Kapoa. Selain menggunakan tanaman tradisional, masyrakat kampung
naga juga menggunakan hewan yang masih hidup, salah satunya belut sawah.
Menurut Mang Eno belut sawah yang telah direndam dalam air bersih selama 2
hari, harus ditelan secara hidup-hidup oleh orang yang sakit ataupun orang yang
sehat, berguna untu meningkatkan kesehetan tubuh. Mereka tidak diperkenankan
untuk membunuh belut tersebut dan belut tersebut nantinya akan mati dengan
sendirinya diperut mereka. Untuk masalah melahirkan, tentu warga disini juga
masih menggunakan cara tradisional, dengan mendatangkan seorang bidan untuk
membantu melahirkan, warga kampung naga juga ada beberapa yang menjadi asisten
bidan, salah satunya orangtua ibu cucu.
Mang Eno saat menelan belut sebagai obat tradisional |
Tanaman Obat Pakokak |
Dalam
menjaga perdamaian dan persatuan kampung naga, para penduduknya saling
mempercayai satu sama lain, seperti yang dikatan Ibu Cucu pada kami, bila sudah
ada handuk di kamar mandi, maka orangpun tidak akan mencoba mengintip ataupun
masuk. Selain saling mempercayai satu sama lain untuk menciptakan perdamaian
agar dapat hidup rukun mereka juga menganut konsep budaya sunda, silih asah
yang berarti saling menyayangi, silih asih yang berarti saling member, silih
asuh yang berarti saling menghargai, yang terakhir silih payungan yang berarti
merangkul sesama, sehingga bila ada konflik semua masalah dapat terselesaikan
dengan baik di kampung ini. Konsep lainya yang mereka anut adalah amanat,
wasiat dan akibat. Jadi bila kita telah diberi amat dan wasiat tetapi masih
melanggar maka kita akan menerima akibat sesuai dengan perbuatan kita.
Masyarakat kampung naga sendiri masih mempercayai dengan mitos. Terbukti dari
adanya jimat penolak bala, opak dan
dupi yang digantungkan disetiap pintu rumah, fungsinya untuk menolak bala,
sebagai pelindung serta keselamatan bagi penghuninya.
jimat penolak bala |
Selanjutnya sesepuh
di kampung naga juga menjelaskan bahwa dikampung ini tidak dianjurkan ngadu yang artinga tidak boleh mengadu
makhluk hidup, ngawadon yang berari
nermain perempuan, dan nyamadat yang berarti berjudi. Kita tidak boleh
mengarahkan kaki kearah kiblat dengan alasan arah kiblat merupakan arah dimana
umat muslim melakukan sholat dan menunduk sehingga sebagai penganut agama Islam
mereka harus menghormati dan menghargai apa yang mereka dapat dari ajaran
agamanya. Kita juga tidak diperkenankan untuk pergi kehutan terlarang yang
letaknya disebrang desa dan tidak boleh mandi di air terjun pada saat mahgrib
karena bila ada yang berani mandi maka yang mandi tersbeut akan kesurupan dan
hal itu memang pernah terjadi dikampung tersebut. Penggunaan ilmu sihir ataupun
santet pun juga tidak diperbolehkan dikampung ini, jika memang ada yang
memiliki kemampuan, tidak usah disebarluaskan ke warga yang lain, cukup
mengetahuinya saja dan tidak menggunakannya sebagai ajaran sesat.
Dari kampung
naga ini kami dapat belajar bahwa untuk dapat hidup rukun dan berdampingan pada
dasarnya tidaklah sulit, dengan niat yang tulus dan tekat yang bulat serta
menetapkan semua orang ditingkatan yang sejajar dan saling memepercayai serta
mengikuti aturan yang berlaku maka dapat terciptalah kehidupan yang bekualitas
saling berdampingan satu sama lain. Serta tidak lupa dengan saling menjaga dan
mengelolah kelestarian alam dengan baik.
No comments:
Post a Comment